|
|
|
Nama :
H. Bachtiar Chamsyah, SE
Lahir :
P. Tiji Sigli, 31 Desember 1945
Jabatan :
Menteri Sosial RI
Agama :
Islam
Istri :
Roshidah MS (Guru SMU Negeri 8 Jakarta)
Anak:
Roshi Ika Putri, SE. Ak
Moh. Iqbal, SE. Ak
Rini Irawati (Fak. Teknik Universitas Pancasila, Jakarta)
Pendidikan
SD Negeri Kutacane, lulus 1957
SMP Negeri Medan, lulus 1961
SMA Ngeri Maninjau, Lulus 1964
AAN Negeri Medan 1966 s/d 1970
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Nommensen, Tingkat V, tidak
lulus
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi pada Universitas Medan Area, lulus 1997
Organisasi
1966. Anggota KAMI Komisariat AAN Negeri Medan
1967. Ketua Komisariat HMI AAN Negeri Medan
1969. Ketua Umum HMI Cabang Medan
1976. Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara
1971. Wakil Ketua Muslimin Indonesia Sumatera Utara
1994. Pjs. Ketua DPW Partai Persatuan Pembanguan Sumatera Utara
1994 – Sekarang. Wakil Sekjen DPP PPP
1999 – 2002 Sekjen Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI)
2002. Ketua Umum PARMUSI
Pekerjaan
1974 – 1981. Pegawai Honorer Pemda Kodya medan
1978 – 1980. Guru (Swasta) Perguruan Amir Hamzah Medan
1982 – 1987. Anggota DPRD Tk. 1 Sumatera Utara
1987 – 1992. Wkl. Pimpinan Umum Mingguan DEMI MASA, Medan
1992 – 1997. Angota DPR RI (Wakil Sekretaris FPPP)
1997 – 1999. Anggota DPR RI (Sekretaris FPPP DPR)
1999 – 2004. Anggota DPR RI
1999 – 2001. Ketua Komisi V DPR RI
2000 Ketua Pansus BULOG GATE
2001 Menteri Sosial RI pada Kabinet Gotong Royong
Riwayat Perjuangan
Aktif dalam penumpasan G.30 S/PKI dan Penegakan Orde Baru:
- Sebagai Ketua KAMI Komisariat AAN Negeri Medan
- Aktifis dan Ketua Komisariat HMI Medan
Tanda Penghargaan
Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi 2000
Alamat Rumah:
Jl. Widya Candra IV No. 18
Alamat Kantor:
Jalan Salemba Raya No.28, Jakarta Pusat
Telp (021) 3103591
|
|
=
1
2 3 4
5 6
=
H. Bachtiar Chamsyah, SE (1)
Nakhoda Kebangkitan Depsos Baru
Ia politisi yang piawai berdiplomasi meminimalisasi konflik untuk mencapai
suatu konsensus atau keputusan. Sarjana ekonomi yang mengaku belajar
politik dari emaknya (ibunya) ini merintis karir politik dari bawah. Ia
seorang kader terbaik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terakhir ia
didaulat menjadi calon Ketua Umum PPP bersaing dengan Hamzah Haz. Ia kalah
namun menyatakan tetap setia kepada garis perjuangan partainya.
Namanya mulai makin akrab di lidah publik bak selebriti, saat ia dengan
cerdas dan tangkas memimpin Pansus Bulog (2000-2001) yang ketika itu
melibatkan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Maka banyak pihak menilai sangat
bijak manakala Presiden Megawati mengangkatnya menakhodai kebangkitan
Departemen Sosial dari kubur.
Pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Departemen
Sosial (Depsos) ‘dikebumikan’ (dilikuidasi) dengan alasan tidak diperlukan,
apalagi karena sebelumnya diduga telah menjadi sarang korupsi, kolusi dan
nepotisme. Sekitar 2.500 pegawai Depsos berduka serta jutaan orang dibuat
heran dan bingung. Dua tahun kemudian (2001), ketika Gus Dur jatuh
tersandung kasus Bulog dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Depsos
dihidupkan kembali. Alasannya, masalah sosial yang dihadapi bangsa ini
sangat kompleks dan penangannya belum dapat sepenuhnya diserahkan kepada
masyarakat.
Jutaan pengungsi akibat berbagai konflik sosial harus sgera diatasi. Belum
lagi masalah fakir-miskin, anak telantar, yatim-piatu, bencana alam dan
lain sebgainya. Siapa yang harus mengurusi itu semua? Lalu siapa figur
pemimpin yang bertalenta mengatasi itu?
Presiden Megawati Sukarnoputri memilih H Bachtiar Chamsyah,SE. Seorang
politisi yang piawai bernegoisasi dan berdiplomasi untuk meminimalisasi
konflik untuk mencapai tujuan atau konsensus. Ia ‘anak Medan’ yang dinilai
tangkas dan cerdas (banyak taktik), sehingga diyakini mampu mengatasi
masalah pengungsi dan masalah sosial lainnya yang sangat kompleks itu.
Lebih lagi, ia dinilai seorang yang akan mampu memperbaiki citra Depsos
dari dugaan sarang KKN.
Padahal, lelaki Minang kelahiran Aceh ini tak menduga akan diangkat
menjadi menteri, apalagi menjadi Menteri Sosial. Latarbelakang
pendidikannya adalah ekonomi. Saat di legislatif (DPR) ia juga tidak
membidangi masalah sosial. Ia berada di Komisi V dan VI. Namun, ia tak
pernah merasa tidak mampu memimpin departemen ini. Baginya, apapun bidang
pekerjaan jika dihayati akan dapat dikerjakan dengan baik.
Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Kamis
19 Juni 2003, Bachtiar Chamsyah mengatakan, sudah terbiasa menghayati
setiap pekerjaan yang digumulinya. Kendati ia mengaku sangat banyak
masalah yang dihadapinya saat pertama kali masuk kantor sebagai menteri.
Namun, katanya, yang namanya memimpin tentu ada persoalan.
“Tetapi kita ‘kan dilatih mencari solusi dengan berpikir sistematis.
Itu fungsi bersekolah yaitu memecahkan persoalan dengan kerangka yang
sitemastis. Orang banyak berpikir masuk perguruan tinggi hanya untuk
menjadi pegawai. Tetapi sesungguhnya hakikat bersekolah itu adalah agar
kita dapat memecahkan persoalan secara sistematis,” ujar sarjana ekonomi (akuntansi)
dari Universitas Medan Area dan mantan mahasiswa tingkat V Jurusan
Akuntansi FE Universitas Nommensen ini, menjelaskan.
Bahkan ia menyatakan merasa berbahagia menghadapi tugas berat yang
dipercayakan di pundaknya. Bayangkan waktu awal-awal menjadi menteri, ia
harus menghidupkan dan membangun struktur organisasi yang sebelumnya telah
bubar. Kemudian harus bisa meyakinkan DPR untuk meningkatkan budget
departemen ini. Lalu memperbaiki citra Depsos yang sebelumnya dikenal
sebagai sarang korupsi. Menata anggaran sedemikian rupa. Setelah itu
menghadapi berbagai persoalan sosial yang makin kompleks dalam tahun-tahun
terakhir.
Ia merasa tugas Menteri Sosial itu berat, tetapi mulia. Artinya, itu
adalah tugas untuk melaksanakan amanat UUD, kemanusiaan, yang tidak ada
profitnya. Kendati tugas ini nonprofit, ia yakin dapat mengembannya dengan
mengajak mereka yang berkemampuan dan kalangan LSM untuk menanggu-langinya.
Apabila semua potensi di dalam masyarakat diajak, kerja berat it akan
menjadi ringan.
Untuk itu, sebagai nakhoda, ia sadar harus menjadi teladan. Mulai dari hal
kecil hingga yang terbesar. Mulai dari persoalan jam kerja hingga
kecepatan bertindak dan mengambil keputusan. Ia memulai dengan disiplin
masuk kantor jam tujuh pagi dan pulang rata-rata jam setengah delapan
malam.
Ia pun berhasil membangkitkan semangat hidup semua jajaran Depsos yang
dipimpinnya. Ia mengajak jajaran Depsos melakukan introspeksi untuk
membangkitkan eksistensi dan citra Depsos baru.
Dua tahun Depsos ‘dikebumikan’ diinspirasikannya menjadi cambuk, semacam
pertapaan atau bersemadi, seperti renungan Toynbee dalam A Study of
History. Bertapa, bersemadi, diibaratkannya sebagai bibit (biji, tampang)
yang ditanam di dalam tanah (mengasingkan diri ke dalam tanah), untuk
kemudian tumbuh atau timbul kembali sebagai tanaman baru yang akan berbuah
banyak dan berguna.
Toynbee menyebut hal itu “withdrawal and return”, bertapa dan kembali dari
pertapaan. Jadi bertapa bukan untuk terus bertapa, karena bertapa terus
sama artinya dengan bunuh diri. Melainkan bertapa untuk menerima wahyu,
inspirasi, dan menghimpun tenaga baru untuk kemudian kembali ke dalam
perjuangan masyarakat, menjadi teladan dan penunjuk jalan baru bagi rakyat.
Memberi citra baru eksistensi dan perjalanan perjuangan Depsos, yang
demikian strategis dan urgen mengatasi persoalan-persoalan sosial yang
amat kompleks.
Saat peraya-an Proklamasi RI ke-56 di Depsos, ia mengatakan pembubaran
Depsos di era Gus Dur merupakan renungan bagi kita untuk introspeksi dan
memperhatikan kinerja yang berdaya guna dan bertanggung jawab. “Kita
ditunggu setumpuk persoalan sosial, yang semakin hari semakin bertambah,”
katanya.
Kiprahnya sebagai Menteri Sosial sangat fenomenal dalam membangkitkan
kembali Depsos sebagai departemen strategis yang amat diperlukan bangsa
ini. Ia berupaya menjadikan Depsos berkemampuan menyelesaikan berbagai
masalah sosial, termasuk dampak sosial krisis ekonomi, terutama yang
dialami keluarga rentan, anak jalanan dan kaum telantar, guna mengangkat
harkat dan martabat sosial-nya, serta dapat mengem-bangkan kesetiakawanan
sosial masyarakat.
Ia pun menegaskan tidak akan menjadikan Depsos sebagai pemungut limbah
sosial akibat pembangunan yang salah arah. Ia dengan tegas mengatakan
bahwa pemberdayaan sosial akan menjadi leading sector Depsos baru. Ia
sudah bertekad untuk tidak memosisikan departemen ini hanya sebagai
pemadam kebakaran yang hanya mengatasi masalah setelah terjadi dan
memungut limbah sosial akibat pembangunan yang salah arah. “Apabila kita
mampu mengatasi masalah sosial di hulunya, mudah-mudahan di hilir
limbahnya akan berkurang,” ujar menteri yang berasal dari keluarga
sederhana ini.
Dua Juta Pengungsi
Saat ia memulai tugasnya sebagai Mensos, persoal-an sosial yang paling
berat ada-lah pengungsi. Karena ketika itu, pengungsi hampir 2 juta orang
yang terserak di 16 propinsi. Mereka pengungsi dari Maluku, Ambon, Poso,
Timor Timur, dan Kalimantan Tengah. Semua itu harus diselesaikan dan
memakan waktu yang panjang serta penanganan yang tidak sama.
Salah satu kasus pengung-si yang masih belum selesai saat ini adalah
pengungsi transmigran Madura yang diusir dari Kalimantan Tengah dan
sekarang masih berada di Madura. Walaupun secara alamiah sudah ada yang
masuk kembali ke Kalteng, tetapi tidak bisa besar-besaran.
Belum lagi masalah pengungsi Madura, Poso dan lain-lainnya selesai secara
keseluruhan, sudah muncul pula pengungsi di Aceh. Ken-dati dengan situasi
dan kon-disi yang berbeda, namun semuanya pasti membutuh-kan kecepatan dan
ketepatan bertindak.
Begitu diumumkan darurat militer di Aceh, ia dengan cepat mengirimkan
bantuan. Untuk mengurusi pengungsi di Aceh ini, ia memang seper-ti tak
kenal lelah, bolak-balik ke Aceh, sehingga penangan-annya dapat lebih baik.
Ia terlihat sangat menghayati tugas-tugas sosial di departemen yang
dipimpinnya. Ia dengan cekatan beradaptasi bahkan melakukan inovasi dengan
tantangan masalah sosial yang dihadapinya. Ia memang sudah terlatih
menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai situasi dan kondisi.
SDM Depsos
Perihal kesiapan SDM di Depsos, ia mengatakan tidak ada masalah.
Menurutnya, SDM Depsos itu sebenarnya terlatih. “Orang banyak mengatakan
macam-macam, tetapi sebenarnya mereka ini terlatih. Kita saja bisa kalah.
Karena mereka bekerja di bidang ini berpuluh tahun,” katanya.
Menurutnya, para pegawai Depsos itu tahu bagaimana permasalahan dan solusi
mengatasi pengemis. Mengapa pengemis terjadi dan bagaimana cara
mengatasinya, mereka tahu. Bacaan mereka banyak. Maka, katanya, yang perlu
adalah kebijakan. Sementara, secara teknis mereka mampu mengerjakan dan
bertanggung jawab.
“Tetapi kita juga harus menjadi teladan. Misalnya, kita menyuruh orang
bekerja jam 7 atau jam 8, tetapi menterinya baru masuk jam 10, mana dia
percaya. Atau kita mengatakan kamu harus jujur tetapi menterinya korupsi.
Mereka akan bicara di belakang: Ah, korupsi saja, apa bagian kita nih!”
kata mantan Ketua Umum Badko HMI Sumatera Utara (1976) ini.
Ia pun dengan yakin menyatakan bahwa kini Depsos tidak lagi patut disebut
sebagai sarang korupsi. “Jika ada aparat saya korupsi, kasih tahu, supaya
saya tindak. Yang penting jangan difitnah. Jadi enak kan?” tegasnya.
Bagaimana ia dengan yakin mengatakan di Depsos tidak ada lagi korupsi,
sedangkan korupsi itu sudah menjadi semacam budaya? “Kita objektif saja,
umpama membeli barang, kita ‘kan tahu ada aturan-aturan bisnis. Kita
ijinkan saja harga barang itu naik 5-10 persen. Karena di situ masih ada
pajak. Jadi kita fair-fair saja,” katanya.
Sementara, mengenai pernyataan ‘makin banyak pengungsi makin banyak
korupsinya,’ ia menanggapi-nya sebagai dugaan tak beralasan. Sebab, tidak
pernah ada yang berani terang-terangan memberi bukti. Maka, dalam kaitan
ini, ia dengan tegas meminta aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim agar
serius menangani apabila ada kasus penyimpangan bantuan sosial yang
melibatkan aparatnya.
Pernyataan itu dilontarkannya seusai menyerahkan 4.200 ekor sapi kepada
petani di Kuningan, Kamis 3 Juli 2003 lalu. “Enggak usah ragu menangkap
pelakunya. Menterinya tidak akan membela koq. Masa saya mau melindungi
pelaku korupsi. Tangkap saja kalau sudah ada indikasi korupsi,” tandasnya.
Politisi Handal
Putra bangsa kelahiran Tiji, Sigli, Aceh, 31 Desember 1945 ini seorang
politisi yang sudah punya jam terbang cukup lama di panggung politik
nasional. Bahkan, sejak remaja ia sudah aktif di keanggotaan Kepanduan
Hizbul Wathan. Kemudian merintis pengalaman berorganisasi di HMI, saat ia
kuliah di Akademi Adminitrasi Niaga (AAN) Negeri Medan (1966). Tahun 1967
ia menjadi Ketua Komisariat HMI AAN Negeri Medan. Dua tahun kemudian
menjadi Ketua Umum HMI Cabang Medan sampai akhirnya menjabat Ketua Umum
Badko HMI Sumatera Utara (1976).
Ketika mahasiswa, ia banyak pindah-pindah kuliah. Pertama, ia kuliah di
AAN Negeri Medan. Kemudian melanjut ke Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Nomensen sampai tingkat lima. Namun karena masalah keuangan,
ia tidak bisa melanjutkannya sampai selesai. Waktu itu uangnya sebesar
Rp.300.000 dipinjam orang tapi tidak dikembalikan. Uang sebesar itu pada
tahun 1970 sudah cukup besar. Uang kuliah saat itu di Universitas
Nommensen tidak sampai Rp 10.000. (Ketika itu, kuliah di Medan, termasuk
di Nomensen, masih banyak menggunakan sepeda. Hanya satu-dua saja yang
menggunakan Vespa).
Uang itu ia peroleh dari hasil objekan. Sebagian ia pakai untuk menikah,
dan sisanya Rp.300.000 ditabung. Kemudian, uang Rp.300.000 itu dipinjamkan,
dengan tawaran mendapat keuntungan (bagi hasil) Rp. 10.000 per bulan.
Namun, akhirnya uang tersebut tidak pernah kembali.
Akibatnya, ia tidak bisa menyelesaikan kuliah, berhenti di tingkat lima.
Setelah itu ia memulai karir sebagai pegawai harian honorer Pemda Medan,
dengan gaji Rp. 1000 per bulan pada tahun 1974. Sadar tidak mungkin bisa
hidup dengan gaji sebesar itu, maka ia mengajar di SMA Perguruan Amir
Hamzah bidang studi Ekonomi dan Sejarah.
Kemudian, ia keluar dari pegawai Pemda (1981) dan masuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Lalu menjadi anggota DPRD Tk I Sumatera Utara pada
tahun 1982, saat ia berumur 37 tahun. Saai itu, ia pun bergabung dengan
Parmusi.
Pada tahun 1984, ia sempat menjabat Ketua DPW Partai Persatuan Pembanguan
(PPP) Sumatera Utara. Saat Musyawarah Wilayah PPP tahun 1984 itu, ia dan
Ridwan Rahmat terpilih (menang) untuk memimpin DPW tetapi karena
pemerintah dan DPP, terutama Naro, tak suka, ia harus ‘dikalahkan’ dan
tidak disetujui. Ia pun melawan. Tetapi karena dulu (era Orde Baru)
musimnya tergantung pemerintah, akhirnya ia harus menerima kenyataan pahit
itu.
Lalu saat Buya Ismail menjadi Ketua Umum DPP PPP, Bachtiar diangkat
kembali menjabat Ketua DPW PPP Sumut. Tetapi, lagi-lagi Gubernur
Kaharuddin merasa tidak senang, karena kerangka berpikir penguasa saat itu,
tidak boleh ada orang pintar dalam partai -- harus Golkar yang besar
sedangkan dua partai lain hanya sekadar bunga demokrasi -- sehingga semua
cara dilakukan untuk menggagalkannya menjabat Ketua DPW PPP Sumut itu.
Dalam masa itu, ia sempat menjabat Wakil Pimpinan Umum Mingguan DEMI MASA,
Medan. Tapi, Buya Ismail kemudian menariknya menjadi anggota DPR RI. Ia
pun berkantor di Senayan selama 10 tahun. Pernah menjadi Ketua Komisi VI
dan terakhir sebagai Ketua Komisi V dan Ketua Pansus Bulog.
Tahun 1994-2003 ia menjabat Wakil Sekjen DPP PPP. Setelah itu, pada
Muktamar V PPP Mei 2003, ia menghadapi tantangan dalam perjalanan karir
politiknya. Ia didaulat mencalonkan diri untuk menjabat Ketua Umum DPP PPP
bersaing dengan Hamzah Haz. Muktamar menetapkan tujuh orang anggota
formatur dari 34 nama calon yang diusulkan oleh 407 DPC dan 30 DPW.
Ketujuh orang formatur tersebut adalah KH Thoyfur (277 suara), Endin AJ
Soefihara (264 suara), Bachtiar Chamsyah (256 suara), Hafidz Ma’soem (254
suara), Ali Marwan Hanan (247 suara), Yunus Yosfiah (221 suara), dan
Husnie Thamrin (213 suara).
Formatur ini dipercayakan menyusun kepengurusan DPP PPP 2003-2008. Namun,
terpaksa ia dan dan Husni Thamrin meninggalkan ruang rapat formatur karena
perbedaan prinsip dengan formatur lainnya. Pada Muktamar itu, Hamzah Haz,
yang tengah menjabat Wakil Presiden, terpilih kembali. Ia ditawari
menjabat Wakil Ketua Umum atau Sekretaris Jenderal. Namun, ia tidak
bersedia karena merasa akan sulit mengejawantah-kan visinya dalam
kepengurusan baru.
Pasalnya, beberapa kader partai yang dianggapnya potensial tidak
terakomoder dalam kepengurusan. Sehingga banyak kader PPP yang kecewa
terhadap hasil Muktamar PPP itu. Mereka ada yang mengusulkan segera
dilakukan Muktamar Luar Biasa. Bahkan ada yang melontarkan wacana
membentuk partai baru.
Namun, ia tetap menunjukkan kematangan berpolitik. Kendati ia dan
teman-temannya tidak berada di DPP, ia menyatakan akan tetap setia kepada
garis politik partainya. Ia mengingatkan agar para kader partai itu harus
tetap di dalam PPP. “Walaupun banyak yang menginginkan mendirikan partai
baru, saya bilang jangan. Itu ‘kan membuat kita mundur. Kita harus
betul-betul menjadi kader yang baik saja. Nggak usah kita
gerasak-gerusuklah,” kata mantan Sekjen PARMUSI (1999-2002) ini.
Ia memang seorang politisi yang sudah punya jam terbang cukup tinggi. Ia
mengaku mengenal dunia politik dari emaknya (ibunya) yang berbekal
pengetahuan dari surat kabar, radio, dan televisi. Ibunya banyak
mengisahkan petualangan para politisi bangsa ini dari Soekarno, Hatta,
Sjahrir, hingga Natsir. “Dari emaklah aku tahu apa itu politik,” katanya.
Emaknya pula yang mengingatkan agar ia selalu ingat pada nasib dan
penderitaan rakyat, serta memperjuangkan kepentingan rakyat. Sentuhan
kasih sayang ibunya yang kini berusia hampir satu abad (99 tahun) telah
menempanya menjadi politisi yang patut diperhitungkan oleh teman dan lawan
politiknya.
Sang emak mengajarkannya bagaimana bersikap santun tapi tegas. Tegas tak
perlu keras, tapi bisa juga berseling humor. Perpaduan karakter ini,
sungguh tercermin dalam dirinya. Ia mampu bersikap fleksibel dalam
menghadapi setiap kondisi sulit. Kapan harus bersikap tegas dan kapan
berperilaku lemah lembut. Ajaran budi pekerti dan perilaku santun pada
kawan dan lawan politik tersebut merupakan mutiara pelajaran etika
berharga dari perempuan yang melahirkannya itu.
Nasihat Sang Emak itu pula yang memperteguh keyakinannya memilih partai
berlambang Ka’bah dan berasas Islam ini, sebagai organisasi saluran
politiknya. Di Senayan, ia dikenal sebagai salah seorang anggota DPR yang
produktif dan aspiratif. Maka tak heran bila para wartawan di DPR/MPR
pernah memilihnya sebagai salah seorang dari sepuluh anggota DPR terbaik.
Pansus Bulog
Tahun 1999 – 2001 ia menjabat Ketua Komisi V DPR RI. Namanya makin akrab
di lidah publik bak selebriti, saat memimpin Pansus (Panitia Khusus) Bulog
(2000-2001). Saat itu, ia dengan piawai menun-jukkan kematangan berpolitik.
Keberhasilannya memimpin Pansus Bulog telah mengorbitkannya ke puncak
popularitas. Banyak buku yang menuliskan peristiwa tersebut, tentang
bagaimana ia memimpin Pansus kasus Bulog yang menggelinding dan berakibat
turunnya Gus Dur dari tampuk kekuasaan presiden.
Bachtiar yang akrab dipanggil Abang ini dipilih menjadi Ketua Pansus tentu
dengan pertimbangan matang. Sebab, sebenarnya dalam konvensi DPR, ketua
Pansus itu harus dari fraksi terbesar, yaitu PDIP. Tetapi karena ia
dinilai mampu dan paling senior, berpengalaman, serta bergaul akrab dengan
anggota yang lain, sehingga ia dipilih menjadi ketua.
Ketika menangani kasus Bulog itu, ia banyak menghadapi tantang-an, baik
intimidasi maupun upaya suap. Kisah itu ada dalam buku Meretas Jalan
Berliku. Pada waktu itu tawaran suap dan intimidasi begitu banyak. Tetapi
ia tahan menghadapinya. Begitu pula teman-temannya yang lain. “Jadi di
situ saya melihat kuatnya solidaritas lintas fraksi, yang dibangun bukan
sebentar. Tetapi satu tahun setengah untuk membangun itu. Menjalin
kebersamaan itu tidak mudah,” kenang penerima penghar-gaan Satya Lencana
Pembangunan Bidang Koperasi 2000 ini.
Sejak awal ia menyadari bahwa kasus Bulog yang melibatkan Gus Dur ini
bukanlah persoalan biasa. Pendukung Gus Dur yang dikenal fanatik menjadi
salah satu yang harus dihadapinya. Saking beratnya tanggung jawab yang
diemban, ia pernah mengatakan kerja Pansus ini merupakan pekerjaan ‘orang
gila’.
Tapi dasar seorang politisi yang sudah terasah. Ia telah pernah mendapat
tekanan dan perlakuan diskriminatif dari penguasa Orde baru sejak dirinya
aktif di partai berlambang Ka’bah. Maka, ia tidak mau gentar dan surut
menerima amanah untuk menelisik kebenaran di balik kasus Bulog dan bantuan
Sultan Brunei itu.
Ia mengakui pengalamannya selaku Ketua Pansus Bulog merupakan tugas
terberat yang dipikulnya selama menjadi politisi. Sekalipun semula ia
sempat ragu, tapi ketika rekan-rekannya menunjuknya sebagai ketua, ia pun
membulatkan tekad melaksanakan-nya. Apalagi usulan inisiatif Pansus Bulog
itu muncul dari Fraksi Persatuan Pembangunan bersama Fraksi Reformasi.
Ketika itu sempat ada dilema di kalangan internal partainya sebelum sampai
pada putusan Sidang Istimewa (SI), mengingat peran fraksinya yang
mendukung pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Tapi, menurutnya,
pilihan politik yang diambil fraksinya merupakan konsekuensi dari garis
partai yang menjunjung tinggi amar makruf nahi munkar. Jadi bukan
persoalan siapa presi-dennya. Tapi konsistensi menolak segala bentuk
penyalahgunaan atau penyelewenangan kekuasaan.
Menurutnya, PPP konsisten pada garis reformasi, dan tidak mentolerir
terulangnya kesalahan di masa lampau. Bukan soal besar-kecilnya jumlah
uang penyelewengan, tapi lebih ditekankan pada soal moralitas dan
penyalahgunaan kekuasaan.
Lagi pula pelaksanaan pemerintahan Gus Dur saat itu sering kali
mengeluarkan pernyataan kontroversial dan lain-lain. Dikuatirkan hal itu
akan membuat bangsa ini hancur. “Jadi waktu itu motivasi menyelamatkan
bangsa mencuat begitu kuat. Tidak tahan kita kalau setiap Jumat, presiden
membuat statemen yang kontroversial. Coba bayangkan, di Aceh tentara tidak
boleh keluar dari asrama lebih dari 500 meter.
Kemudian Presiden pergi ke Aceh membuka selubung refrendum. Di Papua
menginjinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora asal di bawah bendera
merah putih. Kemudian dibantunya pula Kongkres Rakyat Papua. Kongres itu
untuk merdeka, memisahkan diri dari NKRI. Suatu tindakan presiden yang
tidak masuk akal,” jelasnya.
Maka mencuat idealisme untuk menyelamatkan bangsa. Hal yang sama ada di
hampir seluruh anggota Pansus. Itu yang membuat Pansus Buloggate tidak
mempan disogok.
“Ada sekitar 50 teman-teman yang terus bertahan. Karena ketika kami
menyampaikan opsi memorandum, itu votingnya tengah malam seperti Pemilu.
Sehingga steril dari kemung-kinan upaya sogok. Semuanya setuju,” kata
suami Roshidah MS, guru SMU Negeri 8 Jakarta itu.
Waktu itu ia amat lincah. Setiap malam harus bekerja dan diskusi. “Bagi
saya menjadi pengalaman politik yang paling berkesan, namun berat.
Sehingga dari situ saya memetik pelajaran yaitu betapa loby-loby
antarpimpinan fraksi sangat menentukan. Menjalin saling kepercayaan
antarpimpinan sangat menentukan.
Sehingga anggota itu sadar bahwa kebijakan yang diambil Pasus Bulog tidak
ada unsur kepentingan pribadi, tetapi yang ada hanya kepentingan bersama.
Jadi sangat akrab. Anggota-anggota yang paling vokal di DPR kan itu
semuanya rata-rata anggota Pansus Bulog, sehingga garang-garang, tapi
semuanya akrab,” kenang ayah tiga anak (Roshi Ika Putri, SE. Ak, Moh.
Iqbal, SE. Ak dan Rini Irawati mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
Pancasila) ini.
Kerja keras Pansus Bulog selama lebih empat bulan akhirnya bisa diterima
oleh DPR yang membuah-kan Memorandum I dan II untuk Presiden Abdurrrahman
Wahid. Kemudian mendorong diselenggara-kannya Sidang Istimewa MPR yang
bermuara pada jatuhnya Gus Dur.
Berbenturan dengan kekuasaan memang bukan hal baru baginya. Bukankah ia
sudah pernah harus rela melepaskan kursi Ketua DPW PPP Sumatera Utara yang
telah diraihnya dengan susah payah. Daya tahan politiknya bahkan sudah
teruji semasa mudanya. Ketika marak kasus Komando Jihad, ia sempat
diinterogasi aparat Laksus di Medan hanya karena dirinya seorang ketua HMI
Badko Sumatera Utara tahun 1976.
Maka tak heran jika teror selama menjadi ketua Pansus Bulog dan Brunei tak
sampai menggelisahkannya. Apalagi teror yang diterimanya banyak hanya
melalui surat kaleng yang dialamatkan ke ruang kerjanya di lantai 15
gedung DPR. Tumpukan surat itu tak pernah dibacanya, karena ia tak ingin
kerjanya di Pansus terpengaruh. Sehingga hasil kerja Pansus Bulog telah
menjadi salah satu catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
Ia memang dikenal sebagai seorang poltisi yang teguh pada prinsip. Namun
bukan berarti tidak bisa diajak berkompromi. Ia seorang yang sangat
menghargai perbedaan pendapat.
Terakhir, terlihat dari sikapnya yang tegas dan cepat menunda pelaksanaan
undian asuransi kematian atau kupon megakuis olahraga dan kemanusiaan (Oke).
Ia menghargai perbedaan pendapat mengenai hal ini. Undian ini dikuatirkan
meresahkan masyarakat karena dinilai berbau judi dan bertentangan dengan
agama.
“Saya melihat ada pro kontra di masyarakat terhadap undian itu. Ini bukan
SDSB, namun daripada menambah polemik di tengah masyarakat saya stop.
Jangan menambah polemik lagi karena masyarakat sudah bosan,” katanya
dengan lepas, tanpa beban. *atur - yusak
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|