Senin, 13 Oktober 2008
Kehidupan
RUU Pornografi Dinilai Cacat oleh Banyak Pihak
Senin, 29 September 2008 | 01:34 WIB

Maria Hartiningsih

Dua pekan terakhir ini berbagai upaya penolakan dan pembatalan Rancangan Undang-Undang Pornografi berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Pesannya senada: RUU Pornografi tak layak diundangkan.

RUU itu dinilai cacat oleh banyak pihak. Substansinya menyesatkan, prosesnya menyalahi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, semangatnya melukai prinsip-prinsip kehidupan bersama sebagai bangsa.

RUU Pornografi juga mengancam perkembangan industri kreatif yang diharapkan menjadi ujung tombak ekonomi Indonesia setelah sumber daya alamnya habis dikeruk korporasi transnasional demi ”devisa”, meninggalkan kerusakan lingkungan, dan masalah sosial yang parah.

RUU Pornografi telah membelah publik ke dalam dua kutub yang sulit dipertemukan sejak masih RUU Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang ditarik kembali ke DPR tahun 2006 untuk diperbaiki.

Selain itu, RUU tersebut bahkan mengesampingkan persoalan besar lain bangsa, khususnya korupsi dan minimnya tanggung jawab negara terhadap rakyat, seperti dilontarkan Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Dalam uji publik RUU Pornografi yang diselenggarakan kelompok masyarakat sipil di Jakarta, Kamis (25/9), ia menyatakan, ”Pornografi memang bisa menjadi social problems, tetapi secara historis tak pernah terbukti menjadi societal problems, problem nasional. Tetapi, RUU Pornografi dapat menginisiasi problem nasional baru, yaitu problem hubungan antarkelompok yang majemuk dan isu pluralitas.”

Hal sama diingatkan sejarawan Taufik Abdulah dalam acara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jumat (26/9), dengan mengundang kalangan seni dan industri kreatif.

Taufik, menurut Ketua Pengurus Harian DKJ Marco Kusumawijaya, menegaskan, ”Kami tidak setuju pornografi, tetapi kami tak dapat menyetujui RUU Pornografi karena definisi dan cara pengaturan yang salah, yang hendak menyeragamkan nilai-nilai yang mengancam pluralitas bangsa.”

Melukai kebersamaan

Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti dalam uji publik—dihadiri anggota Panitia Khusus (Pansus) dan Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi, Latifah, dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) dan Irsyad Sudiro dari F-Partai Golkar, serta pimpinan Pansus Agung Sasongko dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP)—menyatakan proses RUU Pornografi tertutup tanpa partisipasi masyarakat, bahkan rapat-rapatnya sering tidak mencapai kuorum.

”Materi RUU tersebut lebih bertujuan mengatur dan mengarahkan ’moralitas’ individu berdasarkan persepsi ’moralitas’ tertentu ketimbang mengatur soal pornografi,” tegas Ratna ketika membedah pasal per pasal materi RUU Pornografi.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana mengingatkan, RUU itu mencederai konstitusi negara ini, apalagi ditambah komentar-komentar para politisi yang bernada mengancam, yang mengarah pada rezim otoritarianisme baru bertabir agama dan moralitas.

”Yang dipertaruhkan oleh demokrasi prosedural yang picik itu bukan hanya nasib perempuan, anak, dan kelompok minoritas, tetapi demokrasi itu sendiri; demokrasi substansial yang berasaskan keadilan dan hak asasi manusia,” tegas Kamala.

Bahkan, ada satu pasal yang sangat melukai perasaan kebersamaan sebagai bangsa. ”Kalau Pasal 14 dari RUU itu kita terima, berarti kita mengakui budaya, adat-istiadat dan ritual tradisional kita mengandung unsur pornografi,” ujar Sugi Lanus, Juru Bicara Komponen Masyarakat Bali.

Pasal 14 dari RUU Pornografi itu berisi, ”Pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya; (b) adat-istiadat dan (c) ritual tradisional.”

”Jika dilihat dari penjelasannya, draf RUU Pornografi ini tidak memiliki konsistensi antara definisi pornografi dan definisi materi seksualitas,” kata Ratna.

Komentar senada datang dari budayawan Gunawan Mohamad dan Sekretaris Umum Forum Silaturahmi Keraton-keraton se-Nusantara KPH Gunarso Kusumadiningrat dalam acara yang diselenggarakan DKJ itu.

Gunarso bahkan menandaskan, adat-istiadat dan ekspresi budaya yang berbeda-beda di Nusantara sudah ada sebelum agama-agama datang dan menjadi bagian inheren dari kehidupan masyarakat di Nusantara. Ia menolak keras itu semua dianggap pornografi yang dikecualikan oleh RUU Pornografi melalui Pasal 14.

Ancam industri kreatif

Peran keberagaman budaya Indonesia itu menjadi sumber inspirasi industri kreatif di Indonesia. Pekerja film, produser dan sutradara, Nia Dinata, dalam uji publik mengingatkan, RUU Pornografi mengancam perkembangan industri kreatif yang diakui Menteri Perdagangan akan mengangkat ekonomi Indonesia di pasar global, ”Setelah sumber daya alam kita habis dikeruk orang-orang serakah,” ujar Nia. Pernyataan Nia senada dengan pernyataan yang dikeluarkan pada pertemuan Jumat petang itu.

Para intelektual, pemikir, dan feminis antipornografi dari AS, seperti Catharine A MacKinnon (dalam Only Words, 1993), senada dengan feminis Andrea Dworkin dan filosof Helen Longino, memandang pornografi sebagai ”situasi yang secara seksual jelas-jelas menyubordinasi perempuan … dan merendahkan kemampuan perempuan untuk mendapat keadilan atas pelecehan yang dialami....”

Pandangan lain menyatakan, ”… Pornografi mengandung bentuk dan tulisan berisi praduga yang bermuara pada diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.”

Mengacu pada pandangan itu, Marco mempertanyakan, ”Materi RUU Pornografi seperti menegaskan pandangan tubuh perempuan adalah obyek perangsang laki-laki. Jadi, sebenarnya mana yang porno?”

 

 

 

 

BERITA TERPOPULER

Surat Kabar
Majalah dan Tabloid
Penerbit
Media Elektronik
Industri dan Lain-lain
Hotel & Resort