Sajak Sajak
Tan Lioe Ie
Perahu Daun
Di tepi danau kita berdiri
melempar batu kanak-kanak
ke dalamnya.
Seribu purnama bercermin di air
Batu kanak-kanak berlumut sudah.
Kita masih di sini
menyaksikan angin
menjatuhkan sehelai daun
mengapung di permukaan
menjadi perahu
menjemputmu
menembus kabut
Kau pun tak tampak lagi.
Mataku bukan mata dungu ikan
yang tertipu umpan di mata kail
Tapi tak juga sanggup menyibak kabut itu
Kau tetap lenyap dari pandang
Tinggal kecipak air ditepuk angin
Angin yang lagi akan menggugurkan daun
mengapung jadi perahu
menjemput penyeberang berikutnya.
***
Tan Lioe Ie
Mimpi Buruk
Bunga plastik di jemari tua
adalah kenangan
akan kumbang dan
kupu-kupu.
Mimpi kanak-kanak
dengan ranting mengurai langit
mimpi peri-peri hutan
menari di daun-daun
terkubur di kedalaman bumi
yang rekah terbakar.
Papan usang
ratap purba hutan-hutan
jejak siapa tertinggal di sana? Lebih
senyap dari kelepak kupu-kupu. Lebih
sakit dari sengat kumbang
mendengung di liang telinga kenangan.
***
Tan Lioe Ie
Tak Lagi
Langit-langit
tentu bukan langit
Langit yang tampak
bukan langit yang kau rindu
Resah kau
bagai angin tak sampai
ke hampa langit tinggi
Gundah kau
serupa sinar sia-sia
menggapai gelap laut dalam
Berulang-kali kau jenguk dirimu
Sampai kau temukan
benda-benda langit
bercahaya di dalamnya
menuntunmu ke cahaya
di luar diri. Lebih dari matahari.
Cahaya bertemu cahaya
lebur jadi satu
Kau pun berkelana dalam cahaya
menyibak tabir langit
mengurai tirai laut
Dan apa yang hendak kau katakan
tak lagi kau ucapkan.
***
Isbedy Stiawan ZS
Lelaki Penunggu
Mercusuar
adakah rindu akan kembali pulang?
kapal-kapal tak ada tanda mau berlabuh,
ombak selalu saja mengirim sepi
ke pulau ini. mercusuar memandang
kelam dan senyap
malam merayap
seperti malam-malam lalu
di mana rindu disimpan
ketika melaju sampan
menembus pekat lautan
lampu-lampu menyala
memberi tanda kapal-kapal
yang mendedah laut pekat
adakah rindu bisa pulang?
setiap malam sampan
membelah lautan
waktu kian hitam
gigil berlabuh
“aku anak pantai
dikirim ke pulau ini
menghitung kapal-kapal
yang melaju atau
sampan yang pergi jauh
tanpa kenal labuh," katamu
dan malam
tak pernah memulangkan
rindu ke pantai
seperti kapal-kapal itu
seperti sampan
yang pergi dan datang
setiap malam
dengan tubuh
rapuh
setiap liwat
seperti melambai
mengibarkan kelamin
yang baru menombak sepi!
Padang-Lampung, 13-17 Agustus 2003
***
Isbedy Stiawan ZS
Pesta Kemilau
mh
Sebuah malam
kutitipkan di parasmu
rambutmu yang terikat
mencatat namaku
cintaku tertunda
malam melesat jauh
Aku datang saat
waktu risau
ranjang berkarat
ditinggal tubuh
selalu saja aku terlambat
menangkap isyarat
dan getar malam…
Sebuah malam,
setiap malam
aku menunggu
butir embun
luruh dari parasmu
dan namaku yang
tercatat di rambutmu
mengurai sebagai jalan
: aku pun menitinya
menuju taman
atau tertanam di ranjang
seperti ibu-bapakku
yang kawin
di musim hujan
pesta kemilau
semalaman
kau tak juga
memberi sehelai waktu
untuk mewarnai ubanku
Sebuah malam
tak pernah datang
menitipkan pelangi
atau kembang matahari
sore hari
saat laut berombak
hingga ke bibir pantai
memukuli batu-batu
juga dinding pembatas
: duduk kita
menghitung tapak senja
Sebuah malam
kembali lari
dan aku tak sabar
mengejar…
esok ketika kubangun
tubuhmu kaku
dalam pelukan batu!
03 September 2003
***
Iyut Fitra
Kunang-kunang
hari-hari telah lewat. derap penanggalan yang lupa serupa barisan
gerbong tua
tetapi kita tak jua kunjung bosan membelah malam
menjadi dua cermin retak
di pantulnya kita saling mencari, seperti ada seekor kunang-kunang
yang hilang, sedang kita tak ingin cengeng pada nasib
di manakah kita pernah melepasnya
adakah yang bernama kelak akan mempertemukan kembali
kunang-kunang itu. kita sama menelikungi sepi
sebaris kenangan yang tak lunas
setitik cahaya redup
namun malam terlanjur jauh senantiasa. dan kita terlanjur
tak tuntas mengungkap rahasia
apakah yang dapat kita temukan dalam kelam
dua cermin retak
kunang-kunang itu
bisakah kita menangkap hari-hari yang lewat?
Payakumbuh, Oktober 2003
***
Iyut Fitra
Kunang-kunang dan Gambar Sebuah Kereta
belum sempat kutebus cahaya, redup itu belah dari cermin
berderai menjadi lanskap malang gurun
pasir-pasir tersangai
matahari tua ke arah barat. bergelimun tanpa bayang-bayang
“aku akan pulang!" kudengar suaramu perih seperti letusan tengah malam
tapi yang kugambar kemudian, adalah sebuah kereta yang tak lagi pernah
kembali
aku tak ingin melukis wajahmu yang termangu di jendelanya
pohon-pohon tertinggal. karib desah desau sunyi
rambutmu memang belum selesai kuhitung
baru sebahu gerai. atau sebatas malam terlanjur cepat
tapi langit-langitku terperangkap cermin pecah, dan seekor kunang-
kunang menyiang sepi sendiri
ke sana, ke negeri yang bergelombang, “aku akan pulang!" katamu
tak tertegah
tiba-tiba kubayangkan sebuah perang yang angkuh telah menunggumu
Payakumbuh, Oktober 2003
***
Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Karyanya tersebar di pelbagai media massa di Indonesia, pernah juga terbit di Malaysia dan Jerman. Buku terbarunya kumpulan puisi Aku Tandai Tahilalatmu (2003) dan Menampar Angin (2003), serta kumpulan cerpen Ziarah Ayah (2003).
Iyut Fitra lahir 16 Februari 1968 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Puisinya tersiar di sejumlah media massa dan antologi bersama yang terbit di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Menetap di Payakumbuh, menggerakkan Komunitas Seni INTRO.
Tan Lioe Ie lahir di Denpasar, Bali, 1 Juni 1958. Kumpulan puisinya Kita Bersaudara (1991) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dr Thomas Hunter Jr menjadi We Are All One. Ia gemar menyanyikan puisi.
|