BENTENG PUTRI HIJAU BERDASARKAN DATA SEJARAH DAN ARKEOLOGIS

0
7852

Oleh : Repelita Wahyu Oetomo, S.S.

 

  1. Latar Belakang

Benteng Putri Hijau terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, dengan koordinat 030 28’ 57,9” LU dan 0980 40’ 27.0” BT. Kondisinya saat ini semakin terancam oleh pembangunan perumahan di sekeliling situs tersebut. Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732 x 250 meter atau memiliki luas sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun di dalam benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang berbatasan dengan tebing curam, terutama yang terletak di sisi sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai yang saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan sisi selatan berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di sebelah timur benteng tanah menghadap langsung ke jurang, di mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai Petani (Lau Tani).

Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang mengelilingi. Benteng tanah, maupun parit buatan berukuran lebar mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat, berukuran tinggi mencapai hingga 6-7 meter.

Pintu masuk utama benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat di sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu masuk benteng merupakan dinding tebing yang dilandaikan. Di samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat dinding tanah berukuran cukup tinggi.

Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian benteng. Tidak diketahui secara pasti, apakah pemotongan dinding benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan pada masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pada saat mengolah lahan. Di beberapa tempat benteng tanah maupun paritnya bahkan telah rata. Sebagai sebuah sistem pertahanan keamanan bangunan benteng dikelilingi juga dengan tanaman bambu yang sampai saat ini masih dapat ditemukan.

  1. Permasalahan

Tinggalan arkeologis yang masih tersisa dari bukti-bukti keberadaan Benteng Putri Hijau hingga saat ini Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh (2008: 4) pada Bulan Desember 2008, di kawasan Benteng Puti Hijau pertama, yang tersisa saat ini adalah bagian dinding tanah yang membujur arah utara-selatan sepanjang 40 meter. Selain itu terdapat benteng sisi selatan, membujur arah barat-timur sepanjang 100 meter, sementara hasil pengukuran yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan pada Bulan Agustus 2008 diperkirakan panjang dinding benteng tanah sisi sebelah selatan mencapai 240 meter.

Benteng kedua adalah terletak di sebelah utara benteng tersebut di atas. Saat ini yang tersisa adalah gundukan tanah membentuk huruf L. Dinding sebelah selatan (barat-timur) berukuran panjang 180 meter. Sedangkan dinding sebelah barat (utara-selatan) berukuran panjang 120 meter. Beberapa survey yang dilakukan di lokasi ini berhasil mendapatkan cukup banyak temuan keramik tembikar dan beberapa temuan lain, seperti batuan yang diperkirakan telah dibentuk oleh manusia.

Saat ini lokasi Benteng Putri Hijau sebagian berada pada areal pembangunan perumahan yang dilaksanakan oleh Perum Perumnas Regional I Wilayah Sumatera Bagian Utara. Lahan peruntukan proyek pembangunan Perum Perumnas adalah mencapai luasan sekitar 40 hektar, yang meliputi kawasan lokasi Benteng Putri Hijau. Sebagian areal ini merupakan lokasi pemukiman penduduk. Lebih dari separuh bagian benteng telah diratakan oleh pengembang.

Tulisan ini membahas arti penting Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah cikal bakal Kesultanan Deli. Beberapa data sejarah dan arkeologis berusaha ditampilkan untuk memperkuat dugaan peran Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah awal perkembangan Kesultanan Deli.

  1. Mitologi Putri Hijau

Masyarakat pada umumnya memercayai keberadaan benteng tanah di Deli Tua berkaitan erat dengan keberadaan Mitologi Putri Hijau. Pancuran Gading yang terdapat di depan pintu masuk, di bagian bawah benteng merupakan sumber mata air keramat, yang dipercaya sebagai tempat pemandian Putri Hijau.

Dikisahkan bahwa Putri Hijau adalah merupakan putri dari Sultan Deli yang beristana di Deli Tua saat ini. Karena kecantikannya, putri tersebut menarik minat Raja Aceh, sehingga timbullah keinginan untuk meminang putri tersebut. Namun gayung tak bersambut, penolakan pinangan menimbulkan ketersinggungan yang berujung pada penyerangan yang dilakukan Kerajaan Aceh ke wilayah Deli.

Mendapat perlawanan yang cukup sengit, Kerajaan Aceh menggunakan strategi dengan menembakkan peluru yang diisi dengan uang emas. Melihat keadaan itu buyarlah konsentrasi pasukan Kesultanan Deli sehingga dengan mudah Kerajaan Aceh menguasai keadaan. Melihat keadaan itu seorang saudara Putri Hijau yang merupakan seekor naga dan mengambil inisiatif membawa lari Putri Hijau, sedangkan saudara lainnya, yang merupakan meriam tetap melakukan perlawanan dengan memuntahkan peluru-pelurunya. Akibat terlalu sering ditembakkan meriam tersebut pecah karena panas. Pecahan meriam tersebut terlontar ke Labuhan-Deli dan sebagian lagi ke Sukanalu, Tanah Karo. Sementara itu untuk menghindari penguasaan Kerajaan Aceh sang putri diungsikan oleh saudaranya yang menjelma menjadi naga menyusuri aliran Sungai Deli, menuju ke Selat Malaka dan akhirnya menuju Teluk Jambu Air (Jambu Aye) di dekat Lhokseumawe.

Mitologi Putri Hijau merupakan sarana untuk menyampaikan informasi, data sejarah yang terjadi pada masa itu berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Aceh ke wilayah Aru (?) yang merupakan cikal-bakal kerajaan Deli saat ini. Beberapa fakta yang disepakati di antaranya adalah telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ke wilayah Kerajaan Aru yang berakibat keruntuhan Kerajaan Aru.

Mitologi yang menyatakan Putri Hijau bersaudara dengan naga dan meriam puntung bertujuan untuk mengukuhkan keberadaan Kerajaan Aru. Ketiganya perlambang bahwa Raja Aru mengesahkan dirinya sebagai penguasa dari Kerajaan Aru yang ditandai dengan pernyataan bahwa Raja Aru memiliki anak berwujud naga. Seperti disebutkan di atas, ular/naga, adalah jin penguasa tanah, demikian juga dengan pernyataan bahwa Raja Aru memiliki anak Putri Hijau yang merupakan simbol dari vegetasi yang terdapat di permukaannya. Dengan adanya pengakuan bahwa Raja Aru memiliki anak Putri Hijau dan Naga, menunjukkan bahwa bumi pertiwi beserta vegetasinya (hijau) serta naga yang merupakan penguasa tanah (bumi) adalah “anak” dari Raja Aru. Upaya ini adalah untuk melegitimasi bahwa Raja Aru adalah pemilik yang sah dari “Bumi Aru” beserta isinya.

Pinangan Kerajaan Aceh terhadap Putri Hijau yang cantik rupawan merupakan penghalusan dari kalimat penaklukan yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh. Kecantikan Putri Hijau lebih bermakna kecantikan/kesuburan bumi dan alam Kerajaan Aru yang sangat terkenal sampai ke Aceh. Hal ini berhubungan dengan ekspansi Kerajaan Aceh yang pada masa itu Aru dipandang merupakan kekuatan yang akan menjadi pesaing. “Pinangan” dari Kesultanan Aceh terhadap Puteri Hijau tentu saja ditolak. Sebagai sebuah kerajaan yang mandiri keinginan Kesultanan Aceh untuk menjadikan Kerajaan Aru sebagai daerah taklukan mendapatkan penolakan, sehingga Kesultanan Aceh menggunakan cara peperangan. Disebutkan dalam mitologi tersebut bahwa Putri Hijau tidak bersedia dan akhirnya melarikan diri. Tuanku Luckman Sinar meyebutkan bahwa Putri Hijau menggunakan perahu dengan motif kepala naga menuju Selat Malaka. Pertahanan terakhir adalah Meriam Puntung. Mengingat jasa-jasanya pada masa belakangan meriam tersebut diperlakukan sebagai “anak/saudara” Puteri Hijau dan Naga Simangombus.

Penaklukan Aceh terhadap Aru kemungkinan diiringi juga dengan proses Islamisasi mengingat pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan institusi Islam yang cukup gencar melancarkan Islamisasi. Akibat penaklukan ini adalah mulai dikenalnya Islam di daerah yang menjadi kekuasaan Kesultanan Deli. Pada masa itu kemungkinan masyarakat Aru masih menganut kepercayaan yang telah ada sebelumnya (Agama Hindu/Budha), hal ini terlihat dari temuan berupa fragmen lingga (simbol dari Dewa Siwa) yang saat ini terdapat di Sukanalu yang oleh masyarakat dianggap sebagai peluru meriam. Sampai sekarang, meriam puntung, yang dianggap keramat oleh kesultanan Deli masih terdapat di Istana Maimon. Meriam puntung adalah merupakan salah satu bukti simbol gigihnya perlawanan masyarakat Aru (Deli) disaat penaklukan oleh kerajaan Aceh. Pengkultusan meriam puntung yang dalam mitologi dianggap sebagai saudara Putri Hijau pada hakikatnya adalah untuk mengingatkan kita generasi penerus bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebenaran adalah mutlak, walaupun adakalanya mengorbankan diri kita. Selain itu meriam puntung dianggap sebagai ikon pemersatu beberapa sub etnis asli penduduk Kerajaan Deli.

Penaklukan Aceh jangan dianggap upaya untuk memecah belah persatuan yang ada, penaklukan Aceh lebih banyak hanya bersifat politis mengingat Aru sebagai kerajaan yang besar suatu saat akan menjadi ancaman. Meriam puntung yang saat ini tersimpan di Istana Maimon tersimpan sebagai benda sakral yang merupakan symbol dari berhasil dikuasainya Kerajaan Aru yang merupakan cikal-bakal kerajaan Deli yang telah mendapat pengaruh dari kerajaan Aceh. Pecahan meriam puntung yang terdapat di Sukanalu adalah ungkapan yang terdapat di masyarakat bahwa pada masa lampau, dan masa kini, masyarakat Karo, yang diwakili oleh masyarakat Sukanalu, adalah merupakan bagian dari Kerajaan Deli.

  1. Tinggalan Arkeologis di Benteng Putri Hijau

Di lokasi yang disebut dengan Benteng Putri Hijau telah didapatkan lapisan budaya masa lalu yang mengandung serangkaian data arkeologis, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Data-data arkeologis tersebut merupakan bukti adanya aktivitas budaya yang penting pada masa lalu di lokasi tersebut. Pelaksanaan penggalian penyelamatan yang dilakukan oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala Banda Aceh, Balai Arkeologi Medan serta instansi terkait di daerah pada tahun 2008 berhasil membuka beberapa kotak gali untuk test pit (TP).

Test pit yang dilakukan menghasilkan beberapa tinggalan artefaktual, di antaranya adalah: peralatan batu (sumatralith) yang menggunakan bahan batuan beku. Indikasi pembentukan yang dilakukan oleh manusia antara lain terdapat jejak-jejak pemangkasan (retus) pada saat pembentukan maupun penggunaanya. Alat-alat batu (sumatralith) yang ditemukan pada TP I berjumlah dua buah, yang pertama berukuran panjang 14 cm, lebar 7 cm, tebal pangkal 4 cm dan tebal ujung 2,7 cm. Alat batu kedua dan berukuran panjang 13,5 cm, lebar 9,13 cm, tebal pangkal 4,6 cm dan tebal ujung 2,6 cm. Alat batu ketiga ditemukan di TP II, berukuran panjang 12,9 cm, lebar 8,5 cm, tebal pangkal 3,6 cm dan tebal ujung 1,5 cm.

Jenis temuan kedua adalah peluru senjata api berbahan timah, berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm dengan berat 23 gram. Peluru tersebut merupakan peluru laras panjang yang umum digunakan pada abad ke 15-ke 19 M, yang dikenal dengan nama senapan musket atau tϋfenk (dalam bahasa Turki).

Jenis temuan ketiga, yang ditemukan pada saat penggalian ataupun pada saat survey adalah keramik. Melalui penggalian yang dilakukan di situs tersebut didapatkan sebanyak 19 fragmen keramik, sisanya, sebanyak 35 buah didapat melalui survey permukaan. Analisis atas bentuk, bahan dan pola hias yang terdapat pada temuan keramik hasil penggalian sebagian menunjukkan pertanggalan penggunaan situs tersebut adalah berkisar pada abad 12-14 M (sebanyak 8 keping), abad 16-17 M (sebanyak 3 keping) dan masing masing satu keping berasal dari abad lebih tua, yaitu abad 9-10 M dan yang termuda berasal dari abad 17-18 M. Adapun temuan yang didapat dari survey permukaan didominasi temuan yang berasal dari abad 17-18 M, disusul temuan berasal dari abad 12-14 M.

Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta dengan kapal Baron Sloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 tidak jelas, namun apabila 03 berarti tahun 1003 Hijriyah, berarti cocok dengan 1539 Masehi, yang menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti: “Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.

Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk. Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).

Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII. Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa yang cukup lama juga telah dilakukan dengan bangsa-bangsa lain seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan secara tidak langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang dilakukan dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti secara fisik sangat jarang ditemukan, kebudayaan masyarakat Karo sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berasal dari India. Bukti-bukti yang ada hingga saat ini adalah adanya unsur-unsur India Selatan yang digunakan oleh masyarakat Karo. Marga Colia, Brahmana, serta hal-hal lain merupakan salah satu bukti penggunaan unsur-unsur yang berasal dari India (Kinnon:1993-1994).

Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat diketahui, dari adanya bukti berupa temuan keramik yang tersebar di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang dilakukan diketahui bahwa periode masa hunian di bagian dalam benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu antara 12-18. Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah temuan keramik yang berasal dari abad 12-14 M, bahkan ditemukan sekeping fragmen keramik yang berasal dari abad 9-10 M. Periode yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih digunakan sampai abad 17-18.

Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan menunjukkan bahwa temuan keramik terbanyak berasal dari abad ke 17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 12-14 M. Hal ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian yang cukup lama. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab maju mundurnya hunian di Benteng Putri Hijau. Data-data sejarah tidak banyak memberikan informasi tentang kondisi kerajaan yang berkedudukan di Deli Tua ini.

  1. Konsep Benteng

Benteng adalah merupakan perkembangan dari sebuah pagar yang pada awalnya ditujukan untuk mencegah masuknya binatang buas. Seiring dengan berkembangnya sistem organisasi kemasyarakatan yang mantap, fungsi pagar keliling menjadi sangat penting. Sebuah pemukiman, menggunakan pagar keliling sebagai batas teritorial sekaligus sebagai penanda wilayah kekuasaan. Untuk bangunan-bangunan yang bernilai religius penggunaan pagar-pagar lebih maju lagi, yaitu digunakan untuk membatasi dan membedakan bagian sakral dengan yang profan. Pada hakekatnya fungsi pagar digunakan untuk menghambat atau menahan unsur-unsur yang berasal dari luar yang akan memasuki suatu wilayah tanpa seijin pemilik wilayah tersebut.

Kontak kebudayaan dan didukung keadaan alam yang memungkinkan, mulailah dibangun benteng seperti yang disebut sekarang ini. Benteng-benteng merupakan bangunan yang terbuat dari bahan batu ataupun bata, di beberapa daerah karena kurang tersedianya bahan baku, sarana pertahanan keamanan tetap menggunakan tanah sebagai benteng terutama di Sumatera. Pemakaian bangunan tanah sebagai bangunan pertahanan ditemukan di beberapa tempat mewakili beberapa masa hunian, Hindu/Buddha, Islam sampai kolonial. Pembangunan benteng dengan menggunakan bata mulai populer di Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Pada saat itu penggunaan bata untuk pembangunan bangunan-bangunan monumental seperti istana ataupun benteng mulai memasyarakat, terutama di Jawa dan beberapa daerah lain.

Pada masa kedatangan Belanda sekitar abad ke-16 fungsi bangunan benteng sedikit mengalami perubahan. Bangunan-bangunan perumahan Belanda dikelilingi oleh benteng. Hal ini karena dasar mereka menetap di Indonesia disertai dengan siasat perang. Pada masa itu benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu karang yang diplester tanah (Sumintardja, 1981:113).

Umumnya pola pemukiman pada masyarakat Batak (Toba), Huta atau Kuta dikelilingi oleh parit yang sengaja digali atau dikelilingi oleh dinding-dinding tanah, atau bahkan keduanya (parit dan dinding tanah). Bagian atas dari dinding tanah tersebut biasanya ditanami rumpun bambu atau pokok kayu. Fungsi parit serta dinding tanah tersebut dalam kepercayaan masyarakat Batak dipercaya sebagai pelindung dari serapan angin jahat (Simanjuntak, 2004:36).

Dalam tradisi pembangunan pemukiman masyarakat Batak Toba, setelah umah selesai dibangun, selanjutnya adalah membuat tembok tanah (parik) di sekeliling desa dan menanaminya dengan tanaman bambu berduri. Setelah pekerjaan selesai diadakan sebuah pesta peresmian yang disebut mangompoi huta (meresmikan kampung). Beberapa huta memiliki dua buah parik, yakni parik bulu suraton dan parik bulu duri. Adanya tanaman bambu yang berasosiasi dengan benteng memperkuat asumsi bahwa selain berfungsi untuk membatasi daerah sakral dan profan benteng tersebut sangat efektif digunakan untuk pertahanan keamanan. Masyarakat Batak Toba menganggap, tanaman bambu atau pohon dimaksudkan untuk mencegah masuknya angin yang kuat yang dianggap dapat membawa penyakit (Simanjuntak, 2004: 51-62). Pembangunan benteng-benteng tanah pada masyarakat Batak (Toba, Simalungun dan Karo) berkaitan dengan dilakukannya perlindungan terhadap kesatuan teritorial (bentuk pemukiman), seperti: sosor, lumban, huta, horja, bius, kuta, urung dan partumpakan.

Huta Pada masyarakat Batak Toba dan Simalungun merupakan suatu kesatuan teritorial atau bentuk pemukiman yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari satu klen atau marga. Pada masyarakat Batak Karo kesatuan teritorial semacam itu dinamakan kesain yang berarti “halaman rumah”, yang dalam hal ini adalah sebuah desa yang dihuni oleh satu marga. Kuta pada masyarakat Karo berbeda dengan huta pada masyarakat Batak Toba. Kuta dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen atau marga. Bentuk pemukiman yang lebih kecil dari huta (pada Masyarakat Toba) dan kesain (pada masyarakat Karo) adalah lumban, sosor (Toba) dan barung-barung (karo). Satuan pemukiman yang paling besar adalah bius (Toba), urung (karo) atau partumpakan (Simalungun). Bentuk pemukiman ini adalah merupakan kesatuan dari Huta/Kuta atau Horja (Simanjuntak, 2004: 37).

Mengingat daerah tersebut memiliki luasan mencapai 40 ha. Dan secara geografis berada pada wilayah persebaran masyarakat Karo. Kemungkinan benteng tanah tersebut merupakan sebuah Kuta(Karo), atau bahkan mungkin merupakan Urung. Seperti disebutkan di atas Kuta, dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen/marga, sedangkan Urung adalah merupakan bentuk kesatuan dari Kuta. Tidak diketahui secara pasti apakah Kerajaan Aru/Haru/Karo(?) adalah merupakan sebuah Kuta atau Urung.

Lebih jauh, tidak banyak bukti arkeologis yang mampu menjawab pertanyaan bagaimana keterkaitan antara Benteng Putri Hijau yang ada saat ini dengan ekspansi yang dilakukan tentara Aceh pada masa lalu, namun beberapa data arkeologis menguatkan pendapat tersebut. Berdasarkan data-data tekstual maupun mitologi penyerangan Kerajaan Aceh adalah ke Aru/Haru. Tidak diketahui secara pasti sebelum akhirnya berubah nama menjadi Deli hingga sekarang ini. Terdapat kemiripan antara sebutan Aru/Haru dengan Karo.

  1. Kesimpulan

Secara umum fungsi benteng tanah adalah untuk “membentengi” dari gangguan dan ancaman yang bersifat fisik ataupun non-fisik. Seiring dengan perkembangan jaman fungsi benteng tanah bergeser dari fungsi awal yaitu membentengi suatu lokalitas dari gangguan yang bersifat fisik beralih fungsi sebagi pelindung dari ancaman yang bersifat fisik maupun non-fisik. Pada masa belakangan seiring dengan mulai memudarnya kekuasaan raja-raja di nusantara akibat dominasi Belanda fungsi benteng lebih banyak digunakan untuk membentengi dari gangguan yang bersifat fisik, peperangan misalnya.

Beberapa data arkeologis membuktikan bahwa terdapat indikasi bahwa bangunan benteng Putri Hijau memang merupakan sebuah lokasi hunian. Tidak diketahui secara pasti apakah hunian tersebut merupakan sebuah Kuta atau Urung dalam kebudayaan Karo. Data-data sejarah menyebutkan bahwa di lokasi tersebut pada masa lalu merupakan pusat dari kota kerajaan Aru atau yang merupakan cikal bakal dari kerajaan Deli yang sisanya masih dapat kita ketahui hingga saat ini. Selain itu beberapa data sejarah menyebutkan bahwa keberadaan Benteng Putri Hijau merupakan pusat kota dari Kerajaan Aru yang pernah ditaklukkan oleh kerajaan Aceh pada abad ke 16 M. penyerangan Aceh ini berkaitan dengan mitos yang berkembang di masyarakat yang berasal dari Deli Tua ini. Data-data arkeologis sampai saat ini masih sedikit memberikan informasi mengenai keberadaan Benteng Putri Hijau ini.

Kegiatan penggalian yang dilaksanakan oleh instansi terkait, seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan balai Arkeologi Medan belum banyak membuktikan bahwa di tempat tersebut pada masa lalu merupakan pusat Kerajaan Aru. Hasil analisis terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa masa hunian di dalam Benteng Putri Hijau ini cukup panjang, yaitu diperkirakan mulai dari abad 12-14 dan dari abad 17-18. Beberapa Informasi penting lainnya adalah yang berasal dari beberapa catatan perjalanan bangsa-bangsa asing. Informasi yang didapatkan umumnya mengarah pada keberadaan Benteng Putri Hijau sebagai pusat Kerajaan Aru, dimana pada abad ke 16 kerajaan tersebut pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh.

Tidak banyak data-data arkeologis yang dapat membuktikan keterkaitan antara Kerajaan Aru dengan Benteng Putri Hijau. Mengingat minimnya bukti-bukti arkeologis berkaitan dengan Benteng Putri Hijau ini maka diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan mitologi yang berkembang dengan Benteng Putri Hijau.

_*_

(Penulis: Peneliti pada Balai Arkeologi Medan)

Daftar Pustaka

Geldern, Robert Heine, 1982. Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja di Asia Tenggara (diterjemahkan oleh Deliar Noer). Jakarta: Rajawali Press.

Guillot, Claude, 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, Yayasan Obor Indonesia.

Kinnon, E.E. Mc, 1993-1994. Arca-arca Tamil Di Kota Cina, dalam Saraswati Majalah Arkeologi No 2. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Oetomo, Repelita Wahyu, 2003. Benteng Tanah Di Pulau Lingga, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 11 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 91—100.

————-2003. Pusat Kota Kesultanan Langkat, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 12 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 55-63).

Santiko, Hariani, 1996. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Budha di Indonesia (Abad VIII-XV Masehi) Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik, dalam Jurnal Arkeologi Indonesia No. 2, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Hal 136-156.

Sinar, T. Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Simanjuntak, DR. Bungaran Antonius dkk, 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak. Medan: KSPPM dan Batara.