Sabtu, 2007 Juni 30

Mutiara Rasulullah SAW


Salat Malam Sepanjang Malam

“Jelaskan kepadaku sesuatu yang luar biasa mengenai salat Rasulullah,” tanya seseorang kepada Aisyah. ”Tidak ada sesuatu yang biasa mengenai beliau. Segala sesuatu yang dilakukannya luar biasa,” jawabnya.


Pada suatu malam Rasulullah SAW berbaring-baring bersama istrinya, Aisyah. Beberapa saat kemudian beliau berkata, ”Biarkanlah aku beribadah kepada Allah.” Kemudian beliau bangun, mengambil air wudu, lalu mendirikan salat. Sejak berdiri salat, beliau menangis terus hingga air matanya membasahi seluruh dadanya. Dalam rukuk, beliau pun menangis, demikian pula ketika sujud, dan setelah bangun dari sujud. Demikian seterusnya hingga Bilal mengumandangkan azan Subuh.

Aisyah kemudian memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah SWT telah menghapuskan semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian, dan menjanjikan ampunan untukmu?”

”Apakah tidak sepantasnya aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” jawab Rasulullah SAW, sembari mengutip ayat Al-Quran, “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring; dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi lalu berkata, ‘Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia, maka lindungilah kami dari siksa api neraka’.” (QS Ali Imran:190-191).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mughirah Ibnu Syu’bah, diceritakan, Nabi Muhammad SAW mendirikan salat malam sepanjang malam. Demikian lama beliau berdiri dalam salat, sehingga kaki beliau bengkak.

Sebagian sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, mengapa engkau begitu bersusah payah mendirikan salat, padahal Allah SWT telah mengampunimu atas segala dosamu?”

Rasulullah menjawab, ”Tidakkah sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Abu Salamah).

Rasulullah SAW lama berdiri dalam salat, karena beliau membaca paling tidak empat surah Al-Quran. Ini diceritakan oleh Awf ibn Malik, ”Suatu hari aku berdua bersama Nabi. Setelah bersiwak dan wudu, beliau berdiri mengerjakan salat, dan aku pun salat bersama beliau. Pada rakaat pertama beliau membaca surah Al-Baqarah. Apabila membaca ayat-ayat mengenai nikmat dan karunia Allah, beliau memohon rahmat kepada Allah SWT. Dan bila membaca ayat tentang azab Allah, beliau memohon ampunan serta perlindungan. Rukuk dan sujud beliau sama lamanya dengan berdirinya. Dalam rukuk, beliau membaca Subhaana dzil jabaruuti wal malakuuti wal ’azhamah (Mahasuci Allah, yang memiliki keperkasaan, kebesaran, dan kemuliaan). Setelah itu, beliau berdiri untuk rakaat kedua, lalu membaca surah Ali Imran.

Demikian seterusnya, beliau membaca satu surah pada setiap rakaat. Jadi, dalam empat rakaat, beliau membaca empat surah yang berarti sama dengan seperlima Al-Quran.”

Bisa dibayangkan, betapa lamanya salat Rasulullah SAW, terlebih jika ditambah dengan doa-doa yang panjang. Baik ketika membaca ayat mengenai rahmat maupun azab, ditambah lagi dengan rukuk dan sujud yang panjang pula.

Rasa takut dan patuh kepada Allah SWT memang memenuhi sanubarinya, sehingga membuat Rasulullah SAW tekun beribadah kepada-Nya. Itu merupakan dasar makrifat ketuhanan beliau. ”Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kalian jarang tertawa dan akan banyak menangis,” sabda Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah.

Dalam hadis lain Abu Darr menambahkan, Rasulullah SAW bersabda, ”Aku melihat apa yang tidak kalian lihat, dan aku mendengar apa yang kalian tidak dengar. Langit menangis keras, dan sudah sepantasnya ia menangis. Tidak ada tempat di langit selebar empat jari kecuali ada malaikat yang menghuninya, yang dahinya senantiasa bersujud kepada Allah. Demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis, kalian tidak berselera terhadap wanita, tapi akan menuju puncak gunung untuk mendekatkan diri kepada Allah.” AST

AK17.Mutiara Rasul.AST

Keutamaan Salat

Selain sebagai penghapus dosa, salat juga mengandung rahmat, kelembutan, dan kemurahan Allah SWT.

Suatu hari, di musim dingin, Rasulullah SAW keluar dari rumah dan mengambil ranting sebatang pohon sehingga daun-daunnya berguguran. Rasul memanggil Abu Dzar, sahabat, yang menyertai beliau.

Labbaik, ya Rasulullah,” jawab Abu Dzar.

“Sesungguhnya seorang muslim, jika menunaikan salat dengan ikhlas karena Allah, dosa-dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun ini dari pohonnya,” sabda Rasulullah SAW.

Dalam hadis yang lain, Abu Hurairah berkata, ”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian jika di depan rumah kalian ada sebuah sungai yang mengalir dan kalian mandi di dalamnya lima kali sehari? Apakah akan tersisa kotoran di tubuh kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak akan tersisa kotoran di tubuh kami sedikit pun.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Begitulah perumpamaan salat lima waktu. Allah akan menghapuskan dosa-dosa kita’.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Selain sebagai jalan penghapusan dosa, salat juga mengandung rahmat, kemurahan, dan kelembutan Allah SWT yang berlimpah. Hanya karena kebodohan kita sendirilah kita tidak memanfaatkan salah satu dari kemurahan Allah itu. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Seseorang yang ketika hendak tidur berniat melaksanakan salat Tahajud tapi kemudian tertidur, dia mendapatkan pahala salat Tahajud.”

Karena kandungan rahmat Allah SWT yang begitu besar, jika mengalami kesulitan Rasulullah SAW segera melaksanakan salat (HR Ahmad dan Abu Dawud). Maka, jika seseorang bersegera mengerjakan salat ketika mengalami kesusahan, sesungguhnya dia sedang menuju rahmat Allah SWT. Jika rahmat Allah datang dan membantu, kesusahan apa lagi yang tersisa?

Kisah keutamaan salat juga terungkap dalam cerita Ummu Kultsum. Suatu hari Abdurahman, anaknya, menderita sakit parah, sehingga semua orang khawatir ia akan segera meninggal. Maka Ummu Kultsum pun melaksanakan salat. Segera setelah itu Abdurrahman sadar kembali, lalu bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya.

“Apakah keadaan saya menunjukkan seolah-olah telah meninggal?”

“Ya!” jawab mereka.

Dalam hadis lain, Abdullah bin Salam berkata, apabila keluarga Rasulullah SAW sedang tertimpa kesusahan, beliau memerintahkan melaksanakan salat sambil membaca ayat 132 surah Thaha: Wamru ahlaka bishshalati wash thabir ‘alaiha, la nasaluka rizqan, nahnu narzuquka. Wal ‘aqibatu littaqwa (Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah. Kami tidak minta rezeki kepadamu, bahkan Kami-lah yang memberi rezeki. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa).

Sementara, menurut Asma binti Abubakar, kakak Aisyah, istri Rasul, Rasulullah SAW bersabda, ”Pada hari kiamat seluruh manusia akan dikumpulkan di satu tempat, dan suara yang diumumkan oleh malaikat didengar oleh seluruh manusia. Ketika itu diumumkan, di manakah orang-orang yang selalu memuji Allah dalam setiap keadaan, baik ketika senang maupun susah?”

Mendengar seruan itu, sebuah rombongan manusia berdiri lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Kemudian diumumkan lagi, “Di manakah orang-orang yang menghabiskan waktu malamnya dengan beribadah dan lambung mereka jauh dari tempat tidur?” Maka sebuah rombongan berdiri lalu masuk surga tanpa hisab. Lalu terdengar seruan berikutnya, ”Di manakah orang-orang yang dalam perniagaannya tidak melalaikan mengingat Allah?” Maka sebuah rombongan berdiri dan masuk surga tanpa hisab.

Tidakkah kita ingin menjadi anggota rombongan yang masuk surga tanpa hisab? Untuk bisa menjadi anggota rombongan yang bisa langsung masuk ke surga tanpa hisab, kita harus menyempurnakan salat. Bukan sekadar menunaikan salat sebagai kewajiban, tapi berusaha meraih puncak-puncak kenikmatan cinta dan rahmat Allah SWT, sehingga mendapat limpahan taufik dan karunia-Nya. AST

AK19.Mutiara Rasul.AST

Ancaman Melalaikan Salat

Barang siapa melalaikan salat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SWT.

Ketika Malaikat Jibril turun dan berjumpa dengan Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, Allah tidak akan menerima puasa, zakat, haji, sedekah, dan amal saleh seseorang yang meninggalkan salat. Ia dilaknat di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Quran. Demi Allah, yang telah mengutusmu sebagai nabi pembawa kebenaran, sesungguhnya orang yang meninggalkan salat, setiap hari mendapat 1.000 laknat dan murka. Para malaikat melaknatnya dari langit pertama hingga ketujuh.

Orang yang meninggalkan salat tidak memperoleh minuman dari telaga surga, tidak mendapat syafaatmu, dan tidak termasuk dalam umatmu. Ia tidak berhak dijenguk ketika sakit, diantarkan jenazahnya, diberi salam, diajak makan dan minum. Ia juga tidak berhak memperoleh rahmat Allah. Tempatnya kelak di dasar neraka bersama orang-orang munafik, siksanya akan dilipatgandakan, dan di hari kiamat ketika dipanggil untuk diadili akan datang dengan tangan terikat di lehernya. Para malaikat memukulinya, pintu neraka jahanam akan dibukakan baginya, dan ia melesat bagai anak panah ke dalamnya, terjun dengan kepala terlebih dulu, menukik ke tempat Qorun dan Haman di dasar neraka.

Ketika ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, makanan itu berkata, ‘Wahai musuh Allah, semoga Allah melaknatmu, kamu memakan rezeki Allah namun tidak menunaikan kewajiban-kewajiban dari-Nya.’ Ketahuilah, sesungguhnya bencana yang paling dahsyat, perbuatan yang paling buruk, dan aib yang paling nista adalah kurangnya perhatian terhadap salat lima waktu, salat Jumat, dan salat berjemaah. Padahal, semua itu ibadah-ibadah yang oleh Allah SWT ditinggikan derajatnya, dan dihapuskan dosa-dosa maksiat bagi siapa saja yang menjalankannya.

Orang yang meninggalkan salat karena urusan dunia akan celaka nasibnya, berat siksanya, merugi perdagangannya, besar musibahnya, dan panjang penyesalannya. Ia dibenci Allah, dan akan mati dalam keadaan tidak Islam, tinggal di neraka Jahim atau kembali ke neraka Hawiyah.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meninggalkan salat hingga terlewat waktunya, lalu mengadanya, ia akan disiksa di neraka selama satu huqub (80 tahun).... Sedangkan ukuran satu hari di akhirat adalah 1.000 tahun di dunia.” Demikian tertulis dalam kitab Majalisul Akbar.

Sementara dalam kitab Qurratul Uyun, Abu Laits Samarqandi menulis sebuah hadis, “Barang siapa meninggalkan salat fardu dengan sengaja walaupun satu salat, namanya akan tertulis di pintu neraka yang ia masuki.” Ibnu Abbas berkata, ”Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, ‘Katakanlah, ya Allah, janganlah salah seorang dari kami menjadi orang-orang yang sengsara.’ Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ‘Tahukah kamu siapakah mereka itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Mereka adalah orang yang meninggalkan salat. Dalam Islam mereka tidak akan mendapat bagian apa pun’.”

Shirathal Mustaqim

Disebutkan dalam hadis lain, barang siapa meninggalkan salat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, pada hari kiamat Allah SWT tidak akan memedulikannya, bahkan Allah SWT akan menyiksanya dengan azab yang pedih. Diriwayatkan, pada suatu hari Rasulullah SAW berkata, ”Katakanlah, ya Allah, janganlah Engkau jadikan seorang pun di antara kami celaka dan diharamkan dari kebaikan.”

“Tahukah kalian siapakah orang yang celaka, dan diharamkan dari kebaikan?”

“Siapa, ya, Rasulullah?”

“Orang yang meninggalkan salat,” jawab Rasulullah.

Dalam hadis yang berhubungan dengan peristiwa Isra Mikraj, Rasulullah SAW mendapati suatu kaum yang membenturkan batu ke kepala mereka. Setiap kali kepala mereka pecah, Allah memulihkannya seperti sedia kala. Demikianlah mereka melakukannya berulang kali. Lalu, beliau bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah orang-orang yang kepalanya merasa berat untuk mengerjakan salat,” jawab Jibril.

Diriwayatkan pula, di neraka Jahanam ada suatu lembah bernama Wail. Andaikan semua gunung di dunia dijatuhkan ke dalamnya akan meleleh karena panasnya yang dahsyat. Wail adalah tempat orang-orang yang meremehkan dan melalaikan salat, kecuali jika mereka bertobat.

Bagi mereka yang memelihara salat secara baik dan benar, Allah SWT akan memuliakannya dengan lima hal, dihindarkan dari kesempitan hidup, diselamatkan dari siksa kubur, dikaruniai kemampuan untuk menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan, dapat melewati jembatan shirathal mustaqim secepat kilat, dan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.

Dan barang siapa meremehkan atau melalaikan salat, Allah SWT akan menyiksanya dengan 15 siksaan. Enam siksaan di dunia, tiga siksaan ketika meninggal, tiga siksaan di alam kubur, dan tiga siksaan saat bertemu dengan Allah SAW.

Adapun enam siksaan yang ditimpakan di dunia adalah dicabut keberkahan umurnya, dihapus tanda kesalehan dari wajahnya (pancaran kasih sayang terhadap sesama), tidak diberi pahala oleh Allah semua amal yang dilakukannya, doanya tidak diangkat ke langit, tidak memperoleh bagian doa kaum salihin, dan tidak beriman ketika roh dicabut dari tubuhnya.

Adapun tiga siksaan yang ditimpakan saat meninggal dunia ialah mati secara hina, mati dalam keadaan lapar, dan mati dalam keadaan haus. Andai kata diberi minum sebanyak lautan, ia tidak akan merasa puas.

Sedangkan tiga siksaan yang didapat dalam kubur ialah, kubur mengimpitnya hingga tulang-belulangnya berantakan, kuburnya dibakar hingga sepanjang siang dan malam tubuhnya berkelojotan menahan panas, tubuhnya diserahkan kepada seekor ular bernama Asy-Syujaul Aqra. Kedua mata ular itu berupa api dan kukunya berupa besi, kukunya sepanjang satu hari perjalanan. ”Aku diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyiksamu, karena engkau mengundurkan salat Subuh hingga terbit matahari, mengundurkan salat Zuhur hingga Asar, mengundurkan salat Asar hingga Magrib, mengundurkan salat Magrib hingga Isya, dan mengundurkan salat Isya hingga Subuh,” kata ular itu.

Setiap kali ular itu memukul, tubuh mayat tersebut melesak 70 hasta, sekitar 3.000 meter, ke dalam bumi. Ia disiksa dalam kubur hingga hari kiamat. Di hari kiamat, di wajahnya akan tertulis kalimat berikut: Wahai orang yang mengabaikan hak-hak Allah, wahai orang yang dikhususkan untuk menerima siksa Allah, di dunia kau telah mengabaikan hak-hak Allah, maka hari ini berputus asalah kamu dari rahmat-Nya.

Adapun tiga siksaan yang dilakukan ketika bertemu dengan Allah SWT adalah, pertama, ketika langit terbelah, malaikat menemuinya, membawa rantai sepanjang 70 hasta untuk mengikat lehernya. Kemudian memasukkan rantai itu ke dalam mulut dan mengeluarkannya dari duburnya. Kadang kala ia mengeluarkannya dari bagian depan atau belakang tubuhnya. Malaikat itu berkata, ”Inilah balasan bagi orang yang mengabaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah.” Ibnu Abas berkata, ”Andai kata satu mata rantai itu jatuh ke dunia, niscaya cukup untuk membakarnya.”

Kedua, Allah tidak memandangnya. Ketiga, Allah tidak menyucikannya, dan ia memperoleh siksa yang amat pedih.

Demikianlah ancaman bagi orang-orang yang sengaja melalaikan salat. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang bersegera menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Amin.

AST

Rasulullah SAW bersabda, “Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ak20.Mutiara Rasul.AST

Keutamaan Bulan Ramadan

Bagi mereka yang berpuasa di bulan Ramadan, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup.

Suatu hari Rasulullah SAW ditanya tentang keutamaan bulan Ramadan. Dengan senang hati beliau menerangkan kepada para sahabat yang berkumpul di rumahnya. Inilah cerita Rasulullah SAW, “Sesungguhnya surga itu wangi, dan selalu dihiasi dari tahun ke tahun. Bila malam pertama bulan Ramadan datang, bertiuplah angin Al-Muthsirah dari surga Arsy. Embusan angin itu membuat daun-daun di pepohonan surga saling bergesekan dan menimbulkan dengungan sangat indah yang belum pernah didengar manusia. Kemudian muncul para bidadari di halaman surga dan memanggil-manggil: Adakah orang yang memohon kepada Allah, agar dia menikahkan daku dengannya?”

Lalu para bidadari itu bertanya kepada Malaikat Ridwan penjaga surga, “Malam apakah ini?” Jawab Malaikat Ridwan, “Ini adalah malam pertama bulan Ramadan.”

Setelah itu pintu-pintu surga dibuka untuk umat Muhammad yang berpuasa. Allah SWT lalu memerintahkan Malaikat Ridwan membuka pintu surga dan Malaikat Malik menutup pintu neraka. Sedang Malaikat Jibril diperintahkan turun ke bumi, “Rantailah setan-setan, belenggulah mereka. Lemparkan mereka ke lautan agar tidak mengganggu puasa umat Muhammad, kekasihku.”

Rasulullah SAW lalu mengingatkan kepada para sahabat bahwa, pada setiap malam Ramadan, Allah SWT selalu mengerahkan malaikat untuk mencatat amalan manusia yang berpuasa, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadis qudsi, “Aku akan penuhi permohonan mereka yang memohon; Aku akan terima tobat mereka yang bertobat; Aku akan mengampuni mereka yang mohon ampun. Dan siapa yang memberi pinjaman kepada Zat Yang Mahakaya, ia tidak akan kekurangan, karena Zat yang memenuhi janji tanpa menganiaya.”

Para sahabat tertegun mendengar pernyataan Rasulullah SAW itu. Lalu beliau melanjutkan, ”Ketika berbuka puasa, Allah SWT membebaskan sejuta roh, dan hal itu berlangsung hingga akhir Ramadan.” Dan bila tiba malam Lailatulkadar, Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi bersama serombongan malaikat. Mereka membawa bendera hijau dan menancapkannya di puncak Ka’bah.

Malaikat Jibril memiliki 100 sayap, dua sayap di antaranya tak pernah dibentangkan kecuali hanya pada malam Lailatulkadar. Jika kedua sayapnya dibentangkan, luasnya meliputi Timur dan Barat. Kemudian ia menyerukan kepada para malaikat agar memberi salam kepada orang-orang yang beribadah dan berzikir. Para melaikat menjabat tangan dan mengamini doa mereka sampai terbit fajar. Ketika fajar terbit, Jibril menyeru para malaikat, “Wahai para malaikat, berpencarlah!”

Para malaikat bertanya,”Wahai Jibril, apa yang yang akan Allah perbuat? Apakah sehubungan dengan hajat orang-orang mukmin dari umat Muhammad SAW?”

Jibril menjawab, ”Allah memandang mereka pada malam itu, dan memaafkan mereka, kecuali empat golongan.”

Penerimaan Hadiah

“Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, ”Mereka adalah orang yang meminum arak, yang durhaka kepada orangtua, yang memutus tali silaturahmi, dan yang memusuhi sesama manusia.”

Tapi para sahabat belum puas, kemudian kembali bertanya, ”Ya Rasulullah, siapakah yang memusuhi sesama manusia?” Jawab Rasul, “Mereka adalah orang yang membenci dan memutuskan silaturahmi.”

Setelah itu beliau menggambarkan kondisi malam Hari Raya Idulfitri. “Malam itu disebut malam Jai’zah (malam penerimaan hadiah). Ketika tiba hari raya esok harinya, Allah mengutus para malaikat ke setiap negeri di bumi. Mereka memenuhi jalan-jalan dan menyeru dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, kecuali jin dan manusia.”

Para malaikat berseru, ”Wahai umat Muhammad! Keluarlah menuju Allah, Yang Mahamulia, yang akan mengaruniakan hadiah dan menghapuskan dosa-dosa besar.” Dan apabila mereka datang ke musala, Allah SWT berfirman kepada para malaikat, ”Apakah balasan bagi seorang pekerja apabila ia telah menyelesaikan pekerjaannya?” Jawab para malaikat, ”Wahai Rabb kami, balasan mereka adalah upah mereka sepenuhnya.”

Menurut Rasulullah SAW, gambaran tentang semua itu sesuai dengan firman Allah (dalam hadis qudsi), ”Sesunguhnya Aku menjadikan kalian saksi, wahai para malaikat-Ku, bahwa sesungguhnya Aku telah memberikan rida dan ampunan-Ku sebagai balasan karena puasa dan Tarawih mereka di bulan Ramadan.”

Allah SWT berseru, ”Wahai hamba-hamba-Ku, mohonlah kepada-Ku. Maka demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, tidaklah kamu meminta sesuatu kepada-Ku di pertemuan ini untuk akhiratmu kecuali Aku akan memberimu. Tidak juga untuk keperluan duniamu, kecuali Aku akan memandang kemaslahatanmu. Maka demi kemuliaan-Ku, sungguh Aku akan tutupi kesalahan-kesalahanmu selama kalian takut kepada-Ku. Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghinakan kalian dan tidak akan Aku perlihatkan aib-aibmu di depan orang-orang yang melanggar batas. Bertebaranlah kalian dengan membawa ampunan. Sungguh, kalian telah rida kepada-Ku dan Aku pun telah rida kepada kalian.”

Mendengar jawaban Allah SWT (dalam hadis qudsi tersebut), para malaikat pun bersuka cita. Lalu Rasulullah SAW melanjutkan, ”Ini menandakan bahwa Allah SWT telah memberi karunia kepada umat Muhammad SAW saat mereka sedang merayakan Idulfitri. Itu sebabnya, para malaikat bersuka cita karena ingin seperti mereka. Wajarlah para malaikat senantiasa bermohon kepada Allah SWT agar bisa dijadikan seperti umat Muhammad SAW. Ini tercermin dalam munajat para malaikat, ”Ya Allah, jadikanlah kami seperti umat Muhammad SAW.” (HR Ibnu Hibban).

Luar biasa! Para malaikat ingin seperti manusia yang mendapat prioritas utama untuk bisa meraih keutamaan bulan Ramadan. Maka selayaknyalah jika kita, manusia, bersungguh-sunguh beribadah di bulan Ramadan. Mari kita sambut bulan Ramadan dengan memperbanyak ibadah dan meraih keutamaan-keutamaannya.

AST

Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan rida Allah SWT, diampunilah dia atas dosanya yang lalu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ajaran Rasul tentang Zakat

Rasulullah SAW dengan sabar mengajar para sahabat. Antara lain tentang kewajiban berzakat bagi pemilik hewan ternak.

Suatu hari Rasulullah SAW mengajarkan kewajiban berzakat kepada para sahabat. ”Seseorang yang mempunyai emas dan perak, namun tidak mengeluarkan zakat, di hari kiamat emas dan perak itu akan dibentuk menjadi lempengan-lempengan dan dibakar di neraka jahanam lantas disetrikakan pada pinggang, dahi, dan punggung pemiliknya.”

Rasulullah SAW melanjutkan, ”Siksaan itu diulang kembali dalam sehari semalam, yang setara dengan 50.000 tahun, sehingga putusan semua orang selesai. Setelah itu ia baru tahu ke mana ia akan dimasukkan, ke surga atau ke neraka.”

”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki unta?” tanya seorang sahabat.

“Begitu juga orang yang mempunyai unta tetapi tidak mengeluarkan zakat. Di antara zakat unta ialah memerah susunya untuk diberikan kepada orang-orang yang lewat. Pada hari kiamat nanti, ia akan diinjak-injak dan digigit secara bergantian oleh sekelompok besar unta di sebidang lapangan selama satu hari yang lamanya 50.000, hingga selesai putusan semua orang. Kemudian ia baru tahu ke mana akan dimasukkan, ke surga atau neraka,” jawab Rasulullah SAW.

”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki lembu dan kambing?” tanya sahabat yang lain.

”Begitu juga orang yang memiliki lembu dan kambing yang tidak membayar zakat. Pada hari kiamat nanti ia akan diinjak-injak dan diseruduk secara bergantian oleh segerombolan besar kambing dan lembu di sebidang tanah lapang dalam masa satu hari yang lamanya 50.000 tahun hingga selesai putusan semua orang. Kemudian ia baru tahu ke mana akan dimasukkan, ke surga atau neraka.”

”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki kuda?”

Dengan sabar Rasulullah SAW melayani pertanyaan para sahabatnya, ”Kuda punya tiga fungsi: yang dapat mendatangkan dosa, dapat menutupi hajat, dan dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Kuda yang mendatangkan dosa ialah yang dipelihara sebagai sarana bersombong, bangga, dan memusuhi Islam. Kuda yang dapat menutupi hajat ialah yang digunakan untuk kepentingan yang diridai Allah, dan tidak melupakan hak dan kewajiban pemeliharaannya.”

Rasulullah SAW melanjutkan, “Adapun kuda yang mendatangkan pahala ialah yang digunakan untuk berjuang di jalan Allah dan untuk kepentingan Islam. Kuda seperti itu, jika dilepas di tanah lapang atau kebun kemudian makan sesuatu, dicatat sebagai kebaikan bagi pemiliknya. Bahkan kotoran dan air kencingnya dicatat sebagai kebaikan.”

Rasulullah SAW melanjutkan lagi, “Jika kuda itu terlepas dari tali kekangnya, kemudian lari atau meloncat-loncat, bilangan langkahnya dicatat Allah SWT sebagai kebaikan bagi pemiliknya. Jika dibawa oleh pemiliknya melewati sungai lantas minum air sungai itu, padahal pemiliknya tidak bermaksud memberinya minum, Allah SWT mencatat air yang diminum sebagai kebaikan bagi pemiliknya.”

”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki keledai?” tanya sahabat yang lain.

Dengan sangat sabar Rasulullah SAW menjawab, ”Tentang keledai, tidak diturunkan kepadaku ayat yang menjelaskannya, kecuali yang bersifat umum, yaitu: Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah, waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah. Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat atom, ia akan melihat balasannya; dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat atom, ia akan melihat balasannya pula.” (Riwayat Bukhari).

Beberapa waktu kemudian, seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku amal perbuatan yang bila saya kerjakan masuk surga.”

Dengan sabar pula beliau menjawab, ”Hendaklah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadan.” Orang Badui itu lalu berkata, ”Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh aku tidak akan menambah-nambahi ketentuan ini.”

Ketika orang Badui itu pergi, Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa ingin melihat ahli surga, lihatlah orang Badui itu!”

AST

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR Muslim)

Mutiara Rasul

Menjaga Lisan

Manusia tidak dilemparkan ke neraka karena lehernya, tapi karena lisannya (Al-Hadis).

Ketika Mu’adz bin Jabal diangkat sebagai gubernur Yaman, sebelum berangkat ia menghadap Rasulullah SAW. Maka Rasulullah pun menyampaikan pesan kepadanya. ”Wahai Mua’adz, bertakwalah di mana saja kamu berada, dan hapuslah perbuatan jelek dengan kebaikan. Bergaullah dengan sebaik-baiknya pergaulan. Sungguh, aku sangat menyayangi kamu, maka jangan lupa kamu membaca doa berikut ini usai salat: Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat dan bersyukur kepada-Mu, serta bisa memperbaiki ibadah kepada-Mu.” Rasulullah menambahkan, ”Wahai Mu’adz, tahukah kamu, apa hak Allah terhadap hamba-Nya?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz.

“Hak Allah atas mereka ialah hendaknya mereka menyembah-Nya, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tahukah kamu, apa hak hamba kepada Allah?” tanya Rasulullah SAW lagi.

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz lagi.

“Hak mereka terhadap Allah ialah Allah tidak akan menyiksa mereka. Sebab, pangkal dari semua perkara ialah Islam. Tiangnya adalah salat, dan rangkaiannya adalah jihad di jalan Allah.”

“Wahai Mu’adz, maukah kamu aku beri tahu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah benteng, sedekah dapat menghilangkan kesalahan seperti air memadamkan api. Demikian pula bangunnya seseorang di waktu tengah malam (untuk beribadah),” sabda Rasulullah lagi.

Kemudian Rasulullah SAW membacakan Al-Quran surah As-Sajdah ayat 16-17, ”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Tak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda lagi, ”Wahai Mu’adz, maukah kamu aku beri tahu sesuatu yang harus kamu miliki lebih dari semua itu?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Mu’adz.

“Jagalah lisanmu,” jawab Rasulullah.

Sambil memegang lisannya, Mu’adz berkata, ”Wahai Rasulullah, aku sudah berhati-hati dalam bercakap dengan lisan.”

“Wahai Mu’adz, ibumu telah melatih dan mendidikmu. Manusia tidak dilemparkan ke neraka karena lehernya, tapi karena lisannya,” sabda Rasulullah SAW mengakhiri pesannya kepada Mu’adz.

Betapa pentingnya kita menjaga lisan (dari ucapan yang sia-sia atau omongan buruk). Perhatikanlah hadis riwayat Bukhari dan Muslim ini, “Orang yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah berkata baik, atau diam.”

AST

“Orang-orang yang suka melaknat tidak akan pernah menjadi syuhada, dan tidak dapat memberi syafaat kepada siapa pun pada hari kiamat kelak.” (Muhammad SAW)

Mutiara Rasul

Tanda-tanda Kiamat Kecil

Apakah tanda-tanda kiamat kecil? Tanda-tanda itu pernah diungkapkan Rasulullah SAW dalam sebuah dialog yang menarik dengan Salman Al-Faisy.

Suatu saat, ketika menunaikan haji wada’, sambil memegangi kiswah Ka’bah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat ialah tidak dilaksanakannya salat, diikutinya syahwat, berkhianatnya para pemimpin, dan fasiknya para menteri.” Sahabat Salman Al-Farisy langsung menyeruak ke arah beliau. ”Demi ayah dan ibuku sebagai tebusan, wahai Rasulullah, apakah hal itu benar-benar akan terjadi?” tanyanya.

”Benar, Salman. Saat itu kemungkaran menjadi kemakrufan dan kemakrufan menjadi kemungkaran,” jawab Rasul.

“Apakah hal itu akan benar-benar terjadi?” tanya Salman lagi. “Benar. Saat itu hati orang mukmin larut dalam badannya, seperti garam larut dalam air, karena apa yang dilihatnya ia tidak mampu mengubahnya,” jawab Rasul.

Salman bertanya lagi, “Apakah hal itu akan benar-benar terjadi?” Rasul menjawab lagi, ”Benar. Saat itu pengkhianat dipercaya, orang yang dapat dipercaya dianggap berkhianat; para pendusta dianggap jujur, dan orang jujur dianggap dusta.”

Salman bertanya lagi, “Apakah hal itu itu akan terjadi?”

Tanpa jemu, Rasul menjawab, “Benar. Sesungguhnya orang yang paling utama ialah orang mukmin yang berjalan di tengah segolongan orang yang dalam ketakutan. Jika dia berbicara, mereka akan memakannya, dan mati karena kemarahan dalam dirinya. Wahai Salman, suatu kaum tidak akan disucikan jika yang kuat memakan yang lemah.”

Salman masih bertanya lagi, “Apakah yang demikian itu akan terjadi?”

“Benar. Saat itu orang kaya disanjung-sanjung, agama dijual dengan dunia, dunia dicari dengan amal akhirat. Laki-laki berhubungan dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Mereka adalah bagian dari umatku yang dilaknat Allah SWT. Saat itu, umatku disusul dengan umat yang lain, badan mereka badan manusia namun hatinya hati setan. Jika umatku bicara, mereka dibunuh. Jika diam, darah mereka dihalalkan. Mereka tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang dewasa. Alangkah buruknya perilaku mereka. Para muhrim digagahi, hukum dapat dibicarakan, wanita dijadikan pemimpin, para budak dimintai pendapat, anak kecil dipuja, tentara di mana-mana, orang laki-laki mengenakan perhiasan emas dan berzina, para penyanyi wanita bermunculan, Al-Quran dilagukan, orang hina lebih banyak angkat bicara.”

Salman bertanya, ”Apa makna orang hina lebih banyak angkat bicara?” Rasul menjawab, ”Dia membicarakan masalah secara umum, padahal sebelumnya tidak pernah bicara.”

Tanya Salman lagi, “Apakah hal itu akan terjadi?” Jawab Rasul, ”Benar. Saat itu masjid-masjid dihiasi aneka perhiasan seperti gereja dan biara. Mushaf Al-Quran dihiasi emas, mimbar dibuat lebar, banyak saf tapi hati manusia saling berjauhan, dan perkataan mereka beraneka macam. Siapa yang diberi, bersyukur; siapa yang tidak diberi, kufur.”

“Apakah yang demikian itu akan terjadi?” lagi-lagi Salman bertanya. Rasul menjawab, “Benar. Saat itu datang para tawanan dari timur dan barat dari umatku. Kecelakaan bagi orang-orang lemah di antara mereka, dan kecelakaan dari Allah. Jika bicara, mereka dibunuh; jika diam, juga dibunuh. Mati dalam taat kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kedurhakaan.”

“Apakah yang demikian itu akan terjadi?” tanya Salman. ”Benar. Saat itu istri bersekutu dengan suami dalam urusan suami, seseorang durhaka kepada bapaknya, dan justru berbuat baik kepada temannya. Mereka mengenakan kulit domba di atas hati serigala, ulama mereka lebih buruk daripada bangkai.”

“Apakah yang demikian itu akan terjadi?” tanya Salman lagi, tak sabar. “Benar. Saat itu ibadah mereka hanya membaca lafaz ibadah tanpa kandungannya, mereka disebut orang-orang najis dan kotor di kerajaan langit dan bumi.”

Salman masih bertanya lagi, “Apakah yang demikian itu akan terjadi?” “Benar. Saat itu kitab suci dijadikan nyanyian, dilemparkan ke belakang punggung. Mereka tidak menegakkan hukum yang sudah ditetapkan Allah, mereka mematikan sunahku. Mereka menghidupkan bidah, tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Saat itu anak kecil dicemburui sebagaimana budak, anak kecil melamar sebagaimana melamar, wanita dan pasar-pasar saling berdekatan.”

Salman masih penasaran, lalu katanya, ”Demi ayah dan ibuku sebagai tebusan, wahai Rasulullah, apa makna pasar saling berdekatan?”

Rasul menjawab, ”Jika setiap orang berkata, ’Aku tidak menjual dan aku tidak membeli’ – padahal tidak ada yang memberi rezeki selain Allah – saat itu yang berkuasa adalah orang-orang jahat yang tidak memberikan hak kepada manusia dan mengisi hati mereka dengan ketakutan. Engkau tidak melihat kecuali orang yang ketakutan. Saat itu haji dielu-elukan, orang-orang terkenal menunaikan haji demi hawa nafsu, kelas menengah berhaji untuk berniaga, dan orang miskin berhaji untuk ria dan mencari nama.”

“Apakah yang demikian itu akan terjadi?” tanya Salman. “Benar, wahai Salman,” jawab Rasulullah SAW dengan mantap.

Disarikan oleh AST dan Ainul Yaqin dari kitab Muhadharat al-Abrar karya Muhyidin Al-Araby yang dinukil oleh Ibnu Marduwaih, halaman 298

“Hai anak Adam, ingat dan waspadalah bila Tuhan terus-menerus melimpahkan nikmat, sementara engkau terus-menerus mengerjakan maksiat terhadap-Nya.” (Ali bin Abi Thalib)

Mutiara Rasul

Terjebak ke Lubang Jebakan Sendiri

Berkali-kali Abu Jahal gagal membunuh Rasulullah SAW. Ia lalu merencanakan membunuh beliau dengan menjebaknya ke dalam sebuah lubang yang dalam, tapi ia sendiri terperosok ke dalamnya.

Semalaman Abu Jahal menggali lubang di depan pintu masuk rumahnya. Begitu selesai, ia menutupinya dengan ranting-ranting pohon kurma, dan menaburinya dengan rumput. Lalu, di atasnya lagi ia taburkan tanah tipis, sehingga tak seorang pun menyangka lubang itu merupakan jebakan. Jika ada orang menginjaknya, biarpun seorang anak kecil, pasti ia terjerembab ke dalamnya.

Setelah semua persiapan selesai, Abu Jahal menyuruh salah seorang pembantunya menemui Rasulullah SAW, mengabarkan bahwa ia sedang sakit. Ia lalu berbaring di tempat tidur, pura-pura sakit keras. Rasulullah SAW, yang mendengar Abu Jahal sakit keras, segera menjenguknya. Walaupun Abu Jahal selalu mengejek, mencaci maki, dan pernah berusaha membunuhnya, beliau tetap bersikap baik.

Dengan tenang dan berwibawa, Rasulullah SAW tanpa curiga sedikit pun melangkah. Ketika langkah beliau kira-kira tinggal sejengkal lagi dari jebakan itu, Rasulullah SAW dibisiki oleh Malaikat Jibril bahwa Abu Jahal telah mempersiapkan lubang jebakan yang hampir saja diinjaknya. Jibril juga menyarankan agar beliau pulang saja, mengurungkan niatnya menjenguk Abu Jahal, karena ia sebenarnya tidak sakit.

Mendengar saran Jibril itu, beliau pulang. Mengetahui Rasulullah SAW tidak jadi masuk ke rumahnya, tanpa pikir panjang ia segera melompat dari tempat tidur, bergegas mengejar Rasulullah SAW. “Hai, Muhammad! Kemarilah, kemari!” teriaknya berkali-kali. Dengan tergopoh-gopoh ia membuka pintu. Ia sama sekali lupa bahwa ia telah membuat jebatan di depan pintu rumahnya.

Ketika kakinya menginjak jebakan yang dibuatnya sendiri itu, terdengarlah bunyi ranting-ranting kering yang terinjak, ”Kraaak...! Bum...!” Abu Jahal terperosok ke dalam lubang jebakan yang digalinya sendiri. Di dalamnya yang ada hanyalah suasana yang gelap dan pengap, sementara rasa sakit dan dongkol menjalar dari kakinya yang kekar ke sekujur tubuh. Tangannya mencoba menggapai bibir lubang, namun seluruh daya upayanya nihil. ”Tolong-tolong!” teriaknya berkali-kali.

Semakin Terperosok

Mendengar teriakan minta tolong itu, beberapa pembantunya berdatangan mendekat ke arah lubang di depan pintu. Mereka melihat majikannya terpuruk ke dalam lubang yang gelap dan pengap itu. Maka beramai-ramailah mereka menolongnya. Tapi, usaha mereka sia-sia. Berbagai cara mereka tempuh, dengan tangga dan tali panjang, namun tetap tak tergapai oleh tangan Abu Jahal. Ia semakin dalam terperosok ke dalam lubang.

Akhirnya Abu Jahal menyadari, keselamatan jiwanya terancam. Maka segeralah ia berteriak sekuat tenaga, “Pergilah kepada Muhammad! Mintalah ia menolongku! Sebab, tidak ada orang yang bisa menolongku kecuali dia.” Maka dengan langkah tergopoh-gopoh, salah seorang pembantunya menghadap Rasulullah SAW menyampaikan keadaan dan pesan majikannya.

Dengan bijaksana, Rasulullah SAW memaklumi apa yang sedang terjadi. Bahkan beliau pun segara memaafkan, dan bersedia menolong Abu Jahal, yang berkali-kali telah berusaha mencelakakannya. Maka beliau pun bergegas ke rumah Abu Jahal. Ketika Rasulullah SAW tiba, Abu Jahal merengek, “Wahai Muhammad, jika engkau berhasil mengeluarkan aku, aku akan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”

“Baiklah,” jawab Rasulullah SAW dengan nada suara yang halus dan berwibawa. Beliau lalu mengulurkan tangan kanannya ke dalam lubang yang sangat dalam itu. Dan Abu Jahal pun bisa keluar dari lubang jebakan yang dibuatnya sendiri, selamat tak kurang suatu apa. Berkat mukjizat dari Allah SWT, Rasulullah SAW mampu mengeluarkan Abu Jahal hanya dengan sekali angkat.

Tapi, dasar gembong kafir. Rupanya hati Abu Jahal memang sudah tertutup dari hidayah. Begitu selamat, ia malah mengejek Rasulullah SAW, “Wah, hebat benar sihirmu, ya Muhammad!” Lalu, ia berlalu dari hadapan Rasulullah SAW. Beliau tetap bersabar. Tak lama kemudian Rasulullah SAW pun pulang.

Sampai di rumah, beliau menceritakan terperosoknya Abu Jahal ke dalam lubang jebakan buatannya sendiri kepada para sahabat, yang sejak tadi sudah berkumpul hendak mendengarkan tausiah Rasulullah SAW. Maka beliau pun bersabda, ”Barang siapa menggali lubang untuk mencelakakan saudaranya yang muslim, niscaya ia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya.”

AST

Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesama muslim itu bersaudara. Barang siapa memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikan kepentingannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mutiara Rasul

Rasulullah SAW Dibantu Jin Muslim

Rasulullah SAW dituduh sebagai pembohong oleh setan yang merasuk ke dalam berhala. Gantian jin muslim merasuk ke dalam berhala, menyatakan kebenaran Rasulullah SAW.

Suatu hari, Rasulullah SAW menerima wahyu Allah SWT berupa ayat 1-10 surah Al-Mudattsir, yang memerintahkan agar berdakwah secara terang-terangan. Maka beliau pun segera mengumpulkan kaum Quraisy Makkah di Bukit Abu Qubays. ”Wahai kaum Quraisy, katakanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.”

Mendengar dakwah itu, serta merta mereka berlalu sambil bersungut-sungut, bahkan sebagian di antaranya marah. Mereka lalu berkumpul di Dar Al-Nadwah membicarakan dakwah Rasul yang menurut mereka aneh. ”Muhammad telah mencerca tuhan kita. Ia mengajak kita menyembah Tuhannya. Kita harus cari akal untuk memperdayainya,” kata salah seorang di antaranya. Di antara mereka tampak beberapa gembong kafir Quraisy seperti Al-Walid bin Harits, Shafwan bin Umayah, Kaab bin Asyraf, dan Abu Jahal.

Satu per satu mereka yang hadir ditanya, apa yang telah dikatakan oleh Muhammad. Mereka rata-rata menjawab, Muhammad adalah penyihir, gila, dan mengambil kesempatan untuk mencari kedudukan. Pada umumnya mereka sangat marah mendengar dakwah Rasulullah SAW. Mereka mencaci dan memperolok-olok beliau.

Ketika tiba giliran Al-Walid bin Harist, ia menjawab, ”Aku tidak punya pendapat apa-apa.” Tapi, jawaban itu dianggap membela Muhammad. Karena itu mereka memperolok, mengejek, dan mencaci maki Al-Walid. Maka Al-Walid pun dengan lantang berkata, ”Tangguhkanlah penghinaan kalian selama tiga hari!”

Al-Walid adalah salah seorang pedagang Makkah yang kaya raya. Seperti halnya warga kafir Makkah yang lain, ia juga punya berhala sesembahan. Ia punya dua buah berhala yang bentuknya lebih bagus ketimbang berhala yang lain, karena terbuat dari emas dan perak, bertatahkan intan permata. Kedua berhala itu ditaruh di sebuah rumah khusus.

Selama tiga hari berturut-turut, tanpa makan-minum, ia menyembah berhala emasnya dengan harapan sang berhala dapat memberi jalan keluar mengenai dakwah Muhammad. Ia berkata kepada kedua berhala itu, ”Aku telah menyembahmu selama tiga hari. Aku sangat berharap agar engkau memberitahuku perihal dakwah Muhammad!”

Kesempatan itu dipergunakan oleh setan dengan merasuk ke dalam patung dan menggerakkan mulutnya. ”Sesungguhnya Muhammad bukanlah nabi. Kamu jangan membenarkan apa yang ia katakan!” kata berhala itu. Al-Walid menyangka berhala itu benar-benar berbicara. Betapa gembiranya dia. Maka ia pun buru-buru memberi tahu kaum kafir Quraisy bahwa ia sudah menemukan kebohongan Muhammad lewat mulut berhalanya.

Betapa sedih Rasulullah SAW mendengar ejekan kaumnya. Maka turunlah Malaikat Jibril. ”Wahai Muhammad, ejekan itu berasal dari Al-Walid bin Harits,” kata Jibril. Ketika mendatangi Al-Walid dan kawan-kawannya, Rasulullah SAW ditertawakan sejadi-jadinya. ”Kami tidak akan menghiraukan kamu, pembohong!” kata mereka serempak. Bersamaan dengan itu, mereka mengumpulkan beberapa berhala dan menghiasinya, lalu menyembahnya dengan bersujud.

Rasulullah SAW, yang saat itu bersama Abdullah bin Mas’ud, duduk-duduk saja dekat orang-orang kafir yang sedang menyembah berhala tersebut. Ketika itu setan datang lagi dan mengulangi kata-kata sebagaimana pernah diucapkan lewat berhala Al-Walid. Semua yang hadir, termasuk Rasulullah SAW dan Abdullah bin Mas’ud, mendengarnya.

Abdullah yang ketakutan berkata, ”Wahai Rasulullah, apa yang baru saja dikatakan oleh berhala itu?” Dengan tenang Rasulullah SAW menjawab, “Janganlah engkau takut, karena yang berkata itu adalah setan.”

Jin Muslim

Beberapa hari kemudian, Rasulullah SAW kembali menemui orang-orang kafir itu. Di tengah jalan, beliau bertemu seseorang – mengendarai kuda serta mengenakan jubah hijau dan – yang menyalaminya. ”Wahai penunggang kuda, siapakah kamu sebenarnya? Aku heran mendengar salammu kepadaku,” kata Rasulullah SAW.

“Aku Muhair bin Habbar, keturunan jin, tinggal di Bukit Thursina, dan telah lama megembara. Aku sudah memeluk Islam (syariat dari Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad, yang pada hakikatnya sama dengan syariat yang diturunkan kepada beliau) sejak zaman Nabi Nuh. Ketika pulang, kudapati istriku menangis. Katanya, setan Musfir telah berdusta, sehingga Muhammad SAW diejek dan diperolok-olok oleh para penyembah berhala. Aku lalu mencari Musfir, dan menemukannya di antara Bukit Shafa dan Marwah. Kami berkelahi dan aku berhasil membunuh setan yang menyerupai anjing itu,” kata jin itu.

Mendengar penuturan tersebut, Rasulullah SAW mendoakannya dengan doa kebaikan. Lalu jin muslim itu menawarkan diri kepada Rasulullah SAW untuk merasuk ke dalam tubuh patung milik Al-Walid untuk mempermainkan orang kafir. “Baiklah, kalau memang itu cara terbaik untuk menyadarkan mereka,” jawab Rasulullah SAW.

Tak lama kemudian, seperti hari-hari biasanya, orang-orang kafir Makkah berkumpul dan menghiasi serta menyembah berhala-berhala mereka. Tak lupa mereka minta agar berhala-berhala itu membuktikan bahwa Muhammad adalah pembohong. Tiba-tiba patung yang paling besar dan indah berbicara, ”Wahai warga Makkah, ketahuilah, sesungguhnya Muhammad itu benar, dan mengajak kepada kebenaran, sedangkan kalian dan berhala-berhala ini semua adalah batil. Jika tidak beriman kepada Muhammad, kalian akan masuk neraka jahanam!”

Mendengar patung itu bisa bicara, terkejutlah kaum kafir Quraisy Makkah. Apalagi kata-kata yang diucapkannya tidak sebagaimana yang mereka harapkan. Tak ayal, mereka pun bimbang. Bahkan beberapa di antara mereka, diam-diam, mulai mempercayai kenabian Muhammad SAW.

Abu Jahal, tokoh kafir Qurasy, murka. Ia segera mengangkat dan membanting berhala yang bisa bicara itu hingga hancur. Kepingan-kepingan itu diinjak-injaknya, bahkan kemudian sempat ia kumpulkan sisa-sisanya untuk dibakar. Melihat kejadian itu, Rasulullah SAW pun pulang dengan perasaan lega; sementara jin muslim Muhair bin Habbar, yang diganti namanya oleh Rasulullah dengan Abdullah bin Abhar, segera berlalu.

AST

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jujur itu menimbulkan ketenangan, sedangkan dusta mengakibatkan kebimbangan.” (HR Tirmidzi)

Ak-06 MutiaraRasul.AST

Amal yang diterima Allah SWT

Setiap amal seseorang akan melewati tujuh langit sebelum diterima oleh Allah SWT.

Pada setiap langit, malaikat penjaga pintu langit akan memeriksa setiap amal hamba-Nya

Muadz bin Jabbal suatu ketika bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Muadz! Sekarang aku akan mengisahkan kepadamu, bila engkau menghafal dan menjaganya akan sangat berguna bagimu. Tapi jika engkau menganggap remeh, maka kelak di hadapan Allah SWT, engkau tidak mempunyai hujjah (alasan) apa pun juga.”

Muadz bin Jabbal mendengarkan dengan cermat setiap perkataan Nabi Muhammad SAW. Kemudian Nabi Muhammad SAW melanjutkan sabdanya, ”Wahai Muadz! Sebelum Allah SWT menciptakan langit dan bumi, Allah SWT telah menciptakan tujuh malaikat yang bertugas sebagai penjaga pintu langit. Setiap langit mempunyai seorang malaikat penjaga. Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan hamba-Nya dan kemudian sang malaikat penjaga membawa catatan amalan tersebut ke langit.”

Rasulullah menceritakan tentang sampainya amal seorang hamba ke langit pertama. Sesampainya di langit pertama, malaikat Hafazhah memuji amalan hamba. Akan tetapi malaikat penjaga pintu berkata pada malaikat Hafazhah, ‘Tamparkan amalan ini ke muka pemiliknya! Aku adalah malaikat penjaga orang-orang yang suka mengumpat atau riba. Aku diperintahkan Allah agar menolak amalan orang yang suka mengumpat atau riba untuk melewati pintu berikutnya.’

Di pintu kedua, terdapat malaikat khusus yang memeriksa, apakah amalan si hamba untuk mengharapkan dunia, dan bila amalan tersebut untuk kepentingan dunia, maka akan ditolak untuk dilaporkan ke atas.

Di pintu ketiga, malaikat memeriksa amal apa pun yang dilakukan oleh manusia. Bila orang yang beramal memiliki sifat sombong, maka malaikat penjaga akan berkata, ‘Berhenti! Dan lemparkan amalan itu ke wajah pemiliknya! Aku malaikat penjaga kibr (sombong), Allah SWT memerintahkanku agar amalan semacam ini tidak melewati pintuku dan tidak disampaikan kepada langit berikutnya. Itu karena salahnya sendiri. Ia sombong di dalam majelis.’

Di hari yang lain, malaikat Hafazhah membawa amalan seorang hamba yang sangat banyak, tapi semuanya tertolak karena amalan tersebut dibarengi sifat ujub atau kesombongan pelakunya. Di hari yang lain lagi, saat amalan seorang hamba naik ke langit. Malaikat penjaga langit kelima akan menolaknya dengan berkata, ’Aku malaikat penjaga sifat hasad (iri). Meskipun amalannya bagus, tetapi ia suka iri pada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Berarti ia membenci yang meridhainya, yaitu Allah SWT. Aku diperintahkan agar amalan semacam itu tidak melewati pintuku.’

Pada kesempatan yang lain, malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amalan hamba. Setelah lolos dari langit pertama hingga langit kelima. Tetapi sesampainya di langit keenam malaikat penjaga pintu berkata, ‘Aku malaikat penjaga Rahmat. Amalan yang kelihatan bagus itu tamparkan ke mukanya. Selama hidup ia tidak pernah mengasihani orang lain. Bahkan apabila ada orang yang terkena musibah, ia merasa senang. Aku diperintahkan Allah agar amalan ini tidak melewati pintuku untuk diteruskan ke langit berikutnya.’

Hari yang lain malaikat Hafazhah naik ke langit dengan membawa amalan seorang hamba. Akan tetapi sesampainya di langit ketujuh, malaikat penjaga pintu langit berkata, ‘Aku malaikat penjaga sum’ah (ingin dikenal). Sesungguhnya pemilik amal ini menginginkan ketenaran di dalam setiap perkumpulan. Menginginkan derajat yang tinggi di kala berkumpul dengan kawan. Ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan Allah agar amalan tersebut tidak melewati pintu ini.’

Di kemudian hari, malaikat Hafazhah naik ke langit membawa berbagai amalan hamba dari langit pertama hingga langit ketujuh. Amalan tersebut telah lolos dari para malaikat penjaga. Amalan yang terdiri dari shalat, puasa, zakat, tilawatil Quran, haji, shadaqah dll, tampak berkilau bagai cahaya yang terang. Malaikat Hafazhah selanjutnya menembus hijab hingga sampai di hadapan Allah SWT. Seluruh malaikat menyaksikan amalan itu. Amalan ibadah itu soleh dan diikhlaskan karena Allah.

Lalu Allah berfirman, ‘Wahai Hafadzah! Malaikat penjaga amal hamba-Ku! Aku lah Allah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk-Ku. Tetapi ia beramal untuk selain-Ku. Bukan diniatkan untuk-Ku.’

Dan selanjutnya, Allah SWT melanjutkan firman-Nya, ‘Mereka telah menipu orang lain dan juga kalian. Aku tidak tertipu. Aku mengetahui yang ghaib. Aku melaknatnya!’

Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat yang hadir kemudian berkata, ‘Ya Allah, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka.’

Kemudian semua yang ada di langit mengucapkan, ‘Tetaplah laknat Allah kepadanya dan laknatnya orang-orang yang melaknat!’

Mendengar semua kisah yang diceritakan oleh Rasulullah SAW itu, dengan sambil menangis Muadz bertanya, ”Ya Rasulullah! Bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan?”

Rasulullah SAW menjawab, ”Wahai Muadz! Ikutilah nabimu dalam hal keyakinan.”

Muadz bertanya lagi, ”Engkau adalah Rasulullah SAW dan aku adalah Muadz bin Jabbal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari bahaya tersebut?”

Rasulullah SAW menerangkan, ”Memang begitulah bila ada kekurangan dalam amal ibadahmu, maka jagalah lisanmu jangan sampai menjelekkan orang lain, terutama para auliya mu. Ingatlah diri sendiri tatkala hendak menjelekkan orang lain, sehingga sadar bahwa dirimu penuh dengan aib. Jangan menutupi kekurangan dan kesalahanmu dengan menjelekkan orang lain. Jangan menonjolkan diri dengan menekan dan menjatuhkan orang lain. Jangan ria dalam beramal. Jangan mementingkan dunia dengan mengabaikan akhirat. Jangan bersikap kasar di dalam majelis agar orang takut dengan keburukan akhlakmu. Jangan suka mengungkit-ungkit kebaikan dan jangan menghancurkan pribadi orang lain. Kelak engkau akan dirobek-robek dalam jahanam!”

Beliau kemudian membaca firman Allah, ”Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras. Kalian mau tahu seperti apa orang yang dicabut nyawanya, bagaikan orang yang menarik daging dari tulang.”

Mendengar semua keterangan ini, Muadz masih bertanya, ”Ya Rasulullah! Siapa yang kuat menanggung penderitaan semacam itu?”

Rasulullah menjawab, ”Muadz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri dan bencilah terhadap yang engkau benci. Dengan demikian engkau akan selamat.”

AST, dari Ihya’ Ulumuddin, Babul Amal.

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab RA, Rasulullah bersabda, “Setiap amal seseorang tergantung niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mutiara Rasul

Pelajaran Hakikat Rasulullah

Rasulullah SAW terlambat hadir di masjid untuk mengimami shalat Subuh, karena bermimpi mendapat pelajaran hakikat dari Alah SWT.

Sejak adzan Subuh berkumandang sampai menjelang fajar, Rasulullah SAW belum muncul di masjid. Para sahabat sudah gelisah. Beberapa sahabat diutus menemui Rasulullah SAW di rumahnya. Namun yang lain mencegah, sebab mereka yakin Rasulullah SAW akan hadir. Maka mereka pun menunggu Rasulullah SAW sembari membaca Al-Quran.

Tak lama kemudian, Rasulullah SAW masuk ke masjid dan memerintahkan salah seorang sahabat membaca iqamat. Kemudian beliau menjadi imam dan mempercepat shalatnya. Seusai salam, beliau membaca doa dengan suara keras. Suaranya yang jernih penuh wibawa menggetarkan para jemaah. Lalu beliau bersabda, ”Tetaplah kalian berada di shaf masing-masing.”

Rasulullah SAW lalu menghadap ke arah jamaah dengan pandangan yang sejuk. Wajahnya yang putih bersinar menandakan suasana hati yang sedang gembira. Matanya yang indah dan tajam menatap jamaah satu per satu. Para jamaah tertunduk, tak berani menatap wajah Rasulullah SAW yang agung.

Sejurus kemudian beliau bersabda, ”Aku akan memberi tahu kalian apa yang membuatku terlambat datang. Semalam aku bangun mengambil air wudhu, lalu mendirikan shalat. Dalam shalatku aku tertidur karena kantuk yang amat berat. Ternyata aku bermimpi bersama Allah SWT dalam rupa yang sangat gemilang.”

Setelah diam sejurus, beliau meneruskan sabdanya, “Dia berfirman, ‘Wahai Muhammad!’ Aku menjawab, ‘Labbaika ya Rabbi’.”

”Mengapa para malaikat berselisih?”

“Hamba tidak tahu.”

Lalu Rasululah SAW melanjutkan ceritanya, “Allah SWT bertanya sampai tiga kali. Kulihat Dia meletakkan telapak-Nya di atas bahuku, hingga dapat kurasakan dingin jari-jari-Nya di dadaku. Segala sesuatu tampak jelas di depanku, dan aku mengetahuinya. Lalu Dia berfirman lagi, ‘Wahai Muhammad...’.”

”Labbaika ya Rabbi.”

“Tentang apa para malaikat berselisih?”

”Tentang penebus-penebus dosa.”

”Apa penebus dosa-dosa itu?”

”Langkah menuju kebaikan, duduk di masjid setelah shalat, mengguyurkan air wudhu pada saat-saat tidak disukai.”

”Tentang apa mereka berselisih?”

”Tentang memberi makan, ucapan yang lemah lembut, shalat malam ketika manusia tidur nyenyak.”

”Mintalah!”

”Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu taufik untuk mengerjakan hal-hal yang baik, meninggalkan yang munkar, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku jika Engkau hendak menimpakan cobaan.”

Setelah itu Rasulullah SAW membaca sebuah doa pendek yang semalam dipanjatkan kepada Allah SWT, ”Allahuma inni as-aluka khubaka wa hubba man yukhibbuka wa kulla ‘amalin yuqarribuni illa khubbika.” (Ya Allah, aku mohon kepada-Mu kecintaan-Mu dan kecintaan orang yang mencintai-Mu, serta kecintaan kepada amal yang mendekatkan kepada kecintaan kepada-Mu).

Kemudian, dengan suara sangat pelan – sementara matanya yang mulia berkaca-kaca – Rasulullah SAW mengakhiri sabdanya, ”Ini adalah pelajaran hakikat. Maka pelajarilah!”

AST

Ketika ditanya tentang iman, Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah kesabaran dan suka memaafkan.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Hiban)

Mutiara Rasul

Syafa’at Rasul di Hari Kiamat

Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi, ”Hai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, engkau pasti Aku beri. Berikanlah syafa’at, syafa’atmu Aku terima.”

Pada suatu hari, seorang sahabat membawakan sepotong daging paha bakar kepada Rasulullah SAW. Beliau memang menyukai daging paha bakar. Sejenak beliau menggigitnya, lalu bersabda, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat. Tahukah kalian mengapa demikian?”

Para sahabat tersentak. Dan, karena mereka tertegun dan diam seribu bahasa, Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Pada hari kiamat Allah SWT mengumpulkan semua manusia, baik orang-orang terdahulu maupun yang datang kemudian, di sebuah tempat. Ketika itu malaikat menyeru dan mengawasi mereka. Matahari sangat dekat, sehingga mereka dalam keadaan payah yang tak tertanggungkan. Sebagian di antara mereka berkata kepada yang lain: Tahukah apa yang sedang kalian alami? Dan kepayahan apa yang tengah menimpa kalian? Siapakah yang dapat memintakan syafa’at kepada Tuhan?”

Beberapa orang menyahut, “Datanglah kepada Adam.” Maka mereka pun datanglah kepada Nabi Adam, lalu salah seorang berkakata, “Engkau adalah bapak manusia. Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya dan meniupkan roh-Nya ke dalam dirimu. Dia memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu. Karena itu, mintakanlah syafa’at untuk kami kepada Tuhanmu. Tidakkah engkau lihat apa yang kami alami? Tidakkah engkau lihat kepayahan kami?”

“Sungguh, pada hari ini Tuhan sedang marah dengan kemarahan yang belum pernah terjadi. Tetapi aku telah mendurhakai-Nya. Pergilah kepada orang lain! Pergilah kepada Nuh!” Maka mereka pun mendatangi Nabi Nuh, lalu kata salah seorang di antara mereka, ”Engkau adalah rasul pertama di bumi, dan Allah menyebutmu hamba yang banyak bersyukur. Maka mintakanlah kami syafa’at kepada Tuhanmu. Tidakkah engkau lihat apa yang akan kami alami? Tidakkah engkau lihat kepayahan kami?”

“Pada hari ini, Tuhanmu marah besar, kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tidak akan terjadi sesudahnya. Dulu, aku berdoa dengan doa yang mencelakakan kaumku. Maka pergilah kalian kepada Ibrahim,” ujar Nabi Nuh.

Maka mereka pun mendatangi Nabi Ibrahim, dan salah seorang di antara mereka berkata, ”Engkau adalah nabi dan kekasih Allah. Maka mintakanlah kami syafa’at kepada Tuhanmu. Tidakkah engkau lihat apa yang akan kami alami? Tidakkah engkau lihat kepayahan kami?”

“Sungguh, hari ini Tuhan marah besar, kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak akan terjadi sesudahnya,” kata Nabi Ibrahim, yang kemudian menyebutkan kebohongan-kebohongan yang telah dilakukannya dalam hidupnya. “Pergilah kalian kepada Musa!” kata Nabi Ibrahim.

Mereka pun lantas mendatangi Nabi Musa, “Engkau adalah utusan Allah. Allah telah mengutamakanmu dengan risalah-Nya dan kalam-Nya melebihi manusia lain. Maka mintakanlah kami syafa’at kepada Tuhanmu! Tidakkah engkau lihat apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau lihat apa yang kami derita?”

“Sungguh, hari ini Tuhan marah besar, kemarahan yang belum pernah terjadi dan tidak akan terjadi sesudahnya. Dulu aku membunuh orang, padahal tidak diperintahkan membunuhnya. Maka pergilah kalian kepada Isa!”

Mereka pun mendatangi Nabi Isa, “Engkau adalah utusan Allah, dan telah berbicara selagi engkau masih berada dalam buaian. Engkau adalah kalimah-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan roh dari-Nya. Maka mintakanlah kami syafa’at kepada Tuhanmu. Tidakkah engkau lihat apa yang kami derita?”

“Sungguh, hari ini Tuhan marah besar, kemarahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak akan terjadi sesudahnya,” kata Nabi Isa. Tapi, beliau tidak menyebutkan dosanya seperti halnya Ibrahim, Nuh, dan Musa. “Pergilah kalian kepada Muhammad!”

Biji Sawi

Maka berbondong-bondonglah mereka menghadap Rasulullah SAW, ”Engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah telah mengampunimu, atas dosa yang terdahulu maupun yang terkemudian. Syafa’atilah kami di hadapan Tuhanmu. Tidakkah engkau lihat apa yang kami alami dan derita?”

Lalu Rasulullah SAW melanjutkan kisahnya:

Maka aku pun berangkatlah menghadap Allah SWT. Sampai di bawah Arsy-Nya, aku pun bersujud. Kemudian Allah SWT membukakan dan memberiku ilham berupa puji-pujian dan sanjungan kepada-Nya, sesuatu yang tak pernah dibukakan kepada seorang pun sebelumku. Aku pun menjatuhkan diri bersujud kepada-Nya.

Kemudian Allah SWT berfirman, ”Hai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, engkau pasti kuberi. Berikanlah syafa’at, syafa’atmu Aku terima.”

Lalu aku berkata, ”Wahai Tuhanku, umatku, umatku!” Lalu Allah berfirman, ”Berangkatlah! Barang siapa di dalam hatinya terdapat iman, meski hanya seberat biji sawi, engkau boleh mengeluarkannya dari neraka.”

Maka aku pun berangkat melaksanakan perintah Allah SWT. Sesudah itu aku kembali kepada-Nya, memuji-Nya dengan puji-pujian yang tadi disampaikan kepadaku, lalu aku menjatuhkan diri bersujud kepada-Nya.

Aku empat kali mengambil manusia yang beriman walau imannya hanya sebesar biji sawi. Setelah itu beliau menjatuhkan diri bersujud kepada-Nya. Ketika itulah Allah SWT berfirman, ”Hai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, pasti kuberi. Berikanlah syafa’at, pasti Aku terima.”

Maka aku pun berkata, ”Ya Allah, berilah aku izin memberi syafa’at kepada orang yang hanya mengucapkan La ilaha illallah.”

Allah SWT pun berfirman, ”Itu bukan bagianmu. Tetapi, demi kemuliaan-Ku, demi kebesaran-Ku, demi keagungan-Ku, dan demi kekuasaan-Ku, Aku pasti mengeluarkan orang yang mengucapkan La ilaha illallah.”

Dalam sebuah hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, diceritakan bahwa Allah SWT kemudian menjawab puji-pujian Rasulullah SAW dengan firman-Nya:

”Hai Muhammad! Masuklah ke surga umatmu, yaitu orang-orang yang tidak harus dihisab melalui pintu kanan di antara pintu-pintu surga. Mereka juga bisa masuk bersama orang-orang yang masuk dari pintu lain. Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, sesungguhnya jarak antara dua sisi pintu surga itu sama dengan jarak antara Makkah dan Hajar, atau antara Makkah dan Bushra.” Hajar ialah sebuah kota di Bahrain, sedangkan Bashra tak jauh dari Damaskus.

AST

Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mutiara Rasul

Azab bagi Penyebar Kabar Bohong

Suatu hari Aisyah ketinggalan rombongan Rasulullah SAW. Ia lalu pulang ke Madinah diantar Shafwan ibn al-Mu’aththal. Tapi, hal itu menimbulkan fitnah.

Ketika memimpin perang, Rasulullah SAW sering membawa serta salah seorang istrinya. Beliau tidak memilih, tetapi mengundi mereka. Ketika memimpin perang melawan Bani Musthaliq, Rasulullah membawa serta istri tercintanya, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Aisyah yang cantik bertubuh kecil ramping, sehingga orang-orang yang memikul tandunya tidak merasakan perubahan beban apakah Aisyah di dalam tandu atau tidak. Ketika Nabi memerintahkan pasukan muslim bergerak menuju Madinah, mereka berjalan menuju Madinah tanpa Aisyah di dalam tandu, karena kebetulan ia turun meninggalkan tandu untuk beberapa saat.

Saat kembali ke tandu, Aisyah kehilangan kalung. Maka ia pun menyusuri kembali jalan yang sebelumnya ia lewati untuk mencari kalung itu, sehingga akhirnya menemukan perhiasan tersebut. Kemudian ia kembali ke perkemahan pasukan muslim, namun didapatinya tak seorang pun yang tertinggal.

Melihat perkemahan sudah kosong, Aisyah lalu duduk di seonggok batu di lahan bekas perkemahan. Ia menunggu, dengan harapan rombongan Rasulullah SAW menyadari bahwa dirinya ketinggalan, lalu kembali menjemputnya. Para pemanggul tandu memang tak merasakan perbedaan apakah Aisyah berada dalam tandu atau tidak – karena tubuhnya yang kecil ramping itu.

Sementara Aisyah menunggu, lewatlah Shafwan ibn Al-Mu’aththal, seorang pemuda muslim di bekas lahan perkemahan itu. Ia heran melihat istri tercinta Baginda Nabi duduk sendirian. ”Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada Allah-lah kita akan kembali (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un),” ucapnya.

Maka tanpa banyak berkata-kata lagi, Shafwan pun turun dari pelana lalu perlahan-lahan mendekatkan untanya ke arah Aisyah – yang lalu menaikinya, dituntun oleh Shafwan. Mereka pun lalu menuju Madinah mengikuti jejak perjalanan rombongan Rasulullah SAW. Shafwan berjalan di samping unta secepat yang dapat dilakukannya, agar dapat mengejar rombongan pasukan muslim.

Tapi, ternyata rombongan pasukan muslim sudah masuk Madinah. Shafwan dan Aisyah baru tiba di perbatasan Madinah beberapa saat setelah seluruh pasukan masuk kota. Sampai di Madinah, Shafwan segera mengantarkan Aisyah ke rumah Rasulullah SAW, dan setelah itu ia pulang.

Karena Aisyah pulang ke Madinah tidak di dalam tandu melainkan mengendarai unta Shafwan, timbul fitnah di kalangan kaum muslimin. Beberapa orang ada yang iseng berbisik-bisik, ”Apa saja yang membuat Aisyah meninggalkan tandu? Di mana dan bagaimana ia bertemu Shafwan?” Akhirnya desas-desus itu menyebar ke sebagian penduduk Madinah, dari mulut ke mulut.

Maka kaum muslimin pun terpecah dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama tidak mempercayai desas-desus dusta yang membisikkan seolah-olah ada main antara Aisyah dan Shafwan; kelompok kedua ragu, setengah percaya setengah tidak; kelompok ketiga memang sengaja mendesas-desuskan fitnah; kelompok keempat mempercayai desas-desus tersebut; sedangkan kelompok kelima sama sekali tidak percaya.

Pengantin Kecil

Akhirnya desas-desus itu didengar juga oleh Rasulullah SAW, yang awalnya tidak mempercayai cerita tersebut – karena hal itu tidak mungkin terjadi pada istri yang diasuhnya sejak masih sangat belia hingga menjadi wanita yang cerdas, baik hati, dan mempesona. Tetapi bagi Rasul, yang juga seorang pria dan suami, cerita seperti itu tentu sangat mengganggunya.

Di lain pihak, Aisyah menyadari bahwa suaminya tercinta agak terpengaruh. Hal itu tampak dari perlakuannya yang sedikit dingin. Namun, ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, “Apakah penyebabnya adalah Juwariyah? Apakah Juwariyah berhasil merebut kasih sayang untuk menggantikannya? Benar, Nabi telah menikahi Juwariyah demi menyelamatkan Bani Musthaliq, tapi siapa yang dapat mengungkapkan perubahan dalam hati manusia?”

Selama menjadi istri tercinta Rasulullah SAW, Aisyah tidak terbiasa dengan perlakuan dingin seperti itu. Ia terbiasa selalu diperlakukan dengan lemah lembut oleh suami tercintanya. Ia tahu, Rasulullah SAW adalah orang yang tahu berterima kasih. Karena itu, perlakuan dingin seperti itu membuat remuk hatinya, sehingga ia jatuh sakit. Maka ibundanya pun datang untuk menjenguk dan merawatnya.

Ketika Rasulullah SAW datang menjenguk, beliau tampak sangat formal, bertanya alakadarnya tentang keadaan istri dan mertuanya, tidak seperti biasanya – penuh kasih sayang dan mesra. Tentu saja hal itu menyakitkan hati Aisyah. Akhirnya Aisyah minta izin tinggal di rumah ayahandanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, agar bisa dirawat ibundanya.

Permintaan itu dikabulkan oleh suaminya dengan mudah. Namun, justru karena itu Aisyah sangat sedih. Timbul sebersit perasaan sebagai layaknya perempuan, “Apakah aku tidak lagi dibutuhkan? Bukankah aku adalah ‘pengantin kecil’ kesayangan suamiku?” Pengantin kecil ialah sebutan sayang Rasulullah SAW kepada Aisyah, istri tercintanya itu.

Hampir setiap hari sebagian penduduk Madinah memperbincangkan kasus Aisyah, sehingga Rasulullah SAW, dalam sebuah kesempatan di masjid, menyatakan, jika mereka mempergunjingkan Aisyah, sama saja dengan melukai hatinya dan keluarganya.

Mendengar itu, seorang lelaki Bani Aus berkata, ”Ya Rasulullah, jika yang mempergunjingkan itu ialah saudara kami dari Bani Aus, kami akan membebaskan engkau dari fitnah.” Perbantahan seperti itu hampir saja kembali mengobarkan konflik lama antara Bani Aus dan Bani Khazraj. Maka, Rasulullah pun, dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya, berusaha sekuat tenaga meredam konflik yang hampir pecah di antara warga Madinah itu.

Fitnah itu juga terdengar oleh Aisyah, yang tentu saja mengejutkannya. Dalam keadaan capai dan lemah, hampir-hampir saja ia pingsan gara-gara mendengar fitnah tersebut. Ia menangis karena tak dapat mengendalikan diri, lalu berkata pada ibundanya, ”Ibu, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu. Engkau telah mendengar orang-orang berkata seperti itu tapi sama sekali tidak bilang apa-apa kepadaku.”

Azab Besar

Ibundanya mencoba menghibur dengan mengatakan bahwa orang-orang, terutama perempuan, lazim bergunjing. Tapi, Aisyah masih mengira suaminya tidak senang kepadanya, atau meragukan kesetiaannya. Ketika ayah dan ibunya mendampinginya di kamar peraduannya, bahkan ketika suaminya datang, ia tetap saja duduk sambil menangis di kamarnya.

Maka bersabdalah Rasulullah SAW dengan lemah lembut, “Aisyah, takutlah kepada Allah, jika benar-benar engkau telah melakukan apa yang dikatakan orang-orang. Kembalilah kepada Allah, dan bertobatlah. Sebab, Allah dengan kasih sayang-Nya akan menerima orang-orang yang bertobat.”

Mendengar sabda yang lemah lembut penuh kasih sayang itu, Aisyah terkejut. Sebab ia masih bertanya-tanya, apakah suaminya sungguh-sungguh meragukannya. Ia pun lalu menatap kedua orangtuanya, dan berkata, ”Bersediakan Ayah dan Bunda menjawab beliau?”

“Kami tidak tahu apa yang harus kami katakan,” jawab Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mendengar jawaban ayahandanya itu, air mata Aisyah kembali membanjir. “Apakah Ayah dan Bunda meragukan aku?” katanya dalam hati.

Lama Aisyah terdiam dalam keraguan. Kemudian, sambil berpaling ia berkata, ”Tidak, aku tidak menyesal atas apa yang telah aku lakukan. Allah tahu bahwa aku tidak bersalah. Aku tidak akan berkata tentang apa yang tidak aku lakukan. Tetapi, ketika aku menyangkalnya, kalian tidak percaya kepadaku.”

Sejenak ia terdiam, kemudian berkata lagi, ”Aku hanya akan berkata tentang apa yang dikatakan oleh Nabi Ya’qub, ayahanda Nabi Yusuf, bahwa kesabaran itu baik, dan Allah akan menolongku dalam hal apa yang dituduhkan kepadaku.” Kata-kata Aisyah itu didengar oleh Rasulullah SAW. Seketika tubuh Rasulullah SAW gemetar dan merasa dingin seperti ketika beliau menerima wahyu.

Aisyah pun melanjutkan kata-katanya, ”Aku tidak takut, karena aku tahu tidak salah dan aku tahu Allah tidak akan menyakitiku. Tapi, mengenai orangtuaku, aku merasa ruh mereka seperti meninggalkan tubuh karena khawatir kalau-kalau ada pesan dari Allah yang membenarkan omongan orang-orang.”

Mendengar perkataan Aisyah yang jujur itu, Rasulullah SAW bangkit sambil mengusap peluh di dahinya. Maka sabda beliau, ”Bergembiralah engkau, ya Aisyah, karena Allah telah menurunkan bukti bahwa engkau tidak bersalah.” Mendengar itu, Aisyah mulai tenang, dan Rasulullah SAW pun segera menuju ke masjid.

Sampai di sana, beliau membacakan wahyu, ayat 11 surah An-Nur, yang baru saja beliau terima, kepada para sahabat yang berkumpul, ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan atas dosa yang mereka kerjakan. Dan di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu mendapat azab yang besar.”

Dengan adanya peristiwa itu, terungkaplah keyakinan bahwa Aisyah memang tidak seperti yang dituduhkan. Dan, terungkap pula siapa musuh yang nyata, yakni orang-orang yang dengan sengaja menyebarluaskan berita bohong tersebut.

AST

“Biasakanlah berkata benar, karena benar menuntun kita kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kita ke surga..... Dan berhati-hatilah dari bohong, karena bohong menuntun kita berbuat curang, dan kecurangan menuntun ke neraka....” (Rasulullah Muhammad SAW)

Mutiara Rasul

Cerita Rasulullah tentang Dajjal

Apakah tanda-tanda bakal datangnya Hari Kiamat? Menurut Rasulullah SAW, Hari Kiamat ditandai dengan munculnya Dajjal, Isa, Ya’juj dan Ma’juj.

Pada suatu pagi Rasulullah SAW bercerita kepada para sahabat tentang Dajjal, yang menebarkan kerusakan di seluruh dunia menjelang Hari Kiamat. Tidak seperti biasanya, suara Nabi turun-naik, sehingga para sahabat terheran-heran. Selepas Rasulullah bercerita, para sahabat pamit pulang. Namun, pada petang harinya mereka kembali bertandang ke rumah Rasulullah.

Hari itu beliau tampak berduka. Raut kesedihan tampak di wajahnya yang biasanya bersih bercahaya. Kedua kelopak mata beliau sedikit sembab, rupanya baru saja menangis. Salah seorang sahabat membuka pembicaraan, “Wahai Rasulullah, tadi pagi engkau bercerita tentang Dajjal. Sesekali engkau merendahkan suara dan sesekali meninggikannya, sehingga kami seakan-akan berada di tengah kerumunan lebah.”

Beliau terdiam sejenak. Wajahnya yang selama ini tampak ceria, sore itu agak muram, sehingga para sahabat tak berani menatapnya. Dengan suara berwibawa dan tegas, beliau bersabda, “Bukan Dajjal yang aku khawatirkan. Jika dia muncul dan aku berada di tengah kalian, tentu aku akan membela kalian dengan hujjah-hujjahku. Tapi jika dia muncul sementara aku tidak berada di tengah kalian, setiap orang akan membela dirinya dengan hujjahnya sendiri.”

Rasulullah berdiam sejenak, lalu melanjutkan sabdanya, “Dajjal muncul dengan wujud seorang pemuda berambut keriting dan matanya buta, seperti Abdul Uzza bin Qathan. Siapa pun yang bertemu dengannya, hendaklah dia membaca permulaan surah Al-Kahfi. Dia akan muncul di tempat sepi antara Syam dan Irak, lalu membuat kerusakan di sebelah kiri dan kanan. Wahai hamba-hamba Allah, teguhkanlah hati kalian!”

Sejenak, tak seorang pun sahabat yang berani menatap wajah Rasulullah. Tak lama kemudian, keheningan itu terpecahkan oleh salah seorang sahabat yang bertanya, ”Wahai Rasulullah, berapa lama ia tinggal di bumi?” Rasululah segera menjawab, “Empat puluh hari. Satu hari seperti satu tahun, satu hari seperti satu bulan, satu hari seperti sepekan. Dan seluruh harinya seperti hari-hari kalian,” jawab beliau.

“Wahai Rasulullah, satu hari seperti satu tahun, apakah cukup bagi kami mendirikan shalat seperti shalat kami dalam satu hari?” tanya sahabat. “Tidak. Tapi hitunglah sebagaimana mestinya menurut hitungan saat itu,” jawab Rasulullah dengan sabar.

“Seberapa cepat Dajjal berjalan?” tanya salah seorang sahabat penasaran. Maka sabda Rasulullah, “Kecepatan Dajjal seperti hujan tertiup angin kencang. Ia mendatangi suatu kaum dan menyeru mereka, hingga mereka beriman kepadanya, dan memenuhi seruannya. Ia lalu menyuruh langit menurunkan hujan, menyuruh bumi menumbuhkan tanaman, maka turunlah hujan dan tumbuhlah tanaman. Binatang ternak pun lebih gemuk dari sebelumnya, dan lebih besar kantung susunya. Ia mendatangi kaum yang makmur itu dan menyerunya, namun mereka mengingkari perkataannya. Ia lalu meninggalkan mereka, dan keesokan harinya mereka kekeringan, semua harta bendanya lenyap.”

Rasulullah lalu bercerita tentang Dajjal yang melewati suatu tempat yang luluh lantak, “Dajjal berkata, ’Keluarkan harta simpananmu!’ Maka kekayaan kaum itu mengikuti Dajjal seperti sekumpulan lebah. Kemudian Dajjal memanggil seorang pemuda, membabatnya dengan pedang hingga terbelah, kedua belahannya terpisah sejauh lemparan anak panah ke sasarannya. Dajjal lalu memanggil tubuh terbelah itu. Maka tubuh itu kembali menjadi satu seperti semula dengan wajah berseri.”

Pintu Lud

Lalu Rasulullah melanjutkan, “Dalam keadaan seperti itu, Allah SWT mengutus Al-Masih Isa putra Maryam turun dekat sebuah menara berwarna putih di sebelah timur Damaskus, mengenakan dua pakaian yang warnanya seperti celupan kunyit. Ia meletakkan telapak tangan di atas sayap dua malaikat. Jika ia menundukkan kepala, air hujan turun; jika mengangkat kepala, berjatuhanlah butiran air seperti mutiara. Setiap kali melihat sosok Nabi Isa, meskipun hanya sekelebatan, orang kafir langsung mati. Kemudian Isa mencarinya hingga menemukannya dekat Pintu Lud dan membunuhnya.”

Rasul melanjutkan, “Kemudian Isa menemui suatu kaum yang telah dijaga Allah dari Dajjal. Ia mengusap wajah mereka dan memberi tahu derajat mereka di surga. Selagi keadaan seperti itu, Allah menurunkan wahyu kepada Isa, ‘Sesungguhnya Aku sudah mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak dapat ditundukkan oleh siapa pun yang memerangi mereka. Karena itu selamatkanlah hamba-hamba-Ku dengan menaiki bukit.’ Kemudian Allah mengutus Ya’juj dan Ma’juj beserta pasukannya dari tempat yang tinggi.”

Rasul melanjutkan, “Bagian depan pasukan Ya’juj dan Ma’juj berada di Telaga Thibriyah lalu minum seluruh airnya. Ketika bagian akhir pasukan lewat di tempat itu, mereka berkata, ’Sebelumnya di sini ada air.’ Ketika itu Nabi Isa terkepung, lalu berdoa, sehingga Allah mengirimkan cacing yang biasa menjangkiti hidung binatang ke tengkuk mereka, dan mereka mati. Kemudian Nabi Isa turun ke bumi, tapi tidak mendapatkan tempat sejengkal pun kecuali bangkai busuk. Isa lalu berdoa, dan Allah mengirimkan burung-burung sebesar punuk unta yang membawa bangkai-bangkai itu lalu membawanya ke tempat mana pun yang dikehendaki oleh Allah SWT.”

Rasul melanjutkan, “Kemudian Allah mengirimkan hujan, sehingga tak satu rumah pun yang tak tersiram hujan, dan bumi dibersihkan hingga bersih mengkilat. Kemudian dikatakan pada bumi, ’Tumbuhkanlah tanaman-tanamanmu dan kembalikanlah barakahmu!’ Maka pada hari itu sekelompok orang memakan buah delima, dan mereka bernaung di bawah dedaunannya. Air susu hewan-hewan diberkahi, sehingga seekor unta cukup bagi segolongan besar orang, seekor lembu cukup bagi penduduk satu kabilah, seekor kambing cukup bagi sekumpulan orang. Dalam keadaan seperti itu, Allah mengirim angin yang baik lalu mengambil mereka di bawah embusannya, mencabut ruh setiap orang mukmin dan muslim. Sedangkan orang-orang kafir melakukan hubungan seksual seperti layaknya keledai. Maka kepada mereka inilah kiamat ditimpakan.” (H.R. Muslim Syarah Nawawi, Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan Mustadrak Hakim).

AST

Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Yang mengikuti mayat itu ada tiga: keluarga, harta benda, dan amal perbuatan. Keluarga dan harta benda kembali, sedangkan amal perbuatan tetap bersamanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mutiara Rasul

Keberkahan Hidangan Jabir

Jabir khawatir hidangan yang ia persembahkan untuk Rasulullah SAW dan para sahabat tidak cukup. Namun, berkat sentuhan doa Rasulullah, hidangan itu cukup untuk mereka semua.

Ketika Perang Khandaq berkecamuk, banyak sahabat kelaparan. Sebab, mereka tidak dapat keluar-masuk kota. Saat itu Madinah terkepung oleh pasukan kafir Quraisy. Bersama para sahabat, Rasulullah SAW bertahan di dalam kota. Pedang-pedang kaum kafir terhunus, berkilauan ditimpa cahaya matahari, anak panah mereka pun siap dilepas dari busurnya.

Kaum muslimin mempertahankan kota, sementara musuh di perbatasan kota sudah siap merangsek untuk masuk kota. Disebut Perang Khandaq (parit), karena pasukan muslim menggali parit di sekeliling kota sebagai sarana pertahanan dari serangan musuh.

Alkisah, siang itu di tengah panas mentari yang membakar, pasukan muslim terus menggali parit-parit dalam. Rasulullah SAW pun tidak tinggal diam. Bersama para sahabat, beliau turun tangan ikut menggali parit di sepanjang garis yang telah dirancang oleh para sahabat. Sudah tiga hari beliau ikut serta menggali parit, bahkan tidak sempat makan dalam beberapa hari.

Untuk mengatasi rasa lapar, beliau mengganjal perutnya dengan batu yang diselipkan di sela-sela sabuk. Tangan beliau pun terus menggerus butiran-butiran pasir, sementara satu per satu batu-batu sebesar kepala orang dewasa beliau angkat sendiri. Badan beliau yang kekar pun bersimbah peluh.

Para sahabat yang menyaksikan tanda-tanda kelelahan pada Rasulullah, merasa prihatin. Salah seorang di antaranya, Jabir bin Abdullah. Ia mengamati wajah beliau yang biasanya cerah bercahaya, kali itu tampak pucat. Ia melihat bulir-bulir keringat menetes. Maka Jabir pun segera pulang menemui istrinya.

Memohon Keberkahan

”Makanan apa yang kau miliki? Aku melihat, Rasulullah SAW sudah sangat lapar,” kata Jabir kepada istrinya.

“Kita hanya punya gandum sekitar dua mud,” jawab istrinya. Dua mud sekitar 2,5 kg.

“Kalau begitu, masaklah semuanya. Hari ini kita mengundang Rasulullah untuk bersantap di rumah kita,” kata Jabir.

Maka istrinya pun bergegas menuang gandum kering dari karung dan menumbuknya hingga halus, lalu memasukkan tepungnya ke dalam sebuah bejana. Bersamaan dengan itu Jabir mengambil seekor anak domba dari belakang rumah dan menyembelihnya. Dengan cekatan ia memotong-motong daging anak domba itu dan memasaknya.

Ketika Jabir akan kembali ke lokasi penggalian parit, istrinya berpesan agar ia mengundang Rasul dengan cara berbisik, jangan sampai terdengar para sahabat yang lain. Sebab, hidangan yang ia sediakan hanya cukup untuk beberapa orang. “Jangan permalukan aku di hadapan Rasulullah SAW dan para sahabatnya,” pesan sang istri.

Maka Jabir pun segera berangkat menemui Rasulullah SAW, lalu berbisik dengan santun dan hati-hati, “Ya Rasulullah, aku menyembelih anak domba dan menanak sedikit gandum. Ajaklah beberapa orang untuk makan di rumahku,” bisiknya.

Tapi, apa yang terjadi? Di luar dugaan, Rasulullah SAW mengundang seluruh sahabat yang bekerja membuat parit untuk menikmati jamuan makan siang yang dipersiapkan Jabir.

”Wahai para sahabatku, Jabir telah memasak makanan lezat. Mari kita ke sana memenuhi undangannya!” seru Rasulullah. Lalu beliau pun berpaling kepada Jabir seraya memerintahkan jangan menurunkan bejana dari tungku sebelum beliau tiba.

Maka pulanglah Jabir dan menceritakan apa yang dialaminya. Tentu saja istrinya terkejut. “Tentu hidangan ini tidak cukup untuk mereka semua,” katanya dalam hati.

Tak lama kemudian Rasulullah SAW bersama para sahabat datang. Dan seperti perintah Rasulullah SAW, istri Jabir pun tidak menurunkan bejana dari tungku.

Ketika Rasulullah SAW tiba, ia segera mengeluarkan adonan roti dari bejana. Melihat itu, Rasul segera mendekatinya lalu berdoa memohon keberkahan kepada Allah SWT. Setelah itu Rasul berjalan menghampiri bejana berisi daging anak domba lalu memberkatinya. Setelah itu beliau bersabda, “Panggil tukang roti untuk membuat roti bersamaku. Ambillah makanan dari bejana itu dan biarkan dia tetap di atas tungku!”

Maka para sahabat pun, yang jumlahnya cukup banyak, mengambil daging domba, kuah, dan roti dari bejana secara bergantian. Dan mereka semuanya makan bersama sampai kenyang. Menyaksikan itu, Jabir terheran-heran. Bagaimana itu bisa terjadi? Adonan roti dan daging domba cuma sedikit, tapi kok cukup dimakan oleh begitu banyak orang? ”Demi Allah, jumlah mereka sekitar seribu orang,” katanya masih keheranan.

Setelah Rasulullah SAW dan rombongan para sahabat itu kembali ke tempat mereka membuat parit, ternyata daging domba dan kuahnya dalam bejana di rumah Jabir masih tetap seperti sedia kala. Begitu pula adonan rotinya. Subhanallah....

AST

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim)

Mutiara Rasul

Usapan Tangan Penuh Berkah

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib sakit mata, padahal Rasulullah SAW hendak menugasinya. Berkat sentuhan tangan beliau, sakit mata Ali sembuh dan pandangan matanya bertambah tajam.

Madinah, ibu kota pemerintahan Islam di masa Rasulullah SAW, dihuni berbagai golongan: kaum Muhajirin, kaum Anshar, kaumYahudi dan Nasrani. Cara pemerintahan dan perilaku kaum muslimin yang sangat baik menjadi teladan bagi kaum yang lain. Kala itu kaum muslimin memang terkenal ramah dan berbudi luhur. Tatanan masyarakat seperti inilah yang kemudian disebut “masyarakat Madani”.

Namun, kedamaian itu lama-kelamaan mulai memudar gara-gara ulah beberapa kaum yang tak suka melihat kerukunan antarumat beragama itu. Kaum munafik mulai melakukan kasak-kusuk untuk memecah belah kaum muslimin. Bahkan mereka pun sempat pula bersekutu dengan kaum Yahudi dari Bani Quraizhah – yang dengan nyata melanggar perjanjian perdamaian yang telah disepakati dengan kaum muslimin.

Belakangan, kaum Yahudi yang tinggal di Khaibar berusaha memprovokasi penduduk Ghathfan agar mereka memberontak. Rasulullah SAW bukannya tak mendengar kasak-kusuk itu. Melihat gelagat tak baik tersebut, beliau pun segera mengerahkan pasukan untuk diberangkatkan ke Gathfan. Ketika pasukan muslimin dari Madinah tiba, warga Gathfan segera menawarkan perdamaian.

Maka pasukan muslimin pun diarahkan menuju Khaibar untuk memerangi kaum Yahudi. Di Khaibar, pasukan muslimin membuat pagar betis untuk membentengi mereka dari serangan Yahudi. Untuk merebut benteng-benteng Yahudi, pasukan muslim melakukan taktik pengepungan, hingga satu per satu benteng Yahudi dapat direbut.

Di tengah semangat pasukan muslim yang menggelora, Rasulullah SAW bersabda, ”Besok pagi panji ini akan aku berikan kepada seseorang yang cinta Allah dan Rasul-Nya, di mana Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya!” Para sahabat yang mendengarnya berharap dirinyalah yang akan ditunjuk untuk membawa panji pasukan tersebut. Bahkan Umar ibn Khaththab pun berujar, ”Aku sangat mengharapkan panji itu.”

Keesokan harinya, usai shalat Subuh berjamaah, banyak sahabat yang sengaja menampakkan diri di hadapan Rasulullah SAW dengan harapan agar mereka ditunjuk sebagai pembawa panji untuk memimpin pasukan. Namun mereka belum mujur, sebab Rasulullah SAW rupa-ruapanya masih menunggu seseorang yang beliau kehendaki. Beliau menoleh ke sana-kemari mencari-cari seseorang.

”Di manakah Ali bin Abi Thalib sekarang berada?” tanyanya berkali-kali. Salah seorang sahabat menjawab, ”Dia sedang sakit mata, ya Rasulullah.” Lalu sabda Rasulullah SAW, “Panggilah dia kemari.”

Saat itu Ali bin Abi Thalib memang sedang menderita sakit mata. Ketika ia sampai di hadapan Rasul, tampak matanya merah dan bengkak.

Melihat hal itu, tanpa bersabda sepatah kata pun, Rasulullah SAW langsung mengusap mata Ali dengan telapak tangannya yang mulia. Ajaib! Seketika itu mata Ali yang bengkak langsung sembuh. Ia sangat gembira. Apalagi ia juga merasa matanya lebih segar, pandangannya lebih jernih dan tajam dibanding sebelumnya. Dan sesungguhnyalah, saat itu Ali bin Abi Thalib mendapat kemujuran yang luar biasa. Selain matanya sembuh, dan sampai akhir hayatnya tidak pernah menderita sakit mata lagi, ia juga mendapat kepercayaan membawa panji Islam dan memimpin pasukan muslim.

Kemujuran yang sehari sebelumnya sangat diharapkan oleh para sahabat, jatuh ke tangan Ali, sahabat yang sangat mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Tentu saja banyak sahabat yang tercengang: Rasulullah, yang bukan tabib, ternyata mampu menyembuhkan mata hanya dengan sekali usapan tangan. Usapan tangan mulia yang penuh berkah. Sungguh, ini sebuah mukjizat luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW, yang sangat dicintai-Nya.

AST

Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah kepada Allah kesehatan, sebab tidak ada karunia yang diberikan kepada seorang hamba yang lebih utama daripada kesehatan, kecuali keyakinan.”

(HR Ibnu Majah dan Nasai)

Mutiara Rasul

Lelaki Terakhir yang Masuk Surga

Seorang lelaki dientaskan dari neraka. Lalu ia bermohon agar Allah memasukkannya ke dalam surga. Allah berkali-kali mengujinya, dan akhirnya ia dimasukkan juga ke dalam surga.

Suatu hari para sahabat berkumpul di rumah Rasulullah SAW, membicarakan syafa’at Rasulullah. ”Wahai Rasulullah, apakah di hari kiamat nanti kami dapat melihat Allah SWT?” tanya salah seorang di antara mereka. Mendengar itu, Rasulullah tersenyum, lalu bersabda, ”Apakah kamu masih saling berselisih ketika melihat bulan pada malam purnama?”

Para sahabat terdiam sejenak. Mereka saling pandang, karena tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Sejurus kemudian mereka menjawab serempak, ”Tidak, ya Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ”Apakah kamu masih berselisih melihat matahari di langit yang tidak berawan?” Sekali lagi para sahabat menjawab serempak, “Tidak, ya Rasulullah.”

Lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya kamu akan melihat-Nya seperti kamu melihat bulan dan matahari.” Kemudian beliau menyitir firman Allah dalam sebuah hadits qudsi, ”Barang siapa menyembah sesuatu, ia akan mengikutinya. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”

Rasulullah menceritakan kehadiran Allah dalam wujud yang sangat indah, menemui seluruh umat manusia di hari kiamat. “Allah datang kepada umat manusia, lalu berfirman, ’Akulah Tuhanmu.’ Maka mereka pun berkata, ’Inilah tempatku sehingga Tuhan kami datang, dan kami mengenal-Nya.”

Lalu Rasulullah melanjutkan, “Dalam wujud yang mereka kenal, Allah datang dan berfirman, ’Akulah Tuhanmu.’ Lalu mereka mengikuti-Nya, dan dipasanglah jembatan di antara dua tebing neraka jahanam. Aku (Muhammad) dan umatku adalah orang-orang yang pertama melewatinya.”

Setelah itu Rasulullah mengisahkan betapa sunyinya hari kiamat itu. Kala itu tidak ada orang yang bercakap-cakap kecuali para rasul. Mereka berdoa, ”Wahai Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!” – sementara di neraka jahanam ada duri sa’dan yang suka menyambar manusia, tapi tak seorang pun tahu berapa ukurannya kecuali Allah. Di antara mereka yang disambar itu dihancurkan atau dicincang karena dosa-dosanya, atau diampuni.

Bila Allah selesai memutus perkara segenap umat manusia, dikeluarkanlah sejumlah orang di antara mereka yang musyrik (yang kekal selamanya) dari neraka, untuk diberi rahmat-Nya. Di neraka, mereka sempat bersujud, dan para malaikat melihat bekas-bekas sujud mereka – meskipun tubuh mereka telah terbakar oleh api neraka yang berkobar-kobar.

Sambil berkaca-kaca, Rasulullah melanjutkan, “Lalu mereka disiram dengan air kehidupan sehingga tumbuh kembali seperti biji-bijian di tanah yang terbawa banjir. Kemudian Allah menyelesaikan keputusan-Nya. Yang masih tersisa untuk dientaskan dari neraka ialah seorang lelaki. Dialah penghuni neraka yang terakhir masuk surga...”

Beliau lalu melanjutkan, ”Lelaki itu bermohon, ‘Ya Allah, palingkanlah wajahku dari neraka. Baunya sangat menyesakkan, nyala apinya membakar diriku.’ Lalu ia pun berdoa. Kemudian Allah berfirman, ’Jika doa itu Aku kabulkan, apakah kamu akan minta lagi?’ Jawab lelaki itu, ’Tidak. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan minta lagi selamanya.’

Lelaki itu kemudian berjanji kepada Allah, kemudian Allah memalingkannya dari neraka. Ketika melihat surga, ia terdiam. Tapi, kemudian ia berkata, ’Wahai Allah, ajukanlah aku ke pintu surga.’ Maka Allah berfirman, ‘Bukankah kamu telah berjanji tidak akan minta lagi untuk selama-lamanya?’ Lalu lelaki itu berdoa kembali, sehingga Allah berfirman, ‘Jika telah Aku beri sesuatu, apakah kamu akan minta lagi?’

‘Tidak. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan minta lagi selamanya,’ jawab lelaki itu. Maka Allah pun lalu mengajukannya ke pintu surga. Maka ia pun melihat surga dengan segenap kebahagiaan dan keindahannya. Ia diam sesuai janjinya kepada Allah. Tapi, kemudian ia bermohon lagi, ‘Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam surga.’

Maka Allah pun berfirman lagi, ‘Bukankah kamu telah berjanji tidak akan minta sesuatu lagi kepada-Ku?’ Lalu lelaki itu berdoa sambil merengek-rengek, ‘Ya Allah, janganlah aku menjadi hamba-Mu yang paling celaka.” Ia pun berdoa terus dengan penuh harap dan ketakutan kepada Allah. Melihat hal itu, Allah berfirman, ‘Masuklah kamu ke dalam surga!’

Ketika ia masuk, Allah berfirman lagi, ‘Ajukanlah lagi permohonan-permohonanmu.’ Maka ia pun kembali bermohon kepada Allah, dan Allah mengabulkan permohonannya.

Setelah selesai mengungkapkan kisah lelaki itu, Rasulullah SAW bersabda, ”Itulah lelaki terakhir yang masuk surga.”

AST

Sumber: hadits qudsi Imam Bukhari

“Demi Dia, yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah SWT berdoa, Dia akan menolak. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah SWT berfirman kepada malaikat-Nya, ‘Hamba-Ku menolak untuk berdoa selain pada-Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya’.” (HR Ali RA, diriwayatkan kembali oleh Al-Hakim)

Mutiara Rasul

Lelaki Terakhir yang Masuk Surga

Seorang lelaki dientaskan dari neraka. Lalu ia bermohon agar Allah memasukkannya ke dalam surga. Allah berkali-kali mengujinya, dan akhirnya ia dimasukkan juga ke dalam surga.

Suatu hari para sahabat berkumpul di rumah Rasulullah SAW, membicarakan syafa’at Rasulullah. ”Wahai Rasulullah, apakah di hari kiamat nanti kami dapat melihat Allah SWT?” tanya salah seorang di antara mereka. Mendengar itu, Rasulullah tersenyum, lalu bersabda, ”Apakah kamu masih saling berselisih ketika melihat bulan pada malam purnama?”

Para sahabat terdiam sejenak. Mereka saling pandang, karena tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Sejurus kemudian mereka menjawab serempak, ”Tidak, ya Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ”Apakah kamu masih berselisih melihat matahari di langit yang tidak berawan?” Sekali lagi para sahabat menjawab serempak, “Tidak, ya Rasulullah.”

Lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya kamu akan melihat-Nya seperti kamu melihat bulan dan matahari.” Kemudian beliau menyitir firman Allah dalam sebuah hadits qudsi, ”Barang siapa menyembah sesuatu, ia akan mengikutinya. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”

Rasulullah menceritakan kehadiran Allah dalam wujud yang sangat indah, menemui seluruh umat manusia di hari kiamat. “Allah datang kepada umat manusia, lalu berfirman, ’Akulah Tuhanmu.’ Maka mereka pun berkata, ’Inilah tempatku sehingga Tuhan kami datang, dan kami mengenal-Nya.”

Lalu Rasulullah melanjutkan, “Dalam wujud yang mereka kenal, Allah datang dan berfirman, ’Akulah Tuhanmu.’ Lalu mereka mengikuti-Nya, dan dipasanglah jembatan di antara dua tebing neraka jahanam. Aku (Muhammad) dan umatku adalah orang-orang yang pertama melewatinya.”

Setelah itu Rasulullah mengisahkan betapa sunyinya hari kiamat itu. Kala itu tidak ada orang yang bercakap-cakap kecuali para rasul. Mereka berdoa, ”Wahai Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!” – sementara di neraka jahanam ada duri sa’dan yang suka menyambar manusia, tapi tak seorang pun tahu berapa ukurannya kecuali Allah. Di antara mereka yang disambar itu dihancurkan atau dicincang karena dosa-dosanya, atau diampuni.

Bila Allah selesai memutus perkara segenap umat manusia, dikeluarkanlah sejumlah orang di antara mereka yang musyrik (yang kekal selamanya) dari neraka, untuk diberi rahmat-Nya. Di neraka, mereka sempat bersujud, dan para malaikat melihat bekas-bekas sujud mereka – meskipun tubuh mereka telah terbakar oleh api neraka yang berkobar-kobar.

Sambil berkaca-kaca, Rasulullah melanjutkan, “Lalu mereka disiram dengan air kehidupan sehingga tumbuh kembali seperti biji-bijian di tanah yang terbawa banjir. Kemudian Allah menyelesaikan keputusan-Nya. Yang masih tersisa untuk dientaskan dari neraka ialah seorang lelaki. Dialah penghuni neraka yang terakhir masuk surga...”

Beliau lalu melanjutkan, ”Lelaki itu bermohon, ‘Ya Allah, palingkanlah wajahku dari neraka. Baunya sangat menyesakkan, nyala apinya membakar diriku.’ Lalu ia pun berdoa. Kemudian Allah berfirman, ’Jika doa itu Aku kabulkan, apakah kamu akan minta lagi?’ Jawab lelaki itu, ’Tidak. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan minta lagi selamanya.’

Lelaki itu kemudian berjanji kepada Allah, kemudian Allah memalingkannya dari neraka. Ketika melihat surga, ia terdiam. Tapi, kemudian ia berkata, ’Wahai Allah, ajukanlah aku ke pintu surga.’ Maka Allah berfirman, ‘Bukankah kamu telah berjanji tidak akan minta lagi untuk selama-lamanya?’ Lalu lelaki itu berdoa kembali, sehingga Allah berfirman, ‘Jika telah Aku beri sesuatu, apakah kamu akan minta lagi?’

‘Tidak. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan minta lagi selamanya,’ jawab lelaki itu. Maka Allah pun lalu mengajukannya ke pintu surga. Maka ia pun melihat surga dengan segenap kebahagiaan dan keindahannya. Ia diam sesuai janjinya kepada Allah. Tapi, kemudian ia bermohon lagi, ‘Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam surga.’

Maka Allah pun berfirman lagi, ‘Bukankah kamu telah berjanji tidak akan minta sesuatu lagi kepada-Ku?’ Lalu lelaki itu berdoa sambil merengek-rengek, ‘Ya Allah, janganlah aku menjadi hamba-Mu yang paling celaka.” Ia pun berdoa terus dengan penuh harap dan ketakutan kepada Allah. Melihat hal itu, Allah berfirman, ‘Masuklah kamu ke dalam surga!’

Ketika ia masuk, Allah berfirman lagi, ‘Ajukanlah lagi permohonan-permohonanmu.’ Maka ia pun kembali bermohon kepada Allah, dan Allah mengabulkan permohonannya.

Setelah selesai mengungkapkan kisah lelaki itu, Rasulullah SAW bersabda, ”Itulah lelaki terakhir yang masuk surga.”

AST

Sumber: hadits qudsi Imam Bukhari

“Demi Dia, yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah SWT berdoa, Dia akan menolak. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah SWT berfirman kepada malaikat-Nya, ‘Hamba-Ku menolak untuk berdoa selain pada-Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya’.” (HR Ali RA, diriwayatkan kembali oleh Al-Hakim)

Mutiara Rasul

Sang Penengah Kabilah

Ketika membangun Ka’bah, para kabilah Quraisy bertengkar, masing-masing merasa paling berhak meletakkan kembali Hajar Aswad di tempat semula. Maka tampillah Rasulullah SAW sebagai penengah, sehingga semua pihak puas dan lega.

Suatu ketika, banjir besar melanda Makkah. Air bah menderas dari gunung-gunung di sekitar kota menggenangi Masjidil Haram. Dan Ka’bah pun kebanjiran. Banjir bandang itu terjadi 35 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Akibatnya seluruh dinding Ka’bah terendam air, pondasinya tergerus hingga hancur berantakan. Orang-orang Quraisy pun berusaha membangunnya kembali. Tapi, tak seorang pun berani memulai memperbaiki bangunan suci itu.

Semua orang menghindar, segan dan takut. Akhirnya salah seorang tokoh Quraisy, Al-Walid ibn Mughirah, mengambil kampak lalu mengayunkannya ke salah satu dinding Ka’bah. Batu-batu dinding bangunan suci yang sudah retak itu pun satu per satu runtuh. Tapi, semua yang hadir masih belum berani meneruskan pekerjaan Walid. Mereka masih menunggu sampai keesokan harinya untuk melihat apa yang bakal terjadi pada diri Walid.

Keesokan harinya, ternyata tak ada sesuatu yang buruk yang menimpa Walid. Mereka pun mengganggap hal itu sebagai pertanda adanya izin untuk membangun Ka’bah kembali. Ketika itu Rasululah SAW turut serta dalam pembangunan kembali Ka’bah. Para kabilah di sekitar Makkah juga bahu-membahu memecah batu dari gunung dan membawanya turun untuk memperkuat dinding Ka’bah.

Ketika dinding Ka’bah sudah mencapai setinggi orang, mereka memutuskan untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula, sebelum melanjutkan pembangunan Ka’bah. Tapi, lagi-lagi kaum Quraisy bingung. Siapakah di antara mereka yang layak mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya semula?

Maka mereka pun berdebat, bahkan kemudian terjadi pertengkaran di antara mereka. Sepintas lalu hal itu hanya merupakan persoalan kecil, tapi sesungguhnya merupakan masalah besar. Sebab, Hajar Aswad adalah batu hitam yang sangat dihormati. Itu sebabnya, perdebatan tersebut nyaris menimbulkan perang antar-kabilah. Mereka bahkan siap mengorbankan apa saja, termasuk menumpahkan darah, agar bisa menjadi penentu peletakan kembali Hajar Aswad.

Melihat perkembangan semakin gawat, salah seorang sesepuh kabilah, Abu Umayah bin Al-Mughirah al-Makhzumi, mengajukan usul. ”Tunggu sampai besok pagi kita melihat orang pertama yang memasuki kompleks Ka’bah dari pintu Shafa. Dialah yang paling tepat sebagai penengah di antara kita,” katanya. Dan segenap yang hadir pun menyetujuinya.

Warisan Purba

Esok harinya, pagi-pagi sekali Rasulullah SAW datang untuk beribadah di Ka’bah. Beliaulah orang pertama yang masuk ke dalam kompleks bangunan suci itu. Ketika itu, segenap kabilah di Makkah sudah mengenal beliau sebagai sosok yang lurus, jujur, dan tulus, sehingga kalangan Bani Hasyim menjulukinya Al-Amin, orang yang tepercaya.

Tak lama kemudian orang-orang Quraisy datang berduyun-duyun. Mereka berbisik-bisik menyebut nama Rasulullah SAW. Maka para petinggi kabilah pun sepakat menunjuk Rasulullah sebagai penengah. “Oleh karena itu kami menerima segala keputusanmu,” kata salah seorang di antara mereka. Ketika itu sesungguhnya Rasulullah belum mengetahui pertikaian yang merebak di antara kaum Quraisy. Beliau baru tahu setelah mendengarnya dari salah seorang kepala kabilah.

Rasulullah berksimpulan, masing-masing kabilah merasa berhak dan berambisi meletakkan Hajar Aswad. Jika keadaan ini tidak ditengahi, bukan tak mungkin akan terjadi pertengkaran, bahkan perang antar-kabilah. Rasulullah menyaksikan keadaan gawat itu dengan tenang, penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Wajahnya yang putih jernih bercahaya, senantiasa tersenyum memancarkan ketenteraman bagi siapa saja.

Maka dengan tenang beliau pun menggelar kain sorban, dan dengan suara berwibawa bersabda, ”Bawakan Hajar Aswad itu kepadaku.” Orang-orang pun mengambil Hajar Aswad, disampaikan ke tangan Rasulullah yang suci, yang kemudian meletakkannya persis di tengah sorban. “Nah, sekarang silakan pemimpin masing-masing kabilah memegang pojok dan sisi sorban,” sabda Rasulullah.

Setelah semua pemimpin kabilah memegang pojok dan sisi-sisi sorban, dibawalah Hajar Aswad itu ke arah tempatnya semula, di pojok Ka’bah sebelah tenggara. Begitu sampai dekat tempat semula, Rasulullah segera mengangkat Hajar Aswad pelan-pelan, lalu diletakkannya kembali di tempat semula. Dengan demikian seluruh kabilah merasa mendapat hak dan kehormatan yang sama, sehingga mereka puas dan lega.

Lalu mereka melanjutkan pembangunan bangunan suci tersebut, termasuk memasang enam tiang di dalamnya. Tak lama kemudian mereka membuat pintu Ka’bah dan atap. Setelah dibuatkan tangga di dua sudut sebelah utara, pemugaran rumah ibadah purba warisan Nabi Ibrahim dan Ismail itu pun usai sudah.

AST

“Dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, diampuni atas dosa keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud)

Mutiara Rasul

Kapak untuk Pengemis

Seorang pengemis menerima uang dari Rasulullah SAW untuk membeli kapak yang digunakannya buat mencari kayu bakar.

Suatu hari seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW. Dengan wajah pucat dan pakaian compang-camping ia minta sesuatu.

Rasulullah SAW menerimanya dengan baik. “Ya, ada sehelai kain. Sebagian aku pakai, sebagian lagi kami bentangkan untuk duduk. Juga ada bejana untuk minum,” jawab Rasulullah SAW.

Kemudian beliau memerintahkan seorang sahabat membawakan kain dan bejana tersebut.

Dengan bergegas, salah seorang sahabat beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil barang-barang yang dimaksud untuk dibawa ke hadapan beliau.

”Aku beli kain dan bejana ini satu dirham,” sabda beliau.

Lalu Rasulullah SAW menawarkannya kepada para sahabat. ”Adakah para sahabat yang akan membelinya? Barangkali ada yang akan menambah harganya satu dirham lagi?”

Setelah berkali-kali Rasulullah SAW menawarkan kepada para sahabat, akhirnya salah seorang sahabat mengambilnya. “Saya ambil barang-barang itu seharga dua dirham seperti tawaran Tuan, ya Rasulullah,” katanya.

Beliau lalu memberikan kain dan bejana itu sembari menerima uang dua dirham.

Segera setelah itu beliau menyerahkan uang dua dirham tersebut kepada tamunya, pengemis tadi, seraya menasihatinya, ”Gunakan satu dirham untuk membeli makanan keluargamu, sedangkan satu dirham lagi untuk membeli sebuah kapak. Setelah itu bawalah kapak itu kepadaku.”

Sebelum pulang, pengemis itu membeli makanan secukupnya dan sebuah kapak. Setelah mengantar makanan dan minuman kepada keluarganya di rumah yang memang tengah kelaparan, ia membungkus kapak itu dan membawanya menghadap Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW masih duduk di majelis, dikelilingi para sahabat yang menyimak penjelasan beliau tentang agama.

“Sudahkan engkau laksakan perintahku?” tanya Rasulullah SAW kepada pengemis yang tampak malu-malu berdiri di depan pintu.

“Sudah, ya Rasulullah,” jawab pengemis itu.

“Masuklah kemari, bawa kapak yang telah engkau beli itu,” ujar Rasulullah.

Pengemis itu berjalan mendekat, duduk di depan beliau, mengeluarkan kapak dari kantung kulit, lalu menyerahkannya kepada Rasululah SAW.

Hari itu Rasulullah SAW tampak gembira melihat pengemis itu melaksanakan perintah beliau dengan taat. Sambil memegang kapak tersebut, beliau beranjak ke pojok ruangan, mengambil sepotong kayu. Dengan sangat cekatan tangan beliau yang suci memasang sepotong kayu itu pada kapak sebagai tangkainya. Maka siaplah sudah kapak itu untuk digunakan.

“Pergilah ke gurun, tebanglah kayu, kemudian jual kayu bakar itu ke pasar. Dan kemarilah 15 hari lagi,” sabda Rasulullah SAW.

Dengan patuh, pengemis itu menuruti perintah lalu pamit pulang kepada Rasulullah SAW dan para sahabat yang hadir.

Sampai di rumah ia mempersiapkan perbekalan makanan dan minuman secukupnya untuk dibawa ke gurun. Dengan penuh semangat, ia pun segera berangkat ke gurun tak jauh dari rumahnya. Satu per satu ranting-ranting pohon yang telah kering ia potong. Setelah terkumpul cukup banyak, ia menjualnya ke pasar, lalu membawa hasil penjualan itu ke rumah.

Setelah 15 hari mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar, ia kembali menghadap Rasulullah SAW. Tak lupa dibawanya pula uang 10 dirham hasil dagang kayunya.

Rasulullah SAW menasihatinya, “Gunakan sebagian uang penghasilanmu itu untuk membiayai keluargamu. Belikan mereka makanan, minuman, dan pakaian. Itu lebih baik daripada kamu meminta-minta. Sebab, di hari kiamat kelak Allah SWT akan memberikan tanda di wajah para pengemis. Dan sesungguhnya mengemis tidak layak kecuali bagi orang yang sangat miskin dan hina dina, atau mereka yang terbelit utang, atau mereka yang harus membayar diyat atau denda yang sangat besar karena membunuh.”

Dikisahkan kembali oleh AST, dari sebuah hadits sahih riwayat Ibnu Majah

--------------------------------------------------- -----------------------------------------------------

Kata Mutiara:

”Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang mempunyai pekerjaan. Barang siapa bersusah payah mencari rezeki untuk mereka yang menjadi tanggung jawabnya, ia ibarat seorang mujahid di jalan Allah, Yang Mahamulia.” (HR Ahmad)

Mutiara Rasul

Ketika Bulan Terbelah Dua

Rasulullah SAW pernah diuji untuk “menangkap” bulan, membelahnya jadi dua, kemudian menyatukannya kembali. Dengan pertolongan dan takdir Allah SWT, bulan pun terbelah dan disatukan kembali dalam genggaman beliau.

Alkisah, di zaman Jahiliyah, hiduplah seorang raja bernama Habib bin Malik di Syam. Sebagai penyembah berhala yang fanatik, ia sangat menentang dan membenci agama baru yang didakwahkan Rasulullah Muhammad SAW. Tapi, ini justru merupakan kesempatan emas bagi Abu Jahal, tokoh musyrik Quraisy di Makkah, untuk mengadu domba antara Habib bin Malik dan Rasulullah SAW.

Suatu hari Abu Jahal menyurati Raja Habib bin Malik, menceritakan perihal Rasulullah dan Islam yang disyiarkannya. Isi surat itu rupanya sempat membuat Raja Habib penasaran, sehingga ingin bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Sesaat setelah menerima surat, Raja Habib segera menulis surat balasan kepada Abu Jahal: dalam waktu dekat ia akan berkunjung ke Makkah untuk bertemu Rasulullah SAW.

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Raja Habib dan rombongan yang terdiri 10.000 orang ke Makkah. Sampai di Desa Abthah, dekat Makkah, ia mengirim utusan untuk memberi tahu Abu Jahal bahwa dia telah tiba di perbatasan Makkah. Maka Abu Jahal pun, bersama para pembesar Quraisy yang lain, menyambutnya dengan meriah.

”Seperti apa sih Muhammad itu?” tanya Raja Habib setelah bertemu dengan Abu Jahal.

“Sebaiknya Tuan tanyakan hal itu kepada Bani Hasyim,” jawab Abu Jahal.

Maka Raja Habib pun segera bertanya kepada Bani Hasyim.

“Di masa kecilnya, Muhammad adalah anak yang bisa dipercaya, jujur, dan baik budi. Tapi, sejak berusia 40 tahun, ia mulai mensyiarkan agama baru, menghina, dan menyepelekan tuhan-tuhan kami. Ia mensyiarkan agama yang bertentangan dengan agama warisan nenek moyang kami,” jawab salah seorang keluarga Bani Hasyim.

Setelah mendengar penjelasan itu, Raja Habib memerintahkan seorang utusan untuk menjemput Rasulullah. “Kalau ia tidak mau dipanggil dengan cara baik-baik, paksalah dia!” kata Raja Habib.

Dengan mengenakan jubah merah dan sorban hitam, Rasulullah datang ditemani Abu Bakar dan Khadijah, istri beliau. Sepanjang perjalanan, Khadijah selalu menangis karena khawatir atas keselamatan suaminya. Demikian pula Abu Bakar. “Kalian jangan takut. Kita serahkan saja semua urusan kepada Allah SWT,” kata Rasulullah SAW.

Sampai di Desa Abthah, Rasulullah disambut dengan ramah, lalu dipersilakan duduk di kursi yang terbuat dari emas. Ketika Rasulullah duduk di kursi emas tersebut, terpancarlah cahaya kemilau dari wajahnya yang berwibawa, sehingga mereka yang menyaksikannya tertegun dan kagum.

Maka berkatalah Raja Habib, ”Wahai Muhammad, setiap nabi pasti memiliki mukjizat. Jika engkau memang nabi, mukjizat apa yang engkau miliki?”

Mendengar pertanyaan itu, dengan tenang Rasulullah balik bertanya, ”Mukjizat apa yang Tuan kehendaki?”

Kekasih Allah

“Aku menghendaki matahari yang tengah bersinar engkau tenggelamkan, kemudian munculkanlah bulan. Lalu turunkanlah bulan ke tanganmu, belah menjadi dua bagian, dan masukkan masing-masing ke lengan bajumu sebelah kiri dan kanan. Kemudian keluarkan lagi dan satukan lagi. Lalu suruhlah bulan mengakui engkau adalah rasul. Setelah itu, kembalikanlah bulan ke tempatnya semula. Jika engkau dapat melakukannya, aku akan beriman kepadamu dan mengakui kenabianmu,” kata Raja Habib.

Mendengar permintaan yang aneh dan terlalu mengada-ada itu, Abu Jahal sangat gembira. Ia berpikir, pasti Rasulullah tidak dapat melakukannya. Tapi, kemudian ia waswas ketika dengan tegas dan yakin Rasulullah menjawab, ”Aku penuhi permintaan Tuan.” Bagi Rasulullah, tak ada sesuatu yang mustahil selama beliau mohon pertolongan Allah SWT.

Sesaat kemudian, Rasulullah berjalan ke arah Gunung Abi Qubaisy dan shalat dua rakaat. Usai shalat, beliau berdoa dengan menadahkan tangan tinggi-tinggi, agar permintaan Raja Habib terpenuhi. Seketika itu, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, turunlah sepasukan malaikat berjumlah 12.000.

Maka berkatalah malaikat, “Wahai Rasulullah, Allah menyampaikan salam kepadamu. Allah berfirman, ‘Wahai kekasih-Ku, janganlah engkau takut dan ragu. Sesungguhnya Aku senantiasa bersamamu. Aku telah menetapkan keputusan-Ku sejak zaman azali.’ Tentang permintaan Habib bin Malik, pergilah engkau kepadanya untuk menunjukkan bukti kerasulanmu. Sesungguhnya Allah yang menjalankan matahari dan bulan serta mengganti siang dengan malam. Habib bin Malik mempunyai seorang putri cacat, tidak punya kaki dan tangan serta buta. Allah telah menyembuhkan anak itu sehingga ia bisa berjalan, meraba, dan melihat.”

Lalu bergegaslah Rasulullah turun menjumpai orang-orang kafir, sementara bias cahaya kenabian yang memantul dari wajahnya semakin bersinar. Waktu itu hari telah beranjak senja. Matahari hampir tenggelam, sehingga suasananya remang-remang. Tak lama kemudian Rasulullah berdoa agar bulan segera terbit. Maka terbitlah bulan dengan sinar yang benderang.

Lalu, dengan dua jari Rasulullah mengisyaratkan agar bulan itu turun kepadanya. Tiba-tiba suasana jadi amat menegangkan ketika terdengar suara gemuruh yang dahsyat. Segumpal awan mengiringi turunnya bulan ke tangan Rasulullah. Segera setelah itu beliau membelahnya menjadi dua bagian, lalu beliau masukkan ke lengan baju kanan dan kiri.

Tidak lama kemudian, beliau mengeluarkan potongan bulan itu dan menyatukannya kembali. Dengan sangat takjub orang-orang menyaksikan Rasulullah menggenggam bulan yang bersinar dengan indah cemerlang. Bersamaan dengan itu bulan itu mengeluarkan suara, “Asy-hadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.

Lelaki Rupawan

Menyaksikan keajaiban itu, pikiran dan perasaan semua yang hadir terguncang. Sungguh, ini bukan mimpi, melainkan sebuah kejadian yang sangat nyata! Sebuah mukjizat luar biasa hebat yang disaksikan sendiri oleh Raja Habib bin Malik. Ia menyadari, itu tak mungkin terjadi pada manusia biasa, meski ia lihai dalam ilmu sihir sekalipun!

Namun, hati Raja Habib masih beku. Maka ia pun berkata, “Aku masih mempunyai syarat lagi untuk mengujimu.”

Belum lagi Raja Habib sempat melanjutkan ucapannya, Rasulullah memotong pembicaraan, ”Engkau mempunyai putri yang cacat, bukan? Sekarang, Allah telah menyembuhkannya dan menjadikannya seorang putri yang sempurna.”

Mendengar itu, betapa gembira hati Raja Habib. Kontan ia pun berdiri dan berseru, ”Hai penduduk Makkah! Kalian yang telah beriman jangan kembali kafir, karena tidak ada lagi yang perlu diragukan. Ketahuilah, sesungguhnya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya; dan aku bersaksi, sesungguhnya Muhammad adalah utusan dan hamba-Nya!”

Melihat semua itu, tiada yang paling jengkel dan marah kecuali Abu Jahal. Ia terperangkap dalam permainan yang ia rancang sendiri. Dengan emosional, ia mendekati Raja Habib dan berkata, ”Wahai Raja Habib, engkau beriman kepada tukang sihir ini, hanya karena menyaksikan kehebatan sihirnya?” Namun, Raja Habib tidak menghiraukannya. Ia segera berkemas untuk pulang, karena tak sabar lagi ingin melihat keadaan putrinya.

Sampai di pintu gerbang istana, putrinya yang sudah sempurna, tiada cacat lagi, menyambutnya, sambil mengucapkan dua kalimah syahadat. Tentu saja Raja Habib terkejut. ”Wahai putriku, dari mana kamu mengetahui ucapan itu? Siapa yang mengajarimu?”

“Aku bermimpi didatangi seorang lelaki tampan rupawan yang memberi tahu Ayahanda telah memeluk Islam. Dia juga berkata, jika aku menjadi muslimah, anggota tubuhku akan lengkap. Tentu saja aku mau, kemudian aku mengucapkan dua kalimah syahadat,” jawab sang putri. Maka seketika itu juga Raja Habib pun bersujudlah sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.

AST

(Pakai ilustrasi)

Ketika ditanya tentang iman, Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah kesabaran dan suka memaafkan.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Hiban)

Mutiara Rasul

Ridha Ibu adalah Ridha Allah

Ibadah fardhu dan sunnah seseorang yang durhaka kepada orangtua, terutama kepada ibu, tidak diterima oleh Allah SWT.

Di Madinah, beberapa waktu usai hijrah, tersebutlah seorang sahabat bernama Alqamah yang rajin beribadah dan bersedekah. Suatu hari, tiba-tiba ia menderita sakit berat. Istrinya mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa suaminya sudah mendekati sakaratul maut.

Mendengar itu, Rasulullah SAW mengutus Bilal, Ali, Salman, dan Ammar untuk menjenguknya. Sampai di rumah Alqamah, mereka segera menuntunnya membaca kalimat tauhid La ilaha illallah. Tapi, lidah Alqamah seakan terkunci, tidak mampu mengucapkannya. Para sahabat pun lalu mengutus Bilal untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW.

”Apakah ia masih punya orangtua?” tanya Rasulullah kepada Bilal.

“Ayahnya sudah meninggal, sedangkan ibunya masih hidup tapi sudah tua renta,” jawab Bilal.

“Temuilah ibunda Alqamah dan sampaikan salamku kepadanya. Lalu katakan, jika dapat berjalan, ia diminta menemuiku. Tapi, jika tidak dapat berjalan, aku akan menemuinya.”

Bilal pun segera menemui perempuan tua renta itu dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW.

“Saya lebih layak menghadap Rasulullah,” jawab ibunda Alqamah, lalu berjalan dengan tongkatnya tertatih-tatih, dibantu oleh Bilal, menemui Rasulullah SAW.

Maka Rasulullah pun bersabda, “Bagaimana sebenarnya keadaan Alqamah? Katakanlah sejujurnya. Jika engkau berdusta, akan turun wahyu memberitahuku.”

“Alqamah adalah anak yang rajin shalat, puasa, dan bersedekah. Tapi, saya marah karena ia lebih mengutamakan istrinya daripada aku, lebih menurut kepada istri daripada aku, bahkan berani menentangku,” jawab perempuan tua itu.

Sejenak para sahabat yang hadir terdiam, sementara wajah Rasulullah SAW tertunduk, kemudian menarik napas dalam-dalam. Kemudian beliau bersabda, “Murka ibunya, itulah yang mengunci lidahnya untuk membaca kalimat tauhid.” Kemudian Rasulullah menyuruh Bilal mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Alqamah.

Buah Hati

Tiba-tiba ibu Alqamah berteriak, ”Ya Rasulullah, dia adalah putraku, buah hatiku. Apakah Tuan akan membakarnya di depanku? Bagaimana aku dapat menerima anakku Tuan perlakukan seperti itu?”

Rasulullah pun segera berkata, “Sesungguhnya siksa Allah lebih berat dan lebih kekal. Jika engkau ingin Allah mengampuni anakmu, engkau harus ridha kepadanya. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak berguna shalat dan sedekah anakmu selama engkau masih murka kepadanya.”

Seketika itu juga sang ibu yang penuh kasih sayang itu mengangkat kedua belah tangannya sembari berkata, ”Ya Rasulullah, aku bersaksi kepada Allah, kepadamu, dan kepada yang hadir di sini, bahwa aku telah ridha kepada Alqamah.”

Mendengar itu, Rasulullah SAW sangat gembira. Lalu beliau pun menyuruh Bilal menjenguk Alqamah, apakah ia sudah bisa membaca kalimat tauhid. Beliau khawatir kalau-kalau ibunya mengaku ridha hanya karena segan kepada Rasulullah, bukan dari lubuk hatinya.

Ketika Bilal sampai di depan pintu kamar Alqamah, terdengarlah suara pelan tapi mantap, “La ilaha illallah”, beberapa kali. Lalu Bilal pun berkata kepada para sahabat yang hadir, “Sesungguhnya murka ibu Alqamah telah mengunci lidah anaknya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Kini, berkat ridha ibundanya, Alqamah mampu mengucapkannya.”

Setelah jasad Alqamah dimakamkan, Rasulullah SAW berdiri di samping makam, lalu bersabda, ”Wahai para sahabat Muhajir dan Anshar, barang siapa mengutamakan istrinya daripada ibunya, ia akan mendapat laknat Allah, sedangkan ibadah fardhu dan sunnahnya tidak diterima. Sesungguhnyalah ridha Allah adalah ridha orangtua.”

AST

Dari Abu Darda’ RA, Rasulullah SAW bersabda, “Orangtuamu itu bagaikan pintu surga yang paling tengah. Terserah kamu, apakah akan menyia-nyiakan, atau menjaganya.” (HR Tirmidzi)

Mutiara Rasul

Dusta yang Diperbolehkan

Dusta itu dosa, kecuali tiga hal: suami berdusta demi memuaskan hati istrinya, berdusta sebagai siasat perang, dan berdusta di antara dua orang muslim untuk mendamaikan mereka.

Suatu hari beberapa pemuda diutus oleh Rasulullah SAW ke wilayah Mudhar, di (harus diisi oleh AST). Di tengah jalan mereka kepanasan, kelaparan, dan kehausan. Akhirnya, mereka melewati tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan dan sebatang pohon rindang di sisi luarnya. Tak jauh dari sana tampak kemah kecil dan sekumpulan kambing di depannya. Tanpa pikir panjang, mereka menemui pemiliknya, seorang Badui. ”Berilah kami seekor kambing untuk makan,” kata seorang di antara mereka.

Mengetahui bahwa mereka utusan Rasulullah SAW yang tengah kelaparan, si Badui pun segera mengambil seekor kambing jantan yang gemuk lalu menyerahkannya kepada mereka. Mereka lalu menyembelih dan memasak daging kambing itu lalu menyantapnya dengan lahap.

Melihat daging kambing itu habis dimakan, orang Badui itu memberi mereka lagi seekor kambing gemuk. Para utusan Rasulullah SAW itu pun kembali menyembelih dan memasaknya. ”Tidak ada lagi kambingku yang tersisa yang dapat disembelih, kecuali yang hamil atau seekor lagi kambing pejantan,” kata Badui itu. Tapi para utusan itu minta seekor lagi.

Siang musim kemarau itu itu panas sangat menyengat, padahal tidak ada tempat untuk berlindung. Orang Badui itu menggiring kambingnya ke bawah sebatang pohon rindang di tepi gurun, tapi para utusan Rasulullah SAW itu berkata, ”Kami lebih berhak berlindung di bawah pohon daripada kambing-kambingmu.”

Orang Badui itu menjawab, ”Jika kalian mengeluarkannya dari tempat perlindungan yang teduh, kambing-kambingku yang sedang hamil tidak akan kuat terkena terik matahari. Anak kambing dalam kandungan akan mengalami keguguran. Hendaklah Tuan-tuan ketahui, aku sudah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat.”

Mata Batin

Namun kata-kata itu tidak digubris oleh para utusan Rasulullah. Dengan kasar mereka menggiring kambing-kambing itu keluar dari bawah pohon yang rindang itu. Malang, tak lama kemudian kambing-kambing itu terlihat kepanasan oleh terik matahari. Dan, sebagaimana dikhawatirkan oleh Badui itu, tak lama kemudian kambing-kambing yang tengah hamil itu pun keguguran.

Dengan muka masam orang Badui itu pulang, dan dengan langkah tergopoh-gopoh ia menghadap Rasulullah SAW, menceritakan kejadian yang barusan dialaminya. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW sangat prihatin, kemudian bersabda, ”Tunggulah di sini hingga mereka tiba.”

Setelah kembali pulang, para utusan Rasulullah SAW itu pun dikumpulkan dan dipertemukan dengan orang Badui tersebut. Satu per satu mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, diminta menceritakan kejadian yang sebenarnya di padang sahara. Namun, mereka semua berkata dusta, dan hanya menceritakan sesuatu yang diharapkan dapat menggembirakan Rasulullah SAW.

Dengan menahan isak tangis, orang Badui yang mendengar kesaksian para utusan Rasulullah SAW itu mengadu, ”Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT benar-benar tahu bahwa aku berkata jujur dan merekalah yang dusta. Semoga Allah memberitahukan kepada Tuan tentang hal ini, wahai Rasulullah.”

Mendengar itu Rasulullah SAW pun terharu. Air mata menitik di kedua pelupuk mata beliau yang mulia. Dengan mata batinnya, beliau melihat orang Badui itu sesungguhnya jujur. Beliau baru menyadari, para utusannya telah berkata penuh dusta. Maka beliau pun memanggil lagi para utusan itu satu per satu, mereka diminta untuk bersumpah bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur. Namun, tak seorang pun yang berani mengucap sumpah di hadapan beliau. Mereka mengaku berdusta dan membenarkan perkataan Badui tersebut.

Akhirnya Rasulullah SAW berdiri dan bersabda, ”Apa yang mendorong kalian semua akur dalam kedustaan? Kedustaan ditetapkan sebagai dosa anak Adam, kecuali tiga perkara. Suami berdusta kepada istrinya demi memuaskan hatinya, berdusta sebagai siasat perang, dan berdusta di antara dua orang muslim untuk mendamaikan mereka.”

AST

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jujur itu menimbulkan ketenangan, sedangkan dusta mengakibatkan kebimbangan.” (HR Tirmidzi)

Pesan Ilustrasi!

Ak-01 Mutiara Rasul

Sembuh berkat Doa Rasulullah SAW

Seorang wanita sebelah tangannya lumpuh akibat di dalam mimpinya mencuri air dari telaga Rasul untuk diminumkan kepada ibundanya yang ada di neraka Jahanam. Ia kemudian disembuhkan oleh doa Rasulullah SAW.

Suatu pagi yang cerah, matahari naik sepenggalah di ufuk timur, memancarkan cahayanya menyinari seluruh bumi. Penduduk Madinah sudah mulai bersiap-siap pergi ke pasar untuk menjual barang dagangan. Sementara itu di samping masjid, Rasulullah SAW baru saja beranjak dari majelis shalat Subuh dan disambut oleh senyum cerah sang isteri tercinta, Siti Aisyah. Belum lama beliau duduk-duduk bercengkrama dengan Siti Aisyah di beranda rumahnya, tiba-tiba datang seorang wanita dengan satu tangan kanannya yang lumpuh. Selepas mengucap salam, wanita itu kemudian menceritakan permasalahannya.

“Wahai Nabiyullah. Sudilah kiranya engkau memohonkan kepada Allah, semoga Dia menyembuhkan tangan saya,” kata wanita itu terbata-bata dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat.

“Apakah gerangan yang menyebabkan tanganmu lumpuh?” tanya Rasulullah SAW dengan suara yang menyejukkan.

Wanita itu kemudian menceritakan kejadian yang telah menimpanya. “Pada suatu malam saya bermimpi seakan-akan hari kiamat telah tiba; Neraka Jahim telah menyala-nyala dan sorga telah tersedia. Saya mengetahui ibu saya di neraka Jahanam, sedang di tangannya terdapat sepotong lemak dan di tangan yang satunya terdapat sepotong kain lap (kain pembersih). Dengan lemak dan kain itu, ibu saya menahan panasnya api neraka. Pada waktu itu saya bertanya, ‘Mengapa Ibu di dalam jurang sini? Bukankah Ibu dahulu menjadi orang yang taat kepada Tuhan dan Ayah pun telah merelakan?’”

Rasul dan Aisyah mendengar cerita itu dengan seksama. Kemudian wanita itu melanjutkan ceritanya. “Ibu saya menjawab, ‘Hai anakku, aku di dunia mempunyai sifat kikir. Dan di sini adalah tempat orang-orang yang kikir’.”

“Apakah arti lemak dan kain yang ada di tangan Ibu?”

“Keduanya itu adalah barang-barang yang telah saya dermakan. Dan saya belum pernah berderma selama hidup di dunia kecuali dengan keduanya.”

“Di mana ayah?”

“Ayahmu adalah orang yang dermawan. Maka ia tinggal di tempat orang-orang yang dermawan.”

Lalu tamu wanita itu menceritakan dalam mimpinya berkunjung ke surga. Ia melihat sang ayah telah berdiri di telaga Rasulullah dan tengah memberi minum orang banyak.

“Wahai Ayahku, sungguh Ibuku dan juga istrimu taat kepada Tuhannya. Dan Ayah pun telah rela kepadanya. Ibu sekarang tengah dibakar api Neraka Jahanam. Padahal engkau, Ayah. Sedang memberi minum orang banyak dari telaga Nabi SAW.”

“Hai anakku. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan orang-orang yang kikir dan orang-orang yang berdosa dari telaga Nabi SAW.”

Selanjutnya, wanita itu kembali melanjutkan ceritanya. “Maka dengan tanpa ijin darinya, saya mengambil air telaga satu gelas dan saya berikan pada ibu yang tengah kehausan. Tiba-tiba, ada suara, ‘Mudah-mudahan Allah melumpuhkan tanganmu, karena engkau telah memberi minum kepada orang yang durhaka lagi kikir dari sumber air telaga Rasulullah SAW’. Selepas itu saya terbangun dan mendapati tangan saya telah lumpuh seperti ini,” kata wanita itu kepada Rasulullah SAW dan Siti Aisyah.

Setelah mendengar semua cerita dari wanita tadi, beliau kemudian beranjak dari tempat duduknya seraya mengambil tongkat yang biasa beliau pakai. Rasulullah SAW kemudian mendekati wanita tadi sambil meletakkannya pada tangannya yang lumpuh seraya berdoa, “Ya Tuhanku. Dengan kebenaran mimpi yang diceritakan oleh perempuan ini, maka sembuhkanlah tangannya.”

Subhanallah! Tak lama berselang beliau memanjatkan doa, salah satu tangan yang tadinya lumpuh itu, kini telah sembuh total dan dapat digerakan seperti semula.

Sebelum wanita itu mengucapkan terima kasih dan pamit beranjak pulang, Rasulullah SAW bersabda, “Sifat dermawan itu bagaikan pohon di sorga yang dahan-dahannya melengkung menjulur ke dunia. Maka barang siapa yang mengambil satu dahan dari pohon di sorga, maka dia akan dibimbingnya ke sorga. Dan sifat kikir itu bagaikan pohon di neraka yang dahan-dahannya melengkung menjulur ke dunia. Maka barang siapa yang mengambil sebatang dahan dari pohon di neraka, maka dia akan dihalau ke neraka.”

AST, dari Tanbighul Ghofilin

-------------------------------------------------------------------

Rasulullah SAW bersabda, “Kemiskinan yang kalian takutkan, atau kekurangan sehingga kalian menjadi berhasrat kepada dunia, sesungguhnya Allah SWT akan menaklukkan bagi kalian negeri Persi dan Romawi lalu menumpahkan dunia pada kalian dengan sekali tumpahan. Hingga tidak ada yang membuat kalian tersesat sesudahku. Kalau pun ada yang menyesatkan kalian, itu hanyalah dunia.” (HR. Imam Ahmad)

Ak-02 Mutiara Rasul

Adakah Yang Lebih Besar dari Allahu Akbar?

Berkat dakwah yang baik dan sikap saling membantu, anak yang bernama Ady bin Hatim itu pun luluh hatinya, dan akhirnya masuk Islam.

Suatu ketika datang sekelompok pasukan yang dikirim Rasulullah SAW untuk mengambil beberapa orang tawanan dari bani Ady bin Hatim. Sementara itu Ady bin Hatim sedang berada di luar kota, tepatnya di Aqrib. Akhirnya pasukan Rasulullah SAW tersebut membawa beberapa orang bani Ady bin Hatim ke hadapan Rasulullah. Melihat banyaknya orang yang dibawa, Rasulullah SAW menyuruh salah seorang pasukannya untuk memimpin para tawanan itu berbaris. ”Suruhlah mereka berbaris.”

“Siap, Baginda,” jawab salah seorang prajuritnya.

Rasulullah SAW kemudian berjalan mengitari barisan tawanan itu dengan langkah yang berwibawa. Dari wajahnya yang putih bersih, terpancar keteduhan bagi siapa saja yang memandangnya. Tibalah beliau di hadapan seorang wanita tua, ibu Ady bin Hatim.

Wanita itu langsung menyapa beliau, “Wahai Rasulullah, penolongku entah ke mana, dan anakku pun tidak ada. Sementara aku seorang wanita lanjut usia, dan tidak seorang pun yang mengurusi aku. Maka bermurah hatilah kepadaku sebagaimana Allah telah bermurah hati kepadamu.”

“Siapa penolongmu?” tanya beliau dengan tutur kata santun dan penuh kelembutan.

“Ady bin Hatim,” jawab wanita itu.

“Orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya,” sabda beliau kepada ibu Ady bin Hatim. Tampak wajah beliau berubah memerah, tanda beliau mulai bersikap tegas terhadap siapa pun.

“Bermurah hatilah kepadaku,” rengek wanita itu sambil memegang jubah beliau.

Tak lama kemudian wanita itu melepaskan pegangan pada jubahnya, sebab beliau kembali berjalan mengelilingi barisan tawanan itu.

Setelah berkeliling, beliau beserta Ali bin Abi Thalib mendatangi wanita itu. Lantas beliau bersabda, ”Mintalah bekal pada sahabatku ini.”

Maka ibu Ady bin Hatim kemudian meminta bekal kepada Ali bin Abi Thalib. Setelah mendapat bekal berupa uang dan makanan, ibu Ady bin Hatim diantar pulang ke rumahnya.

Sampai di rumah, tampak anaknya, Ady bin Hatim, telah berada di dalam rumah. Ibu Ady Hatim kemudian berkata, ”Aku telah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan ayahmu. Temuilah beliau (Nabi Muhammad SAW), baik dalam keadaan suka maupun terpaksa, karena Fulan bin Fulan pernah menemui beliau dan dia mendapatkan keuntungan dari beliau, begitu pula yang dilakukan orang lain, termasuk aku.”

“Baiklah kalau itu maumu, Bu,” kata Ady bin Hatim.

Lantas, sebagaimana perintah ibundanya, ia menemui Baginda Rasulullah SAW. Saat itu beliau sedang duduk bersama seorang wanita dan beberapa anaknya yang masih kecil.

Membantu Sesama

Demikianlah gambaran kehidupan Rasulullah SAW, yang begitu merakyat. Sekalipun telah menjadi pemimpin umat, beliau tetap bergaul dengan rakyat biasa, bahkan dengan anak-anak. Kedekatan antara pemimpin dan rakyat itulah yang membedakan kedudukan beliau dengan para raja pada zamannya.

Rasulullah SAW melihat kehadiran Ady bin Hatim, kemudian bertanya, ”Wahai Ady bin Hatim, apakah yang membuat engkau lari jika dikatakan la ilaha illallah? Padahal, memang tidak ada Illah (Tuhan) selain Allah SWT? Apakah yang membuatmu lari jika dikatakan Allahu Akbar (Allah Mahabesar)? Adakah sesuatu yang lebih besar dari Allah.”

Mendapat pertanyaan yang cukup berat itu, ia tersekat. Lidahnya menjadi kelu, pikirannya buntu untuk berkilah. Ady bin Hatim tercenung sejenak. Kemudian ia berkata, ”Ya Muhammad, memang benar apa yang engkau katakan. Maka, mulai detik ini juga, aku masuk Islam.”

Saat itu juga, wajah beliau berubah berseri-seri. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat ialah orang-orang Nasrani.”

Beliau kemudian menyampaikan pujian kepada Allah dan melanjutkan sabdanya, ”Amma ba’d. Kalian wahai orang-orang muslim. Hendaklah memberikan bekal kepada orang-orang ini.”

Begitulah perintah beliau kepada kaum muslimin, dianjurkan untuk membantu sesamanya, apalagi terhadap muallaf, orang yang baru masuk Islam. Maka kaum muslimin, sesuai perintahnya, kemudian memberi bekal kepada Ady bin Hatim. Ada yang memberi satu sha’ (3 kg), ada yang satu genggam makanan. Beliau kemudian bersabda, ”Sesungguhnya seseorang di antara kalian akan bertemu Allah SWT, lalu ada penyeru, ’Yang dapat Kukatakan, bukankah Aku telah menjadikanmu mendengar dan melihat? Bukankah Aku sudah menjadikan bagimu harta dan anak? Lalu apa yang kamu bawa? Dia melihat ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan, dan dia tidak mendapatkan sesuatu apa pun’. Tidak ada yang selamat dari api neraka kecuali wajahnya. Maka takutlah kalian terhadap api neraka meski hanya dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, dengan kata-kata yang lembut. Sesungguhnya aku tidak takut kemiskinan yang menimpa kalian. Sesungguhnya Allah benar-benar akan menolong kalian, akan memberikan dan akan menaklukkan berbagai negeri kepada kalian, hingga ada sekedup wanita yang mengadakan perjalanan dari Hairah ke Yatsrib atau lebih jauh lagi, tanpa merasa takut terhadap tindak pencurian terhadap dirinya.” (Sekedup adalah pelana atau tempat duduk dari kayu yang dipasang di punggung unta).

AST, Riwayat Ahmad dan Ath-Thabrany, Majma’ Az-Zawa’id

------------------------------------------------------

Kata-kata Mutiara:

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang meminta perlindungan atas nama Allah, berilah perlindungan. Siapa yang meminta atas nama Allah, berilah. Siapa yang meminta pertolongan atas nama Allah, berilah pertolongan. Siapa yang memberikan hal yang ma’ruf kepada kalian, balaslah. Jika kalian tidak mendapatkannya, berdoalah baginya, hingga kalian tahu bahwa kalian telah memberikan balasan kepadanya.” (HR Abu Daud dan An-Nasa’i)

---------------------------------------------------------

Ak-03 Mutiara Rasul

Pinangan 400 Dirham

Rasulullah SAW memerintahkan seorang pemuda yang berkulit hitam legam untuk menikahi seorang gadis dengan dibekali mahar 400 dirham. Sayang, pemuda itu akhirnya gugur di medan pertempuran.

Seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”Ya Rasulullah, apakah saya akan terhalang untuk masuk surga karena hitam kulitku dan jelek mukaku?”

“Tidak. Demi Allah, yang jiwaku di tangan-Nya, selama kau yakin dengan Tuhanmu dan percaya pada ajaran Rasul-Nya,” jawab Rasulullah.

“Demi Allah, yang telah memuliakan engkau dengan kenabian, saya telah bersyahadat, ‘Saya percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’, sekitar delapan bulan yang lalu, sebelum engkau datang kemari. Saya telah meminang kepada orang-orang yang ada di sekitarmu ini dan semuanya menolak aku karena hitam kulitku dan jelek wajahku. Padahal, aku sebenarnya keturunan yang baik dari suku bani Sulaim. Namun jelekku ini didapat dari keturunan ibuku,” kata pemuda berkulit hitam itu.

Rasulullah SAW lalu bertanya kepada para sahabat yang hadir di majelis, “Apakah yang hadir pada hari ini ada yang bernama Amr bin Wahb dari suku Tsaqief, yang belum lama masuk Islam?”

“Tidak.”

Nabi SAW kemudian bertanya pada orang itu, ”Apakah kamu mengetahui rumahnya?

“Ya,” jawab pemuda hitam itu.

Nabi SAW lalu bersabda, ”Pergilah dan ketoklah pintunya perlahan-lahan. Kemudian berilah salam kepadanya. Dan bila telah masuk, katakan padanya, ’Rasulullah SAW telah mengawinkan aku dengan putrimu’. Orang itu mempunyai putri cantik yang bernama Atiqah.”

Pemuda itu segera berlalu dari hadapan Rasulullah SAW dan menuju rumah Amr bin Wahb. Pada mulanya, sang tuan rumah menyambutnya dengan baik. Tetapi karena hitam kulitnya dan mukanya jelek, mereka lama-lama tidak senang melihat kondisi pemuda itu. Bahkan setelah pemuda itu menyampaikan pesan Rasulullah SAW bahwa ia telah dikawinkan oleh Nabi SAW dengan salah satu putri tuan rumah, kontan mereka menolak dengan cara yang kasar dan sangat rendah, penuh umpatan kata-kata yang kotor.

Mendapat sambutan yang tak sopan dari tuan rumah, tentu saja muka sang pemuda itu merah padam. Ia merasa terhina, ia pun segera kembali ke hadapan Rasulullah SAW.

Sementara itu, sepulangnya pemuda itu, sang putri itu mendadak berkata kepada sang ayah, ”Hai Ayah, carilah selamat! Carilah selamat! Sebelum turun wahyu yang membuka kedokmu. Jika ia benar mengawinkan aku dengannya, aku rela pada apa yang telah direlakan Allah dan Rasulullah untukku.”

Amr bin Wahb kemudian menghadap Rasulullah. Ketika sampai di majelis Rasulullah, ia langsung ditegur, ”Kamu yang telah menolak pinangan Rasulullah?”

“Benar. Tetapi saya minta ampun kepada Allah, sebab saya sangka ia dusta. Apabila ia benar, saya terima dan saya kawinkan putriku dengan mahar empat ratus dirham. Kami berlindung, jangan sampai terkena murka Allah dan Rasul-Nya.”

Mendengar permintaan Amr bin Wahb, Rasulullah SAW berkata kepada si calon suami, pemuda berkulit hitam tadi, yang bernama Sa’ad Assulami, ”Pergilah kepada calon istrimu dan penuhi permintaannya.”

“Saya tidak punya apa-apa, saya akan minta pada saudara-saudara saya,” jawab pemuda itu.

Melihat beban yang pemuda itu tak sanggup memikulnya, Rasulullah SAW berkata, “Pergilah kepada Usman bin Affan RA, terimalah darinya dua ratus dirham! Mahar untuk istrimu itu akan ditanggung tiga orang dari kaum mukminin.”

Maka pergilah pemuda hitam itu menuruti perintah Rasulullah SAW menuju kediaman Utsman bin Affan. Dari Utsman ia menerima lebih dari dua ratus dirham. Selanjutnya ia pergi kepada Abdurrahman bin Auf dan Ali bin Abi Thalib. Dari mereka, ia juga memperoleh lebih dari dua ratus dirham.

Memilih Jihad

Setelah mendapat uang yang banyak, ia pergi ke pasar untuk membeli oleh-oleh buat calon istrinya. Namun, sesampainya di pasar ia mendengar seruan, ”Ya Khailallah irkabi! (Hai kuda Allah, berkendaraanlah)!”

Tampak juga Rasulullah SAW di atas kudanya tengah berseru kepada kaum muslimin, ”Keluarlah untuk berjihad! Keluarlah untuk jihad!”

Mendengar seruan Rasulullah SAW, ia menjadi berubah pikiran. Ia tertunduk sebentar, kemudian mukanya menengadah ke langit seraya berdoa, ”Ya Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhan junjunganku Muhammad SAW. Aku akan mempergunakan uang ini pada sesuatu yang lebih disukai Allah dan Rasul-Nya, serta kepentingan kaum muslimin.”

Tekadnya telah bulat, ia kemudian membelanjakan seluruh uangnya itu untuk kepentingan jihad. Ia membeli kuda, pedang, tombak, dan perisai besi. Tak lupa ia juga membeli seperangkat pakaian perang. Setelah itu, ia mempererat ikat sorbannya, ikat pinggangnya, dan memakai topi baja. Hampir-hampir tidak terlihat postur aslinya, kecuali kedua matanya yang bulat.

Ia lalu berdiri tegak di tengah-tengah Muhajirin, sehingga mereka bertanya-tanya, siapakah penunggang kuda yang tidak dikenal itu.

Sahabat Ali sendiri sampai berkata, ”Biarkan. Kemungkinan ia dari Bahrain atau dari Syam. Ia datang untuk menanyakan ajaran-ajaran agama. Karena itu ia kini ingin mengorbankan diri untuk keselamatan kaum muslimin.”

Kemudian orang hitam itu maju ke barisan musuh dengan menggunakan pedang dan tombaknya untuk memukul dan memenggal orang-orang kafir, hingga kudanya pun tak kuat untuk mengimbangi kecepatan dari serangan pemuda itu. Akhirnya, ia turun dari kudanya sambil menyingsingkan lengan baju perang, sehingga Rasulullah SAW, yang kebetulan berpapasan dengan orang berpakaian asing itu, melihat tanda hitam di seluruh lengan, dan beliau langsung mengenalnya. Maka dipanggilah orang asing itu, ”Apakah kamu Sa’ad?”

“Ya, benar.”

“Untung nasibmu.”

Selanjutnya Sa’ad dengan penuh semangat kembali merangsek ke barisan terdepan pertempuran. Dengan pedang terhunus, ia menerjang setiap musuh yang ada di hadapannya. Hingga akhirnya, ia gugur sebagai syahid di medan tempur itu.

Begitu mendengar Sa’ad gugur, Rasulullah SAW langsung menuju kepadanya. Dengan perlahan-lahan, beliau mengangkat kepala Sa’ad, dan meletakkannya di pangkuan beliau. Sambil mengusap-usap tanah yang melekat di mukanya, beliau bersabda, ”Alangkah harum baumu. Alangkah kasihnya Allah dan Rasulullah kepadamu.” Nabi SAW sempat menitikkan air mata.

Tak berapa lama Rasulullah SAW tampak tersenyum, lalu berpaling dari muka Sa’ad, dan bersabda, ”Kini ia telah sampai di Haudh. Demi Tuhan, yang mempunyai Ka’bah.”

Abu Lababah bertanya, ”Ya Rasulullah, apakah Haudh?”

“Telaga yang diberikan oleh Allah kepadaku. Lebarnya antara Shan’aa Yaman hingga Basrah, Irak. Tepinya berhias dengan permata dan mutiara. Airnya lebih putih dari susu, dan rasanya lebih manis dari madu. Siapa yang minum satu kali dari telaga Haudh, tidak akan haus untuk selamanya.”

“Ya Rasulullah, mengapa engkau tadi menangis, lalu tersenyum, kemudian berpaling dari muka Sa’ad?” tanya Lababah.

“Tangisku, karena rindu kepada Sa’ad. Adapun senyumku, sebab gembira melihat kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya. Dan aku berpaling muka, karena melihat calon istri-istri Sa’ad (bidadari) yang berebut mendekatinya hingga terbuka betis mereka. Maka segera aku berpaling muka, karena malu. ”

Beliau kemudian menyuruh mengumpulkan pedang, tombak, dan kuda milik Sa’ad, untuk diserahkan kepada calon istrinya yang sudah berada di akad nikah, sambil memberi tahu Amr bin Wahb, ”Allah SWT telah mengawinkan Sa’ad pada bidadari yang lebih cantik dari putrimu.”

AST, sumber Tanbihul Ghafilin, karya Abulaits Assamarqandi

Anas bin Malik meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga hal yang barang siapa memilikinya akan merasakan manisnya iman: cinta kepada Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain, cinta dan benci kepada seseorang semata-mata karena Allah, dan benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ak05.Mutiara Rasul.AST

Meredam Kemarahan Orang Anshar

Rasulullah SAW mendapat harta rampasan yang banyak sekali setelah Perang Hunain. Orang-orang Anshar tidak diberi bagian, dan mereka marah.

Selepas Perang Hunain, orang-orang Hawazin, Ghathafan, dan beberapa kabilah lainnya datang bersama para wanita dan anak keturunan serta harta kekayaan mereka. Saat itu kaum muslimin yang bersama Rasulullah SAW berjumlah sekitar 10 ribu orang. Orang-orang yang baru dibebaskan beliau juga ikut serta. Mereka inilah yang lari dari medan perang dan meninggalkan beliau. Pada saat itu Nabi berseru dengan dua macam seruan, sambil menengok ke arah kanan, ”Wahai semua orang Anshar!”

”Kami mendengar seruanmu, wahai Rasulullah, kami bersama engkau. Maka terimalah kabar gembira ini. Kami tetap bersama engkau,” jawab kaum Anshar dengan serempak.

Saat itu beliau duduk di atas baghal (keturunan kuda dan keledai) yang berwarna putih. Beliau turun dari atas punggung baghal, lalu bersabda, ”Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Setelah itu orang-orang musyrik kalah telak, dan Rasulullah SAW mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak. Lalu beliau membagi-bagikannya di antara orang-orang Muhajirin dan orang-orang yang dibebaskan, sementara orang-orang Anshar tidak diberi bagian, walau sedikit pun. Itu membuat orang-orang Anshar marah, dan berkata,”Jika pada masa sulit kami diseru, sedang harta rampasan diberikan kepada selain kami.”

Rupanya perkataan orang-orang Anshar dengan nada marah terdengar sampai ke telinga Rasulullah SAW. Maka beliau mengumpulkan mereka semua dan bersabda,”Wahai semua orang Anshar, apa perkataan yang kudengar dari kalian? Itu adalah kemarahan yang kalian rasakan di dalam diri kalian. Bukankah aku datang kepada kalian sedang kalian dalam keadaan tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk pada kalian? Bukankah kalian miskin, lalu Allah memberikan kecukupan kepada kalian? Bukankah kalian bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati kalian?”

Kaum Anshar yang hadir membenarkan semua yang disabdakan Nabi, ”Benar. Allah dan Rasul-Nya lebih murah hati dan lebih utama.”

“Tidakkah kalian memenuhi seruanku?” tanya beliau kembali.

Orang-orang Anshar balik bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Apa yang harus kami penuhi dari engkau wahai, Rasulullah?”

Beliau dengan sangat tenang bersabda, ”Demi Allah, sekiranya kalian menghendaki, kalian dapat berkata, dan kalian akan dibenarkan, ’Engkau datang dalam keadaan telantar, lalu kami menolong engkau. Engkau datang dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat perlindungan. Engkau datang dalam keadaan memerlukan, lalu kami memberi santunan. Engkau datang dalam keadaan takut, lalu kami memberi rasa aman’.

Aku menyerahkan kepada keislaman kalian. Apakah kalian tidak ridha, wahai semua orang Anshar, sekiranya manusia pergi ke tempat tinggal mereka sambil membawa kambing dan unta, sementara kalian kembali ke tempat tinggal kalian sambil membawa Rasul Allah?”

Berkaca-kaca

Rasulullah SAW mengakhiri kalimat itu dengan mata berkaca-kaca. Para sahabat yang hadir tak kuasa menahan keharuan atas pertanyaan Nabi tersebut.

Suasana sejenak hening, dan terdiam semua, beliau lalu melanjutkan sabdanya, ”Demi Yang diriku ada di tangan-Nya, kalau tidak karena hijrah, tentu aku menjadi salah seorang Anshar. Sekiranya manusia melewati suatu lembah dan orang-orang Anshar melewati lembah lain, tentu aku melewati lembah orang-orang Anshar. Aku dapat menulis surat bagi kalian sepeninggalku, sehingga kalian mendapatkan bagian secara khusus yang tidak didapatkan orang lain.”

“Apa keperluan kami sepeninggalmu, wahai Rasulullah?” tanya mereka pada beliau.

Rasulullah SAW sejenak terdiam, beliau kemudian mengajak orang-orang Anshar untuk lebih bersabar. ”Jika tidak, kalian akan melihat orang-orang lain yang lebih diutamakan dalam pembagian rampasan. Maka bersabarlah kalian hingga kalian bersua Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah taman surga, seperti Shana’a dan Oman, yang bejananya lebih banyak dari jumlah bintang gemintang di langit.”

Nabi kemudian menengadahkan wajah dan kedua tangan beliau ke atas dan berdoa, ”Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu-cucu orang Anshar.”

Mendengar doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW, orang-orang Anshar dan semua yang hadir pun tak kuasa menahan keharuan. Mereka menangis hingga jenggot mereka basah oleh air mata. Mereka lalu berkata, ”Kami ridha kepada keputusan Rasulullah, bagian demi bagian dari rampasan perang yang dibagikan olehmu, ya Rasulullah SAW.”

Setelah itu, kaum muslimin satu per satu membubarkan diri, dengan wajah penuh kegembiraan.

AST, sumber: hadits riwayat Asy-Syaikhany dan At-Tirmidzy

Imam Ali RA berkata, “Telanlah amarahmu, sebab aku tidak pernah menemukan ‘minuman’ yang dapat meninggalkan rasa lebih manis daripada itu.”

AK07.MutiaraRasul.AST

Berdoa Menghentikan Hujan

Rasulullah SAW mengabulkan permintaan salah seorang umatnya yang meminta hujan. Namun, karena hujan menyebabkan banjir, beliau pun diminta kembali untuk berdoa menghentikan hujan.

Peristiwa ini terjadi di Madinah pada tahun keenam Hijriah. Pada waktu itu terjadi kemarau panjang, hingga mengakibatkan musim paceklik, yang menyulitkan kehidupan masyarakat Madinah. Juga banyak binatang ternak yang mati, karena tidak adanya air untuk diminum dan rerumputan untuk dimakan. Tanaman pun terserang hama, dan banyak pula yang mati kekeringan.

Keadaan ini, di sisi lain, menjadi hikmah bagi orang-orang kaya supaya sesekali merasakan penderitaan hidup, seperti keadaan orang miskin, yang senantiasa menahan haus dan lapar.

Kekeringan terus berlangsung hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang berkhutbah di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab pedalaman yang baru saja ikut berjamaah bersama Rasulullah. Ia berdiri dan angkat bicara, ”Wahai Rasulullah, kami datang kepada engkau, sementara di tengah kami tidak ada lagi bayi yang menyusui dan tidak pula unta yang menarik barang.”

Rasulullah SAW bangkit dari tempat duduk sambil menyeret sorbannya, lalu naik ke atas mimbar. Beliau memuji Allah dan bersabda, ”Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, hujan yang menyenangkan, menyelamatkan, menyuburkan, silih-berganti, banyak airnya, meresap ke dalam tanah, mengalir dengan cepat, menghidupkan bumi, menumbuhkan tanaman, mengisi kantung susu binatang. Jadikanlah hujan itu mengairi dan bermanfaat.”

Belum sempat Rasulullah SAW menarik tangannya dari prosesi berdoa, seketika itu juga udara yang tadinya panas menyengat, tiba-tiba berubah dingin menyejukkan. Kemudian awan hitam tampak bergulung-gulung di angkasa, disusul hujan turun dengan derasnya. Maka, sahabat yang masih berada di dalam masjid menunggu sampai hujan reda.

Lama mereka menunggu, tapi hujan tidak kunjung reda, hingga banyak di antara mereka yang nekat menerjang hujan, hingga badan mereka basah kuyup.

Rupanya, hujan pertama yang turun dengan derasnya itu tidak berhenti dalam satu hari saja, tapi sampai berhari-hari. Hujan terus tercurah dari langit tak putus-putus. Kilat dan petir menyambar silih-berganti.

Orang-orang yang berjamaah di masjid menjadi berkurang. Ada pula beberapa orang sahabat yang tak menghiraukan guyuran air hujan, karena tidak mau ketinggalan shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW. Suasana itu berlangsung hampir satu minggu lamanya.

Seperti dikisahkan dalam riwayat Anas bin Malik, hadits nomor 519 Shahih Bukhari, pada suatu siang Rasulullah SAW di dalam masjid hanya berjamaah dengan beberapa orang. Pada waktu shalat Ashar tiba, sesudah selesai melaksanakan shalat, Rasulullah seperti biasanya memberikan taushiyah di hadapan para sahabatnya. Pada waktu itulah, salah orang pedalaman Arab yang beberapa hari lalu minta hujan, kembali berdiri dan meminta beliau agar menghentikan hujan yang terus turun, ”Wahai Rasulullah, banyak rumah dan tanaman yang tenggelam. Berdoalah kepada Allah untuk kami.”

Sekali lagi, Rasulullah tidak menolak permintaannya. Beliau langsung menengadahkan tangannya, meminta kepada Allah agar hujan dihentikan, ” Allahumma hawalaina wa la 'alaina. Ya Rabb, turunkanlah hujan di sekitar kami, dan bukan di atas kami.”

Maka, tiba-tiba awan hitam di atas langit Madinah, seketika itu juga tersapu oleh awan putih yang cerah. Perlahan-lahan matahari pun muncul di permukaan langit. Udara yang tadinya dingin menggigit, mulai hangat. Bahkan setiap awan hitam yang ditunjuk oleh tangan beliau langsung menghilang, dan cuaca menjadi cerah.

AST

Imam Ali RA berkata, “Peliharalah iman kamu dengan memperbanyak sedekah, bentengilah hartamu dengan mengeluarkan zakat, dan tolaklah gelombang-gelombang bencana dengan berdoa selalu.”

Mutiara Rasul

Mensyukuri Nikmat Allah SWT

Suatu ketika Abu Bakar Ash Shidiq keluar dari rumahnya di siang hari di tengah panas terik matahari dalam keadaan gelisah. Ketika sampai di masjid, ia melihat sahabat Umar bin Khathab datang dalam keadaan yang sama. Umar lalu bertanya kepada Abu Bakar, ”Mengapa engkau berada di sini?”

“Aku di sini karena lapar,” jawab Abu Bakar.

“Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini,” kata Umar melanjutkan perbincangan.

Lalu keduanya terus berbincang-bincang sampai kemudian Rasulullah SAW datang menghampiri mereka dan mengucap salam.

“Untuk apa engkau berdua datang ke sini?” tanya Rasulullah SAW kepada mereka.

“Ya Rasulullah, kami sedang menderita lapar,” jawab Umar dan Abu Bakar.

Rasulullah SAW tersenyum, wajahnya berseri. Beliau lalu bersabda, ”Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini.”

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga lalu pergi ke rumah salah sahabat yakni Abu Ayub Al-Anshari. Namun, kebetulan saat itu, sahabat Abu Ayub tidak berada di rumah dan mereka lalu disambut oleh isterinya. Istri Abu Ayub tentu menyambut kedatangan Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya itu dengan perasaan gembira.

“Ke manakah Abu Ayub,” tanya Rasulullah SAW.

“Baru saja ia pergi dan akan segera pulang,” jawab istri Abu Ayub.

Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya, Abu Ayub tak berapa lama kemudian pulang. Ketika melihat Rasulullah SAW bersama dua sabahat berada di rumahnya, ia sangat gembira. Ia lalu membawa segugus korma dan meletakannya di hadapan Rasulullah SAW.

“Mengapa engkau membawa segugus korma yang sebagian mentah dan sebagian lagi masak? Bukankah lebih baik jika engkau mengambil yang masaknya saja? ” tanya Rasulullah SAW kepada Abu Ayub.

“Aku membawa semuanya agar dapat memilih yang mana yang disukai.” (Karena ada orang yang senang dengan korma masak, ada juga yang senang dengan yang masih mentah).

Kemudian Abu Ayub pergi untuk menyembelih seekor kambing muda, separuh dagingnya digoreng dan separuhnya digulai. Segera ia menghidangkannya ke hadapan Rasulullah SAW.

Beliau lalu mengambil sepotong roti dan sedikit daging, kemudian diserahkan kepada Abu Ayub dan berkata, ”Makanan ini hendaknya engkau berikan kepada anak kesayanganku Fatimah. Karena sudah beberapa hari ini ia tidak mendapatkan makanan.”

Abu Ayub mendapat perintah dari beliau, langsung beringsut dan segera pergi menuju rumah Fatimah untuk memberikan roti dan daging kambing yang telah dimasak.

Sementara itu Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya itu lalu menyantap makanan yang sudah disajikan dengan lahap, hingga kenyang. Setelah selesai makan, Rasulullah SAW bersabda, ”Roti, daging, dan aneka jenis buah korma ini semua adalah nikmat Allah SWT.” Kemudian Rasulullah SAW meneteskan air mata sambil berkata, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ini semua adalah nikmat Allah SWT yang akan di tanya pada hari kiamat. (Para sahabat memperoleh kenikmatan itu dalam keadaan yang sangat membutuhkannya. Karena itu mereka merasa heran, mengapa kenikmatan yang diperoleh dalam keadaan demikian pun akan ditanya). Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, ”Mensyukuri nikmat-nimat Alah itu diwajibkan. Oleh karena itu apabila kalian menghadapi hidangan makanan, maka mulailah memakannya dengan mengucap bismillah dan selesai makan hendaknya kalian membaca, ’Alhamdulillahiladzi asba’ana wa an’ama ‘alaina wa afdhala.’ ( Segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kami dan memberikan kami kenikmatan yang sangat banyak).

Rasulullah SAW lalu melanjutkan sabdanya,” Dengan membaca doa ini, kamu dapat bersyukur kepada Allah.”

AST, Fadhail A’mal, Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandhalawi

Ak12.Mutiara Rasul.AST

Mensyukuri Nikmat Allah SWT

Mensyukuri nikmat-nimat Alah itu diwajibkan. Oleh karena itu apabila kalian menghadapi hidangan makanan, maka mulailah memakannya dengan mengucap bismillah

Suatu ketika Abu Bakar Ash Shidiq keluar dari rumahnya di siang hari di tengah panas terik matahari dalam keadaan gelisah. Ketika sampai di masjid, ia melihat sahabat Umar bin Khathab datang dalam keadaan yang sama. Umar lalu bertanya kepada Abu Bakar, ”Mengapa engkau berada di sini?”

“Aku di sini karena lapar,” jawab Abu Bakar.

“Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini,” kata Umar melanjutkan perbincangan.

Lalu keduanya terus berbincang-bincang sampai kemudian Rasulullah SAW datang menghampiri mereka dan mengucap salam.

“Untuk apa engkau berdua datang ke sini?” tanya Rasulullah SAW kepada mereka.

“Ya Rasulullah, kami sedang menderita lapar,” jawab Umar dan Abu Bakar.

Rasulullah SAW tersenyum, wajahnya berseri. Beliau lalu bersabda, ”Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini.”

Tak berapa lama kemudian mereka bertiga lalu pergi ke rumah salah sahabat yakni Abu Ayub Al-Anshari. Namun, kebetulan saat itu, sahabat Abu Ayub tidak berada di rumah dan mereka lalu disambut oleh isterinya. Istri Abu Ayub tentu menyambut kedatangan Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya itu dengan perasaan gembira.

“Ke manakah Abu Ayub,” tanya Rasulullah SAW.

“Baru saja ia pergi dan akan segera pulang,” jawab istri Abu Ayub.

Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya, Abu Ayub tak berapa lama kemudian pulang. Ketika melihat Rasulullah SAW bersama dua sabahat berada di rumahnya, ia sangat gembira. Ia lalu membawa segugus korma dan meletakannya di hadapan Rasulullah SAW.

“Mengapa engkau membawa segugus korma yang sebagian mentah dan sebagian lagi masak? Bukankah lebih baik jika engkau mengambil yang masaknya saja? ” tanya Rasulullah SAW kepada Abu Ayub.

“Aku membawa semuanya agar dapat memilih yang mana yang disukai.” (Karena ada orang yang senang dengan korma masak, ada juga yang senang dengan yang masih mentah).

Kemudian Abu Ayub pergi untuk menyembelih seekor kambing muda, separuh dagingnya digoreng dan separuhnya digulai. Segera ia menghidangkannya ke hadapan Rasulullah SAW.

Beliau lalu mengambil sepotong roti dan sedikit daging, kemudian diserahkan kepada Abu Ayub dan berkata, ”Makanan ini hendaknya engkau berikan kepada anak kesayanganku Fatimah. Karena sudah beberapa hari ini ia tidak mendapatkan makanan.”

Abu Ayub mendapat perintah dari beliau, langsung beringsut dan segera pergi menuju rumah Fatimah untuk memberikan roti dan daging kambing yang telah dimasak.

Sementara itu Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya itu lalu menyantap makanan yang sudah disajikan dengan lahap, hingga kenyang. Setelah selesai makan, Rasulullah SAW bersabda, ”Roti, daging, dan aneka jenis buah korma ini semua adalah nikmat Allah SWT.” Kemudian Rasulullah SAW meneteskan air mata sambil berkata, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ini semua adalah nikmat Allah SWT yang akan di tanya pada hari kiamat. (Para sahabat memperoleh kenikmatan itu dalam keadaan yang sangat membutuhkannya. Karena itu mereka merasa heran, mengapa kenikmatan yang diperoleh dalam keadaan demikian pun akan ditanya). Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, ”Mensyukuri nikmat-nimat Alah itu diwajibkan. Oleh karena itu apabila kalian menghadapi hidangan makanan, maka mulailah memakannya dengan mengucap bismillah dan selesai makan hendaknya kalian membaca, Alhamdulillahiladzi asba’ana wa an’ama ‘alaina wa afdhala.’ (Segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kami dan memberikan kami kenikmatan yang sangat banyak).

Rasulullah SAW lalu melanjutkan sabdanya, ”Dengan membaca doa ini, kamu dapat bersyukur kepada Allah.”

AST, Riwayat At-Thahawi dari Abu Salamah, Musykilil Atsari

------

AK13.MutiaraRasul.AST

Bangit Bersama Untuk Perubahan

Rasulullah SAW tidak senang menjadi orang lain, beliau tidak suka diistimewakan oleh orang lain. Sikap beliau yang penuh kebersamaan di tengah umat, membangkitkan semangat perubahan yang luar biasa bagi para sahabat dan pengikutnya

Rasulullah SAW kita ketahui bersama adalah seorang pemimpin umat Islam. Tidak sebagaimana para pemimpin besar dunia, sikap beliau di tengah umatnya selalu penuh dengan kebersamaan, begitu merakyat. Kisah penuh kebersamaan ditunjukan saat beliau berkumpul dengan para sahabat hendak mengadakan pesta makan dengan menyembelih seekor kambing.

Beliau saat itu hadir mengikuti musyawarah kecil itu. Para sahabat memulai musyawarah kecil dengan pembagian tugas. Sahabat-sahabat dengan penuh semangat mulai mengacungkan tangan masing-masing untuk mendapat bagian tugas.

“Saya yang menanggung kambingnya,” kata salah seorang sahabat.

“Saya bagian membelih,” kata salah satu sahabat lainnya.

”Saya bagian menyembelih,” kata seorang sahabat tidak mau kalah.

“Saya bagian menguliti,” acung seorang sahabat yang pandai menguliti hewan buruan.

”Saya siap mengiris dagingnya,” kata seorang lagi.

“Saya siap memasaknya,” kata seorang sahabat yang hadir.

Ketika semua sahabat sudah mendapat bagian, Rasulullah SAW yang sedari tadi memperhatikan jalannya rapat kemudian berkata,“Saya bagian apa?“

“Sudahlah Ya Rasululah, anda tidak membutuhkan pekerjaan ini. Biarlah para sahabat yang lain mengerjakan,” kata salah seorang sahabat yang hadir saat itu.

“Saya tidak mau dapat bagian makan saja, saya harus dapat bagian dari pekerjaan bersama ini,” desak Rasulullah SAW.

Semua sahabat yang hadir terdiam, mendengar permintaan Rasulullah SAW. Tentu saja, mereka tidak berani memerintah baginda Rasulullah SAW,sang pemimpin umat.

“Kalau semua sudah dapat bagian, baiklah saya bagian mencari kayu bakar dan memasaknya,” sabda Rasulullah SAW memecah kebuntuan dari musyawarah kecil itu.

Demikian akhlak Rasulullah SAW yang begitu mulia dan agung sebagai pemimpin. Apa yang beliau lakukan selalu menjadi teladan dalam membangkitkan semangat yang penuh kebersamaan di tengah-tengah umat. Kisah lainnya yang membangkitkan kesadaran dalam berdakwah dicontohkan saat beliau dan para sahabat membangun masjid Quba.

Suatu waktu Nabi SAW membangun masjid Quba, masjid pertama di dalam Islam. Sekalipun beliau sudah menjadi pemimpin besar, beliau tidak berpangku tangan saja. Ketika orang-orang sibuk gotong royong membangun masjid, beliau larut dalam kesibukan mereka. Beliau ikut menyingsingkan lengannya, terjun langsung di tengah-tengah para sahabat. Tak segan-segan, beliau mengangkat linggis menggali parit di tengah terik matahari yang membakar menyinari bumi, hingga keringat beliau bercucuran membasahi jubah beliau.

Beliaa ikut membawa bata, hingga para sahabat yang melihat kejadian itu sampai melarang beliau untuk tidak turun langsung. Salah seorang sahabat berkata, ”Sudahlah Ya Rasulullah. Biarlah kami dan para sahabat yang lain yang mengerjakan.”

Apalagi, ketika itu para sahabat telah melihat kondisi Rasulullah SAW yang telah payah oleh pekerjaan berat. Bulir-bulir keringat telah mengucur deras membasahi jubah beliau dan jari jemari beliau pun telah lecet-lecet mengeluarkan darah karena membawa batu-batu yang kasar dan besar-besar.

Para sahabat yang melihat kejadian tersebut berusaha kembali melarang Rasulullah SAW yang bekerja keras mengangkat batu. Beliau terus saja mengangkat batu dan terkadang memecahnya menjadi bagian-bagian yang kecil, kemudian membawanya ke lokasi pembangunan masjid. Sangat wajarlah kalau jari jemarinya menjadi lecet-lecet dan mengeluarkan darah. Ketika para sahabat kembali menegurnya, Rasulullah SAW lalu mengajak bicara kepada jari jemarinya yang mengeluarkan darah tadi di hadapan para sahabat, ”Kamu kan cuma jari jemari tangan, pekerjaan ini jauh lebih penting kalau dibandingkan dengan kepentingan agama Allah.”

Demikian akhlak dan perilaku yang ditunjukan Rasulullah SAW. Kebesaran dan jabatan yang beliau pikul, tidak membuat beliau harus selalu berpangku tangan dan memerintah semau sendiri. Beliau selalu berusaha menempatkan diri sama di hadapan orang lain, sekalipun beliau tidak sama dengan manusia yang lainnya (Basaran Lakal Basyar). Inilah cerminan akhlak dari Rasululllah SAW dalam membangkitkan kebersamaan untuk sebuah perubahan besar di kemudian hari, sebagai sebuah pendidikan bagi umatnya.

AST

AK14.MutiaraRasul.AST

Mutiara Rasul

Keutamaan Menghormati Tamu

Salah satu sahabat Rasulullah SAW menjamu salah seorang tamu beliau, padahal saat itu ia dalam keadaan pas-pasan saja. Allah SWT tertawa melihat perilaku salah satu sahabat Rasulullah SAW dengan menurunkan QS Al-Hasyr

Suatu hari ada seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan berniat menginap di kediaman beliau. Melihat kesungguhan dari sang tamu untuk menginap, beliau tampak gembira, terlihat dari raut muka beliau yang tetap ceria dan senyumnya yang senantiasa terkembang. Beliau ingin menjamu tamunya itu dengan hidangan istimewa.

Dalam ajaran Islam, tamu yang datang ke rumah untuk bersilaturahmi adalah tamu Allah. Beliau pun ingin menjamu dengan menyajikan hidangan yang terbaik agar tamu yang datang menjadi senang dan gembira hatinya.

Maka diutuslah salah seorang sahabat yang hadir di majelis beliau, guna menanyakan dan menyediakan makanan kepada istri-istrinya untuk menjamu tamu tersebut. Lama sang utusan beliau bertanya pada isteri-isterinya, hingga akhirnya beliau bangkit berdiri dan segera masuk ke dalam rumah untuk bertanya sendiri kepada istri-istrinya.

Saat beliau masuk ke dalam rumah, tampak istri-istri beliau sedang berkumpul. “Sudahkah kalian mempersiapkan hidangan untuk tamuku?” tanya beliau kepada isteri-istrinya.

Agak lama juga istri-istri untuk menjawab pertanyaan beliau. Mereka malu untuk mengatakan kalau persediaan makanan benar-benar tidak ada sama sekali, karena telah dihabiskan untuk sarapan pagi. Hingga akhirnya salah satu dari istri beliau bangkit dan berkata, ”Ya Rasululah, makanan yang ada, telah habis untuk sarapan kami semua tadi pagi. Kami hanya memiliki air,” jawab salah satu istrinya sambil memperlihatkan satu kendi yang terbuat tanah liat kepada beliau.

Mendengar jawaban salah satu istrinya, Rasulullah SAW lalu cepat-cepat keluar dari dalam rumah dengan wajah tetap ceria, tanpa menyembunyikan perasaan kecewa. Ia kemudian mendekati para sahabat yang kebetulan juga sedang berkumpul di majelis beliau yang mulia itu. Seperti kita ketahui, majelis beliau setiap hari selalu ramai dengan taklim dan kupasan masalah agama Islam.

Beliau lalu bertanya kepada para sahabat yang hadir, ”Siapa yang sanggup menjamu tamuku ini?”

Mendapat pertanyaan dari Rasulullah SAW, salah seorang sahabat dari kaum Anshar langsung menjawab, ”Saya, Ya Rasulullah SAW. Tamu anda akan saya jamu di rumah.”

Salah seorang sahabat Anshar yang menyanggupi untuk menjamu tamu itu kemudian berpamitan undur diri kepada yang hadir di majelis Rasulullah SAW. Ia dengan tamu Rasulullah SAW itu kemudian pulang bersama-sama dengan sang tamu untuk bertandang ke rumah.

Sesampainya di rumah, sahabat Anshar itu langsung menemui sang isteri dan berkata, ”Hormatilah tamu Rasulullah SAW ini!”

Sang istri sahabat Anshar itu diam saja mendapat pertanyaan sang suami. Hingga akhirnya sahabat Anshar itu kembali bertanya, ”Kenapa engkau diam saja? Apa tidak ada makanan di rumah ini?”

“Kita tidak memiliki apa-apa, kecuali makanan untuk anak-anak kita, ” jawab sang istri.

Teringat akan kesanggupannya untuk menjamu tamu Rasulullah SAW, sang suami tersebut lalu memerintahkan istrinya untuk menyiapkan makanan, ”Siapkan makanan yang ada di rumah ini untuk tamu Rasulullah SAW dan segera nyalakan lampu. Setelah itu, kamu tidurkan anak-anak.”

Sang istri pun menurut perintah sang suami. Ia pun dengan perasaan gembira dan berusaha menutupi kesedihan yang sedang menimpa—dengan wajah yang ceria— lalu bergegas menemui sang tamu Rasulullah SAW, takut sang tamu terlalu lama menunggu. Sambil membawa hidangan komplit dan menyalakan lampu.

Selepas menjamu sang tamu dan membereskan piring serta gelas perjamuan, sang isteri sahabat itu lalu menidurkan anak-anaknya. Lalu sang istri yang setia itu mendekati sang suami dan mulai bercakap-cakap.

Tiba-tiba, terdengar derap kaki orang tengah mendekat ke arah mereka bedua. Sang suami lalu menyuruh sag isteri untuk memadamkan lampu. Langsung sang istri yang sangat setia itu mendekati lampu seolah hendak memperbaikinya, tetapi lalu memadamkannya.

Ketika lampu padam, suami dan istri tersebut menunjukan kepada tamu kalau mereka sedang makan sambil bercakap-cakap penuh mesra. Padahal sebenarnya mereka berdua (suami dan istri itu) semalaman sangat lapar dan tidak makan apa-apa. Karena makanan mereka,-- yang sangat terbatas itu-- telah diberikan pada sang tamu tersebut. Akhirnya sang tamu unjuk diri dari mereka dua, masuk ke kamarnya kembali untuk beristirahat.

Ketika pagi tiba, sahabat Rasulullah SAW langsung menemui Rasulullah SAW di rumahnya untuk melaporkan keadaan tamu beliau.

Belum sempat sahabat Anshsar itu melapor kepada beliau, rupa-rupanya Rasulullah SAW sudah tahu keadaan dan kejadian sebenarnya dari salah satu sahabatnya itu. Setelah mempersilahkan sahabat Anshar yang datang itu untuk duduk di majelis, beliau lalu bersabda, ”Tadi malam Allah tertawa atau kagum terhadap amal baik kalian berdua. Maka Allah menurunkan ayat 9 dari QS Al-Hasyr, ’Dan mereka (orang-orang Anshar) yang mengutamakan (orang-orang Muhajirin) di atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kekurangan. Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung’.”

AST, HR Bukhari No. 3790

www.ajisetiawan.blogspot.com