News by Emailwebstore
KOMPAS Online
 
Satunet
Iklan Baris
English Nederlands
>Kamis, 7 September 2000

Pasang Surut Jenderal yang Selalu Terpinggirkan

PERNAH dalam diskusi terbatas, Jenderal Soemitro mengamati pengalaman negara berkembang, termasuk Indonesia. Ia mendapati bahwa pimpinan puncak militer ujung-ujungnya akan selalu berseberangan dengan pimpinan politik. Soemitro berkata, "... pada situasi tertentu, siapa saja yang menjadi pimpinan militer harus berani mengambil keputusan, apakah akan diam membiarkan negara dikelola secara tidak benar? Ataukah, memutuskan mengambil alih kepemimpinan politik?"

Kenangan inilah yang langsung datang begitu mendengar Jenderal Besar (Kehormatan) Abdul Haris Nasution tutup usia pada hari Rabu (6/9) pagi di RSPAD, Jakarta. Betapa sudah selama 82 tahun Pak Nas diguncang beragam peristiwa dan beberapa kali menjalani berbagai macam operasi penyembuhan, dari bedah jantung hingga prostat, serta keluar masuk rumah sakit, baik di dalam maupun luar negeri.

Ada rasa ketidakyakinan bahwa ada tokoh, yang tercampakkan sesudah begitu dekat pada posisi puncak, masih sanggup menahan perasaan, sebagaimana teladan yang diberikan almarhum. Tetap bertahan sesudah (antara tahun 1969-1993) dikucilkan dari masyarakatnya karena Soeharto menganggapnya pesaingnya untuk tampil memimpin Indonesia pada awal Orde Baru.

"... kami diwaspadai oleh petugas intel sejak pagi, siang, dan malam. Pasok air minum juga distop masuk ke rumah, terpaksa kami harus membuat sumur sendiri di belakang rumah," tutur Sunarti, istri Pak Nas dalam buku Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Sumur tersebut mereka bikin pada awal tahun 1970-an dan kediaman almarhum di Jalan Teuku Umar praktis hanya selemparan batu dari Jalan Cendana, tempat tinggal Soeharto.

PENGALAMAN Pak Nas mirip dengan naik turunnya peran militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ia pernah meninggalkan dinas militer pada 1952-1955, pindah ke bidang politik dengan mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia dan ikut Pemilihan Umum 1955. Ia melukiskan masa itu sangat menyenangkan.

"... karena Angkatan Darat masih memberikan segala bantuan yang saya perlukan, sehingga waktu luang bisa saya manfaatkan untuk menulis buku, antara lain Pokok-Pokok Perang Gerilya." Buku pengalamannya memimpin gerilya yang kini menjadi klasik itu diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi bahan pelajaran akademi militer mancanegara serta acuan untuk para pejuang revolusioner.

Situasi di luar dinas militer berakhir sesudah Soekarno, yang berusaha tampil sebagai penguasa tunggal, memerlukan dukungan militer. Tahun 1955, Bung Karno memanggil Pak Nas dan mengangkatnya lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Tanggal 12 November 1958, Nasution menyampaikan pidato di Akademi Militer Magelang yang terkenal nantinya dengan sebutan "Jalan Tengah". "... tidak hanya menjadi alat sipil sebagaimana di dunia Barat, tetapi juga tidak ingin menjadi rezim militer dengan mendominasi kekuasaan."

Sebulan sebelum Pak Nas menyampaikan pidatonya, Letkol Isman dikirim ke Markas Besar PBB di New York, AS, sebagai penasihat delegasi. Berbareng dengan pengiriman sejumlah perwira militer untuk mengelola perusahaan milik Belanda yang diambil alih pemerintah akibat persengketaan Irian Barat, langkah ini dilakukan untuk mendahului pihak komunis yang juga ingin menguasainya.

Keterlibatan kelompok militer pimpinan Pak Nas inilah yang menjadi tumpuan Bung Karno, sesudah melihat tarik-ulur debat politik memacetkan sidang Konstituante, langsung mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Maka mulailah pelaksanaan Dwifungsi ABRI.

***

"SEJARAH dilakukan banyak orang, tetapi hanya segelintir manusia sempat tampil, karena mereka dilahirkan pada saat tepat dan mampu menafsirkannya," kata Oriana Fallaci mengantar karyanya paling terkenal, Interview with History.

Merujuk pendapat itu, jejak Nasution dalam berbagai babak perjalanan sejarah Indonesia modern memang sangat bermakna. Dilahirkan tahun 1918 (dengan dua tanggal lahir agar bisa masuk sekolah lebih cepat) di pelosok Kampung Huta Pungkut, Tapanuli, Sumatera Utara, dan sewaktu bocah memakai nama panggilan Ris, ia mungkin telah menafsirkan "sejarah" dengan tepat.

Sebagai alumnus Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO), Pak Nas sengaja memilih jalur militer. Semasa perang kemerdekaan, almarhum menjabat Wakil Panglima Besar TNI. Ketika Bung Karno pada puncak kejayaannya, Pas Nas adalah Wakil Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi (KOTI).

Persoalan muncul ketika program reorganisasi ABRI yang disusunnya menentukan perlunya Panglima ABRI. Ketika itu juga almarhum ditendang ke atas. Bung Karno memutuskan tidak perlu ada Panglima ABRI, Pak Nas dijadikan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) dengan wewenang sangat terbatas. Sementara itu, keempat pimpinan angkatan yang semula disebut kepala staf dijadikan panglima dan berada langsung di bawah presiden/ panglima tertinggi.

Setelah kudeta Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 tak berhasil menewaskan Pak Nas, Bung Karno setahun kemudian terguling dan Soeharto naik ke pentas. Awalnya berlangsung pembagian kekuasaan, Pak Harto menjadi Pejabat Presiden dan Nasution sebagai Ketua MPRS. Tetapi, sesudah Soeharto mulai risih karena merasa diawasi, proses peminggiran Nasution kembali berulang, kali ini berlangsung lebih drastis.

Jejak Pak Nas memang tidak selalu seputih kertas tanpa coretan. Tahun 1952, dia gagal menggertak Bung Karno. Satu dasawarsa kemudian, mereka justru bergandeng tangan dalam "Demokrasi Terpimpin" sampai persatuan semu tersebut hancur berantakan pada tahun 1965.

Persis tanggal 6 September 40 tahun lalu, sebagai KSAD, Letjen AH Nasution melarang Masyumi, PSI, IPKI, dan Parkindo di Sumatera Utara karena tuduhan keterlibatan pada pemberontakan PRRI/Permesta. Keputusan itu disempurnakan Bung Karno pada 17 Agustus tahun itu juga, menutup Masyumi dan PSI.

Hanya dua tahun sesudah kudeta gagal G30S, sebagai Ketua MPRS, Pak Nas melantik Soeharto menjadi Pejabat Presiden, pengalaman yang dia lukiskan dengan menarik, "Saya menandatangani pemberhentian Presiden RI pertama dan pengangkatan Presiden RI kedua."

Bulan madu Soeharto-Nasution berakhir tahun 1969. Hal itu dimulai dengan adanya larangan berbicara bagi Pak Nas di Akademi Militer dan Seskoad, dua lembaga yang pernah dimanfaatkannya naik ke pentas politik. Ia dipensiun dari dinas militer pada usia 53 tahun dan berubah menjadi "gelandangan politik" sesudah semua aksesnya disumbat penguasa.

Sejak tahun 1993, almarhum kembali coba dirangkul penguasa Orde Baru. Ketika Jenderal Feisal Tanjung memberi sebutan Jenderal Besar Bintang Lima kepada Soeharto, Pak Nas (dan juga Soedirman) diikutkan, sebenarnya lebih karena alasan almarhum ternyata masih tetap mampu bertahan. Adalah tidak mungkin menutup matahari dengan telapak tangan, karena menghapuskan begitu saja keberadaan Pak Nas dalam perjalanan sejarah Indonesia serta pembinaan TNI ternyata sebuah kemustahilan.

Sekarang, perjalanan almarhum di dunia telah berakhir. Tetapi jejak dan teladannya tidak bakal melenyap, karena akan selalu menjadi bahan kajian, untuk menentukan posisi TNI dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sebagaimana tersirat pada pernyataan Jenderal Douglas Mac Arthur, "... seorang prajurit tidak pernah mati. Dia hanya surut perlahan." (Julius Pour)


Berita utama lainnya :


Get The Latest News at Kompas Cyber Media
KOMPAS Online
© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas