Kisah
hidup I Gusti Bagus Yudhara dalam uraian sebelumnya
menunjukkan bahwa dia lahir dan tumbuh dewasa
di kalangan politikus, sementara setelah berkeluarga
dia terjun ke dunia pariwisata.Lingkungan politik
dan dunia pariwisata tentu saja berbeda secara
umum. Meski demikian, dalam riwayat hidup Yudhara,
kedua dunia yang berbeda itu seperti dua sisi
dari satu mata uang. Kalau yang satu tampak, yang
lain bukan berarti tiada, tetapi berada di baliknya
untuk suatu kelak tampak dan membawa yang lain
ke baliknya.
Sebagai
pengusaha pariwisata, Yudhara mendapat banyak
kepercayaan untuk memimpin organisasi profesi,seperti
ASITA Bali yang dipimpinnya selama 16 tahun. Ketika
itu dia tidak berpolitik praktis. Ini bukan berarti
dunia politik diitnggalkan sepenuhnya. Sebaliknya,
selama menjadi pengusaha, dia menjadi pengamat
politik dan tetap menyuburkan darah politikus
yang dialiri ayahnya, Pak Merta, ke dalam tubuhnya.
Seperti halnya mata uang, dunia politik atau pariwisata
yang ditekuni Yudhara tidak bisa tampak pada posisi
sama keduanya sekaligus.Memperlihatkan yang satu,
berarti menyembunyikan sisi yang lain.
Setelah meninggalkan jabatan Ketua ASITA, Yudhara
tampaknya menunjukkan tanda-tanda untuk masuk
ke dunia politik. Kalau dugaan ini benar, kiprah
itu tidaklah terlalu mengejutkan. Mengapa tidak?
Alasan
pertama karena Yudhara adalah putra seorang politikus
kawakan Bali.Ayahnya,I Gusti Putu Merta,adalah
pendiri Partai Nasional Indonesia cabang Bali.
Lahir, tumbuh, dan berkembangnya PNI di Bali tidak
bisa dilepaskan dari perjuangan politik Pak Merta.
Dialah yang merintis pembentukan cabang-cabang
PNI di seluruh Pulau Dewata. Dibawah
pimpinan Pak Merta, PNI menjadi salah satu partai
besar di Bali. Tolok ukur sukses kepemimpinan
politik Pak Merta bisa dilihat, misalnya, dari
dominannya perolehan suara PNI dalam pemilu tahun
1955.
Kegigihan
Pak Merta membangun dan membesarkan PNI di Bali
telah membuat dia berhasil menduduki jabatan Ketua
DPRD Bali sejak 1950. Jabatan sebagai Ketua DPRD
Bali itu dipegangnya untuk periode 19501965,berarti
selama 15 tahun.Istri Pak Merta,I Gusti Ayu Rapeg,aktif
dalam wanita marhenis Indonesia. Di tengah keluarga
nasionalis dan marhenis itulahYudhara lahir dan
tumbuh dewasa.Tak hanya darah nasionalis yang
mengalir dalam tubuhnya tetapi juga gerakan nasionalis
dari lingkungannya sehari-hari ikut mempengaruhi
watak dan pendiriannya.
Alasan
kedua,karena Yudhara sejak menjadi pelajar di
sekolah lanjutan atas sudah aktif dalam organisasi
yang berbasis ideologi nasionalis. Buktinya, ketika
duduk di SLUA Saraswati, Denpasar, Yudhara terpilih
menjadi ketua satu GSNI (Gerakan Siswa Nasionalis
Indonesia),organisasi siswa yang merupakan onderbouw
PNI. Di Bali GMNI berdiri tahun 1958. Waktu ituYudhara
masih muda,belum menjadi mahasiswa,makanya dia
tidak aktif di GMNI Bali. Namun demikian, dia
bisa berhubungan dengan tokoh-tokoh GMNI Bali
seperti I Wayan Bawa, Ketut Robin, Wayan Suteja,
Nyoman Sudana,KetutTama.AyahYudhara,Pak Mertayang
menjadi Ketua PNI,merupakan salah satu pembina
GMNI: `Kalau kami ketemu Pak Merta atau ada kegiatan
diskusi dengan beliau di rumah jabatan Pak Merta,
Yudhara biasanya ikut bergabung;' ujar Wayan Bawa,
yang masuk GMNI 1959.
Yudhara
tidak pernah duduk dalam kepengurusan GMNI Bali
karena setelah dia menyelesaikan pendidikan di
SLUA Saraswati tahun 1960, Yudhara melanjutkan
kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga,
Surabaya. Justru, di sinilah, di Fakultas Hukum
Unair,Yudhara aktif dalam kegiatan organisasi
mahasiswa, melanjutkan hobinya ketika di SLUA.
Yudhara terpilih menjadi Ketua GMNI Komisariat
Fakultas Hukum Unair. Tentu ada pertanyaan, bagaimana
mungkin Yudhara yang berasal dari Bali, bisa dipercaya
oleh mahasiswa Surabaya untuk menjadi ketua komisariat
GMNI? Bagaimana mungkinYudhara bisa meraih popularitas
dan kepercayaan yang begitu cepat di luar daerah
atau di luar kota kelahirannya?
Jawabannya adalah karena ketika di SurabayaYudhara
tinggal di rumah tokoh PNI Jawa Timur, dr.Angka
Nitisastro. Pak Angka adalah kawan karib Pak Merta
karena sama-sama dari kubu PNI, jadi sama-sama
nasionalis. Bagi Yudhara tinggal di rumah Pak
Angka sama saja dengan tinggal di rumahnya sendiri.
Suasana politik dan semangat nasionalisme di rumah
Pak
Angka sama dengan yang dia rasakan di rumahnya
sendiri di Bali. Lingkungan politik dan semangat
nasionali me di rumah Pak Angka ikut memperdalam
penghayatan Yudhara terhad p politik dan gerakan
PNI.
Pak
Angka adalah salah seorang pembin GMNI Surabaya.
Dengan mudah dan cepat Yudhara bergaul dengan
an ota GMNI baik ketika mereka datang berkonsultasi
dengan Pak Angk maupun di dalam pergaulan kampus.
Lewat jalur inilah, Yudhara menjadi popular di
kalangan mahasiswa terutama aktivis GMNLTidak
mengherankan kalau kemudian dia dipercaya menjadi
Ketua Komisariat GMNI Fakultas Hukum.
Yudhara
tinggal bersama PakAngka selama hampir lima tahun,selama
dia kuliah di Unair, berarti selama itu pula dia
menghirup udara politik dan nasionalisme PNI.
Menurut Yudhara, semangat berorganisasi lewat
GMNI waktu itu sangat dinamik karena ada persaingan
yang seru dengan orgnaisasi lain terutama CGMI
(Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi
mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI: `Selama
aktif di GMNI, kami selalu bertentangan dengan
CGMI", kata Yudhara.
Tahun
1965, ketika situasi politik di Tanah Air memanas
akibat G 30 S/ PKI,Yudhara yang berada di Surabaya
dipanggil pulang oleh Pak Merta karena alasan
keamanan.Yudhara tidak diizinkan melanjutkan kuliah.
Sebagai anak lelaki satu-satunya,Yudhara diarahkan
oleh Pak Merta untuk memasuki dunia usaha,tepatnya
ke sektor pariwisata yang waktu itu baru akan
mulai tumbuh.
Yudhara
akhirnya magang sebagai asisten manajer Restoran
Puri Suling,di Goa Gajah,Ubud.WalaupunYudhara
masuk ke industri pariwisata, dia tetap dekat
dengan mahasiswa yang aktif di GMNI seperti dengan
Wayan Bawa dan Ketut Tama. Kesibukannya bekerja
tidak memungkinkannya duduk sebagai pengurus GMNI:
`Tapi,dalam kegiatankegiatan GMNI,Yudhara selalu
aktif dan memberikan bantuan-bantuan material;'
kenang Prof. Dr. I Wayan Bawa.
Bukti
setianya Yudhara pada GMNI adalah ketika dia memilih
hari ulang tahun GMNI tanggal 23 Mei sebagai hari
untuk mengesahkan pertunangannnya dengan Tjokorda
Istri Sri Ramaswati, istrinya yang telah memberikannya
lima anak dan sejumlah cucu yang tetap disayangi
Yudhara sampai kini.
Sejak naiknya Orde Baru pasca-G 30 S/PKI, dan
munculnya gerakan pelajar dan mahasiswa Indonesia
dengan nama KAPPI/KAMI, organisasi GMNI dicurigai,dianggap
masuk ke dalam kelompokAsu (Ali Surachman), yaitu
nasionalisme kiri (left-nationalist). Menurut
Yudhara, situasi politik )ang tak menentu awal
Orde Baru membulatkan tekadnya untuk back to basic,
kembali ke Bali dan bergerak di bidang pariwisata.
|