Search Article :   
Your Article
2003-05-27 01:52:36

ARCA DOMAS BADUY:
Sebuah Referensi Arkeologi
dalam Penafsiran Ruang Masyarakat Megalitik

R. Cecep Eka Permana

Pendahuluan

Kenyataan menunjukkan cukup banyak masalah yang dihadapi oleh para arkeolog dalam menafsirkan data arkeologi. Rentang waktu yang sangat panjang sejak objek tersebut berfungsi hingga sekarang ini menyebabkan pemahaman mengenai objek dan manusia pendukung kebudayaannya sangat sedikit. Untuk menjembatani atau mencari kedekatan fungsi dan makna data arkeologi tersebut, langkah yang ditempuh oleh arkeolog antara lain menggunakan analogi dengan tradisi yang masih berlanjut pada masyarakat sekarang. Studi analogi semacam itu biasanya disebut dengan etnoarkeologi (lihat: Ascher, 1971; Kramer, 1979; Mundardjito, 1981). Namun, dalam tulisan ini tidak membicarakan mengenai konsep-konsep atau teori-teori tentang etnoarkeologi, tetapi lebih pada sebuah referensi yang mungkin dapat digunakan oleh arkeolog untuk menafsirkan fungsi dan makna, dalam hal ini tentang penataan ruang pada masyarakat megalitik.
Saat ini masih ada masyarakat kita yang menyimpan pusaka budaya leluhur yang kiranya cukup relevan digunakan sebagai referensi dalam kajian arkeologi. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat Baduy, masyarakat yang tergolong masih bersahaja dan memiliki tradisi megalitik, serta masih bertalian erat dengan objek arkeologi yang dikenal dengan nama Arca Domas atau Sasaka Domas. Bahkan hingga kini, objek megalitik tersebut masih difungsikan sebagai objek pemujaan.
Tulisan ini membahas hubungan antara Arca Domas dan masyarakat Baduy, serta implikasinya terhadap penataan ruang. Melalui kajian ini diharapkan dapat mengenali fungsi dan makna Arca Domas bagi masyarakat Baduy sekarang sebagai pencarian analogi atau kedekatan fungsi dan makna Arca Domas pada masa lalu.

Sedikit tentang Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy mendiami daerah Banten selatan, pada daerah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng (900 meter dari permukaan laut). Daerah ini tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5.101,85 hektar. Luas wilayah ini lebih kecil dari masa-masa sebelumnya. Menurut perkiraan A.J. Spaan dan B. van Tricht, pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya. Menurut perkiraan Judhistira Garna, luas wilayah ini meliputi beberapa kecamatan, seperti Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda Lama yang dikenal dengan sebutan kabuyutan (buyut=nenek moyang), dan pertalian kekerabatan masyarakat yang menempati daerah-daerah tersebut. Wilayah ini makin dipersempit oleh kesultanan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam (Danasasmita, 1986; Garna, 1988).
Keadaan kependudukan masyarakat Baduy pertama kali dilaporkan pada tahun 1888 berjumlah 291 orang yang menempati 10 kampung. Namun, pada tahun berikutnya pada laporan lain diketahui bahwa penduduk Baduy berjumlah 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, 1891). Pada tahun 1908 penduduk Baduy dilaporkan berjumlah 1.547 orang, dan dua puluh tahun kemudian, tercatat 1.521 orang (Tricht, 1929). Keadaan penduduk Baduy lebih lanjut lihat tabel berikut.

Tabel. Penduduk Baduy 1888–1994

No

Tahun

Jumlah

1

1888

291

2

1889

1.407

3

1908

1.547

4

1928

1.521

5

1966

3.935

6

1969

4.063

7

1980

4.057

8

1983

4.574

9

1984

4.587

10

1986

4.850

11

1994

6.483

(Diambil dari berbagai sumber: Iskandar, 1992; Garna, 1993; Ekadjati , 1995; Permana, 1996;)

Masyarakat Baduy secara umum terbagi atas tiga golongan, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Tangtu menurut pengertian masyarakat Baduy dapat diartikan sebagai masyarakat pendahulu atau cikal bakal, terdiri atas tiga kampung: (1) Cikeusik atau disebut juga tangtu Para Ageung, (2) Cibeo atau disebut juga tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana atau disebut juga tangtu Kujang. Ketiga tangtu tersebut dikenal pula dengan nama Telu Tangtu, Baduy Jero, Urang Kajeroan, atau Baduy Dalam.
Panamping (berasal dari kata ‘tamping’ berarti buang) merupakan tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan karena melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa panamping berarti pinggir atau daerah pinggiran. Masyarakat yang tinggal di daerah panamping masih terikat kepada tangtu-nya masing-masing. Mereka berkewajiban untuk nyanghareup atau menghadap atau melakukan/mengikuti aktivitas sosial budaya dan religi kepada tangtu-nya.
Dangka juga merupakan tempat pembuangan warga Baduy yang melanggar adat. Wilayah dangka ini adalah daerah yang berada di luar wilayah Kanekes namun masih merupakan wilayah budaya dan keturunan Baduy. Kehidupan masyarakat dangka lebih bebas dan boleh dikatakan tidak berbeda dengan masyarakat lainnya. Keterlibatan mereka dengan orang Baduy lainnya hanyalah dalam kegiatan adat. Mereka pada dasarnya tidak kehilangan statusnya sebagai warga masyarakat Baduy. Para pemimpin masyarakatnya selalu diikutkan dalam pengambilan keputusan dalam pemerintahan masyarakat Baduy.
Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah (dahulu disebut Jaro Warega, lalu pada jaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai kepala desa.
Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga Cikartawana. Puun-puun ini merupakan “tritunggal”, karena selain berkuasa di wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Sementara itu, kepercayaan orang Baduy pada dasarnya adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa atau Nu Ngersakeun atau Batara Tunggal. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai. Menurut keyakinan mereka, orang Baduy berasal dari hirarki tua, sedangkan dunia ramai (di luar Baduy) merupakan keturunan yang lebih muda. Orang Baduy bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apa pun”, seperti tertuang dalam buyut (larangan) titipan karuhunan (nenek moyang) sebagai berikut:

Buyut nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bangsawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun

artinya:
Buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga
sungai enampuluhlima
pusat duapuluhlima negara
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan (Garna , 1993)

Tapa bagi orang Baduy bukan melakukan samadi atau tirakat berdiam diri di tempat sunyi, melainkan justru ‘sedikit bicara banyak kerja’. Bekerja itulah tapanya orang Baduy, khususnya bekerja di ladang. Bagi mereka, berladang bukan sekadar menanam padi belaka, tetapi lebih dari itu. Berladang menanam padi merupakan pelaksanaan ajaran agama berupa menjodohkan atau mengawinkan Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci Sanghyang Asri dengan bumi. Pemujaan pada Nyi Pohaci ini merupakan fokus utama kegiatan keagamaan masyarakat Baduy. Upacara ini merupakan upacara terbesar dan terpenting yang diselenggarakan masyarakat Baduy, di samping upacara lain seperti muja.

Arca Domas

Objek terpenting dalam kaitannya dengan sistem religi Orang Baduy adalah Arca Domas. Tidak semua orang dapat dan leluasa pergi mengunjungi Arca Domas, sehingga gambaran secara lengkap dan menyeluruh mengenai objek ini sangatlah sukar dilakukan. Objek itu sangatlah bersifat rahasia dan sakral, karena merupakan objek pemujaan paling suci bagi Orang Baduy. Bahkan Orang Baduy sendiri hanya setahun sekali yaitu pada bulan Kalima (upacara muja) dan orang terpilih oleh puun saja yang boleh ke sana.
Beberapa informan yang pernah ke sana menjelaskan bahwa tempat pemujaan itu merupakan sebuah bukit yang membentuk punden berundak sebanyak tujuh tingkatan, makin ke selatan undak-undakan tersebut makin tinggi dan suci. Dinding tiap-tiap undakan terdapat hambaro (benteng) yang terdiri atas susunan batu tegak (menhir) dari batu kali. Pada bagian puncak punden terdapat menhir dan arca batu. Arca batu inilah yang dikenal dengan sebutan Arca Domas (kata ‘domas’ berarti keramat/suci).
Arca Domas digambarkan menyerupai bentuk manusia yang sedang bertapa. Arca ini terbuat dari batu andesit dengan pengerjaan dan bentuk yang sangat sederhana (seperti arca tipe polinesia atau arca megalitik–penulis). Arca Domas ini terletak di tengah hutan yang sangat lebat tidak jauh dari mata air hulu sungai Ciujung. Kompleks Arca Domas ini meliputi areal sekitar 0,5 hektar dengan suhu yang sangat lembab, sehingga batu-batu yang ada di sana semuanya berwarna hijau ditumbuhi lumut. Kompleks Arca Domas ini juga dikenal dengan sebutan ‘petak 13’, karena undakan-undakan punden tersebut terdiri atas petak-petak yang berjumlah 13. Tiap petak dibatasi oleh batu kali dengan ukuran sisi-sisinya berkisar 3–5 meter. Dari ke-13 petak tersebut, hanya tiga petak yang ada isinya; petak pertama berisi 8 buah menhir (seperti makam) berorientasi utara-selatan; petak kedua berisi 5 buah menhir yang juga berorientasi utara-selatan; dan petak ketiga terdapat sebuah batu lumpang (Hoevell, 1845; Koorders; Pleyte, 1909).
Upacara muja di Arca Domas oleh Orang Baduy setiap tahun diselenggarakan pada tanggal 16, 17, dan 18 bulan Kalima (pada tahun 1995 yang lalu bertepatan tanggal 14, 15, dan 16 Juli). Awal prosesi ini dimulai pada pagi hari tanggal 17 Kalima diundakan pertama. Puun Cikeusik memimpin upacara ini dengan membacakan mantra-mantra dan doa-doa tertentu sampai tengah hari. Setelah itu, dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pelataran dan susunan batu yang berserakan hingga membenahi pelataran dan susunan batu yang berserakan hingga ke puncak, sesampainya di puncak, mereka menyucikan muka, tangan, dan kaki pada sebuah batu lumpang yang disebut Sanghyang Pangumbaran.
Menurut Orang Baduy, batu lumpang tersebut merupakan pertanda baik dan buruk. Bila saat itu batu lumpang ditemukan dalam keadaan air yang penuh dan jernih, pertanda akan banyak turun hujan, cuaca baik dan panen berhasil. Sebaliknya, bila airnya dangkal dan keruh, pertanda kekeringan dan kegagalan panen. Pertanda lain terlihat pada keadaan batu-batu menhir yang berada di puncak punden tersebut. Bila batu-batu tersebut dipenuhi lumut pertanda akan memperoleh kesentosaan dan kesejahteraan dalam tahun yang bersangkutan. Tetapi bila keadaannya justru sebaliknya maka akan dapat mendatangkan kesengsaraan dan kesulitan.
Menurut kosmologi Orang Baduy, Arca Domas atau Sasaka Domas merupakan tempat suatu titik awal yang mengeras. Dikisahkan bahwa bumi ini pada mulanya disebut ngenclong yakni berwujud kental dan bening serta hanya sebesar biji pare (padi). Pada suatu saat, pada suatu titik mulai mengeras dan membesar. Karena Sasaka Domas atau Arca Domas merupakan awal kejadian bumi dan terletak di wilayah Baduy, maka diyakini oleh Orang Baduy bahwa wilayahnya sebagai pancer bumi (inti jagat) atau Sasaka Pusaka Buana (pusat dunia).
Arca Domas selain dianggap sebagai pancer bumi, juga dianggap sebagai tempat diturunkannya cikal bakal Orang Baduy dan manusia penghuni bumi lainnya. Dikisahkan bahwa bertempat di Sasaka Domas itu Yang Maha Kuasa disebut Nu Kawasa atau dikenal juga dengan Batara Tunggal menciptakan tujuh keturunannya. Salah satu versi mengatakan keturunan tertua yang bernama Batara Cikal identik dengan Nabi Adam yang nantinya menurunkan keturunan Orang Baduy. Sedangkan yang bungsu bernama Batara Tujuh identik dengan nabi Muhammad yang nantinya menurunkan orang-orang di luar Baduy.
Sasaka Domas atau Arca Domas dalam kepercayaan Orang Baduy dianggap juga sebagai tempat berkumpulnya para karuhun (leluhur atau nenek moyang). Para leluhur tersebut selalu memantau dan menjaga anak keturunannya. Mereka sering datang ke kampung-kampung melalui leuweung kolot (hutan tua/primer). Dan leuweung lembur (hutan kampung). Dengan adanya keyakinan ini pula maka konservasi hutan terjaga.

Tata Ruang Wilayah Baduy

Arca Domas sebagai obyek utama pemujaan dan sebagai tempat yang paling sakral, secara keruangan terletak di sebelah selatan wilayah Baduy, pada lingkungan hutan lindung di gunung Pamuntuan di lereng pegunungan Kendeng. Tidak ada pusat atau tempat kegiatan dan pemukiman lain di sebelah selatan Arca Domas. Bahkan daerah ini terlarang untuk dilewati, sekalipun Orang Baduy sendiri pada sembarang waktu.
Keletakkan Arca Domas yang paling sakral di sebelah selatan itu, menyebabkan arah tempat terdapatnya arca tersebut dianggap orientasi yang paling baik atau paling suci dibanding arah-arah lain. Sehingga saya cenderung untuk menyebut selatan sebagai ‘kiblat’ Orang Baduy. Konsep selatan yang suci ini jelas tergambar pada penataan kawasan Baduy secara keseluruhan dan lingkungan suatu pemukiman. Bahkan dalam berbagai kegiatan upacara adat ataupun konsep selatan tetap menjadi acuan penting.
Pada penataan kawasan Baduy secara keseluruhan makin ke selatan makin sakral. Pada bagian selatan wilayah Baduy ini terdapat tiga pemukiman inti Baduy yang disebut tangtu (sakral), sedang pada arah yang berlawanan tersebar pemukiman panamping (profan). Selain daripada itu, tiga pemukiman tangtu tersebut pun makin ke selatan makin tua dan sakral. Hal ini didasarkan atas urutan keturunan di mana pemukiman atau kampung Cikeusik (paling selatan) sebagai keturunan tertua, kemudian kampung Cikartawana (di tengah) sebagai keturunan kedua, dan kampung Cibeo (paling utara) sebagai keturunan ketiga. Dari segi kesakralannya, khususnya dalam penjagaan adat dan tradisi, makin ke selatan makin tinggi dan kuat. Cikeusik bertugas menjaga kemurnian agama dan pikukuh. Cikartawana bertugas menjaga keamanan dan kesejahteraan kawasan, dan Cibeo bertugas ‘penerima tamu’, ‘hubungan masyarakat’, dan kepemerintahan. Dilihat dari konturnya pun makin ke selatan makin tinggi; Cikeusik berada pada ketinggian sekitar 450 m, serta Cibeo dan Cikartawana pada ketinggian sekitar 400 m dari permukaan laut.
Tamu yang berkunjung ke kawasan Baduy ini secara adat tidak diperkenankan lewat sebelah selatan, melainkan harus lewat ‘pintu depan’ di sebelah utara, yakni lewat kampung panamping paling utara di Keduketug (tempat tinggal/kantor Jaro Pamarentah). Demikian pula bila hendak memasuki kawasan tangtu, hendaknya melewati tangtu ‘penerima tamu’ di sebelah utara, yakni Cibeo, kemudian baru menuju ke arah selatan ke Cikartawana dan Cikeusik.
Pada penataan suatu kampung, khususnya tangtu, pada dasarnya merupakan semacam miniatur dari penataan yang lebih besar (penataan kawasan). Arah selatan tetap merupakan ‘kiblat’ dari suatu pemukiman. Semua rumah dalam suatu pemukiman berorientasi selatan–utara, kecuali bale (balai kampung) dan saung lisung (bangunan tempat menumbuk padi) yang berorientasi timur–barat. Daerah yang paling tinggi berada di sebelah selatan, dan hanya terdapat sebuah rumah yaitu imah puun (rumah puun) yang menghadap ke utara. Di sebelah utara rumah puun ini terdapat rumah-rumah penduduk, alun-alun, bale, dan saung lisung.
Seperti halnya memasuki kawasan Baduy, jalan masuk ke kampung tangtu ini juga tidak boleh melewati sisi di sebelah selatan. Orang yang akan masuk ke kampung tangtu secara adat harus melewati sisi sebelah utara. Setelah melewati hutan kampung (leuweung lembur) dan lumbung (leuit), akan masuk ke perkampungan dari arah belakang bale dan saung lisung. Para tamu yang akan datang akan diterima di bangunan bale.
Dalam berbagai kegiatan upacara adat, arah selatan juga menjadi acuan penting. Pertama, pada upacara minta berkah kepada puun/jaro Cikeusik yang baru turun muja di Arca Domas. Puun/Jaro sebagai tokoh suci pemberi berkah dudu di sisi sebelah selatan, sedangkan warga pemohon berkah berada di sisi utara (saling berhadapan). Kedua, pada upacara ngaseuk (menanam padi) pertama di huma serang (ladang adat) secara simbolik dilakukan mulai dari sisi selatan. Ketiga, pada upacara geser (potong gigi bagi anak wanita), dan ngeslamkeun (sunatan bagi anak pria), pemimpin upacara (tangkesan atau bengkong atau dukun) berada di sisi selatan dan anak yang digeser atau disunat berada dihadapannya. Keempat, pada upacara perkawinan di bale, puun sebagai pemimpin adat tertinggi dan pemimpin upacara berada pada sisi selatan, dan dihadapannya duduk sepasang pengantin yang akan dinikahkan. Kelima, pada upacara penguburan, jenazah dibujurkan berat-timur (kepala di barat), kemudian muka dan badannya dimiringkan sehingga menghadap ke arah selatan.

Kesimpulan

Baduy sebagai masyarakat yang bersahaja dan masih teguh mempertahankan adatnya, merupakan gambaran masyarakat yang menjalankan tradisi ‘asli’ mereka. Arca Domas atau Sasaka Domas sebagai objek utama pemujaan Orang Baduy, pada dasarnya merupakan salah satu peninggalan tradisi megalitik di Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut, kiranya masyarakat Baduy ini dapat dijadikan analogi dalam usaha ‘menghidupkan’ objek arkeologi berupa Arca Domas sehingga dapat memberikan gambaran tentang masyarakat megalitik masa lalu.
Melalui telaahan terhadap Arca Domas dan masyarakat Baduy ini diharapkan dapat memberikan wawasan lain dalam dunia arkeologi khususnya pada penataan ruang, selain makna dan fungsi objek yang bersangkutan. Selain itu, melalui kajian ini diharapkan pula menjadi ancangan untuk memberikan penafsiran dan penyusunan strategi penelitian kepada objek-objek megalitik lain yang berada di wilayah Jawa Barat (mungkin juga di tempat lain).
Dari penelitian terhadap Arca Domas tersebut, agaknya dapat dibuat sebuah dugaan bahwa arah hadap objek megalitik seperti arca, menhir dan punden berundak dapat menentukan letak situs penting lainnya (khususnya pemukiman). Atau dengan kata lain, objek-objek pemujaan yang menjadi arah penentu utama, memberikan tanda atau dugaan bahwa arah yang menghadap padanya terdapat situs-situs seperti pemukiman, penguburan, dan aktivitas lainnya.
Mengingat, di daerah Banten Selatan sendiri yang relatif dekat dengan Baduy ini banyak terdapat peninggalan megalitik yang penting, misalnya Lebak Sibedug, Kosala (Lebak), Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar (Sukabumi), dan Gunung Padang (Cianjur Selatan), maka untuk mencari situs seperti pemukiman, penguburan, dan aktivitas lainnya dapat mengacu dari arah hadap bangunan megalitik tersebut. Dapat dicurigai bahwa situs pemukiman, penguburan, dan lainnya berada pada daerah dihadapan bangunan megalitik tersebut. Hanya saja masalahnya pada jarak berapa situs itu berada? Ini diperlukan survei atau penelitian lebih lanjut.


Daftar Pustaka

Ascher, Robert
1971 “Analogy in Archaeological Interpretation”, dalam James Deetz (ed.) Man’s Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262–271.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,.
1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
Ekadjati, Edi S.
1995 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
Garna, Judhistira
1988 “Perubahan Sosial Budaya Baduy” dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo.
--------------
1993 “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal. 120-152)
Hoevell, W.R. van
1845 “Bijdrage tot de kennis der Badoeinen in het zuiden der residentie Bantam”. TNI, VII: 335-430.
Iskandar, Johan
1992 Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Jacobs, J. and J.J. Meijer
1891 De Badoej’s. ‘s-Grahenhage: Martinus Nijhoff.
Koorders, D.
1869 “Losse Aantekeningeng tijdens het bezoek bij de Badoi’s”, BKI, LVI: 335-341.
Kramer, C.
1979 Etnoarchaeology: Implication of Ethnography for Archaeology. New York: Columbia University Press.
Mundardjito.
1981 “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia”, dalam Majalah Arkeologi 1-2, IV:17-29
Permana, R. Cecep Eka
1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Pleyte, C.M.
1909 “Artja Domas, het zielenland der Badoej’s”. Tijdschrift voor Indishe Taal–, land– en Volkenkunde. LI:Afl. 6: 494-526.
Tricht, B. van
1929 “Levende Antiquiteiten in West-Java”. Djawa IX: 43-120.

back

Copyright© 2002-2005 Archaeology on the Net
:: About Us :: Contact Us :: Help Us :: Bookmark :: Copyright ::