Muatan Lokal di SLTPN 1 Denpasar
''Sukra Mabasa
Bali, English Day in Saturday''
Ada saja terobosan
sekolah di Denpasar untuk memberikan muatan lokal pada
sekolahnya. Apalagi harus dikaitkan dengan mewujudkan
Denpasar sebagai kota budaya. Di SLTPN 1 Denpasar kini
dikenal dengan istilah Sukra Mabasa Bali dan English Day
in Saturday. Artinya, setiap Jumat siswa dan gurunya wajib
berkomunikasi dengan bahasa Bali, tiap Sabtu wajib
berbahasa Inggris. Momen itu diresmikan Wakil Wali Kota
Denpasar, Ketut Robin, MBA., Jumat (10/1) kemarin,
sekaligus meresmikan lab komputer dan website sekolah
tersebut. Seperti apa program itu?
---------------------------
DULU
banyak sekolah di Denpasar memproklamasikan diri
menerapkan Jumat berbahasa Bali, namun tampaknya masih
belum konsisten. Di SLTPN 1 Denpasar pola itu bukan saja
dilestarikan namun ditambah dengan wajib berbahasa Inggris
tiap hari Sabtu. Hal ini tampak jelas pada upacara
peresmian website SLTPN 1, Jumat kemarin benar-benar
sekolah ini benuansa serba Bali. Karena dilaksanakan hari
Jumat, semua siswa mengenakan pakaian endek biru, gurunya
pakai endek oranye.
Hiburannya, gong
kebyar wanita, sekaa geguntangan dan gender wayang. Bahkan
semua sambutan dari MC, kepala sekolah hingga Wakil Wali
Kota Denpasar menggunakan bahasa Bali halus.
Acara serba Bali ini
menurut Kepala SLTPN 1 Denpasar, Drs. Ketut Killa memang
sengaja diformat sarat bernuansa Bali. Bahkan siswanya
diwajibkan berkomunikasi dengan tamunya dengan bahasa
Bali, termasuk siswa non-Hindu dan guru non-Hindu. Untuk
pelajaran agama dan bahasa daerah, para gurunya diwajibkan
mengantar dengan bahasa Bali. Untuk English Day, kata dia,
ke depan guru Matematika dan IPA akan diwajibkan
mengantarkan materi dengan bahasa Inggris. Mau tak mau
siswa harus banyak belajar soal bahasa Inggris ini. ''Walaupun
tak mahir, yang penting bisa bicara langsung,'' ujarnya.
Ima, siswa kelas IF
asal Banyuwangi ketika ditanya wajib bahasa Bali tiap
Jumat mengaku tak keberatan. Ia mengatakan harus banyak
belajar dari teman dan guru bahasa daerah untuk bisa
berkomunikasi.'' Saya tak malu, khan harus mengikuti
teman-teman di sini karena tinggal di Bali,'' ujarnya.
Hal yang sama
diungkapkan Ibu Lita, guru Matematika di sekolah ini. Ibu
Lita bahkan harus membeli buku kamus Bahasa Bali-Indonesia
untuk bisa menyesuaikan diri tiap Jumat sehingga tak
tanggung berkomunikasi dengan rekan guru dan siswa. ''Yah,
pokoknya pelan-pelan, kami harus dukung program sekolah,''
ujarnya.
Siswa
Berjilbab
Karena ingin
mendekatkan budaya Bali, Ketut Killa menolak permohonan
salah seorang siswinya, Riski, untuk berjilbab saat
belajar. ''Bukannya kami menolak, melainkan sesuai aturan
sekolah, berjilbab hanya diperbolehkan jika mengikuti
pelajaran agama dan salat. Selebihnya harus pakai pakaian
sekolah,'' ujarnya.
Wakil Wali Kota
Denpasar Ketut Robin mengaku bangga dengan prestasi
sekolah ini di tingkat nasional. Bahkan untuk Sukra Mabasa
Bali dan English Day in Saturday di sekolah ini dijadikan
proyek percontohan di Denpasar sehingga bisa diikuti oleh
sekolah lain. ''Ini menandakan sekolah ini bermuatan lokal
dengan wawasan global,'' ujarnya. Bahkan ia mengusulkan
sekolah di Danpasar tak hanya English Day di sekolah namun
juga menerapkan Smart School seperti yang dilakukan di
Singapura dan Malaysia. Di negara itu siswa tak perlu bawa
buku ke sekolah, cukup membawa comfact disc. Namun untuk
ukuran di Denpasar karena pendekatan budaya, tetap
diperlukan pertemuan guru dan siswanya.
Soal penolakan siswi
berjilbab saat belajar, ia menyerahkan urusan itu kepada
kepala sekolah karena sekolah memiliki aturan yang tegas.
''Pokoknya pemkot mendukung jika sekolah ingin maju,
apalagi menggunakan pendekatan budaya Bali,'' ujarnya.
Sementara itu
Bendahara Komite Sekolah, Rahmanda menekankan para
orangtua yang makin sempit waktunya mendidik anak di rumah,
sebaiknya mempercayai para guru di sekolah untuk memajukan
siswanya. Ia mengaku siap mendukung program sekolah baik
untuk program budaya maupun program internet dan komputer.
(sue)
|