N THE NET |
Oktober 2001 |
Mailing List |
Minuman dan Suwelan dalam TAYUBAN
Tayuban, sebagai buah tradisi masyarakat Jawa Tengah - dan sebagian Jawa Timur -, telah mengalami pasang-surut apresiasi. Awalnya adalah seni gambyong istana bernilai tinggi. Berkembang menjadi seni gambyong di luar istana, lantas terdegradasi menjadi seni rakyat berkualitas rendah, mesum, bertendensi prostitusi. Sampai tiba saatnya ditingkatkan menjadi kesenian tari pergaulan, namun belakangan terancam turun martabat lagi menjadi ajang ribut dan mabuk-mabukan.
Sebuah desa terpencil di antara sawah, ladang, dan hutan jati, sekitar 8 km
di utara jalan raya Blora - Cepu, Jawa Tengah, sedang menghelat acara
sedekah desa. Itu pertanda berakhirnya masa panen padi. Melihat
kemeriahannya, sampai didatangi warga dari lain desa, bisalah disimpulkan
bahwa panen kali itu terbilang berhasil. "Panennya memang berhasil.
Tetapi apakah penjualannya sesuai harga sehingga membawa kemakmuran, belum
tentu," kata salah seorang pemuka desa.
Bagi mereka yang berduyun-duyun datang, keberhasilan panen secara ekonomis
tak terlalu dipersoalkan. Tayuban, tari sederhana disertai tetembangan
diiringi gamelan, harus tetap meriah. Anak-anak dan perempuan merubung,
sementara remaja dan laki-laki dewasa bergantian mengalungkan selendang dan
menari. Ada pula balita dalam gendongan ayahnya yang ikut menari, yang
secara tradisional dipahami sebagai cara memohon berkat lewat gendhing
alias lagu yang dipesan.
Dua perempuan bersanggul dan berkemben, berias muka seperti umumnya bintang
panggung, menyanyi bergoyang dalam iringan gamelan yang ditabuh oleh
sekelompok wiyaga. Ada lagu yang masuk dalam daftar untuk disajikan,
ada pula lagu yang dinyanyikan berdasarkan permintaan. Prosedur permintaan,
yang kalau di kafe atau klub malam disebut request, itu cukup unik.
Si pemesan, entah perseorangan atau kelompok, wajib membayar ongkos mengubah
daftar lagu alias melakukan walik gendhing. Uang dengan berbagai
nominal, rata-rata berkisar Rp 1.000,- hingga Rp 10.000,-, dimasukkan ke
dalam bejana di depan formasi gamelan.
Para laki-laki yang menari bergiliran diatur oleh seorang pria yang
berfungsi sebagai pengarih atau pramugari. Mereka menari dalam
aneka ekspresi. Dan jangan salah, sekalipun jauh dari kota besar, para
pemuda umumnya tidak lepas dari simbol-simbol sensasi urban. Celana jins,
kaos bersablon "Smack-down" atau "Red Hot Chilli
Peppers", potongan rambut trendi dengan sebagian dicat merah, satu
telinga beranting-anting, juga ada yang betisnya dihiasi tato.
Keasyikan bertambah dengan beredarnya arak putih tradisional, bir, dan aneka
minuman dalam gelas-gelas kecil. Para pemuda dan laki-laki dewasa duduk
dalam beberapa kelompok sambil minum di seputar penjaja minuman maupun
makanan di luar arena tari, sementara di dalam arena mereka bergantian
menerima uluran sloki-sloki berisi minuman keras dari penari tayub. Minuman
habis dalam satu tenggakan, kemudian si laki-laki mengeluarkan uang kertas
dari sakunya, lantas diselipkan di kemben penari. Itulah suwelan,
ongkos ekstra yang diterima penari-penyanyi tayub, yang jumlahnya kadang
lebih besar daripada honor dari pihak yang mengundangnya.
Ada laki-laki yang bersemangat menari, ada yang sibuk menempelkan badan
kepada sang primadona. Ada yang mengejap-kejapkan mata tanpa peduli muka
sudah merah dan berminyak, ada pula yang terhuyung-huyung. Yang terkapar di
luar arena jangan ditanya. Ada yang sampai muntah segala. Padahal saat itu
matahari bersinar terik, dan arena di bawah pohon kihujan raksasa cuma
sebagian yang diberi atap.
Satu babak tayuban berakhir menjelang sore hari. Babak berikutnya
dilanjutkan malam harinya. Begitulah biasanya. Satu paket tayuban
berlangsung siang dan malam.
Menari-nari dengan minuman keras
Ahli filologi dan folklor humanis dari Universitas Negeri Surabaya, Prof.
Dr. Suripan Sadi Hutomo (alm.) dalam Tradisi dari Blora (1996)
menyoroti etimologi kata "tayuban" dalam dua pengertian. Pertama,
berdasarkan kata dasarnya, "tayub", yang dalam tradisi lisan
dikiratabahasakan menjadi "ditata cik ben guyub" (diatur
agar menjadi kerukunan orang). Pemberian makna semacam ini tampak misalnya
dalam naskah Tayuban: Kesenian Tradisional Khas Daerah Kabupaten Blora
(tanpa tahun), susunan Kantor Departemen P dan K Kab. Blora, Seksi
Kebudayaan.
Tetap nembang dan bergoyang meski kemben diselipi uang. (Foto: SL)
Kedua, kalau merujuk pada makna kata "tayub" dalam kamus,
etimologi rakyat semacam itu tentu bertolak belakang. Dalam Baoesastra
Djawa (Poerwadarminta, 1939), Suripan menemukan makna "tayub"
adalah "kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek"
(bersuka ria menari bersama tledek atau wanita penghibur).
Namun, di antara perbedaan makna itu Suripan menyimpulkan satu hal yang
sama, yakni keduanya mempunyai indikasi pada pengertian tari.
Kalau ada dugaan bahwa kata "tayub" ada kaitannya dengan
"nayub", kata "nayub" yang bermakna
"menari-nari" terdapat pada Kekawin Bharata Yuddha karya
Mpu Seddhah dan Mpu Panuluh, tahun 1079 Syaka atau tahun 1157 M. Pada pupuh
XIII bait ke-8 terdapat keterangan tentang para pandawa yang, oleh Prof Dr.
R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968) diterjemahkan "menari-nari dan
bergembira dengan riuhnya". Kesimpulan yang hampir sama, bahkan
ditambahi unsur minuman, diterangkan dalam Kamus Kawi - Jawa susunan
Winter dan Ranggawarsita (1987). Di sini, kata "nayub" diberi
makna "nayub, ngombe, sukan-sukan", minum minuman keras.
Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 - 1954), lewat lema
"Nayub, Nayuban" membantah bahwa "nayub" berasal dari
kata "tayub", melainkan dari kata "sayub" yang memiliki
arti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras.
Apa pun perbedaan yang mendasari, tayuban, dalam perkembangannya kemudian
memang terdiri atas dua unsur dominan: tarian dan minuman (keras). Bahwa
tayuban bermetamorfosa dari seni tari-tarian biasa menjadi tari beraroma
minuman keras, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati (1989), karena proses
perkembangannya. Tayuban lama-kelamaan keluar dari lingkaran pusat
pemerintahan semacam keraton, menjadi kesenian rakyat. Di lingkungan rakyat,
tari ini tidak lagi terjaga dan tidak dapat menunjukkan keutamaan, melainkan
menjadi seni rakyat yang bersifat kasar, rendah, dan sepele.
Pada seni rakyat yang lebih lebih rendah lagi, tayuban sedikit berubah,
menjadi kesenian yang disebut janggrungan. Dalam janggrungan, tulis Suripan,
penari dan penyanyi tayuban berkeliling mencari penanggap demi nafkah. Di
kebun tebu saat musim panen atau di tepi hutan jati di antara para blandhong
(penebang kayu). Dalam tingkatan inilah, tayuban menjadi berkonotasi mesum,
menjadi bentuk lain dari prostitusi. Celakanya, beberapa kesenian lain yang
juga merambah ke kalangan rakyat terjebak pada bentuk serupa. Gambyongan,
ronggeng, ledek, dan tandak, misalnya, dalam suatu periode identik dengan
perbuatan amoral bahkan pelacuran.
Kemakmuran bagi pelaku seni
Di masa Orde Baru, tayuban dipupuk menjadi simbol kesenian daerah. Konotasi
mesumnya dihilangkan, dikemas menjadi tari pergaulan. Ada pembinaan di
tingkat dinas kabupaten, dan tayub pun menjadi lahan profesi.
"Ada sekitar 1.000 penari tayub yang terdaftar pada kami," kata
Drs. H. Handono Mulyo, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Diknas
Kab. Blora. "Mereka berada di antara sekitar 6.000 pelaku aneka jenis
kesenian yang masuk dalam wilayah binaan kami."
Pembinaan meliputi penataran, upaya peningkatan kualitas, pengaturan, dan
perizinan. "Ada potongan yang kami minta dari setiap honorarium mereka,
dan itu kami gunakan untuk menutupi kekurangan biaya seperti honor bagi
mereka yang belum diangkat menjadi pegawai negeri, para pembina tingkat
kecamatan, dan macam-macam lagi," sambung Handono Mulyo.
Drs. Handono Mulyo, Kasubdin PLS Dinas Diknas Kab. Blora. "Kami
menghimpun sekitar 6.000 pelaku kesenian, seribu di antaranya penari
tayub." (Foto: SL)
Kebetulan, suasana kesenian di wilayah itu marak dalam beberapa tahun
belakangan. Tayub berkembang beriringan dengan aneka kesenian lain seperti
campursari dan musik dangdut. Ini memberi kehidupan bagi para pekerja seni.
Seorang penari tayub, misalnya, dalam sekali tanggapan siang dan malam
menerima honor antara Rp. 300.000,- - 500.000,-. Bagi penari senior,
angkanya bisa 1,5 sampai dua kali lipat. Itu jelas jumlah bersih di luar
tips dan suwelan.
Setiap naik panggung, penari tayub didampingi pengguyub yang
jumlahnya antara satu dan empat orang. Mereka punya honor tersendiri dan
menerima suwelan pula.
"Makanya rata-rata penari tayub punya mobil," kata Suparno, staf
pada Subdin. PLS Dinas Diknas Kab. Blora.
Kemakmuran rata-rata penari tayub memang terasa. Badan dan wajah terawat,
dandanan standar kota besar, dan ketika naik panggung pun melengkapi diri
dengan bahan rias dan aksesori pakaian yang cukup berkelas.
Penari tayub menjadi sentral dari kelompok pertunjukan yang terdiri atas
belasan orang. Tarif penyelenggaraan saat ini bisa mencapai Rp. 2.000.000,-
untuk 11 - 14 orang penabuh gamelan atau wiyaga, sinden, serta biaya
generator untuk listrik bagi tata lampu dan tata suara.
Dari proses apakah seorang penari tayub "dilahirkan"? Juhariyati,
seorang penari tayub menyatakan, ia bisa karena belajar sendiri. "Dari
kecil saya sudah mengenal dunia ini, terus lama-lama mengikuti dan
bisa."
Pasti, dunia tayub tak sesimpel yang dikemukakan Juhariyati. Ia jelas
melalui proses yang cukup panjang untuk bisa punya nama, hapal ratusan lagu
dan cara melantunkannya, juga punya fisik yang prima untuk terus bekerja.
"Dalam setahun, hanya di bulan puasa kami istirahat. Di luar masa itu,
paling hanya beberapa hari dalam sebulan yang kosong," tambah
Juhariyati.
Ribut itu biasa
Tak semua tayuban berlangsung vulgar dan liar. Di kawasan yang rasa
keagamaannya dominan, penari tayub mengenakan kebaya dan tidak ada uang suwelan
di dalam kemben. Mereka yang meminta selendang diatur melalui pendaftaran,
dan ketika menari pun melepas alas kaki. Namun agaknya ciri utama tak bisa
dihilangkan. Minuman keras, walau beredar di kejauhan, umumnya tetap ada.
Masih adakah kecenderungan tayub menjadi prostitusi? Suparno menjelaskan,
"Itu tergantung orangnya. Bahwa ada yang 'mauan' atau bisa dibawa, itu
individual sifatnya. Tapi jangan salah, yang ibu rumah tangga baik-baik juga
banyak. Malah yang saat ini berada di papan atas, kebanyakan ibu rumah
tangga."
Suparno tak membantah, keberadaan penari tayub sebagai primadona membuat
banyak laki-laki kesengsem. Ada beberapa pria yang selalu datang di mana pun
penari tayub pujaan tampil. Banyak pula kejadian suami menelantarkan istri
dan keluarganya demi sang penari. Suparno juga menceritakan seorang peneliti
dari perguruan tinggi ternama di Yogyakarta yang gagal merampungkan tugas
gara-gara kepincut seorang penari tayub.
Ihwal aroma minuman keras yang semerbak di setiap tayuban, menurut Suparno,
tak lepas dari kebiasaan. "Itu memang melekat secara historis."
Bagi penari tayub pun hal itu dianggap biasa. Pemabuk yang bertindak lepas
kontrol dianggap bagian dari profesinya. "Walaupun kadang kesal kalau
ada yang resek," kata Juhariyati. Namun posisinya sebagai
primadona, karena banyak orang berkepentingan, malah diuntungkan sebab
selalu ada yang membela.
Keributan sebagai akibat mabuk, menurut Suparno, juga biasa. Tapi menurut
dia, keributan dalam tayuban tidak pernah membesar sampai jadi tawuran.
"Berbeda misalnya dengan pergelaran orkes dangdut atau
campursari," tuturnya.
Suparno yang punya kesibukan sampingan sebagai pemusik sering terlibat dalam
pertunjukan musik yang berakhir dengan keributan. "Enggak tahu kenapa
kalau tayuban kok jarang sampai ribut besar. Padahal yang datang dan
berjoget mereka-mereka juga."
Tayuban memang bukan semata-mata pertunjukan musik yang memisahkan pemain
dengan penontonnya. Penari, penyanyi, dan penabuh gamelan adalah pusat dari
acara itu sendiri. Di situlah kendali terjadi, menciptakan keasyikan
tersendiri tanpa harus ribut atau berkelahi. Jadi, tayuban yuk, tayuban! (Mayong
S. Laksono/G. Sujayanto) |
||||||||||