Koran Nasional Pertama Lahir di Bandung
Oleh SYAFIK UMAR
SETIAP kali saya menyatakan, koran nasional
pertama itu terbit di Bandung, tidak banyak yang bereaksi. Soalnya, ceritanya akan
menembus waktu 100 tahun. Refleksi satu abad seperti itu tentu memerlukan banyak catatan
dari banyak sumber pula termasuk dari Perpustakaan Nasional. Rasanya cukup tepat kalau
catatan langka seperti ini kita ungkap di tengah-tengah berlangsungnya peringatan Hari
Pers Nasional (HPN) 2006 Februari ini di Bandung.
Surat kabar yang menyandang predikat nasional
"tulen" itu pernah dinyatakan lahir di Bandung satu abad lalu. Namanya
"Medan Prijaji". Jadi, pelaksanaan HPN di Bandung Februari 2006 ini bisa berarti
pula memperingati satu abad terbitnya surat kabar nasional "tulen" itu. Mengapa
"Medan Prijaji"? Hal ini juga pernah diperdebatkan pada saat berlangsungnya
kegiatan Kongres X Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) Indonesia di Tawangmangu, Surakarta,
Desember 1958.
Tiga koran tertua
Dalam sejarah pers di Indonesia, surat kabar "Bataviase Nouvelles" yang
terbit 7 Agustus 1744 disebutkan sebagai surat kabar pertama di Indonesia, terbit atas
kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff. Izin terbitnya diberikan kepada
Adjunct-Secretaris-General Jorden. Izin terbit enam bulan, kemudian diperpanjang menjadi
tiga tahun. Pada tanggal 5 Agustus 1810 terbit "De Bataviasche Koloniale
Courant". Itu zaman Daendels-Inggris. Tanggal 29 Februari 1812 terbit "The Java
Gouvernment Gazette" (Java Gazette). Bulan Maret 1836 lahir surat kabar usaha
partikulir asli yang pertama Indonesia di Surabaya yaitu "Soerabaijas
Advertentie-Blad". Tahun 1853 berganti nama menjadi "Soerabaijas Nieuws &
Advertentie Blad". Boleh memuat warta berita tetapi diawasi ketat oleh Belanda. Jadi
bukan Batavia, tetapi Soerabaija, kota cikal bakal terbitnya surat kabar Indonesia. Namun,
semuanya bukanlah bacaan yang diperuntukkan bagi anak negeri karena memang tidak
diperuntukkan bagi anak negeri. Pada tahun 1854 terjadi kelonggaran kebijakan Belanda
terhadap penerbitan surat kabar di Indonesia. Maka terbitlah di Surakarta "Mingguan
Bromartani" tiap hari Kamis. "Bromartani" nama ke-Indonesiaan sekaligus
ke-Jawaan. Tenaga dan para pemikirnya orang Indonesia. Tetapi modalnya tetap asing, sebuah
usaha kongsi Belanda Harteveldt & Co. Karena itu sangat sulit untuk dimasukkan ke
dalam kategori pers Indonesia. Berbahasa Djawa dan Melajoe, tenaga teknis, Indonesia,
"Bromartani" sudah cenderung menjadi pelopor ke arah perkembangan pers nasional
Indonesia.
Kini jatuh pilihan kepada "Medan Prijaji", mingguan yang terbit di Bandung
tahun 1907, sebagai surat kabar nasional pertama yang menyandang predikat tulen.
Pengasuhnya Raden Mas Tirtohadisoerjo dengan nama kecil Djokomono. Sebelum menerbitkan
"Medan Prijaji", Januari 1904 Djokomono mendirikan dulu badan hukum N.V.
Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften "Medan Prijaji"
beralamat di Djalan Naripan Bandoeng yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan
Pusat Kebudayaan-YPK).
Di hadapan Notaris Simon Bandung, konon ia ingin segera menerbitkan "Medan
Prijaji" tahun itu juga. Dia persiapkan dulu percetakannya, menyiapkan sarana surat
kabarnya dan kelengkapan wartawannya. Belakangan Djokomono disebut pula sebagai perintis
persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Karena itu "Medan Prijaji"
paling tepat disebut sebagai koran pertama Indonesia tulen, sebab mulai dari pengasuhnya,
percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Djokomono sendiri
disebut-sebut pula sebagai perintis persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional Indonesia.
Konon pada waktu itu sudah lahir organisasi wartawan PDI (Persatoean Djoernalis
Indonesia). Ketika pertama kali terbit di Bandung, "Medan Prijaji" mencantumkan
moto di bawah nama "Medan Prijaji" sbb: "Ja'ni swara bagai sekalijan
Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan
Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja".
Dibuang ke Bacan
Pada tahun 1910 di Jakarta (Djakarta waktu itu masuk wilayah Djawa Barat), "Medan
Prijaji" berhasil terbit tiap hari kecuali hari Djoemahat dan Minggoe
dan Riaja (hari-hari besar). Nomor 1 terbit pada hari Rebo 5 Oktober 1910
tahun. Nomor terakhir terbit hari Selasa 3 Djanuari 1912 tahun VI. Ketika pertama kali
terbit menjadi harian tetap, mengambil tahun IV karena tahun I, II, dan III masih mingguan
yang terbit di Bandung. Ini sekaligus merupakan pernyataan tegas bahwa untuk pertama kali
"Medan Prijaji" terbit di Bandung. Di bawah judul surat kabar harian "Medan
Prijaji" itu tertulis moto: "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O.
Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia". Di zaman itu, merupakan keberanian
luar biasa menulis moto seperti itu. Dialah yang pertama menggunakan surat kabar sebagai
pembentuk pendapat umum. Berani pula menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan
kolonial Belanda pada masa itu. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya
terhadap tindakan-tindakan kontroler. Risikonya Mas Tirtohadisoerjo disingkirkan
dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Mas
Tirtohadisoerjo dalam mengasuh "Medan Prijaji", telah meletakkan dasar-dasar
jurnalistik modern. Secara profesional dilakukannya pembaruan dalam mengolah isi surat
kabar. Pemuatan berita, karangan-karangan, pengumuman, pemberitahuan, iklan dan lainnya
disusun secara baru, sehingga terlihat sebagai surat kabar yang segar dan menarik pada
zamannya. Pada saat itu sudah dirasakan peran perwajahan surat kabar menjadi sangat
penting.
Cara pengelolaan surat kabar dan keberaniannya melawan penjajahan Belanda mempengaruhi
pula kalangan penerbitan di Bandung dan Jawa Barat umumnya. Di Jawa Barat terbit silih
berganti mingguan, berkala, harian yang menyebar ke seluruh Jawa Barat, baik berbahasa
Sunda maupun berbahasa Indonesia.
Perkembangan pers di Jawa Barat, sejak awal menjadi catatan penting dan strategis dalam
sejarah media cetak di Indonesia. Di beberapa daerah di Jawa Barat, baik di Bandung,
Bogor, Tasikmalaya, Cirebon, Sukabumi, dan Banten, silih berganti kaum nasionalis
menerbitkan surat kabar. Pengelolaan media secara profesional dikembangkan. Idealisme
kejuangan mewarnai konten dari media. Media massa, khususnya surat kabar pada masa itu
oleh kaum nasionalis digunakan dan dimanfaatkan sebagai alat perjuangan dalam menentang
penjajahan Belanda. Karena itulah surat kabar sering berumur tidak panjang dan pimpinannya
sering pula berurusan dengan polisi rahasia yang senantiasa mengawasi dan memata-matai
kaum pergerakan nasional. Sangat terkenal waktu itu Polisi Rahasia Belanda, PID (Politieke
Inlichtingen Dienst). Segala laporan PID menjadi dasar bagi Belanda untuk melakukan
tindakan pelarangan penerbitan koran dan memenjarakan orang-orang surat kabar.
Penerbitan surat kabar yang berbahasa Indonesia/Melayu dan surat kabar berbahasa daerah
Sunda secara kuantitatif berimbang jumlahnya. Surat kabar berbahasa Sunda tampaknya lebih
akrab dengan masyarakat Jawa Barat terutama di daerah Priangan. Asas kedekatan komunitas
tampaknya berpengaruh. Ada pula surat kabar yang berbahasa Belanda dan Tionghoa.
Jauh sebelum "Medan Prijaji" terbit, di Cirebon sudah ada surat kabar
"Tjiremai" (1890) dalam bahasa Belanda. Di Sukabumi terbit "Li Po"
(1901), merupakan surat kabar keturunan Tionghoa. Di Bogor juga terbit surat kabar
Mingguan Tionghoa "Wie Sin Ho" (1905).
Dalam kurun waktu 1914-1935 di sekitar Bandung terbit surat kabar berbahasa
Indonesia/Melayu seperti "Padjadjaran" (1921). Koran "Kaoem Moeda"
(1922) di Bandung dipimpin A.H. Wignjadisastra dan Abdoel Moeis. Sebelumnya "Kaoem
Kita" (1921) terbit atas inisiatif Abdoel Moeis. Selanjutnya tercatat koran
"Perbincangan", "Perasaan Kita", "Harian Fadjar" (1925)
dalam bahasa Melayu dan Belanda.
Setelah "Kaoem Merah"
Ada catatan yang tersisa dari perkembangan pers Jawa Barat di zaman pergerakan itu.
Setelah terjadinya pemberontakan "Kaoem Merah" November 1926, sejumlah surat
kabar baru, terbit di beberapa kota Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung. Tercatat di
Bandung terbit koran "Indonesia Moeda". Terbit pula "Fikiran Ra'jat"
yang sangat terkenal dengan tulisan Bung Karno, Indonesia Menggoegat. Pemikiran dan
tulisan Bung Karno yang dimuat di "Fikiran Ra'jat" itulah yang membawanya ke
sidang pengadilan dan divonis penjara. Di Rangkasbitung, Banten terbit
"Bidjaksana" dipimpin O.K. Yaman yang kemudian pindah ke Tasikmalaya.
"Bidjaksana" dikelola Pagoejoeban Pasoendan dan saat pindah ke Bandung
dipimpin Moh. Koerdie. Pada waktu itu di Tasikmalaya juga tercatat ada dua mingguan yaitu
"Galih Pakoean" dan "Kesatrya" dipimpin A.S. Tanoewiredja dan
Soejitno. Terbit pula Mingguan "Pertimbangan" dan "Kawan Kita",
masing-masing dipimpin Tengku Makmun dan Mangoenatmodjo. Pada saat hampir bersamaan di
Bandung terbit "Sinar Pasoendan" yang diasuh oleh Ali Ratman. Imbi Djajakoesoema
bersama O.K. Yaman dan Iding Wangsawidjaja (terakhir Sekretaris Bung Hatta). Di Cirebon
tercatat "Poesaka Cirebon" pimpinan Darma Atmadja, "Warta Tjirebon"
dan "Soeloeh Ra'jat" pimpinan Anwar Djarkasih. Tahun 1932 tercatat "Soeara
Poeblik" (Bandung) pimpinan Soejitno dan Liem Koen Hian.
Pada tahun 1935 di Bandung tercatat penerbitan koran "Nicork - Express",
koran stensilan pertama di Bandung kemudian menjadi harian dengan Pemimpin Umum/ Pemimpin
Redaksi Bratanata. Jajaran redaksinya Djamal Ali dan Ahmad Zainun Soetan Palindih.
Selanjutnya terbit "Berita Priangan" dipimpin Ali Ratman dengan Pemred O.K.
Yaman dan Bakri Soera Atmadja. Ada pula "Sepakat" dipimpin A. Hamid. Koran
Indonesia dipimpin Moh. Koerdie dan Rochdi. "Berita Oemoem" lahir sebagai
kelanjutan dari "Berita Priangan" dipimpin Soenarjo Gondokoesoemo dan Ali Tirto
Soewirjo.
Koran bahasa Sunda
Ramainya penerbitan koran berbahasa Melayu/Indonesia di Jawa Barat, pada waktu
bersamaan diikuti oleh penerbitan berbahasa Sunda. Penerbitan media cetak berbahasa Sunda
di kala itu tidak dapat dipisahkan dari pergerakan kaum nasionalis di wilayah Jawa Barat.
Menurut catatan, surat kabar berbahasa Sunda pertama yang diterbitkan di Bandung adalah
"Sora-Merdika" pimpinan Moh. Sanoesi. Tahun I No. 3 terbit pada tanggal 1 Mei
1920. Ada pula yang menyatakan, surat kabar pertama berbahasa Sunda itu adalah Soenda
Berita, tetapi belum jelas kapan terbitnya. Di masa itu terbit pula "Mingguan Soenda
Soemanget" diasuh Tunggono. Mingguan bahasa "Sunda Padjadjaran" dipimpin
Haris Soema Amidjaja dan "Siliwangi" diasuh Ema Brata Koesoema. Tercatat pula
data terbitnya "Pendawa", pimpinan Gatot. Terbit pula berkala berbahasa Sunda,
"Masa Baroe", "Sapoedjagad", "Simpaj" dan "Isteri
Merdeka". Ada pula penerbitan koran "Panglima" di Tasikmalaya.
"Sipatahoenan" yang pernah menjadi harian di bawah pimpinan A.S. Tanoewiredja
selanjutnya dipimpin Bakri Soera Atmadja dan Moh. Koerdie. "Sipatahoenan" sempat
pula terbit di Tasikmalaya. Pada masa itu pula terbit "Sinar Pasoendan" dipimpin
Ali Ratman dengan Pemimpin Redaksinya Imbi Djajakoesoema dan wakilnya O.K. Yaman. Redaktur
Harian adalah Moh. A. Afandi dan Iding Wangsawidjaja. Di Tasikmalaya lahir
"Tawekal" pimpinan Harsono, "Galoeh" di Ciamis pimpinan Arsim Karma
Winata, Balaka pimpinan Ikik Wiradikarta.
Di zaman pendudukan Jepang semua surat kabar yang ada di Bandung dan Jawa Barat
ditutup. Semuanya disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar "Tjahaja"
di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan "Tjahaja" pada waktu itu ditunjuk
Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
Penghentian penerbitan seluruh surat kabar di Bandung dan sekitarnya oleh Jepang,
kemudian dilebur menjadi surat kabar "Tjahaja", merupakan bagian dari usaha
Jepang untuk mengawasi penerbitan surat kabar secara ketat.
Setelah pendudukan Jepang berakhir, di Bandung tercatat ada penerbitan surat kabar
"Soeara Merdeka" yang dipimpin oleh Boerhanoeddin. Begitu Belanda masuk
membonceng Sekutu, "Soeara Merdeka" mengungsi ke Tasikmalaya. Pada tanggal 24
Maret 1946 terjadi peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) yang membuat masyarakat Bandung
mengungsi ke Bandung Selatan, bahkan sempat ke Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Koran
"Soeara Merdeka" pun diungsikan ke Tasikmalaya untuk melanjutkan perjuangannya.
Ketentuan 25 Maret
Setelah merdeka, berbagai koran berbahasa Sunda mulai bermunculan di beberapa daerah di
Jawa Barat seperti "Sinar Majalengka" (1948) di Majalengka, "Warga"
(1954) yang dipimpin oleh Eeng di Bogor, "Kalawarta Kudjang" (1956) di Bandung.
"Sipatahoenan" yang sempat terhenti penerbitannya, akhirnya bangkit kembali
tetapi pada tahun 1985 menghentikan penerbitannya. Pada awal tahun 1960-an Ajip Rosidi
juga menerbitkan majalah Sunda. Media cetak yang cukup populer dan kini masih terbit
adalah "Mangle". Untuk pertama kali "Mangle" terbit di Bogor pada
tahun 1957 dengan pendirinya RH. Oeton Muchtar dan Ny. RHE. Rochimika Sudarmika. Pada
akhir tahun 1962 "Mangle" pindah ke Bandung dan kini terbit mingguan. Selain itu
terbit pula "Giwangkara", "Gondewa", "Kalawarta Kudjang" dan
"Galura". Yang terakhir ini (Galura) tergabung dalam Grup Pikiran Rakyat sejak
tahun 1975.
Setelah proklamasi kemerdekaan, di masa "Negara Pasoendan" diterbitkan
"Harian Persatoean" yang terakhir dikelola Djawatan Penerangan pada waktu itu.
Selanjutnya pada tahun 1950-an terbit "Harian Pikiran Rakjat" yang dirintis
Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk. Pikiran Rakjat ini berhenti terbit setelah pada
tanggal 25 Maret 1965 pemerintah mengeluarkan peraturan yang menentukan semua media cetak
harus "menggandul" atau berafiliasi dengan partai politik. Pihak Redaksi
"Pikiran Rakjat" yang pada waktu itu diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita
serta kawan-kawan ditawari Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie untuk bergabung
dan berafiliasi dengan surat kabar Angkatan Bersendjata. Pada tanggal 24 Maret 1966
bertepatan dengan peringatan Bandung Lautan Api terbitlah "Harian Angkatan Bersenjata
Edisi Jawa Barat/Pikiran Rakyat". Judul "Pikiran Rakyat"-nya tercantum
kecil di sudut kiri atas kop "Angkata Bersenjata" Edisi Jawa Barat. Setahun
kemudian baru diperkenankan memakai kop "Pikiran Rakyat" (besar) sedangkan kop
"Angkatan Bersenjata-nya bertukar tempat menjadi huruf kecil di kiri atas
halaman pertama. Pada tahun 1967 koran ini resmi menjadi "Harian Umum Pikiran
Rakyat" hingga sekarang. ***
Penulis, wartawan senior "PR".