Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018).
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). Beritagar.id / Wisnu Agung
BINCANG

Zaadit Taqwa: Pemerintah seperti balik ke Orde Baru

Harapannya, pemerintah tak melarang kritik dan tak menganggap yang berseberangan itu sebagai musuh, melainkan sebagai mitra.

Cukup lama Zaadit Taqwa duduk. Agak tegak dan menahan cemas. Pandangannya tertuju pada satu orang: Presiden Joko Widodo. Dia kemudian berdiri perlahan dan mengacungkan buku paduan suara warna kuning ke arah Presiden--sembari menyemprit. Priiit!.

Buku itu ia simbolkan seperti kartu kuning dalam sepak bola, yang berarti peringatan keras. Tentunya ditujukan untuk Presiden. "Saya sudah tahu segala risiko aksi itu, termasuk ancaman skors," ujar Zaadit.

Karena aksinya itu pria berusia 21 ini mendadak tenar. Sebagian pihak mendukung aksinya sebagai sebuah ungkapan kritik. Tetapi, tak sedikit jua yang melihat caranya menjadi wasit itu kurang pas.

"Kami cuma berusaha memosisikan diri sebagai mitra kritis pemerintah," kata Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI 2018 ini di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). Dia bicara kepada Fajar WH, Heru Triyono, Dessy Transea dan Wisnu Agung.

Pasca kejadian itu, Zaadit tak henti-hentinya dirundung oleh warganet. Termasuk pendapatnya soal jalan tol di acara Mata Najwa yang tayang Rabu malam (7/2/2018). "Ya begitulah. Tetapi saya biasa-biasa saja," ujarnya merespons perundungan.

Dari profilnya diketahui, anak pertama dari tiga bersaudara ini lahir di Jakarta dan kini tinggal di Depok. Ia lulusan Sekolah Menengah Atas Pesantren Terpadu Hayatan Thayyibah. Pada 2014 ia masuk jurusan fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UI.

Zaadit tercatat cukup aktif di organisasi kampus. Ia sempat menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Fisika UI 2016 dan juga menjadi Ketua BEM FMIPA 2017. Di kampus, ia populer dengan panggilan Babeh dan suka basket.

Rambutnya dibelah samping, jambulnya menonjol bagai payung yang menutup dahi saat ditemui. Kulitnya cerah, badannya berisi. Ia bicara mengenai kebijakan pemerintah, aktivis kampus zaman now dan Asmat. Berikut wawancaranya:

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018).
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). | Wisnu Agung /Beritagar.id

Sebenarnya ide siapa aksi mengacungkan kartu kuning itu?
Teman-teman (BEM UI). Kita tahu Pak Jokowi akan datang ke UI dan itu momentum. Kalau aksi di depan Istana kita sudah lakukan beberapa kali dan enggak bisa bertemu Pak Jokowi.

Memangnya UI gencar ya demo di depan Istana, kok jarang terdengar?
Bukan cuma UI, hampir semua kampus lain juga ada. Tiap tahun selalu aksi. Misalnya evaluasi kerja Pak Jokowi.

Selama aksi itu belum pernah diterima Presiden?
Belum. Sejak saya MABA (mahasiswa baru) hingga sekarang. Pernah sekali masuk Istana, tapi ketemunya Pak Teten Masduki.

Tapi bukannya sudah ada agenda Presiden akan bertemu BEM UI selesai acara (Dies Natalis)?
Infonya akan ada pertemuan pada H-1. Kita akan dikabari pihak rektorat. Di pertemuan itu kita akan kasih kajian ke Presiden. Tapi sampai 2 Februari, enggak jelas jadi atau enggaknya.

Kasih kajian tentang apa?
Tiga isu itu: Asmat, pengangkatan pejabat gubernur dari kalangan perwira Polri dan peraturan baru untuk organisasi mahasiswa.

Kalau pada akhirnya pertemuan dengan Presiden itu terealisasi, skenario kartu kuning tidak akan terjadi?
Yang jelas kajian sudah kita siapkan dan memang belum ada kejelasan ketemu atau enggak saat itu.

Sudah coba menyampaikan kajian itu lewat para alumni UI yang ada di Kabinet Kerja?
Tahun lalu sudah. Sempat juga kasih ke Bu Sri Mulyani.

Itu dirasa belum cukup?
Bukan soal itu. Kemarin kita punya momen Pak Jokowi datang langsung ke UI. Ya kita maksimalkan momen itu.

Apakah ide kartu kuning itu disetujui semua BEM dari fakultas-fakultas di UI?
Pengurus BEM UI mendukung. Fakultas MIPA mendukung. Yang berbeda juga ada. Itu dinamika biasa. Kalau pendukung Pak Jokowi tentu enggak suka.

Maksudnya aksi itu sebenarnya tidak disepakati semua BEM fakultas?
Semua dibahas, di antaranya isu dan cara menyampaikannya seperti apa. Aksi itu dikerjakan atas kesepakatan bareng-bareng.

Ada plan B selain kartu kuning?
Awalnya enggak pakai kartu. Hampir setiap hari rencana aksi berubah. Kami menyesuaikan kondisi pengamanan. Yang paling mungkin ya dengan cara kartu kuning.

Kenapa Anda yang dipilih untuk melakukan aksi itu?
Siapapun bisa. Tergantung kondisi. Untuk bisa tembus pengamanan ring satu Presiden ya dengan cara itu. Aksi kartu kuning juga dilakukan di Stasiun UI.

Pengamanan Presiden enggak curiga dengan peluit dan buku paduan suara yang Anda bawa ke dalam?
Mungkin kecil jadi bisa lewat. Saya masukin kantong jadi enggak terdeteksi. Bisa jadi karena terselip, enggak terlihat.

Sempat khawatir akan diciduk Paspampres?
Was-was jelas ada. Pokoknya (saat acara) saya tunggu terus sampai Pak Jokowi selesai pidato. Pas ada peresmian, baru saya bergerak.

Apa yang dilakukan Paspampres saat Anda diamankan?
Mereka menyerahkan saya ke PLK (Pengamanan Lingkungan Kampus). Saya dimintai keterangan saja.

Menurut Anda respons Paspampres berlebihan?
Enggak.

Ada sanksi dari pihak rektorat buat Anda?
Baru nanti sore (Selasa, 6/2/2018) saya bertemu. Kabarnya enggak dapat sanksi akademik.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018).
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa saat ditemui di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/2/2018). | Wisnu Agung /Beritagar.id

Bagaimana respons Anda soal tantangan Jokowi yang siap memberangkatkan BEM UI ke Asmat?
Kami akan tetap berangkat, tetapi pakai cara sendiri, bukan dengan cara pemerintah. Sekarang sedang galang dana.

Kenapa enggak mau dengan tawaran itu?
Kami berangkat dengan cara mahasiswa bukan dengan cara Pak Jokowi. Kalau memang anggaran sudah disiapkan, lebih baik anggaran itu dialokasikan untuk kirim tenaga medis. Intinya tugas dia itu untuk menyelesaikan masalah di sana, bukan (urus) mahasiswa.

Kan lebih praktis, Anda dikasih tiket, kemudian berangkat dan tinggal melakukan kegiatan di sana...
Masalahnya uang itu bukan buat mahasiswa. Uang negara ya untuk menyelesaikan masalah di sana.

Total dana yang terkumpul sudah berapa?
Sampai tadi pagi ((Selasa, 6/2/2018) sudah Rp41 juta. Rencana sampai terkumpul berapa, itu lihat kebutuhan.

Siapa-siapa saja yang kasih, kok bisa terkumpul sebanyak itu?
Enggak tahu ya. Rata-rata anonim. (Senin pagi, 12/2/2018, telah terkumpul Rp192 juta)

Jika dana sudah terkumpul, apa kira-kira yang akan Anda lakukan di Asmat?
Yang jelas kita akan kasih bantuan dan melihat kondisi di sana. Kami akan coba kritisi apa yang kurang, buat catatan, kemudian bikin kajiannya.

Kenapa tidak segera berangkat, nanti keburu kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk selesai?
Enggak masalah. Dari Asmat kita bisa belajar banyak, kenapa gizi buruk bisa terjadi.

Ya gizi buruk bisa juga terjadi karena pola asuh yang tidak baik serta rendahnya perilaku hidup sehat...
Hal itu masuk kajian kita. Banyak faktor memang yang mempengaruhi.

Kejadian gizi buruk ini bentuk kegagalan pemerintah?
Saya enggak bilang begitu. Butuh peran lebih dari pemerintah. Misalnya, pola asuh yang salah kan karena pendidikan rendah. Bagaimana caranya kemudian agar pendidikan di sana bisa tinggi? Nah peran pemerintah ada di situ.

Anda kurang puas dengan penanganan pemerintah terhadap persoalan yang ada di Papua?
Buktinya masih ada kejadian kayak begitu. Makanya kami desak pemerintah untuk percepat kerja-kerjanya dan mewujudkan Nawacitanya. Nomor tiga kan membangun Indonesia dari pinggiran. Asmat juga termasuk pinggiran itu.

BEM UI di masa Anda pernah mengunjungi daerah pinggiran untuk membuat kajian?
Belum.

“Tidak ada yang bisa menunjukkan kalau saya PKS”

Zaadit Taqwa

Ada satu isu yang juga disorot, yaitu draf peraturan organisasi mahasiswa (ormawa), yang Anda nilai mengancam kebebasan mahasiswa...
Aturan ini mengatur segala sesuatu organisasi kemahasiswaan. Misalnya periodesasi. Semua universitas diseragamkan. Mereka harus memulai periodenya pada Januari. Kemudian presiden BEM-nya diangkat lewat SK rektor.

Pemilihan sih tetap ada. Tapi jika enggak sesuai sama rektorat bisa saja SK tidak terbit. Semua kegiatan juga harus dilaporkan ke rektor.

Mirip kebijakan NKK BKK dulu ya *(Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan)...
Iya, jadi terbatas gerak mahasiswa.

Anda keberatan?
Ini seperti kembali lagi ke Orde Baru.

Memangnya tidak ada audiensi dengan Kemenristek Dikti soal ini sebelumnya?
Akhir tahun lalu ada. Hampir semua kampus menolak draf itu dan sampai sekarang belum ada perkembangan lagi.

Kemudian bagaimana sikap Anda soal usulan Kementerian Dalam Negeri untuk mengangkat Perwira Tinggi (Pati) Polisi aktif untuk jadi pelaksana tugas (Plt) gubernur...
Katanya sih usulan itu sudah ditaruh di mejanya Pak Jokowi. Artinya, bola ada di Jokowi. Sebab itu kita peringatkan langsung ke dia bahwa ada undang-undang yang menyebutkan polisi tidak boleh terlibat politik.

Presiden Jokowi melenceng dari Nawacitanya sendiri?
Kami belum mengkajinya lebih jauh.

Misalnya janji Nawacita tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, menurut Anda?
Para aktivis bilang belum ada aksi konkretnya.

Kenapa mahasiswa sekarang seperti anteng-anteng saja, dulu pas zaman SBY sering kali demo di depan Istana?
Enggak tahu juga. Semoga aksi awal tahun ini bisa merangsang teman-teman lain untuk gerak bersama. Ayo kita kawal bareng Pemerintahan Pak Jokowi.

Apakah teman-teman di UI masih punya semangat untuk aktif di pergerakan mahasiwa?
Mungkin enggak seramai dulu. Caranya berbeda sih. Ketika aksi 2 Mei kita pernah turun ke jalan dengan massa 400 orang untuk long march keliling kampus. Semangatnya masih ada, hanya saja perlu digunakan cara yang berbeda.

Berbedanya bagaimana, tidak perlu turun ke jalan?
Aksi turun ke jalan masih penting. Tapi perlu juga melihat media sosial sebagai wadah melakukan aksi. Banyak isu berkembang di sana.

Hal lain adalah mahasiwa pada 2000-an merasakan kondisi tertekan dari pemerintah. Itu membuat mereka punya semangat lebih untuk berjuang.

Mungkin juga biaya akademiknya enggak seberat sekarang. Kalau di UI kan dibatasi. Maksimal enam tahun masa kuliah. Sudah begitu, biaya pendidikannya juga tinggi. Jadi banyak mahasiswa berpikir untuk fokus kuliah saja.

Berapa biaya per semester di UI?
Ada yang Rp15 juta, Rp12 juta dan Rp10 juta.

Jadi, sikap BEM UI ke Presiden Jokowi ke depan bagaimana?
Bukan ke Jokowinya, tapi pemerintahannya. Kami selalu memosisikan diri sebagai mitra kritis pemerintah, supaya bisa berjalan benar.

Ada pihak yang mengaitkan Anda berafiliasi dengan salah satu partai?
Itu asumsi dari Twitter dan itu hanya reply dari twit sebelumnya. Tidak ada yang bisa menunjukkan kalau saya itu PKS.

Tapi kan keberadaan sayap-sayap partai politik di kampus adalah hal biasa...
Kebetulan di UI enggak boleh ada.

Bagaimana sikap Anda terhadap kritik, "jangan lupa selesaikan dulu tugas mata kuliah yang terlantar sebelum komentari orang lain"...
Tugas itu kan pribadi. Kritik juga diatur di undang-undang, jadi enggak ada masalah.

Zaadit Taqwa: Kami tetap akan berangkat ke Asmat /Beritagar ID
BACA JUGA