Story and Research

Date: 24-01-2011

sekaten3

Di tahun 1939 Caka (1477 M), Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara bersama para wali membangun sebuah masjid yang sekarang menjadi Masjid Raya Demak. Berbagai acara keagamaan diselenggarakan di sana termasuk syiar dan lantunan ayat-ayat suci memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabbiul Awwal atau lebih dikenal dengan nama Maulid Nabi. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan, Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga diharapkan dapat menarik masyarakat untuk ikut hadir.

 

Sejatinya, seusai acara tersebut masyarakat melakukan syahadatain (mengucap dua kalimat syahadat) sebagai syiar agama islam yang dituntun para wali. Lambat laun, dengan perbedaan lafal dan pengucapan syahadatain berubah menjadi sekaten.

 

sekaten1 (real size)

Budaya ini terbawa hingga Mataram pecah, termasuk kemudian berkembang di Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang, hingga dikeluarkannya gunungan yang berupa hasil bumi sebagai perwujudan rasa syukur atas segala rejeki yang dilimpahkan Sang Pencipta.

 

Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan membaca riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan masyarakat umum. Selanjutnya, prosesi numplak wajik, udhik udhik, serta pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

 

Capture yang saya ambil kali ini lebih kepada hiruk pikuk perayaannya, bukan pada prosesinya. Dimana setiap tahun alun-alun utara Kraton Yogyakarta ditutup selama satu bulan penuh yang kemudian dikenal dengan sebutan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS). Awalnya perayaan ini untuk memberikan hiburan gratis bagi masyarakat luas dengan mengangkat seni budaya setempat seperti ketoprak, wayang orang, sendra tari, dan permainan-permainan rakyat.

 

Seiring dengan bergulirnya waktu, PMPS menjadi salah satu sumber PAD Pemda dari tiket masuk dan retribusi parkir. Meski tidak dipungkiri masyarakat sekitar mendapatkan berkah selama PMPS berlangsung. Memang itu tujuannya bukan?

 

sekaten2 (real size)

Selain itu, teknologi sempat merubah wacana PMPS dari hiburan rakyat menjadi ladang bisnis dengan memasang giant dome yang dilengkapi penyejuk ruangan mirip perhelatan pameran internasional. Otomatis harga tiket masuknya juga melonjak. Banyak diantara pengunjung yang mengurungkan niatnya, padahal mereka sudah memboyong keluarga besarnya untuk berbagi ceria di meriahnya sekaten.

 

Berdasarkan pengalaman itulah akhirnya pemda kembali membuka arena sekaten dengan beratap langit, dihiasi bintang dan temaram cahaya bulan. Panggung kesenian kembali berdiri di sisi barat, sementara panggung musik di sisi timur. Tradisi sudah kembali, seperti endhog abang (telur berwarna merah) dan sate kere yang selalu menghiasi Sekaten.

 

 

Essay & Photo by Andika Prasetyo

Contributor IDD


Date: 21-01-2011

James1

Seorang photographer sebenarnya dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam “menangkap” obyek photo-nya. Ia dapat “menjangkau” obyek dari jarak yang cukup jauh, dengan menggunakan lensa tele atau zoom, sehingga kewajaran obyek dapat terekam baik. Namun ada pula photographer yang justru melakukan sebaliknya. Ia mendekat pada obyek, melakukan komunikasi, melakukan pengamatan detail bahkan tak jarang berdialog langsung dengan object untuk dapat “menangkap” apa yang menjadi permasalahan sebenarnya. Untuk cara terakhir ini yang paling tepat digunakan adalah lensa pendek atau kadang lensa lebar (wide), sebab dengan kedua pilihan lensa tersebut akan memberi keluasan dan kelincahan gerak photographer. Selain itu, tentu juga memudahkan mengatur arah penyinaran, sudut pengambilan dan lain sebagainya.

 

 

James2 (real size)

James Nachtwey, seorang photo jurnalis perang. Ia melaksanakan tugasnya di medan-medan “perang” dengan metode pendekatan obyek, dengan menggunakan kamera berlensa pendek saja. Artinya ia datangi obyect photo sedekat mungkin, mencoba menyapa dan berinteraksi langsung, berdialog, berdiskusi dengan topik sederhana maupun berat, dengan bahasa lisan maupun bahasa tanda. Ia selalu mencoba dan tidak terburu-buru untuk membuat photo. James akan sabar dan terus “mendekat” hingga secara intuisi ia bisa “diterima” obyeknya. Namun sebelum hal tersebut bisa ia lakukan tentu ia sudah mempelajari dan mengerti seluk beluk obyek berdasar pada pembacaan “peta” yang entah bagaimana dan darimana ia dapat. Hal ini sangat penting dan menjadi pokok untuk seorang professional. Sebuah “peta” akan menuntun banyak hal. Sebuah “peta” akan membawa kita pada tujuan dengan tepat, effektif dan effisien. Karenanya, modal awal seorang professional adalah knowledge (pengetahuan) perihal konsep yang digagas dan penunjangnya.

 

Coba kita lihat bagaimana James Nachtwey kerja di medan “tempur”-nya di pinggiran rel-rel ibukota, Jakarta. (lihat foto). James menyiapkan “alat tempurnya” begitu effektif. Berpakaian sopan, dengan sebuah tas punggung yang tidak berat, sebab tidak banyak peralatan foto yang ia bawa. Berpenampilan rapi, menarik, bersikap gesit dan tegas. Hal ini tampak ketika James ketika  bermaksud mengambil gambar dengan konsep “ketimpangan dan ketidak adilan” dalam masyarakat kapitalis. Sebagai seorang professional James tentu sudah mempelajari permasalahan konsepnya, bahkan akhirnya ia dapat menetukan waktu dan tempat yang tepat untuk menjabarkan konsepnya.  Membaca perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia, membuat James mengerti di sinilah (Indonesia, tepatnya Jakarta), konsep pemikirannya kemungkinan dapat divisualisasikan. Lalu James ke Jakarta dan studi lapangan. Ia melihat dan “menyentuh” obyeknya langsung dan mendapat gambarnya.

 

James3

Amati, James “membuntuti” obyek fotonya (seorang pengemis cacat fisik) yang tengah melaksanakan kerjanya di perempatan jalan ramai, di sebelah lampu merah. Ia sengaja memilih lensa pendek untuk menangkap ketajaman obyek dan lingkungannya, ia pertimbangkan cermat. Dengan lensa pendek memungkinkan James merekam detail secara tajam untuk menunjang konsep. Pada photo pengemis di perempatan lampu merah, (lihat photo), James mengambilnya dari belakang mobil, sehingga wajah sang pengemis terlihat jelas. Sebab pada wajah semua perjalanan kehidupan manusia dicatatkan. Lalu posisi obyek (sedikit miring) seolah ingin menunjukkan keterbatasan fisiknya, dan menaruh sebuah mobil mewah di depan obyeknya jelas ingin menunjukkan perbedaan kelas kesejahteraan antar manusia. Dan yang paling menarik, James keputusan “menjinak”-kan semua keruwetan warna di jalanan dengan men-setting kameranya pakai film hitam-putih (BW).

 

Pada photo yang lain, photo keluarga pra sejahtera yang hidup di pinggiran rel-rel kereta sepanjang ibukota, James pasti telah melakukan pembacaan atas obyek-nya dengan sejumlah “informasi” yang entah darimana ia dapatkan. Selanjutnya permasalahan akan lebih mudah dideteksi dan dipelajari. Setelah itu ia tinggal melakukan setting atas konsep-nya. Dari sinilah “kerja” lapangan dimulai. Ia datangi lokasi obyek pada jam dan sudut yang “diperkirakan” cocok  dan mendukung visualisasinya. (lihat foto keluarga miskin hidup di pinggiran rel kereta api). James segera menyapa mereka, mengajaknya berdialog sekalipun awalnya kedua pihak sangat kaku, mungkin akibat penggunaan bahasa yang saling tidak atau kurang dimengerti. Tapi sebenarnya, disinilah “keindahan” itu mulai “dirajut”. Filsafat mencatat, pada proses kerjalah keindahan yang sebenarnya hadir dan dirasakan, dan pada hasil kerja yang tinggal adalah bayang-bayangnya saja.

 

James Nachtwey persis mengerti hal tersebut. Dengan nyaman didekatinya obyek fotonya, dinikmati prosesnya. Mereka berdialog sekalipun lebih banyak menggunakan bahasa tanda, bahasa universal! (?) Dengan bahasa tubuh James yang baik, maka obyek merasa tak curiga dan akhirnya bisa “menerima”. Memang proses ini pada James biasanya begitu cepat, tentu semua karena pengalaman dan jam terbangnya yang sangat tinggi. Kondisi demikian  begitu nyata hasilnya tatkala dengan mudahnya James mengikuti sang obyek (seorang pengemis) cacat fisik bersama anaknya yang hendak mandi di pinggiran sungai yang keruh airnya. Dan si pengemis tidak keberatan!

 

Ia merasa James “bukan” orang asing lagi, mungkin sudah dianggap sahabat (?) atau apalah, yang jelas sudah tidak perlu dimasalahkan, alhasil “aksi” sang obyek tampil wajar-wajar di depan lensa James, tidak kaku dan berhasil.

 

Mengamati “aksi”-nya di medan perang di Palestina, pada pejuang intifadah, James berhasil menyelinap diantara para pejuang Afganistan yang “main” bersenjatakan batu, ketapel dan molotof. Sedangkan di sisi jauh, tentara Yahudi dengan senjata mutakhir berpeluru tajam, tank-tank dan gas air mata terus membombardir lawannya tanpa ampun.

 

James4 (real size)

Pada sudut yang telah dipelajari, dengan keberanian luar biasa dan naluri kegesitan seorang photo jurnalis, James mengabadikan “perang” yang tak berimbang dan  telah menjadi saksi atas ke-biadab-an tersebut. Frame demi frame mencatat setiap peristiwa tanpa ada rekayasa lagi. Kepulan asap mesiu, gas air mata menjadi ancaman yang tidak main-main. James menyadari hal itu, dengan tenang dan terus mengikutinya hingga usai. (lihat photo di Afganistan). James Nachtwey seolah ingin menyampaikan pikirannya kepada dunia perihal “dihancurkannya” perikemanusiaan sebuah bangsa (palestina) oleh Israel. Memang hal yang tak mudah, tak sederhana, namun sudah menjadi pilihannya dan tepat.

 

Begitulah kehebatan seorang James Nachtwey dalam berinteraksi dengan obyeknya, selain tentu kehebatannya menggunakan segala peralatan dan pengetahuan photografi-nya.

 

Photo-photo jurnalis yang bersifat human interest karya James Nachtwey, memang tidak banyak kita temui di ruang public, karena itu penulis ingin menyampaikannya barang secuil untuk memulai. Sebab pada James Nachtwey kejelian membaca permasalahan kontemporer dan kejeniusan “menyelesaikan-nya” perlu kita tauladani dan James telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu photographer terbaik di dunia saat ini.

 

Essay by AW/IDD


Date: 14-01-2011

Gunung Gangsir 1

Hari  masih  pagi, namun matahari sudah bersinar terik. Kilau keemasan

membias  disela-sela  embun  yang menempel di rerumputan, meninggalkan
jejak-jejak   kebekuan.  Tampak  sosok  wanita  separuh  baya  menyapu
pelataran  candi ditemani tujuh ekor angsa putih.

"Hendak  bermaksud  apa  kisanak sepagi ini datang ke candi" begitulah
percakapan   dalam  sandiwara  radio  yang  sering aku dengar beberapa
waktu  silam, jika aku terjemahkan sapaan Ibu Nurjanah pagi itu.

Ibu  Nurjanah  namanya. Bersama bapak Agus Susanto, mereka merawat dan
menjaga   kebersihan  pelataran  candi.  Rumah  mereka  tepat  di sisi
selatan  candi.   Tidak  sulit  menemukannya, pintu masuk candi ada di
sisi  barat.   Ada  jalan yang sudah diplester mengitari candi. Dan di
sebuah warung  itulah mereka tinggal menemani kebisuan candi.

Menurut penuturan Ibu Nurjanah, belum ada referensi resmi tentang asal
muasal   Candi  Gununggangsir.  Di halaman candi-pun belum ada tulisan
tentang  candi ini,  hanya papan penunjuk, papan peringatan, dan papan
nama candi.  Meskipun artikel tentang candi Gunung Gangsir sempat saya
cari  di  Google  dan  saya  dokumentasi,  isinya sama dengan apa yang
dikisahkan  Ibu Nurjanah. Kisah tentang candi ini adalah kisah warisan
yang  turun  temurun  diceritakan  oleh masyarakat sekitar. Bisa jadi
ditambah,   bisa jadi dikurangi. Terlepas dari itu, candi ini diklaim
sebagai candi batu bata merah tertua di Jawa Timur.

Gunung Gangsir 3 (real size)

 

Dibangun di atas lahan 62 x 24 meter ---sesuai dengan pagar bumi yang telah   dibuat  pemerintah,  dusun  Kebon Candi, desa Gununggangsir,  Kecamatan   Beji,  Kabupaten  Pasuruan,  Jawa  Timur.  Bangunan candimemiliki   panjang  20  meter  dengan  lebar  17 meter, tersusun atas tumpukan   batu  bata  berbentuk  segi empat dengan empat tingkat dan menghadap   ke  timur.  Memiliki  sebuah pintu yang cukup sulit untuk
dimasuki   karena  terlalu kecil. Mungkin juga ini sebuah relung yang terdapat   di  tingkatan ke tiga. Untuk mencapainya ada sebuah titian anak   tangga  setinggi  3  meter.  Candi  ini merupakan candi dengan tumpukan batu  bata  merah  dengan relief terbanyak. Sayang, banyak relief   yang  hilang karena dicuri. Motif reliefnya berbentuk bejana dengan   aneka hiasannya, serta sebuah relief wanita yang sudah tidak utuh  lagi, bisa jadi sudah rusak.

Kisah  yang  berkembang  di  masyarakat  menuturkan  bahwa  candi ini berfungsi   sebagai  tugu  peringatan atas keberhasilan panen tanaman pangan   pada  masa  itu.  Konon,  masyarakatnya  belum mengenal pola bercocok   tanam  dan  mereka  hidup  mengembara  dan memakan sejenis rumput  tuton.  Diperkirakan candi ini juga digunakan sebagai lumbung jika menilik  pintu kecil yang dimilikinya.

Legenda  yang  dikisahkan  kembali  oleh  Ibu Nurjanah dan Bapak Agus Susanto,

suatu  waktu  datanglah  Nyi  Sri  Gati yang mengajak para pengembara

memohon  petunjuk   kepada  Hyang  Widi  untuk  mengatasi
masalah  pangan  yang  sedang mereka  hadapi. Beberapa waktu kemudian
datanglah  sekelompok  burung  Gelatik yang menjatuhkan benih sejenis
padi-padian  untuk  selanjutnya   ditanam  di  sebelah  utara  candi.
Kisahpun  berlanjut,  tanaman  itupun   tumbuh  dan menghasilkan padi
sedangkan  kulitnya menghasilkan  permata. Hal ini menjadikan Nyi Sri
Gati  menjadi  kaya  raya,  dan karena kedermawannya pula dia dikenal
dengan  nama  Mbok  Rondho   Dermo.  Kekayaannya  tentu  saja menarik
perhatian  banyak orang  termasuk orang-orang kepercayaannya sendiri.
Mereka   mulai  menggelapkan  perhiasan-perhiasan yang akan dijual ke
daerah  lain,   namun karena kesaktiannya perahu yang ditumpangi para
penjarah   dilontarkan  dan menjadi gunung Prau. Konon, gunung itulah
yang saat  ini terletak di sisi gunung Penanggungan.


Itulah  legenda  yang  tidak  akan  pernah lepas dari asal usul suatu
daerah.  Gunung  Gangsir masih menyisakan misteri kapan dan untuk apa
candi   itu dibuat. Saat ini sedang dalam perbaikan, menyusun kembali
batu  bata menjadi sebuah bangunan yang disebut dengan CANDI.

Gunung Gangsir 2Akses  menuju ke Candi Gunung Gangsir tidaklah sulit, hanya saja jika
menggunakan   angkutan  umum masih harus dilanjutkan dengan menumpang
ojek.  Dari   arah Malang, masuk melalui Pasar Pandaan lurus ke Utara
menyusuri  jalan   Gunung  Gangsir.  Sepanjang  perjalanan  kita akan
menikmati pemandangan  kawasan industri (pabrik) hingga puncak Gunung
Gangsir.   Sesampainya  di  perempatan Beji, belok kanan lebih kurang
2km  hingga  menemukan papan penunjuk Candi Gununggangsir. Dari papan
penunjuk,   menyeberang  rel  kereta  api  (hati-hati karena lintasan
tidak  berpintu)   100 meter ke depan terpampang jelas bangunan candi
ditengah  hiruk pikuknya perkampungan.

Jika  melihat  posisi  pintu  dan tangga, candi ini menghadap ke arah
timur,   namun  pelataran  candi  justru  di sebelah barat. Jika pagi
hari,   memotret  badan  candi  dari  sisi pelataran harus berhadapan
langsung   dengan  sinar matahari. Selamat berburu, jangan lupa cukup
tinggalkan   jejak kaki dan capture tanpa harus menyisakan sampah dan
goresan.

Keep clean, save our herritage!

http://www.facebook.com/album.php?aid=28980&id=114650075251532&ref=mf

 

Essay & Photo by Andika Prasetyo


Date: 01-01-2011

Arjuna 1

Pegunungan Arjuna, selain pemandangan alamnya yang eksotis dan masih alami, menyimpan banyak petilasan yang rasanya masih belum begitu diperhatikan dan diteliti keberadaannya.

 

Banyak Arca yang telah hilang dicuri para oknum yang tak bertanggung jawab. Sisa-sisa arca yang ada pun juga berserakan tampak tak ada perawatan. Padahal menurut kami situs-situs yang ada disini sangat penting, karena jika dilihat dari bentuk arca-arca yang ada, bisa jadi ini dibuat pada zaman prasejarah dan jika dilihat dari sisa-sisa pondasi candi yang ada dan tersebar di beberapa titik, rasanya disini pernah ada sebuah peradaban yang cukup besar.

 

Arjuna 3

Salah satu kemegahan peradaban itu tampak pada sisa-sisa situs yang kami temui, salah satunya adalah di Petilasan SEPILAR. Beberapa pelaku spiritual mengatakan bahwa Sepilar berasal dari kata: "sepi ing nalar" (menyepikan pikiran/hening). Dari beberapa nara sumber juga (yang tak mau menyebutkan namanya), Sepilar ini juga disebut sebagai Keraton Suralaya, yang di dalam cerita pewayangan adalah merupakan kerajaan tempat para Dewa tinggal dengan Sang Hyang Manikmaya atau juga sering disebut dengan nama Bathara Guru atau Sang Hyang Girinata sebagai Raja dari para Dewa. Di tempat inilah sebenarnya Arca Bathara Guru berasal, namun sekarang arca tersebut berada di Desa Tambak Watu lereng Gunung Arjuna.

 

Dan memang jika dilihat dari sisa-sisa yang ada (anak tangga, arca di sepanjang anak tangga dan pondasinya), rasanya memang disini pernah ada bangunan besar, mungkin memang sebuah kerajaan atau sebuah candi megah. Yang jelas dari sisa-sias peninggalan yang ada yang tersebar di berbagai titik di seputar area ini, menunjukkan pernah ada sebuah peradaban besar, namun entah kapan dan pada zaman apa. Inilah yang memerlukan penelitian lebih lanjut...!!!

 

Arjuna 2

Semoga para arkeolog segera melakukan penelitian, karena setelah mencari referensi tentang peninggalan sejarah di Gunung Arjuna ini masih sangat minim...!!

 

Info dan foto selengkapnya:

http://www.facebook.com/album.php?aid=26958&id=114650075251532

 

 

 

DvD/IDD

 


Date: 15-12-2010

Kembang Galengan

Rangkaian kata-kata yang sederhana namun menurut saya memiliki kedalaman filosofi dan pemikiran dari penciptanya B.S Noerdian yang berasal dari kota Gandrung, Banyuwangi Jawa Timur. Syair lagu ini menggunakan bahasa Osing dari suku Osing yang tersebar di beberapa daerah di lereng Gunung Ijen.

 

Lirik lagu Kembang Galengan ini seakan mengisyaratkan tentang seseorang yang dengan sederhana dalam menyikapi hidup ini. Kembang galengan. Meletik sing nggawa aran. Tanpa rupa tanpa ganda. Mekare mung sak sorenan. Seseorang yang sederhana ibarat hanya sekuntum bunga penghias pematang, yang tak pelu mengunggulkan nama dan pribadi sebagai sebuah pencintraan. Penampilan yang sederhana,  ibarat bunga pun ia tak beraroma dan ia sangar sadar benar bahwa hidup ini demikian pendek dan terbatas, seperti bunga yang hanya mekar untuk satu sore lalu layu dan mati.

 

Bunga penghias pematang yang demikian sederhana telah melakoni kehidupan yang penuh suka duka ini, sayang jika harus diinjak-injak dan hanya disia-siakan saja, namun jika dipetik pun siapakah gerangan yang mau menerima sesuatu yang begitu sederhana ini? Sesuatu yang mungkin dianggap tak ada harganya! Apa yang ia inginkan hanyalah untuk menjadi sesuatu, sebuah warna yang telah memperkaya warna-warna yang ada di kehidupan ini, apapun warna itu.

 

Taping temena nyawang langit. Ngelirik unyike godong. Weruh obahe wit-witan. Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran.” Sebuah unsur keyakinan dan religi yang demikian kokoh tersirat dalam syair ini. Ia yang sederhana dengan segala kesederhanaannya, hati, jiwa dan pikirannya selalu bermunajat dan berbhakti pada Tuhan Pencipta Semesta, mengagumi dan menyelaraskan diri dengan segala ciptaanNya serta mencoba mengerti/membaca segala firman-firmanNya yang tak tertulis namun tersirat dalam setiap materi ciptaanNYa. Selaras dengan konsep manusia Jawa tentang “Sangkan Paraning Dumadi”, sebuah konsep tentang asal usul, jati diri dan kemana kembalinya manusia pada akhirnya. Demikianlah juga mereka, sangat religius !!!

 

Ungkapan rasa Nasionalisme kebangsaan, kecintaan mereka pada tanah air, tanah kelahiran mereka, juga tersirat tegas dalam lirik terakhir dari syair lagu ini. “Kembang galengan. Iming-imingana emas berlian. Aluk mituhu nunggu kedokan. Meluk nggandoli lemah prujukan.” Sekali lagi meski dengan kesederhaannya, bujuk rayu dengan emas permata atau apapun juga, tak akan dapat menggoyahkan untuk tetap berpijak, memeluk dan memperjuangkan tanah kelahirannya, tanah yang telah menumbuhkan dan membesarkannya. Betapa nasionalis!!!

 

Semoga ada petikan makna yang bermanfaat yang dapat diambil dari syair lagu dan tulisan sederhana ini….!!!

Isun iki yo ibarat hang aran kembang galengan, hang meletik sing nggawa aran, tanpa rupa tanpa ganda, mekare mung sak sorenan!”

 

Syair lagu Kembang Galengan

(Cipt: B.S. Noerdian)

 

Kembang galengan

Meletik sing nggawa aran

Tanpa rupa tanpa ganda

Mekare mung sak sorenan

 

Kembang galengan

Kaudanan kepanasan

Kaidek eman-eman

Dipetik sapa oyan

 

Kaidek eman-eman

Dipetik sapa oyan

Dipetik sapa hang oyan

Dipetik sapa hang oyan

 

Taping temena nyawang langit

Ngelirik unyike godong

Weruh obahe wit-witan

Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran

 

Kembang galengan

Iming-imingana emas berlian

Aluk mituhu nunggu kedokan

Meluk nggandoli lemah prujukan

 

 Terjemahan bebasnya:

 

Bunga penghias pematang

Terlempar tanpa nama

Tanpa pesona tanpa aroma

Hanya mekar untuk satu sore

 

Bunga penghias pematang

Kehujanan kepanasan

Terinjak sayang

Dipetik,  siapa yang mau?

 

Terinjak sayang

Dipetik,  siapa yang mau?

Dipetik,  siapa yang mau menerimanya?

Dipetik,  siapa yang maumenerimanya!

 

Tetapi, lihatlah langit dengan seksama

Melirik pupus-pupus daun

Terlihat gemulai gerak pepohonan

Ingin mengikuti arah angin mencari asal usul

 

Bunga penghias pematang

Bujuk rayulah ia dengan emas permata

Akan lebih baik menunggu petak-petak sawah

Memeluk dan memperjuangkan tanah dimana ia telah dibesarkan

 

 

Salam,

 

David Ardyanta/Indonesia Discovery

Photo by DvD/IDD


 1 2 3 > 

Story and Research

24-01-2011
sekaten3 Di tahun 1939 Caka (1477 M), Ra…
More ...
21-01-2011
James1 Seorang photographer sebenarnya dihadapkan …
More ...

News

23-12-2010
merapi 01 Hari minggu tangga…
More ...
11-12-2010
g.bromo Hingga hari ini, Gunung Bromo m…
More ...