Keuskupan Bogor

Sejarah Singkat :

Benih Iman Kristiani bersentuhan pertama kali dengan bumi nusantara pada awal abad ke-16. Banten, sebuah bandar-laut di ujung barat pulau Jawa, sejak tahun 1512 sudah disinggahi kapal-kapal dagang Portugis yang berlayar dari Eropa menuju Timur-Jauh. Pertemuan antara para pedagang Portugis (yang Katolik) dengan penduduk asli Sunda (yang Hindu) sangat sering terjadi di sini. Sedangkan pewartaan dalam arti yang sebenarnya, baru terjadi pada tahun 1534, ketika Gonsalves Veloso, seorang saudagar Portugis tiba di Morotai, Halmahera Utara. Oleh karena itulah tahun 1534 dianggap sebagai Saat Hadirnya Gereja Katolik di bumi nusantara. Dari sejarah Paroki Serang ditulis bahwa daerah Banten pertama kali didatangi oleh beberapa pastor Yesuit pada tahun 1642, dalam pelayaran mereka menuju Maluku dan sekitarnya.

Sejarah gereja di Bogor mulai tampil ketika pada tahun 1845 umat katolik bersama-sama umat protestan meresmikan sebuah gereja simultan yang mereka pakai sebagai tempat ibadah secara bergantian. Sekarang gedung ini telah menjadi gedung Kantor Pos Juanda. Saat itu tak ada seorang imam katolik pun yang diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menetap di Bogor. Umat katolik yang tinggal di Karasidenan Bogor dan Karasidenan Banten masih tergabung dalam wilayah gerejani Vikariat Apostolik Batavia, yang waktu itu dipimpin oleh Yang Mulia Mgr. Jakobus Groof Pr (1842-1846).

Pada tahun 1881, Mgr. A.C. Claessens Pr, Vikarius Apostolik Batavia 1874-1893, membeli sebidang tanah berikut rumahnya di Bogor, yang kemudian dipakai sebagai gedung gereja untuk menggantikan gedung simultan. Peristiwa ini mengakhiri penggunaan gereja secara bersama antara umat katolik dan protestan di Bogor. Imam pertama yang diizinkan menetap di Bogor adalah Pastor M.Y.D. Claessens Pr pada tahun 1885. Ia, yang adalah keponakan Mgr. A.C. Claessens, menjadi perintis dan gembala gereja katolik di Bogor. Pada tahun 1886 ia merintis berdirinya panti asuhan dengan 6 anak asuh pertama. Panti ini berkembang terus, kemudian resmi berstatus hukum sebagai Yayasan Vincentius pada tahun 1887.

Masuknya VOC pada abad ke-17 mematikan karya misi yang telah dilakukan oleh para pedagang Portugis dan para misionaris di Kepulauan Nusantara. VOC mengusir orang-orang Portugis, melarang agama katolik, dan memasukkan agama Protestan sebagai agama resmi. Gerak-gerik orang katolik selalu dicurigai. Keberadaan VOC menandai ‘masa gelap’ karya misioner yang telah dirintis dengan susah payah.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889, secara resmi mengakui Bogor sebagai STASI dari Vikariat Apostolik Batavia. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1896 sayap misi dikembangkan lebih jauh oleh Pastor MYD Claessens Pr dengan membuka sebuah gereja di Sukabumi. Setelah itu ia kembali lagi ke Bogor untuk mengerjakan ‘mahkota segala karya’-nya, yaitu membangun sebuah gereja besar bercorak Gotik, yang mulai dipakai pada tahun 1905. Gereja inilah yang kemudian dijadikan Gereja Katedral.

Para suster dari Ordo Ursulin berhasil dibujuk oleh Pastor Claessens untuk menetap di Bogor sejak tahun 1902 dan membuka TK dan SD untuk anak-anak orang Eropa. Pada tahun 1907 Pastor MYD Claessens kembali ke tanah airnya, Negeri Belanda, setelah 30 tahun lamanya bekerja keras membangun kebun anggur Tuhan di Bogor. Ia meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Sittard, Belanda, pada tahun 1934. Karyanya dilanjutkan dengan lebih mantap oleh Pastor Antonius van Velsen SJ, seorang misionaris Yesuit, yang kemudian pada tahun 1924 diangkat oleh Tahta Suci menjadi Vikarius Apostolik Batavia keenam.

Pada tanggal 4 Juli 1926, tujuh orang bruder dari Kongregasi Santa Maria di Lourdes (BRUDER BUDI MULIA) mengambilalih pimpinan dan penyelenggaraan panti asuhan Vincentius berikut sekolahnya. Kedatangan para bruder Budi Mulia mengakhiri masa karya penuh jasa dari pater-pater Yesuit bagi Vincentius. Di dalam gedung Vincentius inilah pada pesta Kabar sukacita, 25 Maret 1934, kongregasi Budi Mulia menerima dua orang novisnya yang pertama, dua orang pemuda pribumi, yang lahir dan dibesarkan di negeri ini.

Dalam bulan November 1957, Congregatio de Propaganda Fide mengeluarkan keputusan untuk memisahkan daerah kabupaten ketiga di Karesidenan Bogor (yaitu Kabupaten Bogor) dari Vikariat Apostolik Jakarta dan menggabungkannya dengan Prefektur Apostolik Sukabumi. Dengan demikian batas-batas wilayah gerejawi ini sekarang disamakan dengan batas-batas Karesidenan Bogor dan Karesidenan Banten. Pusat Prefektur pun akhirnya dipindahkan ke kota Bogor.

Ketika pembentukan Hirarki Gereja Katolik di Indonesia pada tahun 1961, Prefektur Apostolik Sukabumi ditingkatkan menjadi KEUSKUPAN BOGOR, dengan Mgr. N. Geise OFM selaku Administrator Apostoliknya. Beliau diangkat menjadi Uskup Bogor pada 16 Oktober 1961 dan ditahbiskan Uskup pada tanggal 6 Januari 1962. Untuk lebih mengaktualkan dan mengkristalkan cita-cita penggembalaannya sesuai dengan situasi Keuskupan Bogor, maka beliau mengganti menjadi IN OCCURSUM DOMINI (Menyongsong kedatangan Tuhan).

Pater-pater Konventual, yang semenjak 1938 menyumbangkan tenaga mereka di Bogor dan sekitarnya, memutuskan untuk pergi berkarya di tempat lain (di Sumatera Utara). Seminari Menengah dipindahkan dari Cicurug ke Bogor, mula-mula di sebuah rumah besar yang baru dibeli di Jalan Siliwangi 50, kemudian pindah lagi ke gedung Vinsentius warisan Pastor M.Y.D. Claessens Pr di Jalan Kapten Muslihat 22 sekarang. Adapun rumah bekas seminari tadi dijadikan gereja kedua di kota Bogor, yaitu Gereja SANTO FRANSISKUS ASSISI, Sukasari. Seminari Menengah di Bogor ini menampung siswa-siswa yang berasal dari semua penjuru Indonesia.

Pater-pater Fransiskan bersama Seminari Tingginya di Cicurug pindah ke Jakarta untuk studi Filsafat, kemudian melanjutkan ke Yogyakarta untuk studi Teologi. Dengan demikian Cicurug sekarang sudah berlainan sekali keadaannya daripada dulu. Meskipun demikian tetaplah ia merupakan suatu contoh yang baik tentang bagaimana caranya karya misi harus dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam: dengan sederhana memperlihatkan semangat mengabdi sesama dengan hati yang teguh dan tabah. Pastor Cicurug secara teratur mengunjungi CIBADAK, yang tak seberapa jauh letaknya dari Cicurug. Di sana terdapat sekelompok kecil umat dengan sebuah SMP yang cukup maju dan sebuah cabang SPG Mardi Yuana dari Sukabumi.

Wilayah Keuskupan Bogor kini meliputi:  tiga Kabupaten (Bogor, Cianjur, Sukabumi) dan tiga Kotamadya (Bogor, Sukabumi, Depok) di Propinsi Jawa Barat, serta  tiga Kabupaten (Serang, Lebak, Pandeglang) dan dua Kotamadya (Serang, Cilegon) di Propinsi Banten. Luas Keuskupan Bogor adalah 18.368,92 km2, dengan total penduduk sekitar 14 juta jiwa. Sebagian besar penduduknya adalah Suku Sunda (termasuk Banten dan Badui). Selain itu masih ada pendatang dari luar, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Badui merupakan suku asli yang masih dengan setia mempertahankan adat-istiadat nenek moyang dan sangat ekslusif. Suku Tionghoa kebanyakan terdapat di kota-kota. Menurut data statistik terakhir, jumlah orang Katolik yang tinggal di Propinsi Banten ada 6.410 jiwa. Di Kabupaten/Kodya Sukabumi 5.348 jiwa, Kab/Kodya Bogor 28.788 jiwa, Kabupaten Cianjur 2.395 jiwa, dan di Kodya Depok ada 18.473 jiwa. Sehingga total jumlah orang Katoliknya hanya 61.414 jiwa.

 

Sumber : Gema Eklesia