Poster Film Kapal Van Der Wijck Tuai Protes Masyarakat Minang

Poster Film Kapal Van Der Wijck Tuai Protes Masyarakat Minang

Terkait

Hidayatullah.com – Sejumlah masyarakat Minang yang tergabung dalam grup Facebook “Umat Islam Sumatera Barat Bersatu Tolak Investasi Bermuatan Misi Pemurtadan” memprotes poster film Kapal Van Der Wijck yang dibintangi Pevita Pearce dan Herjunot Ali.

Film yang rencananya akan rilis pada 19 Desember 2013 ini menurut masyarakat Minang tidak sesuai dengan adat dan budaya Minang yang sangat menjunjung tinggi ajaran Islam.

“Iko sabananyo pemerkosaan terhadap karya Hamka (ini sebenarnya pemerkosaan terhadap karya Hamka),” kata Emeraldy Chatra Temujin, salah satu masyarakat Minang yang tinggal di Bandung, Kamis (31/10/2013).

“Nyata sekali pelecehan terhadap Buya Hamka dan masyarakat Minang,” kata Yustanur.

Sementara itu Caleg (Calon Legislatif) dari partai Islam, Nasrul Aziz juga ikut menilai dari cover posternya saja jelas salah karena Nurhayati yang diperankan oleh Pevita Pearce merupakan gadis Minang yang kuat adat dan agama, tidak memakai baju terbuka seperti yang ada di poster.

“Dari covernyo sajo jaleh salah, dima lo Nurhayati seorang gadih minang nan kuaik adat jo agamo pakai baju katebe tampak katiak, salah gadang paralu di protes (dari covernya saja jelas salah, di mana Nurhayati seorang gadis Minang yang kuat adat dengan agama pakai baju katebe kelihatan ketiak, salah besar perlu diprotes),” ujar pria asal Padangpanjang ini.

Serupa dengan Nasrul Aziz, Erry Latief yang tinggal di Depok juga menilai poster film tersebut tidak sesuai dengan apa yang ditulis oleh Buya Hamka.

“Beda dengan cerita yang digambarkan oleh Buya Hamka, wanitanya kok bajunya buka-bukaan, saya sudah baca waktu SMP, karena wajib oleh guru,” protesnya.

Datuak Afdhal, alumni fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas ini menilai buya Hamka tidak akan menerima poster film tersebut.

Ia meminta penampilan pemain filmnya benar-benar mencerminkan pribadi Minang dan menjunjung tinggi nilai agama.

“Kalau pengarang cerita masih hidup, saya yakin beliau yang mulia Buya Hamka tidak menerima gambar seperti ini disandingkan dengan cerita yang beliau karang, kalau bisa penampilan pemainnya betul-betul mencerminkan pribadi orang Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat hendaknya,” ujar pria asal Bukittinggi ini.

Sutan Batuah berpendapat produser Film Kapal Van Der Wijck, Sunil Soraya tidak meminta saran dari orang-orang Minang dan organisasi atau ikatan keluarga Minang.

“Yang jaleh produser film ko indak ado malibatkan/maminta saran dari urang-urang Minang nan di rantau atau organisasi/ikatan keluarga Minang/BK3AM Jakarta (yang jelas produser film ini tidak ada melibatkan/meminta saran dari orang-orang Minang yang di rantau atau organisasi/ikatan keluarga Minang/BK3AM),” ujarnya.

Ada pula yang menilai tokoh Hayati yang diperankan Pevita Pearce bukan Hayati dalam Novel, begitu pula tokoh Zainuddin yang diperankan Herjunot Ali.

“Wanita yg ada dalam poster itu bukan Hayati! Sungguh, itu bukan Hayati!! Hayati adalah gadis Minang tulen yg tau adat sopan santun.. Lelaki dalam poster itu juga bukan Zainuddin! Sekali lagi, itu bukan Zainuddin! Zainuddin adalah pemuda alim yg teguh memegang agamanya,” tegas Ahmad Fauzan Azhima yang merupakan mahasiswa IAIN Imam Bonjol.

Lain lagi dengan masyarakat Minang lainnya, Azimal Agus mengingatkan agar penulis novel ataupun ahli warisnya ke depan lebih berhati-hati.

“Sebelum film ini dibuat biasanya sudah ada izin dari pihak ahli waris Buya Hamka karena ceritanya di angkat dari novel almarhum (sepertinya harus ada kesepakatan terperinci hitam di atas putih). Sebuah pelajaran dan kehati-hatian untuk ke depan bagi pemberi ijin, untuk pembuatan film yang diangkat dari sebuah novel,” saran Azimal Agus, warga asal Bukittinggi.

Menurut Afdhal Tasim, masyarakat Minang hendaknya bertanya lebih dulu pada ahli waris Buya Hamka mengenai komitmen mereka dengan pihak pembuat film.

Seperti diketahui, “Tenggelamnya Kapal Van Der WIjck”  memrupakan novel karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau kerap dipanggil Buya Hamka.

Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.

Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa.

Hingga berita ini ditulis, sudah ada 150 komen yang mengomentari poster tersebut di grup “Umat Islam Sumatera Barat Bersatu Tolak Investasi Bermuatan Misi Pemurtadan.*

Rep: Sarah Chairunisa

Editor: Cholis Akbar

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Topik: , , , ,

Sebarkan tautan berikut :

Baca Juga Berita Menarik Lainnya !