Back to Kompasiana
Artikel

Sejarah

2aji Setiawan

www.ajisetiawan1.blogspot.com

Rabithah Alawiyah, Berkumpulnya kaum Alawiyin di Indonesia

REP | 26 July 2013 | 13:41 Dibaca: 132   Komentar: 0   0

Rabithah Alawiyah adalah organisasi kaum Alawiyyin yang didirikan pada tahun 1346 H/1928 M di Batavia atas prakarsa Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf dan Sayid Muhammad bin Abdurrahman bin Ali bin Shahabudin. Organisasi yang nama awalnya Arrabitatoel Alawijah itu disahkan pada tanggal 27 Desember 1928 oleh G.R. Edbrink (sekretaris pemerintah kolonial Belanda).

Pada saat yang bersamaan juga didirikan Al-Maktab Ad-Daimi guna mencatat nasab As-Saadah Al-Alawiyyin. Dan pada periode pertama berhasil dicatat 17.764 orang habaib di Indonesia. Pada kegiatan pencatatan tersebut tokoh yang cukup berjasa antara lain Sayyid Ali bin Ja’far Assegaf dan Sayid Syech bin Ahmad bin Shahabudin.

Partai Arab

Pada periode kepengurusan pertama, Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syihab terpilih sebagai ketua umum, dengan wakil Sayyid Abu Bakar bin Abdullah Alatas dan Sayyid Abdullah bin Ali Alaydrus. Hanya berjarak setahun setelah pendirian organisasi di tingkat pusat, pada tahun 1929 berdiri pula Rabithah Alawiyah cabang Batavia, Pekalongan, Semarang, Solo, Surabaya, Tuban, Gresik, Bangil, Palembang, dan Bondowoso.

Selain cabang-cabang tersebut, daerah-daerah yang belum mencukupi syarat untuk mendirikan cabang segera mendirikan kantor-kantor perwakilan. Pada tahun yang sama, telah berdiri Perwakilan Rabithah Alawiyah Makassar, Ende (Flores), Probolinggo, Cianjur, Sokaraja, Tulungagung, Jombang, Jember, Mojosari, Lumajang, Malang, Sumenep, dan Banyuwangi.

Sejak awal pendiriannya, organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah berhimpunnya para habaib dan saadah, untuk menyusun strategi dakwah dan pengabdian terhadap umat. Karena itu organisasi Rabithah Alawiyah sepenuhnya bergerak di ranah sosial keagamaan dan pendidikan. Di antara kegiatan sosial yang ikut diprakarsai oleh Rabithah yang hingga kini masih eksis adalah Panti Asuhan Darul Aitam, yang berdiri di beberapa kota seperti Jakarta dan Pekalongan. Juga, Yayasan Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir, Tanah Abang.

Secara rutin Rabithah juga memberi beasiswa untuk anak yatim dan orang tak mampu. Hingga saat ini tak kurang dari 830 siswa-siswi dan mahasiswa yang menjadi anak asuh yang sebagian dananya diambilkan dari keuangan Rabithah. Meski tidak diarahkan, sebagian besar anak asuh menempuh pendidikan di lingkungan Jamiat Kheir.

“Ketiga lembaga ini pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah pengabdian Bani Alawi terhadap umat Islam,” papar Habib Ahmad bin Abdurrahman Musawa, mantan sekjen Rabithah Alawiyah periode 2001-2006.

Dalam bidang politik, baik sebelum kemerdekaan maupun setelahnya, kaum Alawiyyin – sebagaimana keturunan Arab pada umumnya – tetap menempuh jalur di luar Rabithah. Di masa pra-kemerdekaan, misalnya, kebanyakan kaum Alawiyyin bergabung di Partai Arab Indonesia (PAI). Ini disebabkan kebanyakan organisasi nasionalis saat itu belum terlalu membuka diri terhadap keturunan asing.

Namun setelah Indonesia merdeka, kaum saadah segera saja melebur bersama elemen masyarakat lain dalam berbagai wadah yang ada. Sementara Rabithah Alawiyah, sebagai kelanjutan Jamiat Kheir, tetap eksis dan terus bergerak di ranah sosial kemasyarakatan.

Meski masih seumur jagung, Rabithah Alawiyah segera saja bisa menyejajarkan diri dengan organisasi-organisasi lain yang telah lebih dulu lahir. Tahun 1930, misalnya, Rabithah Alawiyah mendapat undangan untuk menghadiri Mu’tamar Pemuda Muslim. Ketika itu Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad memberikan ceramah menarik yang kemudian dicetak dan bagikan kepada peserta muktamar.

Rabithah juga ikut aktif dalam Mu’tamar Islam di Surabaya dan bekerja sama dengan perkumpulan Muhamadiyyah dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sesuia dengan khithahnya, Rabithah Alawiyah juga selalu tanggap terhadap isu-isu sosial dan kontemporer saat itu, seperti penggalangan dana dan bantuan kemanusiaan untuk korban letusan Gunung Merapi (1931), bencana kelaparan di Palestina, dan pembangunan masjid serta panti asuhan yatim di berbagai daerah.

Dijarah Jepang

Sebagai organisasi para saadah yang mayoritas juga ulama, Rabithah Alawiyah pun sejak awal berusaha berperan aktif melindungi aqidah dan kehormatan umat Islam. Tahun 1932, misalnya, bersama ormas keagamaan lain Rabithah membentuk panitia untuk memprotes majalah Hoako di Surabaya yang telah menghina Nabi Muhammad SAW.

Rabithah, melalui Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, juga pernah menerbitkan sebuah kitab untuk menolak paham Qadiyaniyah (Ahmadiyah) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh K.H. Abdillah bin Nuh. Masih banyak lagi kiprah yang dilakukan Rabithah Alawiyah sebelum era kemerdekaan.

Periode tersulit dialami Rabithah Alawiyah pada masa penjajahan Jepang. Ketika itu pemerintahan Dai Nippon sangat ketat mengawasi setiap pergerakan umat Islam Indonesia, terlebih yang dipimpin para ulama.

Pernah suatu ketika bala tentara Jepang menyatroni kantor Rabithah Alawiyah dan Jamiat Kheir. Dengan sewenang-wenang mereka merampas dan membawa sebagian besar buku koleksi perpustakaan dua lembaga keagamaan tersebut. Hanya beberapa judul yang selamat karena sempat disembunyikan penjaga perpustakaan. Konon, kitab-kitab berharga tersebut kemudian diangkut ke negeri Jepang.

Pasca-kemerdekaan, karena berbagai hambatan, laju Rabithah Alawiyah sempat tersendat-sendat. Bahkan selama 25 tahun (1958-1983) Rabithah Alawiyah sempat mengalami stagnasi kegiatan. Baru pada Musyawarah Nasional ke-19 tahun 1983, gerbong organisasi habaib itu kembali berderak.

Diawali dengan penggantian nama organisasi menjadi Yayasan Alawiyah dan menunjuk Habib Muhammad bin Muhsin Al-Hamid sebagai ketua umum. Namun pada rapat pertamanya, kepengurusan tersebut kembali mengganti nama menjadi Ikatan Keluarga Besar Alawiyyin (IKBAL) yang dalam bahasa Arab sama dengan Ar-Rabithah Al-Alawiyyah.

Namun kepengurusan Habib Muhammad Al-Hamid tidak berlangsung lama. Tahun 1984, dengan alasan kesehatan, ia mengundurkan diri. Sidang pleno kemudian menetapkan Habib Syech bin Ali Al-Jufri sebagai ketua umum. Habib Syech memimpin organisasi kaum Alawiyyin selama dua periode, sampai tahun 1991. Sejak kepemimpinan ulama asal Condet, Jakarta Timur, itulah Rabithah Alawiyah kembali menunjukkan kiprahnya.

Demikian pula pada masa kepengurusan terakhir 1992-2006 di bawah pimpinan Habib Umar bin Muhammad Mulachela, Rabithah semakin mantap menata profesionalisme kelembagaan. Prestasi lain yang dicapai adalah pembentukan Komisi Fatwa, sebagai bagian dari upaya menjaga kemurnian ajaran Islam dan kaderisasi pengelolaan Lembaga Nasab Maktab Daimi.

Namun, diakui Habib A.R. Musawwa dalam rilisnya, sebagaimana organisasi sosial lainya, kendala terbesar yang kerap dihadapi Rabithah Alawiyah dalam melaksanakan program adalah keterbatasan sumber dana lembaga.

“Berbagai usaha telah dan terus dilakukan pengurus untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan menggalakkan penggalangan dana melalui pembentukan Donatur Tetap,” tutur tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Amerika, Jepang, dan Inggris ini.

“Karena itu,” tambah Habib Ahmad, “Rabithah masih mengharapkan kepedulian warga Alawiyyin untuk memberikan sumbangsihnya, baik dalam bentuk donasi maupun pemikiran yang konstruktif.”

Hingga tahun 2011 ini tercatat sudah sembilan orang tokoh yang secara berturut-turut menakhodai biduk besar kaum Alawiyyin. Mereka adalah Habib Muhammad bin Abdurrahman Shihab, Habib Abu Bakar Alatas, Habib Abu Bakar Al-Habsyi, Habib Hasyim bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Tharich Chehab, Habib Muhammad bin Husin Al-Hamid, Habib Syech bin Ali Al-Jufri, Habib Umar bin Muhammad Mulachela, Habib Zein bin Umar bin Smith.

Aji Setiawan

Tags:

 
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.
Siapa yang menilai tulisan ini?
    -
Processing data ..
Tulis Tanggapan Anda
Guest User

FEATURED ARTICLE

HEADLINE ARTICLES

Serunya Nonton Final di Copacabana …

Iskandarjet | | 14 July 2014 | 10:53

Keruwetan di Balik Nestapa Gaza …

Jimmy S Harianto | | 14 July 2014 | 11:26

Air untuk Produksi 1 Jeans Sama dengan Air …

Cahaya Hati | | 14 July 2014 | 16:45

Antara Lengkuas dan Tanjung Kelayang, Aku …

Tri Lokon | | 14 July 2014 | 16:15

Punya Gaya “Make Up” Menarik? …

Kompasiana | | 09 July 2014 | 00:21


TRENDING ARTICLES

Beberapa Fakta Tentang Palestina …

Esther Lima | 2 jam lalu

Nama Malala Yousafzai Kembali Menyita …

Tjiptadinata Effend... | 4 jam lalu

Kemenangan Jerman, dan Kekalahan Terhormat …

Michael Sendow | 7 jam lalu

Jerman Juara karena Proses Regenerasi yang …

Sultan Syahrir | 11 jam lalu

Argentina Kalah karena Brazil …

Injurytime | 14 jam lalu

Ingin menyampaikan pertanyaan, saran atau keluhan?

Subscribe and Follow Kompasiana: