Rubrik
Berita Utama
Bisnis & Keuangan
Humaniora
International
Jawa Tengah
Metropolitan
Nusantara
Olahraga
Opini
Politik & Hukum
Sosok
Sumatera Bagian Selatan
Sumatera Bagian Utara
Yogyakarta
Berita Yang lalu
Anak
Audio Visual
Bahari
Bentara
Bingkai
Dana Kemanusiaan
Didaktika
Ekonomi Internasional
Ekonomi Rakyat
Fokus
Furnitur
Ilmu Pengetahuan
Interior
Jendela
Kesehatan
Lingkungan
Lintas Timur Barat
Makanan dan Minuman
Muda
Musik
Otomotif
Otonomi
Pendidikan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Informal
Pendidikan Luar Negeri
Perbankan
Pergelaran
Perhubungan
Pixel
Properti
Pustakaloka
Rumah
Sorotan
Swara
Tanah Air
Teknologi Informasi
Telekomunikasi
Teropong
Wisata
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi
Fokus
Sabtu, 04 Maret 2006

Tak Seharusnya Lelah karena Berbeda

Oleh Amir Sodikin

Jutaan orang di Bali dan Kalimantan, yang biasa mandi di sungai, bisa jadi harus meninggalkan kebiasaan mereka jika Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi jadi disahkan menjadi undang-undang.

Kegiatan mandi mereka oleh Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ini dianggap porno dan, karena tidak termasuk ritual keagamaan, harus diberangus.

Persoalannya, terutama di Kalimantan, jutaan orang yang mandi di sungai merupakan kaum miskin yang tak sanggup memiliki rumah dengan fasilitas kamar mandi memadai. Orang-orang miskin ini nanti akan ditangkapi, dicap sebagai amoral, dianggap sebagai tak tahu malu, dan dipenjara karena dianggap oleh RUU APP sebagai bejat tak beradab.

Jika RUU ini menjadi UU, sebelum diterapkan, pemerintah harus menyejahterakan jutaan rakyatnya agar bisa pindah budaya sesuai kehendak RUU. Kebudayaan sungai dan pedalaman, mulai dari Papua hingga Nanggroe Aceh Darussalam, yang dianggap porno oleh RUU dinyatakan tak beradab dan harus dihilangkan.

Inilah logika sederhana RUU ini yang tak berpikir panjang dan sewenang-wenang terhadap perbedaan etnik. Padahal, perbedaan inilah yang selama ini menjadi andalan Indonesia sebagai tujuan wisata budaya yang dicari wisatawan Nusantara maupun mancanegara.

Kesesatan berpikir seperti ini lahir dari kasus yang sebenarnya sederhana, yaitu maraknya berbagai distribusi berbagai media berbau pornografi yang terkesan dibiarkan begitu saja. Akibat tak responsifnya penegakan hukum, pornografi merajalela. Kondisi ini melahirkan ide bahwa untuk mengatasinya harus ada UU soal pornografi.

Tak bisa dimungkiri, aspirasi ini muncul dari mayoritas masyarakat. Hanya saja, masyarakat terkejut melihat logika pasal-pasal yang ada.

Namun, RUU ini tetap digulirkan dengan membawa slogan-slogan mayoritas kelompok. Hegemoni atas pandangan hidup tertentu memang seksi dan menggoda, berahinya bisa membuntukan logika berpikir pemujanya.

Dalam konteks Indonesia, nafsu menghegemoni ini mengganggu harmoni kebhinnekaan. Industri pariwisata yang memproklamasikan Indonesia sebagai The Ultimate in Diversity bisa terancam.

Konteks RUU APP semakin mengukuhkan fenomena asyiknya memperdebatkan perbedaan nilai-nilai daripada memperbincangkan soal ketidakadilan ekonomi. Kita asyik mempermasalahkan perbedaan ”baju” yang kita pakai daripada mengurusi kaum papa yang tak bisa mengenakan baju karena miskin.

Ancaman kebhinnekaan

Kalangan pelaku budaya, terutama dari Bali, sudah tegas menyatakan RUU itu mengancam eksistensi mereka karena perbedaan antara ”baju” yang dikehendaki RUU dan kebiasaan yang mereka sandang. Di pulau-pulau lain yang memiliki latar belakang kekayaan etnik yang berbeda-beda juga mulai risi dengan isi RUU ini.

Multikulturalisme suku-suku oleh logika RUU dipaksa memiliki ekspresi budaya yang seragam. Perbedaan yang dikatakan indah itu dianggap duri yang harus diseragamkan, sementara pornografi tetap melenggang bebas karena penertiban yang dilakukan aparat hanya ”hangat-hangat tahi ayam”.

Para panelis yang hadir dalam diskusi panel Kompas menilai permainan kontrol moral ini terlalu mahal untuk dilanjutkan jika harus mengorbankan kebhinnekaan. Jelas sejak awal kebhinnekaan budaya diakui dan menjadi dasar berdirinya Republik ini. Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan eksistensi kita sebagai bangsa.

”Multikulturalisme adalah pilar kita sebagai bangsa. Kita mengakui dan menghormati perbedaan (agama, budaya, adat istiadat) dalam kesetaraan. Tidak ada dominasi mayoritas dan tidak ada tirani minoritas, semua berada dalam koeksistensi dan harmonis,” kata I Gede Ardika, mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata.

”Tunggal Ika bukan dalam makna uniformitas, tetapi dalam koeksistensi dan harmoni. Dalam kebudayaan, bentuk budaya nonbendawi seperti nilai-nilai adalah sukmanya kebudayaan itu. Justru kebebasan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya itu dijamin konstitusi,” kata Ardika menambahkan.

Karena jaminan itulah, pariwisata Indonesia bisa berjalan. Hakikat kepariwisataan mendasarkan pada keunikan, kekhasan, kelokalan, dan perbedaan. Tanpa adanya perbedaan, tak mungkin ada pariwisata.

”Tanpa adanya yang unik, berbeda dan bersifat lokal, tidak akan ada orang yang akan berwisata. Perbedaanlah yang menggerakkan orang untuk melakukan perjalanan. Uniformitas akan mematikan kepariwisataan,” kata Ardika.

Pariwisata pun memiliki aturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Di dalam UU ini secara jelas dinyatakan kegiatan kepariwisataan secara sungguh-sungguh harus memerhatikan nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat masyarakat.

”Oleh karena itulah kegiatan kepariwisataan tidak boleh ada unsur perjudian, penyalahgunaan narkotika, hal-hal yang melanggar norma kesusilaan, ataupun yang dapat mengganggu ketertiban umum,” kata Ardika.

Secara umum, pengendalian hal-hal yang dianggap porno bisa dilakukan dengan berbekal UU Pers, UU Perfilman, UU Kepariwisataan, dan UU Perlindungan Anak, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). ”Jadi, bila aparat penegak hukum bertindak tegas, tidak perlu lagi UU Antipornografi dan Pornoaksi ini yang meresahkan daerah lain yang berbeda budaya,” kata Ardika.

Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun undang-undang itu kata-katanya kurang baik, tetapi jikalau semangat penyelenggara pemerintahan baik, dan dinamis, suatu undang-undang akan dapat ditegakkan untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.

Jika prinsip-prinsip kebhinnekaan akan dibuatkan ukuran-ukuran yang lebih rinci, hal itu justru bisa menabrak prinsip dasar kita berbangsa dan bernegara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini sangat berbahaya kalau dilihat dari sisi kepariwisataan. Juga berbahaya untuk keutuhan negara.

”Saya bayangkan di kampung saya di Bali sana, sampai sekarang masih banyak yang mandi di kali. Itu semuanya, orang-orang yang mandi itu, akan menjadi penghuni penjara menurut pasal ini karena mandi di sana adalah kebiasaan sehari-hari, bukan ritual keagamaan,” kata Ardika.

Perbedaan konsep

Peneliti yang menekuni antropologi dan etnologi dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Marko Mahin, dalam kesempatan terpisah mengatakan konsepsi aurat dan porno setiap daerah berbeda-beda. Di Kalimantan, konsep kemaluan baru muncul pada akhir abad ke-20 setelah Melayu datang.

Di beberapa daerah, mandi masih dilakukan di sungai secara bersama-sama dan mereka tak merasa itu sesuatu yang porno. Pernah ada imbauan agar mereka tak mandi di sungai (terutama perempuan), tetapi imbauan itu tak berarti karena persoalan di sana adalah kemiskinan.

”Orang yang mandi sungai itu miskin, tak mampu membuat jamban, apalagi membuat kamar mandi yang layak di dalam rumahnya,” kata Marko.

”Jika RUU ini jadi UU, orang-orang miskin ini nanti akan merasa semakin tersisih, tak diakui, tak bermoral, dan bejat. Sudah miskin tak dientaskan oleh pemerintah, malah dianggap tak beradab dan harus dipenjara. Ini ironi yang harus diakhiri,” ujar Marko menambahkan.

Persoalan di Papua pasti akan lebih rumit karena mereka banyak yang mengenakan pakaian koteka. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa konsep malu dan konsep aurat itu memang berbeda antarkelompok etnik. Bahkan, di kalangan sesama Muslim pun konsep aurat ini beragam.

Perlu dipahami, di beberapa daerah tubuh (body) memang ”dirayakan”, sementara di daerah lain ada yang ekstrem menganggap tubuh sebagai sumber kebencian. Seksualitas di lingkungan etnik tertentu dianggap simbol kesuburan yang perlu disyukuri dengan ritual tertentu, sementara bagi kelompok etnik lain dianggap tabu.

Ritual-ritual itu pernah menjadi khazanah budaya Nusantara dan kini hilang akibat pertemuan berbagai budaya. Namun, proses itu terjadi tanpa tekanan peraturan seperti undang-undang yang saat ini sedang dirancang.

Harus diakui, kekayaan wisata Nusantara adalah karena beragamnya ekspresi kebudayaan etnik. Tak seharusnya kita merasa lelah berada dalam negeri penuh perbedaan ini. Bukankah perbedaan itu indah?

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Multitafsir RUU APP

·

Tak Seharusnya Lelah karena Berbeda

·

Bergoyang dalam Bayang-bayang RUU

·

Mengapa RUU APP Menimbulkan Kontroversi?

·

Langgar Konstitusi, Langgar HAM?

·

RUU Malaikat dan Politik Seks

·

Misoginis dan Memojokkan



Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS