Editorial

Islamisasi Ruang Publik

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saat ini, memakai jilbab bukan lagi sekedar tanda kesalehan agama, tetapi juga sebuah mode. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat “fashionable”. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari.

06/02/2012 | Editorial, | Komentar (0) #

Nasionalisme Abdullah bin Nuh

Oleh Saidiman Ahmad

Bin Nuh menulis: “Anda adalah saudaraku. Apapun keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tidak kenal aku dan tidak tahu siapa bundaku. Walaupun aku tidak pernah tinggal serumah dengan anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda….”

03/02/2012 | Editorial, | Komentar (4) #

Dua Corak Tradisi Islam

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini, kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Jawa.

Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa Sunan Kudus dulu.

24/01/2012 | Editorial, | Komentar (7) #

Demokrasi Islam?

Oleh Saidiman Ahmad

“...perubahan politik menuju demokrasi yang melanda dunia Islam saat ini mesti dibaca sebagai fenomena baru yang tidak melulu bisa dijelaskan melalui pendekatan doktrin dan sejarah. Interaksi dan perilaku masyarakat Muslim sendirilah yang menyebabkan itu terjadi. Pola-pola interaksi sosial yang terus berubah ditambah dengan aktor-aktor demokrasi yang terus bergerak melakukan mobilisasi sumber daya yang menyebabkan semua ini terjadi.”

16/01/2012 | Editorial, | Komentar (3) #

Fundamentalisme Yahudi

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Apa yang diperlihatkan oleh kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini sebetulnya menunjukkan bahwa gejala fundamentalisme bukanlah khas pada agama tertentu, tetapi ada pada agama-agama besar dunia. Ada di Yahudi, ada di Kristen, dan ada pula di Islam.

09/01/2012 | Editorial, | Komentar (12) #

Merayakan Natal di Rumah Eyang

Oleh Lies Marcoes Natsir

“Saya membiarkan proses pengenalan anak-anak saya pada agama lain melalui cara yang wajar seperti ini. Saya tidak ingin membangun prasangka seperti saya mendapatkannya di waktu kecil. Anak-anak saya tumbuh dalam komunitas yang plural dan terbuka. Mereka akan memiliki pergaulan yang lebih luas dari saya. Menjadi terbuka dan toleran sangatlah penting bagi mereka.”

02/01/2012 | Editorial, | Komentar (14) #

Sinterklas dan Natal

Oleh Trisno S. Sutanto

“Seluruh kompleksitas cerita Injil tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekadar figur Sinterklas, undangan belanja, dan masa libur panjang di akhir tahun. Mungkin ini ‘nasib’ yang harus diterima ketika suatu perayaan keagamaan kehilangan élan vital-nya, entah terserap menjadi sekadar pernak-pernik budaya konsumerisme global, atau menjadi sekadar seremoni yang membosankan dan membuat orang mengantuk. Di situ pesan-pesan keagamaan mengalami proses insignifikansi maupun irrelevansi—tak lagi mampu memberi horison guna memaknai kehidupan, sekaligus tak lagi gayut dengan pergulatan sehari-hari.”

26/12/2011 | Editorial, | Komentar (9) #

Mengucapkan Selamat Natal

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

“Dengan demikian, bagi umat Islam sendiri, merayakan natal sesungguhnya merayakan hari kelahiran seorang utusan Tuhan yang harus diimani, Isa al-Masih,  yang diduga jatuh pada tanggal 25 Desember. Sebagai implikasi dari keberimanan itu, semestinya umat Islam juga dibolehkan merayakan hari kelahiran Isa dan hari kelahiran para nabi lain sebelum Muhammad SAW. Sebab, Isa bukan hanya milik umat Kristiani secara komunal melainkan juga semua orang yang mengimaninya. Tokoh-tokoh besar seperti Nabi Ibrahim, Musa, Isa al-Masih dan Muhammad SAW bukan kepunyaan kelompok tertentu saja. Para tokoh itu bisa menjadi teladan dan inspirasi bagi siapa pun.”

19/12/2011 | Editorial, | Komentar (90) #

Menghalau Radikalisme Agama di Sekolah

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

“Kelompok Islam Wahabi berideologi puritan sekaligus radikal terus mendirikan sejumlah pesantren. Tak kurang dari belasan pesantren yang telah dirintis kelompok Wahabi di Indonesia. Sebagaimana sekolah Wahabi di Arab Saudi, sejumlah pesantren Wahabi di Indonesia mengkampanyekan doktrin yang sama. Mereka suka memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berbeda dengan ajaran Wahabi. Tak cukup hanya mengkafirkan dan memusyrikkan, jika suasana sosial-politik sudah pendukung, kelompok Wahabi tak ragu untuk menggunakan cara kekerasan di dalam mengubah pendirian orang Islam lain. Jalan kekerasan itu pernah dilakukan kelompok Wahabi Arab Saudi terhadap umat Islam lain yang dianggap menyimpang. Kelompok Wahabi tak hanya bengis kepada non-muslim, tapi juga keras kepada umat Islam sendiri yang non-Wahabi.”

12/12/2011 | Editorial, | Komentar (17) #

Belajar dari Islam Turki

Oleh Novriantoni Kahar

“Islam Turki lebih bercorak esoteris ketimbang eksoteris. Pengaruh sufisme sangat kuat dalam corak keberagamaan Islam Turki, dan kenyataan ini membuat Islam Turki jauh dari formalisme apalagi menyerahkan diri secara bongkokan kepada penetrasi Wahabisme-Salafisme. Pemahaman Turki tentang Islam lebih banyak dibentuk oleh toleransi Rumi, anjuran cinta Yunus Emre, maupun rasionalitas Haci Bektassi. Dalam sejarah Turki modern, perjuangan untuk melegalkan pemakaian jilbab di sektor publik memang terjadi, namun hal itu tiada lebih sebagai perlawan terhadap penerapan sekularisme yang sangat keras. Ibarat bermusik, sekularisme Turki terlalu lama menyuguhkan heavy metal sementara masyarakatnya sudah tidak lagi merasakan merdunya alunan musik itu.”

05/12/2011 | Editorial, | Komentar (0) #
Halaman: 1 dari 23  1 2 3 >  Last ›