Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Jawa Tengah
Politik & Hukum
Humaniora
Pemilihan Umum 2004
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Makanan dan Minuman
Pergelaran
Didaktika
Ekonomi Rakyat
Swara
Wisata
Sorotan
Teropong
Pendidikan
Ekonomi Internasional
Esai Foto
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Kesehatan
Bahari
Telekomunikasi
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Properti
Pendidikan Luar Negeri
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Bentara
Rabu, 04 Februari 2004

Sajak Sajak

Tan Lioe Ie

Perahu Daun

Di tepi danau kita berdiri

melempar batu kanak-kanak

ke dalamnya.

Seribu purnama bercermin di air

Batu kanak-kanak berlumut sudah.

Kita masih di sini

menyaksikan angin

menjatuhkan sehelai daun

mengapung di permukaan

menjadi perahu

menjemputmu

menembus kabut

Kau pun tak tampak lagi.

Mataku bukan mata dungu ikan

yang tertipu umpan di mata kail

Tapi tak juga sanggup menyibak kabut itu

Kau tetap lenyap dari pandang

Tinggal kecipak air ditepuk angin

Angin yang lagi akan menggugurkan daun

mengapung jadi perahu

menjemput penyeberang berikutnya.

***

Tan Lioe Ie

Mimpi Buruk

Bunga plastik di jemari tua

adalah kenangan

akan kumbang dan

kupu-kupu.

Mimpi kanak-kanak

dengan ranting mengurai langit

mimpi peri-peri hutan

menari di daun-daun

terkubur di kedalaman bumi

yang rekah terbakar.

Papan usang

ratap purba hutan-hutan

jejak siapa tertinggal di sana? Lebih

senyap dari kelepak kupu-kupu. Lebih

sakit dari sengat kumbang

mendengung di liang telinga kenangan.

***

Tan Lioe Ie

Tak Lagi

Langit-langit

tentu bukan langit

Langit yang tampak

bukan langit yang kau rindu

Resah kau

bagai angin tak sampai

ke hampa langit tinggi

Gundah kau

serupa sinar sia-sia

menggapai gelap laut dalam

Berulang-kali kau jenguk dirimu

Sampai kau temukan

benda-benda langit

bercahaya di dalamnya

menuntunmu ke cahaya

di luar diri. Lebih dari matahari.

Cahaya bertemu cahaya

lebur jadi satu

Kau pun berkelana dalam cahaya

menyibak tabir langit

mengurai tirai laut

Dan apa yang hendak kau katakan

tak lagi kau ucapkan.

***

Isbedy Stiawan ZS

Lelaki Penunggu

Mercusuar

adakah rindu akan kembali pulang?

kapal-kapal tak ada tanda mau berlabuh,

ombak selalu saja mengirim sepi

ke pulau ini. mercusuar memandang

kelam dan senyap

malam merayap

seperti malam-malam lalu

di mana rindu disimpan

ketika melaju sampan

menembus pekat lautan

lampu-lampu menyala

memberi tanda kapal-kapal

yang mendedah laut pekat

adakah rindu bisa pulang?

setiap malam sampan

membelah lautan

waktu kian hitam

gigil berlabuh

“aku anak pantai

dikirim ke pulau ini

menghitung kapal-kapal

yang melaju atau

sampan yang pergi jauh

tanpa kenal labuh," katamu

dan malam

tak pernah memulangkan

rindu ke pantai

seperti kapal-kapal itu

seperti sampan

yang pergi dan datang

setiap malam

dengan tubuh

rapuh

setiap liwat

seperti melambai

mengibarkan kelamin

yang baru menombak sepi!

Padang-Lampung, 13-17 Agustus 2003

***

Isbedy Stiawan ZS

Pesta Kemilau

mh

Sebuah malam

kutitipkan di parasmu

rambutmu yang terikat

mencatat namaku

cintaku tertunda

malam melesat jauh

Aku datang saat

waktu risau

ranjang berkarat

ditinggal tubuh

selalu saja aku terlambat

menangkap isyarat

dan getar malam…

Sebuah malam,

setiap malam

aku menunggu

butir embun

luruh dari parasmu

dan namaku yang

tercatat di rambutmu

mengurai sebagai jalan

: aku pun menitinya

menuju taman

atau tertanam di ranjang

seperti ibu-bapakku

yang kawin

di musim hujan

pesta kemilau

semalaman

kau tak juga

memberi sehelai waktu

untuk mewarnai ubanku

Sebuah malam

tak pernah datang

menitipkan pelangi

atau kembang matahari

sore hari

saat laut berombak

hingga ke bibir pantai

memukuli batu-batu

juga dinding pembatas

: duduk kita

menghitung tapak senja

Sebuah malam

kembali lari

dan aku tak sabar

mengejar…

esok ketika kubangun

tubuhmu kaku

dalam pelukan batu!

03 September 2003

***

Iyut Fitra

Kunang-kunang

hari-hari telah lewat. derap penanggalan yang lupa serupa barisan

gerbong tua

tetapi kita tak jua kunjung bosan membelah malam

menjadi dua cermin retak

di pantulnya kita saling mencari, seperti ada seekor kunang-kunang

yang hilang, sedang kita tak ingin cengeng pada nasib

di manakah kita pernah melepasnya

adakah yang bernama kelak akan mempertemukan kembali

kunang-kunang itu. kita sama menelikungi sepi

sebaris kenangan yang tak lunas

setitik cahaya redup

namun malam terlanjur jauh senantiasa. dan kita terlanjur

tak tuntas mengungkap rahasia

apakah yang dapat kita temukan dalam kelam

dua cermin retak

kunang-kunang itu

bisakah kita menangkap hari-hari yang lewat?

Payakumbuh, Oktober 2003

***

Iyut Fitra

Kunang-kunang dan Gambar Sebuah Kereta

belum sempat kutebus cahaya, redup itu belah dari cermin

berderai menjadi lanskap malang gurun

pasir-pasir tersangai

matahari tua ke arah barat. bergelimun tanpa bayang-bayang

“aku akan pulang!" kudengar suaramu perih seperti letusan tengah malam

tapi yang kugambar kemudian, adalah sebuah kereta yang tak lagi pernah

kembali

aku tak ingin melukis wajahmu yang termangu di jendelanya

pohon-pohon tertinggal. karib desah desau sunyi

rambutmu memang belum selesai kuhitung

baru sebahu gerai. atau sebatas malam terlanjur cepat

tapi langit-langitku terperangkap cermin pecah, dan seekor kunang-

kunang menyiang sepi sendiri

ke sana, ke negeri yang bergelombang, “aku akan pulang!" katamu

tak tertegah

tiba-tiba kubayangkan sebuah perang yang angkuh telah menunggumu

Payakumbuh, Oktober 2003

***

Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Karyanya tersebar di pelbagai media massa di Indonesia, pernah juga terbit di Malaysia dan Jerman. Buku terbarunya kumpulan puisi Aku Tandai Tahilalatmu (2003) dan Menampar Angin (2003), serta kumpulan cerpen Ziarah Ayah (2003).

Iyut Fitra lahir 16 Februari 1968 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Puisinya tersiar di sejumlah media massa dan antologi bersama yang terbit di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Menetap di Payakumbuh, menggerakkan Komunitas Seni INTRO.

Tan Lioe Ie lahir di Denpasar, Bali, 1 Juni 1958. Kumpulan puisinya Kita Bersaudara (1991) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dr Thomas Hunter Jr menjadi We Are All One. Ia gemar menyanyikan puisi.

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Mencari Orientasi Pendidikan

·

Penonton Urban Teater Urban

·

Ruang dan Sensibilitas Teater

·

Tidur

·

Sajak Sajak



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS