Yang Terlupakan dalam Mimpi Khalifah

Sabtu, 18 April 2015 | 02:00 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Pradipa P. Rasidi, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kekerasan terhadap umat Kristen Timur oleh ISIS barangkali menandakan mereka lupa akan satu hal penting: dalam sejarah kekhalifahan, peradaban Islam tidak akan pernah bisa dibangun tanpa kerja sama dengan umat Kristen. Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin hingga kekhalifahan Abbasiyah yang digadang-gadang sebagai "zaman keemasan Islam".

Amnesia sejarah ini mungkin berlaku bukan hanya bagi para pejihad ISIS, tapi juga gerakan lain yang memimpikan kekhalifahan seperti Hizbut Tahrir, atau banyak orang yang sering mengagungkan kedigdayaan masa lalu. Di antara tokoh besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, atau Al-Farabi, banyak nama lain yang mungkin tak pernah terbayang dalam imajinasi modern tentang "peradaban Islam".

Theodore Abu Qurrah misalnya. Namanya sepintas terdengar seperti blasteran Eropa dan Arab. Semakin tidak lazim bila diketahui bahwa Theodore lahir di Edessa, kota yang sekarang dikenal sebagai Sanliurfa (Turki) dan sempat tinggal beberapa tahun di Antiokhia (dulu Suriah, kini Turki) pada abad ke-9 saat kekhalifahan Abbasiyah berkuasa.

Theodore adalah seorang Kristen Timur. Dalam beberapa hal ia mirip Bahira, rahib Kristen Timur yang diceritakan dalam Tarikh at-Thabari sebagai peramal kenabian Muhammad SAW. Theodore fasih berbahasa Arab, Aram (bahasa Suriah kuno yang digunakan Yesus), dan Yunani. Ia juga dekat dengan teks-teks filsafat, teologi, dan ilmu alam selazimnya seorang ahli agama pada masanya.

Dalam bayangan modern, Kristen lebih sering diidentikkan dengan mereka yang di Eropa—yang kadang diikuti stempel "penjajah" atau "pasukan salib". Sementara Timur Tengah, khususnya tanah Arab, adalah tanahnya orang Islam. Padahal di Timur Tengah dulu—sebagaimana di Indonesia kini—umat Islam dan umat Kristen adalah tetangga yang berdampingan.

Sebelum kedatangan orang-orang Arab muslim, sebagian besar masyarakat Timur Tengah, termasuk di kawasan Arabia, memang banyak yang beragama Kristen. Di lingkungan dengan ragam suku bangsa—dari Arab, Yahudi, Aramea, Assyria, Kaldea, Yunani, dan lain sebagainya—umat Kristen tumbuh di Timur Tengah (Tirmingham, 1987).

Mereka, sekilas, hampir sulit dibedakan dari bayangan modern tentang umat Islam di Timur Tengah. Mereka bisa berbahasa Arab dalam keseharian dan dalam ibadah. Lazim mendengar mereka mengucap assalamu'alaikum dan memulai doa dengan bismillabi wal ibni warruhil qudus (dengan nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus). Di lain sisi, mereka juga lancar berdialog dalam Yunani saat mesti menghadapi birokrasi Romawi atau bergelut dengan teks filsafat. Umat Kristen ini, yang secara umum dikenal sebagai "Kristen Timur", sudah tinggal di kawasan Timur Tengah sejak abad pertama Yesus mewartakan ajaran Kristen.

Saat Umar bin Khattab berhasil menaklukkan Suriah dan menjadikannya bagian dari kekhalifahan (634–638), ia mewarisi kerja sama dan kekayaan masyarakat Kristen Timur saat itu. Merekalah yang kemudian menerjemahkan teks-teks ilmu pengetahuan dan filsafat dari bahasa Aram dan Yunani—bahasa paling lazim di masa Romawi—ke dalam bahasa Arab.

Pada masa itu, menerjemahkan suatu teks dari satu bahasa ke bahasa lain bukan hal sepele. Mendapatkan teks termasyhur dalam bidang ilmu tertentu tidaklah semudah mengunduh dari Internet atau meminjam buku dari perpustakaan kini. Manuskrip yang rapuh—disimpan berabad-abad di tempat tertutup—harus ditangani secara saksama supaya tidak hancur. Belum lagi persoalan politik, ekonomi, dan logistik yang bisa membuat proses penerjemahan terhambat. Terjemahan-terjemahan ini kemudian berperan besar dalam membentuk fondasi bagi ilmuwan dan filsuf muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun untuk mengembangkan karyanya.

Kontribusi umat Kristen Timur juga tidak berhenti di situ saja. Theodore Abu Qurrah, selain menerjemahkan karya Aristotelian De virtutibus animae menjadi bahasa Arab Fi fada'il al-nafs, juga terlibat dalam debat teologi lintas agama. Debat teologi masa itu bukanlah debat penuh antagonisme dan prasangka. Bukan yang ditujukan untuk hiburan khalayak lewat YouTube seperti disajikan polemikus agama macam penceramah Zakir Naik atau pendeta Pat Robertson hari ini. Debat teologi saat itu merupakan debat intelektual untuk memicu perspektif-perspektif baru tentang kemanusiaan dan ketuhanan. Theodore dijuluki sebagai seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Kristen dan sempat memicu pemikiran salah seorang tokoh mazhab Mu'tazilah.

Peradaban Islam bukanlah hasil kerja "pemerintahan Islam" atau "umat Islam" sebagai sebuah entitas tunggal. Toleransi dalam keberagaman yang seperti itu dimungkinkan bukan hanya semata kerja pemerintah atau karena menerapkan hukum tertentu saja, baik itu hukum yang terinspirasi aturan Ilahi maupun yang bukan. Toleransi dimungkinkan karena kerja sama dalam masyarakatnya—yang saling menghargai keberadaan umat lain.

Memang, umat beragama lain tidak pernah sepenuhnya absen dalam imajinasi modern tentang khalifah Islam. Tapi kerap kali umat-umat tersebut lebih banyak diceritakan berperan sebagai reseptor pasif ketimbang agen aktif yang bekerja sama dalam lingkungan yang dinamis.

Hizbut Tahrir, misalnya, ketika berbicara tentang Spanyol di bawah khalifah, selalu bicara tentang bagaimana "peradaban Islam" menciptakan kondisi bagi non-muslim untuk "hidup aman, damai, dan sejahtera" (Hizbut Tahrir Indonesia, 2010). Non-muslim diceritakan dalam narasi Hizbut Tahrir sebagai umat yang meraup untung dari nikmatnya kehidupan, sementara kondisi itu semuanya dimungkinkan dari kerja keras umat Islam, khususnya di pemerintahan.

Tidak pernah ada cerita tentang bagaimana peradaban itu dibangun dengan diskursus dan interaksi bersama umat beragama lain. Tidak ada cerita bagaimana Kristen bukanlah selalu yang jauh di Eropa, tapi juga yang bertetangga dengan umat Islam. Umat Kristen lebih sering menjadi "yang lain", yang asing dan datang belakangan. Akibatnya, bayangan modern akan kekhalifahan adalah bayangan akan ruang yang sepenuhnya Islam.

Tidak salah bila ada yang ingin mendirikan entitas politik dengan syariat Islam, seperti kekhalifahan yang pernah ada di masa lampau. Tapi bila mimpi yang katanya ingin membangun kembali "peradaban besar masa lalu" itu justru menafikan peran serta umat lain yang punya sumbangsih besar—terlalu menekankan pada kehebatan umat Islam sendiri—apa itu bukan mimpi yang terlalu egoistis?

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi tempo.co. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan

Berita Terbaru