PDRI DI KOTO TINGGI GUNUANG OMEH

1 comment 389 views

Perjalanan Menuju Koto Tinggi

Saya berangkat dari rumah sekitar jam 10 WIB dari jalan Rasuna Said terus menuju jalan Pacuan di Kubu Gadang. Dan di Kubu Gadang ini pada dulunya merupakan sebuah tempat perbengkelan senjata. Namun ketika Belanda datang untuk agresi kedua, maka perbengkelan senjata itu dimusnahkan agar tidak di duduki oleh Belanda. Pabrik persenjataan itu dibuat pada masa pendudukan Jepang yang terbesar di Sumatera. Meski sekutu memerintahkan penghancuran pabrik tersebut, namun tidak sepenuhnya dihancurkan oleh Jepang.

Jalanan tidak macet dan pembangunan kota sudah mulai bergeliat terus kelihatannya. Dari jalan pacuan saya sampaidi jalan Ade Irma Suryani dan tembus ke jalan Sudirman hingga belok kanan di simpang Muhammadiyah menuju jalan Veteran. Sebelum Simpang Muhammadiyah terdapat sebuah Sekolah Taman Siswa saat ini pada masa agresi Belanda kedua dijadikan sebagai tempat berkumpul bagi para pejuang saat itu. Dan ketika tiba di jalan Veteran ini terdapat gedung seperti SMP Fidelis dan SD Pius, Sebuah Gereja yang dulunya berdekatan dengan rumah dr. Anas yang memihak kepada Belanda karena dijanjikan oleh Belanda untuk menjadi pemimpin bagi kerajaan Minangkabau. Namun Belanda kalah dalam perundingan Konfrensi Meja Bundar dan membuat Belanda angkat kaki dari Indonesia. Sejak saat itu dr. Anas berangkat ke Belanda bersama istrinya dan seorang anak angkatnya. Sesudah gedung gereja, ada Rumah Sakit Ibnu Sina dan kantor Walikota Payakumbuh yang belum lama ini selesai dibangun.

Sesampainya saya di simpang tiga Bunian, saya belok kanan memasuki jalan Tan Malaka. Pada persimpangan tersebut Belanda pernah membangun pos pertahanan militernya. Namun pos tersebut diserang secara serentak pada pukul 00.00 WIB yang bersamaan dengan gedung Lamid di stasiun, pos di daya bangun, pos di pasar Payakumbuh dan pos dekat rumah dr. Anas. Dan pasukan republik menduduki pos Belanda selama 4 jam.

Selain itu, jalan ini pada dulunya pada tahun 1942 pernah dilewati Soekarno sebelum kemerdekaan untuk menuju dan bertemu Syech Abas Abdullah di Darul Funnum Alabbasiyah di Padangjapang. Juga jalan ini pada tahun 1920-an juga pernah aktif jalur kereta api hingga sampai ke Limbanang Suliki. Jalan ini jalan yang juga menuju ke kediaman kampung Tan Malaka di Pandam Gadang kec. Gunuang Omeh.

Saya terus menyusuri jalan Tan Malaka ini melewati kelurahan Tanah Mati, Napar, Lampasi. Di Tanah mati ini dulunya pasukan Republik membuat pos pertahanan lalu Kapten Syafei memindahkannya ke Taeh Baruahsehingga Belanda leluasa berjalan ke Suliki. Namun Belanda hanya sampai Limbanang lalu kembali mundur ke pos pertahanannya di pusat-pusat pasar Payakumbuh. Setelah kejadian tersebut, Kapten Syei mengembalikan pos perhanan dari Taeh Baruah ke Tanah Mati Napar.

Ruas jalan ini belum terlalu besar jika dibandingkan volume kendaraan yang masuk. Namun jalan ini tidak macet dan pada hari-hari tertentu bisa saja mengalami kemacetan. Dan di kiri-kanan jalan telah berdiri banyak ruko-ruko, toko, di sepanjang jalan Tan Malaka ini. Dan ketika tiba di simpang Napar terlihat bundaran di tengah-tengah simpang empat itu yang tinggi sebagai tempat perlintasan kendaran bus dari Pekanbaru menuju Padang atau Bukittinggi, atau juga dari Baruah Gunuang, Suliki, Koto Tinggi menuju pusat kota Payakumbuh.

Dan di daerah Napar ini paling popular ke luar daerah adalah banyaknya pejual yang membuka kios atau pun toko pakaian bekas, tas bekas, sepatu bekas dll dengan berbagai merk branded dari luar negeri. Dan toko-toko itu jelas terlihat di tepi jalan dan mudah di kenali.

Saya terus menuju ke arah Lampasi. Di sini terlihat gerbang dengan bertulisan “Selamat Datang di Kampung Rendang”. Ada banyak terdapat di sisi kiri kanan jalan kios-kios dan toko rendang yang dijual dalam kemasan. Terdapat banyak jenis rendang dari berbagai varian, seperti rendang ayam, rendang daging sapi, rendang paru, rendang belut dll. Dan rendang-rendang dari kampung rendang ini telah sampai di eksport ke berbagai wilayah Indonesia hingga ke mancanegara.

Tidak jauh dari situ, saya pun sampai di sebuah jembatan yang menjadi batas antara kota Payakumbuh dengan Kabupaten Limapuluh Kota. Dan sesudah jembatan ini terdapat simpang menuju ke kiri danke kanan. Dan jalan menuju ke simpang kananakan menuju Balai Rupi Nagari Simalanggang, Nagari Taeh Baruah, Mungka, IIV Koto Talago, dan Limbanang.

Jalan simpang ke kanan ini cukup bagus namun di Nagari Mungka akan terdapat ada banyak jalan berlubang. Dan ketika musim hujan akan becek dan di musim panas akan berkabut. Dan saat ini terlihat jalan-jalan di nagari Mungka antara Taeh Baruah dan IIV Koto Talago ini sudah mulai diperbaiki. Dan jalan ini bernama jalan Tan Malaka II. Dan terakhir ketika penulis melalui jalan tersebut sekarang sudah bagus dan rata karena baru saja diperbaiki.

Ada sesuatu yang saya ingat bahwa Taeh Baruah ini adalah sebuah kampung halaman dari penyair Chairil Anwar. Rumah Gadang yang pernah menjadi tempat tinggalnya terletak di jorong Parik Dalam dan saat ini sedang diupayakan untuk dijadiakan museum dan perpustakaan. Juga Chairil Anwar pun sedang diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional. Bahkan dari informasi yang beredar, jalan Tan Malaka II ini juga diupayakan diubah namanya menjadi jalan Chairil Anwar oleh Bupati Kabupaten Limapuluh Kota saat ini.

Sesudah melewati nagari Taeh Baruah saya bertemu gerbang ke nagari Mungka. Sebelum gerbang itu di sebelah kanan terdapat sebuah surau bernama Surau Bateh yang cukup bagus dan indah. Di sini sebelum Ashar anak-anak sudah ramai untuk datang mengaji.

Sebelum nagari Mungka ini jalan-jalan sudah mengalami kerusakan sedikit demi sedikit dan ketika saya sudah memasuki nagari ini ada banyak terdapat lubang-lubang. Ketika musim hujan, ada banyak genangan yang terdapat di lubang-lubang dan itu cukup becek.

Di jorong Koto Tuo Mungka ini sebelum pendakian sebelah kiri terdapat sebuah masjid. Masjid ini pada dulunya adalah sebuah surau yang dibangun oleh Syech Muhammad Saad Mungka yang begitu berpengaruh pada zamannya dan pembela tariqah Naqsabandiyah yang pernah dikritik oleh Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dan Syech Saad Mungka menulis beberapa kitab untuk menyanggah kritikan Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Sesudah nagari Mungka ini akan sampai di nagari IIV Koto Talago. Di jorong Padang Japang terdapat sebelah kanan akan bertemu sebuah gerbang “Perguruan Tinggi Darul Funun el-Abbasiyah” yang dulunya bernama Sumatera Thawalib Padang Japang yang didirikan oleh kakak beradik, Syech Abbas Abdullah dan Syech Mustafa Abdullah. Dan tidak jauh dari sana terdapat juga sekolah putri “Tarbiyah” yang dulunya sebagai duplikat dari sekolah “Diniyah Putri” yang ada di kota Padangpanjang sekarang.

Sekolah Darul Funum ini pada dulunya juga sempat dijadikan sebagai markas PDRI yaitu tempat berkantornya wakil Ketua PDRI yaitu Mr. Tengku Muhammad Hasan.  Dan gedung sekolah tarbiyah wanita juga sempat dijadikan markas bagi staf Kabinet PDRI. Dan semasa perjuangan kemerdekaan, Syech Abbas Abdullah menjadi sebagai Imam Jihad untuk wilayah Sumatera Tengah dan kisah ini ingin saya tulis pada laporan perjalanan tersendiri.

Dan masih di Padangjapang, setelah gerbang sekolah tadi, setelahnya akan bertemu simpang ke kiri yang tidak jauh dari simpang itu akan bertemu dengan TUGU PDRI dan museum tempat rapat PDRI dengan utusan Delegasi Bangka di sana. Dan tulisan tentang ini juga ingin saya tulis pada laporan perjalanan tertentu. Namun jika terus kearah Koto Kociak, sekitar lebih kurang satu KM dari situ, juga bertemu dengan tugu PDRI disamping lapangan bola. Di sinilah dulu rombongan PDRI dan delegasi Bangka menjalani acara perpisahan dengan masyarakat IIV Koto Talago untuk kembali menyerahkan mandat ke Soekarno-Hatta di Yokyakarta. Dan jika terus melewati jalan ini maka akansampai di Limbanang.

Kembali pada persimpangan sesudah jembatan Lampasi tadi, saya menuyusuri jalan simpang ke arah kiri. Jalan ini nanti juga sampai ke Limbanang dengan melalui beberapa daerah seperti Koto Baru Simalanggang, Dangung-dangung, Talago hingga Limbanang. Namun jalan ini cukup bagus meski lebar ruas jalan juga belum mencukupi dengan volume kendaraan yang masuk.

Setelah memasuki persimpangan sebelah kiri ini terlihat sebuah SMP Sitangkai sebelah kanan. Dan terus menyusuri jalan ini bertemu dengan simpang empat di Koto Baru Simalanggang. Belok kiri akan menuju ke Parumpuang dan Sungai Beringin dan jika berbelok ke kanan menuju Balai Rupi Simalanggang.

Selepas simpang empat itu, dalam beberapa Kilometer bertemu jalan simpang ke Kuranji sebelah kiri. Jika masuk ke jalan ini ada sebuah rumah model Belanda yang dibangun pada tahun 2000-an dan dinamakan rumah Barbie. Dan terus jalan itu nanti ada simpang tiga, kalau lurus akan sampai di Sungai Talang tempatnya banyak terdapat menhir-menhir, dan jika ke kiri akan sampai di Belubus. Di sana juga terdapat situs cagar budaya berupa menhir dan sebuah tempat wisata dengan nama Batu Manda. Namun jika berbelok ke arah kanan nanti akan tembus di Tiakar Guguak dan Kubang Tungkek di Jalan Tan Malaka.

Saya terus menyusuri jalan Tan Malaka ini hingga melihat pohon beringin besar di sebelah kanan jalan di Kubang Tungkek. Pada masa PDRI jalan-jalan ini dulunya dihambat oleh masyarakat dengan menumbangkan pohon-pohon seperti kelapa agar Belanda tidak mudah sampai ke Koto Tinggi. Bahkan di saat rombongan Delegasi Bangka yang terdiri M. Natsir, Dr. Leimena, A. Halim serta Agus Jamal sebagai sekretaris pada 6 Juli 1949 hendak menemui Rombongan PDRI di Padang Japang, rombongan delegasi Bangka ini dicegat oleh pasukan gerilya namun untung saja komandan pleton Azwar Tontong mengenali Moh. Natsir dan ia mengantar rombongan Delegasi tersebut melewati jalan-jalan kampung melalui Tiakar Guguk hingga sampai ke Padang Japang.

Setelah melewati Kubang Tungkek saya sampai di Dangung-dangung kecamatan Guguk. Di sini terdapat warung-warung sate yang terkenal di mana pun yaitu sate dangung-dangung dengan rasa yang sedikit manis. Dan biasanya kedai-kedai ini mulai berjualan sejak sore hari hingga malam.

Dari Dangung-dangung akan tiba di kenagarian Talago dan jika ada sebuah belokan ke kiri itu menuju daerah Kubang yaitu daerah yang penduduknya menghasilkan martabak yang enak dan juga dikenal di mana-mana. Dan biasanya nama martabaknya diawali dengan nama Martabak Kubang.

Di Talago ini juga ditemukan daerah asal pertahanan pahlawan paderi yaitu Tuanku Nan Biru pada jalan Tuanku Nan Biru sebelah kiri dari Jalan Tan Malaka. Konon sebuah jari dari Tuanku Nan Biru pernah di kubur di sini, di dekat lapangan bola, dan lapangan ini juga bernama Lapangan Sepakbola Tuanku Nan Biru. Dan kubur jari itu terletak di sebuah tanjung di dekat aur bambu. Dan beberapa meter dari sini juga ditemukan sebuah menhir dan di bawahnya terdapat tebing dan juga hanya beberapa dari situ terdapat pemandian rombongan PDRI ketika telah selesai rapat dengan rombongan delegasi semalam suntuk. Dan di pemandian ini jugalah Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI (setingkat Presiden) bersedia menyerahkan mandat kembali kepada Soekarno-Hatta setelah dibujuk oleh Moh. Natsir. Dan jalan Tuanku Nan Biru ini juga tembus ke Ampang Gadang dan Padang Japang tempat rumah/museum PDRI hingga sampai di jalan Tan Malaka II.

Saya pun meneruskan perjalanan hingga sampai di Limbanang.  Di sini dulu para pejuang juga gigih melawan Belanda baik berupa harta maupun jiwa. Bahkan RKY. H. Rasuna Said menyumbangkan emas dan hartanya untuk kepentingan perjuangan republik ini. Dan di sini saya melihat jalan berbelok ke kanan menuju jalan Tan Malaka II, hingga sebenarnya jalan ini melingkar dari simpang lampasi hingga ke Limbanang membentuk huruf O.

Nagari Limbanang ini sudah termasuk kecamatan Suliki dan jalan ini saya telusuri hingga bertemu dengan simpang dua. Simpang ke kanan menuju nagari Andiang dan terus ke Mahat yaitu negeri seribu menhir. Jalan ke sini cukup bagus dengan jalan berkelok-kelok dilereng perbukitan. Dari dari hasil penelitian ahli sejarah, menhir Mahat ini sudah ada sejak 4 – 5 ribu sebelum Masehi. Sama atau sezaman dengan kebudayaan Kalimanjaro di India, Babylonia di Irak atau pun di batu-batu purba di Estonia.

Jika belok kiri dari Andiang ini nanti akan menuju Banja Loweh dan Koto Tangah, Sungai Naniang dan ke Baruah Gunuang. Dan di Baruah Gunuang ini terdapat sebuah perkebunan teh yang sekarang sudah ditutup seluas lebih kurang 2000 hektar. Di sini Buya Hamka juga pernah tinggal ketika menjadi staf kementrian PDRI. Dan di ujung nagari baruah gunung ini nanti akan bertemu 3 buah simpang. Simpang paling kanan menuju jorong Banda Raik, dan simpang ke tengah menuju Bukit Kambuik dan paling kiri menuju Bigau dan Air Hangat tempat sedang dibangunnya Tugu Monumen Bela Negara dan juga menuju Sungai Sariah atau Mudiak Dodok  kenagarian Koto Tinggi.

Kita kembali pada perbincangan saat berada di persimpangan Limbanang tadi yang bersimpang dua. Yang satu menuju Andiang dan Mahat dan yang ke kiri menuju Sungai Rimbang dan Nagari Suliki. Dan mulai dari Limabanang ini, di sisi kanan dan kiri jalan terhampar bukit-bukit yang indah. Bukit-bukit itu seperti bukit di film Teletubies yaitu bukit-bukit dengan sedikit pepohonan dan didominasi oleh tumbuhan. Ini terasa puitik seperti barisan rindu yang terusik kembali setelah tersimpan dalam kenangan yang rapat.

Setelah melewati Sungai Rimbang, saya sampai pada persimpangan di Suliki sebelum Rumah Sakit Ahmad Darwis. Jalan ke kanan akan sampai di Sialang Balantak Basi dan Anding. Di Sialang Balantak Basi ini nanti ada jembatan dan sungainya merupakan hulu dari batang sinamar yang terus berhulu ke Ikan Banyak Pandam Gadang, Kampung Melayu , Mudiak Dodok berhulu di perbukitan Air Hangat kenagarian Koto Tinggi.

Di persimpangan Suliki ini saya belok kiri. Tidak jauh dari berjalan bertemu Pasar Suliki yang hari pasarnya sekali sepekan. Dan di pasar ini para petani Suliki, Sungai Rimbang, Kurai dan sekitarnya menjual hasil perkebunan ataupun membeli kebutuhan rumah tangga. Dan sini juga pada beberapa tahun lalu sekitar tahun 2014 sangat terkenal batu-batu lumut Suliki ke seluruh Indonesia. Batu lumut Suliki ini pernah menjadi primadona pada zamannya.

Setelah melewati nagari Suliki, saya pun tiba di nagari Kurai yang jalan-jalannya berada di lereng perbukitan. Di sini sinyal provider jaringan telepon cukup sulit. Harus sabar mencari spot tertentu untuk bisa mendapatkan jaringan telepon genggam untuk berkomunikasi karena daerah Kurai ini di kepung oleh perbukitan dari berbagai sisi.

Sehabis nagari Kurai, setelahnya adalah nagari Pandam Gadang yang dalam wilayah administrasif kecamatan Gunuang Omeh. Dan di jorong Koto Panjang sebelah kiri jalan ada sebuah kedai nasi ampera yang enak dengan makanan special gulai ciput

Jalan di sepanjang nagari Pandam Gadang ini cukup bagus dengan cukup berbelok-belok. Sudah banyak terdapat rumah-rumah yang dibangun warga di tepi jalan. Dan pembangunan di sini cukup terasa geliatnya dengan perkebunan tradional masyarakat berupa padi dan jeruk yang manis.

Setiba di jorong Patai jalan kembali sedikit mendaki dan menurun dengan belokan yang tidak terlalu tajam. Dan di sebelah kiri jalan akan terlihat sebuah rumah cat yang biru dengan tulisan “Rumah Tan Malaka” yang terbaa dengan jelas. Tidak jauh dari rumah itu, akan terlihat sebuah rumah bergonjong yang tidak terlalu besar yang sekarang telah menjadi museum Tan Malaka.

Di sinilah dulunya Tan Malaka menghabiskan masa kecilnya mengaji dan menuntut ilmu sampai nasib membawanya untuk menuntut ilmu ke negeri Belanda. Sepulang dari Belanda, perjalanan takdir membawanya kepada lingkaran pergerakan aktivis kemerdekaan di Indonesia. Dan saat ini pun Ibrahim Datuk Tan Malaka telah diresmikan menjadi pahlawan nasional. Sudah ada dibangun sebuah patung Tan Malaka di halamannya dan tiga buah kubur.

Sesudah jorong Patai, saya pun sampai di tempat ikan banyak di sebalah kanan jalan. Ikan banyak ini hidup bebas di sungai yang airnya jernih dan dangkal dan menjadi ikan larangan. Ikannya jinak sekali dan suka mendekat kepada siapa yang saya melemparkan pakan dan ataupun makanan lainnya. Ikan-ikan di sungai ini umumnya dominan ikan garing. Ikan ini enak sekali kalau dimasak. Apalagi ikan dari sungai.

Memang sebuah kebetulan atau memang saya baik bagi saya bahwa ketika ke sini bulan Mei menjelang bulan puasa, saya singgah di rumah kenalan. Di sini saya lagi beruntung menyaksikan ikan larangan di sungai sedang dibuka. Dan saya lihat beberapa masyarakat yang sedang berburu di sungai ini mendapatkan ikan garing yang besar-besar.

Di sini juga baru mengetahui tempat dibuatnya batu asah Suliki setelah melihatnya di Pandam Gadang ini. Batu asah ini dibuat dari bahan batu gunung lalu dipotong-potong sekitar ukuran lebuh kurang 20 cm x 5 cm x 2 CM. dan batu asah suliki ini sering digunakan untuk mengasah sabit, pisau, parang dan peralatan lainnya.

Setelah menyaksikan berburu di sungai Ikan Banyak ini, saya meneruskan perjalanan ke Koto Tinggi. Dari sini ke Koto Tinggi jalanan masih cukup bagus, rumah-rumah sudah mulai jarang namun saya melihat kebun jeruk semakin banyak di sini. Dan saya pun tiba di pasar Koto Tinggi ketika zhuhur telah masuk.

Bertemu dengan Bapak Metrizal

Tugu PDRI Koto Tinggi

Tugu PDRI Koto Tinggi

Pasar Koto Tinggi mudah dikenali di antaranya ditandai oleh sebuah tugu PDRI di tengahnya. Pasar Koto Tinggi terletak di sebelah kiri jalan. Di situ akan terlihat simpang ke kanan yang menuju ke jorong Sungai Sariah, Bukit Runciang dan kalau jalan lurus nanti akan sampai ke Puar Datar, Mudiak Dodok, Air Hangat tempat dibangunnya Monumen Bela Negara, dan diteruskan lagi akan sampai di Bigau dan Baruah Gunuang, Sungai Naniang, hingga ke Koto Tangah, Banjah Loweh, Andiang dan Limbanang Suliki. Dan memang jalan ini juga akan melingkar seperti membentuk huruf O.

Dan sebelum memasuki nagari Koto Tinggi, saya memasuki sebuah jembatan di Pandam Gadang yang berjarak 6 Km dari Koto Tinggi yang mana di sini dulu Belanda pernah menembak 9 orang petani yang baru saja pulang dari sawah dan kebun untuk menjatuhkan mental pejabat dan staf PDRI di Koto Tinggi. Dan kejadian tersebut pada tangal 10 januari 1949.

Pasar koto tinggi ini lokasinya di jorong Kampung Melayu yang buka hanya sekali sepekan di hari Sabtu. Di areal pasar ini juga terlihat balairung adat, kantor wali nagari Koto Tinggi, kantor camat Gunung Omeh, dan situs cagar budaya sebuah bangunan kecil yang pernah dijadikan sebagai kantor PDRI dulu oleh gubernur militer Moh. Rasyid. Dan disebelahnya terdapat sebuah warnet dan konter pulsa, kios makanan dan penjual bensin/perlalite eceran.

Kantor Gubernur Sumatera Tengah PDRI di Koto Tinggi

Kantor Gubernur Sumatera Tengah PDRI di Koto Tinggi

Sebelum berangkat ke Koto Tinggi ini, malam harinya saya sudah membuat janji bertemu dengan bapak Metrizal yang bersedia diminta informasinya tentang sejarah PDRI di Koto Tinggi. Saya mencoba menelpon Bapak Metrizal namun tidak terangkat. Lalu saya pun membeli minuman dan makanan di kios makanan tadi. Sambil menikmati beberapa potong kue bolu, saya bertanya kepada ibu kios di mana rumah Metrizal. Ibu memberitahukan tempat tinggalnya karena memang kebetulan bapak Metrizal adalah anaknya sendiri.

Mulanya saya datang ke rumahnya tetapi bapak Metrizal tidak di rumah. Lalu saya pun diberitahu untuk melihatnya ke depot air minum setelah bertanya kepada anaknya. Di depot saya juga tidak menemukan namun istri bapak Metrizal menyarankan saya menjumpainya di kebun yang terletak di Puar Datar. Kebunnya terletak sebelum sebuah TK dan kebetulan saya bertanya kepada pekerja di kebunnya berupa kentang, jeruk, cabe dan pekerjanya memberitahukan bahwa ia sedang istirahat di dangau.

Perjalanan dari jorong Kampung Melayu (Pasar Koto Tinggi) ini ke Jorong Puar datar dipenuhi jalan-jalan yang berbelok-belok di lereng perbukitan. Ada beberapa jalan yang rusak. Namun sepanjang perjalanan sangat jarang ada rumah di tepi jalan. Dan rumah-rumah penduduk ramai kembali setelah berada di Puar Datar yang berjarak sekitar 2 km.

Saya terus ke dangau bapak Metrizal dan menemukannya sedang istirahat di sana. Saya memperkenalkan diri dan memulai berbagai percakapan. Mulanya percakapan kami adalah tentang Mangani. Sebuah tempat bekas tambang yang sudah ada sejak satu abad yang lalu atas kerjasama Perancis dengan Jerman yang dikelola oleh Amerika Serikat.

Mangani pada dulunya adalah sebuah kota modern pada zamannya dengan dilengkapi rumah sakit, barak-barak untuk pekerja, pasar dan tempat hiburan. Dan umumnya yang bekerja di sini lebih banyak didatangkan dari pulau Jawa dan daerah lain.

Mangani terletak di hutan suaka lebih kurang sekitar 10 KM dari Puar Datar dengan medan jalan yang ekstrim. Dan di tambang Mangani ini menghasilkan mangan, galena, aurujm, besi, natrium dan besi. Dan dilihat dari google map, Mangani ini terletak tidak beberapa KM lagi dari kota Bonjol.

Setelah berbicara tentang Mangani, kami terus melanjutkan percakapan tentang pengorbanan rakyat Koto Tinggi dalam mempertahankan PDRI. Dan di sini lebih kurang sekitar 700 orang pengungsi dan staf kementrian PDRI untuk menjalankan roda pemerintahan di Republik ini.

Dari pembicaraan dengan bapak Metrizal, saya mendapatkan rambu-rambu untuk ditelusuri lagi bahwa Moh. Rasyid berkantor di jorong Kampung Pitopang, Sender Radio di Puar datar, dan memindahkan sender radio ke Mudiak Dodok dan pemancar radionyo di Bukit Pematang Panjang di jorong Air Hangat.

Lokasi Radio PHB AURI ZZ di Puar Datar

Markas Radio PHB AURI ZZ di Puar Datar

Markas Radio PHB AURI ZZ di Puar Datar

Saya pun berangkat dengan bapak Metrizal ke rumah Bapak Abdul Majid yang sekarang dipelihara oleh saudara perempuannya yaitu ibu Nurhayati. Rumah terlihat masih kokoh meski di beberapa bagian membutuhkan pemeliharaan untuk mempertahankan ke asliannya. Dan di rumah ini dulunya sender Radio PHB AURI ZZ pernah dioperasikan sejak tanggal 27 Desemebr 1948 sampai 10 Januari 1949 sebelum Belanda curiga dan mengeledah sender di rumah ini. Tapi untunglah pejuang PDRI bergerak cepat dan menyembunyikan sender tidak beberapa meter dari sana di sebuah lubang dekat kandang sapi. Sender itu disembunyikan berupa sampah daun-daun dan kotoran sapi dan Belanda tidak mengetahuinya meski tidak beberapa langkah dari kakinya.

Di rumah ini dulu Komandan Muhammad Jacoeb yang menjadi kepala AURI pada datasemen Piobang pernah tinggal di sini. Dan juga tidak jauh dari sini saya dan bapak Metrizal juga bertemu dengan makam SH Abdul Azis yang pada masa PDRI menjabat sebagai Camat Militer di Puar Datar. Dan di jorong Puar Datar ini banyak staf kementrian PDRI tinggal di rumah-rumah penduduk. Di antara pejabat PDRI yang tinggal di Puar Datar adalah Mr. Syafrudin Prawiranegara menetap di rumah Usman yang berangkat dari Silantai Sumpur Kudus tanggal 19 Juni 1949 menuju Koto Tinggi. Dan di rumah Lakuang pernah ditempati oleh Mentri Lukman Hakim serta Mentri Indracahya menetap di rumah Kamisah yang dulunya sebagai tempat pemancar Radio PHB ZZ sebelum di pindahkan ke Padang Jungkek, Mudiak Dodok. Dan di Puar datar ini juga pernah dibangun sebuah pabrik rokok yang bernama Persin.

Di Puar Datar ini Mr. Syafrudin juga pernah tinggal setelah dari Sumpur Kudus tanggal 19 Juni 1949 dan sampai perundingan Padang Japang dan Koto Kociak 8 Juli 1949.

Rumah yang Ditinggali oleh Mr. Syafrudin Prawiranrgara di Puar Datar Koto Tinggi

Rumah yang Ditinggali oleh Mr. Syafrudin Prawiranrgara di Puar Datar Koto Tinggi

Di Puar Datar ini ada sebuah jalan belok kiri akanmenuju ke jorong Palangki Tangan. Jalannya masih berupa jalan tanah tapi cukup bagus dan lebar. Di jorong Palangki Tangan ini ada sebuah Goa Aie Singkek yang stalkit yang bagus dan kedalamanan cukup panjang. Dan ada juga goa Imam Bonjol, yang mana konon Tuanku Imam Bonjol pernah bersembunyi di sini dari kejaran Belanda. Setelah melewati Palangki Tangan dan pagadis akan tiba di Jalan Lintas Sumatera di Palupuh kabupaten Agam. Jika ke kanan akan sampai di Bonjol dan kalau ke kiri akan tiba di Gadut Bukittinggi.

Lokasi Radio PHB AURI ZZ di Padang Jungkek Mudiak Dodok

Bekas Rumah Awak Radio PHB AURI ZZ Masa PDRI di Padang Jungkek Sungai Dodok

Bekas Rumah Awak Radio PHB AURI ZZ Masa PDRI di Padang Jungkek Sungai Dodok

Saya pun terus ke Mudiak Dodok dan bertanya di dekat sebuah warung ke mana arah kawasan Padang Jungkek, dan warga pun menunjukkan persimpangan dekat mushala belok kiri. Dan jalan masih berkerikil dan penurunan cukup tajam, dan ke sinilah dulunya sender dibawa dari Puar Datar ke Padang Jungkek. Jarak Puar Datar Mudiak Dodok sekitar lebih kurang 2 Km dengan medan jalan yang berbelok dengan banyak penurunan. Dan saat itu sender dibawa dengan mobil didorong dengan bannya yang kempes.

Dari simpang (Mudiak Dodok) tersebut hampir satu kilometer ke Padang Jungkek dengan jalan-jalan di lereng perbukitan dengan berbelok-belok dan curam. Kebetulan saat itu sebagain jalan sudah diperbaiki beeupa jalan cor semen. Jembatan pertama dinamakan oleh warga sebagai Jembatan Aie mato Yakub karena ketika membawa radio sender dari Puar Datar ke Padang Jungkek, Muhammad Yakub menahan generator radio yang hampir jatuh ke dalam sungai. Karena hari hujan, maka tetesan hujan merembes di mata Moh. Yakub. Warga mengia Moh. Yakub sedang menangis. Dan sebuah lagi jembatan tidak ada lagi karena telah rusak dan dihanyutkan air.

Jembatan Air Mata Yakub

Jembatan Air Mata Yakub

Saya pun meniti sungai tersebut berupa beberapa bambu yang dilintangkan. Dan setelah beberapa meter melewati jalan setapak yang mendaki, saya menemukan sebuah surau yang sudah tidak dihuni lagi dan dikelilingi oleh semak.

Dulunya Padang Jungkek ini adalah sebuah perkampungan. Dan di sini pula sender dan beberapa pejuang PDRI tinggal untuk mengoperasikan Radio AURI. Di antara nama tersebut adalah Moh. Yakub, Jufri, Yuwono, Ismail, Sugianto  dan tinggal di rumah Ramani. Karena di tepi jalan tadi, atau di Mudiak Dodok tadi aliran listrik sudah masuk, maka warga pun pindak ke Mudiak Dodok dan hanya sebuah rumah yang terlihat dan sebuah surau yang tidak lagi dihuni.

Sewaktu saya kebingungan untuk bertanya dimana lokasi PDRI dulu, saya dipanggil oleh seorang kakek. Kira-kira umurnya sekitar 70 tahun dan masih kuat. Saya mendatanginya dan beliau bernama Anasri. Setelah menyampaikan maksud kedatangan saya, kakek Anasri memberikan saya informasi tentang PDRI di kawasan Padang Jungkek.

Menurut kakek Anasri, dulu penduduk di sini saling bekerjasama untuk membantu pejuang PDRI. Dan penduduk di sini menyisakan sebagian hasil panennya untuk kebutuhan pejuang PDRI yang banyak tersebar di Koto Tinggi. Dan lalu saya pun meminta kepada kakek Anasri untuk menunjukkan lokasi di mana pejuang PDRI dan sender diletakkan.

Kakek Anasri mengajak saya memasuki kebun jeruk. Lokasi kediaman PDRI terletak di atas rumahnya sekarang. Lokasi tanahnya mendaki dan saya kuatir dengan kakek Anasri untuk sampai di lokasi tapi ternyata ia lebih gesit dari saya. Katanya karena sudah biasa, jadi medan mendaki sudah tidak masalah lagi baginya.

Di lokasi PDRI tersebut yang tinggal hanyalah sebuah tangga untuk naik rumah yang kebetulan dari batu bata yang disemen yang sudah tertutup lumut. Saya dan kakek Asri membersihan lumut tersebut dan memfotonya. Selain tangga rumah, ada juga sebuah bak tempat air yang dibuat dari batu-batu yang disemen. Baik air itu sudah ditumbuhi semak dan jika dilihat sepintas, hampir-hampir tidak bisa dikenali lagi. Dan sekitar 50 meter dari sana, terdapat sebuah lubuk tempat mandi pejuang PDRI yang terletak di dekat tebing.

Setelah selesai bertanya dengan kakek Anasri, saya pun pamit dan mohon diri ingin ke Sungai Sariah. Dan saya menuyusuri jalan cor semen tersebut hingga tiba kembali di jalan Mudiak Dodok. Saya singgah sebentar di mushala tersebut melaksanakan ashar dan ketika hendak pergi, saya melihat foto-foto peresmian mushala di Mudiak Dodok ini diresmikan oleh Mentri Agama sekarang yaitu mentri Lukman Hakim Saifudin. Dan beberapa waktu lalu saya kembali melewati jalan ini ternyata semua jalan ke padang Jungkek sudah diperbaiki dan terlihat rata dengan cor semen.

Lokasi Rumah Ir. Mananti Sitompul di Sungai Sariah

Bekas Rumah Ir. Mananti Sitompul Mentri PU PDRI di Sungai Sariah

Bekas Rumah Ir. Mananti Sitompul Mentri PU PDRI di Sungai Sariah

Saya meneruskan jalan lurus ke depan ketika ada simpang ke kanan, saya berbelok untuk menuju jorong Sungai Sariah mencari informasi tentang mentri Sitompul di rumah Pak Tamsi. Lokasinya di dekat masjid Sungai Sariah di depan kantor KUA. Namun saya kesulitan mencari data tersebut. Dan tidak lama muncullah seorang kakek dan saya bertanya-tanya tentang peristiwa PDRI di tempat tersebut.

Rumah yang dihuni oleh Ir. Mananti Sitompul tersebut berbentuk rumah goluang dengan ukuran sekitar 3 meter x 3 meter. Rumahnya masih dihuni dan terlihat rumahnya masih terawat meski sudah tua. Dan rumah tersebut dikelilingi tanaman-tanaman kecil yang menjadi pagar rumah tersebut.

Saya pun bertanya kepada kakek tersebut bahwa ia mengatakan lahir di tahun 1935 dan pernah ikut berjuang melawan Belanda. Pernah hidup masa pendudukan Jepang. Beliau juga pernah melihat sender di Padang Jungkek yang dipimpin oleh pak Moh. Yakub. Dan ia juga mengatahui bahwa pemancar radio ada di perbukitan Pematang Panjang di Air Hangat.

Dari pembicaraan dengan beliau, pada zaman Belanda jalan-jalan semua dibuat bagus dan rata meski belum beraspal. Dan ia sangat menyayangkan kenapa pembangunan tidak merata. Dan belum beberapa tahun ini, jalan di Sungai Sariah sudah diaspal dengan bagus dan rata.

Saya pun meminta pamit dari kakek tersebut yang sekarang sudah menjadi garin masjid di Sungai Sariah. Ia sangat sehat jika dibandingkan dengan usianya dan ingatannya juga kuat. Lalu saya pun terus berangkat menuju pasar Kampung Melayu Koto Tinggi dan hari saat itu sudah pukul 17.30 WIB dengan cuaca sedikit mendung dan sepertinya hujan akan turun.

Lokasi Rumah Mr. Sutan Moh. Rasyid di Kampung Pitopang

Rumah Kima Kantor Mr. Moh. Rasyid Mentri Sosial PDRI di Kampung Pitopang

Rumah Kima Kantor Mr. Moh. Rasyid Mentri Sosial PDRI di Kampung Pitopang

Dari pasar Kampung Melayu saya terus menuju Kampung Pitopang. Jalannya menuju arah balairung adat. Di dekat kantor wali nagari ada sebuah gang dan nanti akan bertemu jembatan kecil yang hanya cukup dilalui motor. Di dekat jembatan itu saya bertemu dengan dua orang anak kecil yang usianya sekitar 8 tahun. Saya minta ditunjukkan di mana lokasi PDRI tempat berkantornya Moh. Rasyid sebagai gubernur militer Sumatera Tengah.

Anak-anak itu tidak tahu dan lalu saya bertanya dimana rumah-rumah tua di lokasi kampung Pitopang. Dan terus menyusuri jalan yang di samping kiri adalah sungai dan sampaing kanan adalah sawah-sawah pertanian. Namun anak-anak itu membawa saya ke sebuah surau yang sudah lama. Dan ternyata itu adalah surau yang dulu tempat Moh. Rasyid dan para staffnya shalat. Dan surau itu dinamakan Surau Perjuangan.

Kampung Pitopang ini terletak di perbukitan lalu saya naik ke atas dan bertanya dimana lokasi PDRI. Dan seorang ibu muda menunjukkan bahwa rumah orang tuanya pernah dijadikan sebagai tempat tinggal oleh Moh. Rasyid. Rumah itu terletak di bawah, persis di depan surau Perjuangan tadi.

Halaman rumah tersebut ditanami cabe dan di pintu rumah tertulisan rumah KIMA / M. Rasyid dengan kondisi rumah yang mulai memprihatinkan karena sudah tidak layak lagi dihuni. Dan dari keterangan ahli warisnya, rumah bersejarah ini juga belum dijadikan sebagai benda cagar budaya yang harus dirawat oleh pemerintah.

Di atas rumah ini juga terdapat rumah gadang yang telah roboh, rumah ini pada dulunya juga ditinggali oleh pejuang PDRI. Dan di dekat itu ada beberapa rumah yang dulu juga dijadikan oleh pejuang PDRI sebagai tempat tinggal dan sekarang kondisi rumah tersebut memperihatinkan dan belum juga dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah. Dan rumah-rumah ini dulu dimiliki oleh Zuniar dan Zulfiza.

Hari semakin beranjak ke senja dan gerimis pun sudah mulai turun lalu saya pun pamit untuk pulang. Jarak antara Koto Tinggi ini dengan pusat Payakumbuh adalah sekitar 45 Km dan hampir seluruhnya melewati jalan Tan Malaka. Dan saya pun sampai di rumah sebelum isya.

Bukit Runcing Sebagai Jalur Pintas Untuk Mengungsi

Jalan di Bukit Runciang

Jalan di Bukit Runciang

Beberapa waktu setelah perjalanan di atas, saya kembali lagi ke Koto Tinggi untuk mencari Bukit Runciang yang mana ketika tanggal 17 Juni 1949, Belanda melakukan patroli besar-besaran ke Suliki dan Koto Tinggi Tinggi hingga ke Alang Lawas Halaban. Dengan telah masuknya Belanda sampai ke Suliki maka para pejabat PDRI di Koto Tinggi telah menyingkir ke Baruah Gunuang, Sungai Naniang dan hingga sampai ke Tambusai (Pasir Pangaraian sekarang).

Ada pun jalan pintas untuk sampai ke Sungai Naniang dan Baruah Gunuang yaitu dengan melewati jorong Bukit Runciang melalui jorong Sungai Sariah. Dan untuk mencapai tempat tersebut perjalanan dari Koto Tinggi akan melewati kantor KUA di Sungai Sariah dan belok kanan ketika ada sebuah simpang jalan beton semen.

Mulanya ketika mencari jalan Bukit Runciang saya tersasar sampai ke Monumen Nasional bela Negara di Aie Angek. Setelah memotret tempat tersebut yang terhenti pengerjaannya, maka saya balik ke Sungai Sariah dan bertanya kepada pegawai KUA Sungai Sariah kemana jalan menuju Bukit Runciang.

Jalanan menuju Bukit Runciang belum terlalu bagus dengan tanjakan dan curam dengan keadaan jalan yang berbatu-batu. Sangat jarang ada rumah penduduk di sepanjang perjalanan dengan ukuran lebar jalan 2 meter. Di sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun jeruk yang berada di atas Bukit Barisan yang penuh rimba dan sunyi.

Sekitar 2 km ke dalam saya menemukan sebuah bukit yang di bawahnya ada sebuah masjid. Bukit tersebut bernama Bukit Runciang yang ketinggiannya lebih kurang sekitar 40 – 50 meter. Dan keterangan penduduk setempat, di atas bukit itu dulu pernah dibangun villa oleh Belanda. Dan konon kabarnya Belanda membangun villa di sana karena ingin menambang emas dari Bukit Runciang itu.

Saya meneruskan perjalanan ke atas dengan jalan yang kurang baik dan penuh tanjakan. Dan tidak jauh dari situ saya telah menjumpai perkampungan penduduk. Tidak terlalu banyak rumah di perkampungan ini. Kalau dilihat sekilas sepertinya tidak lebih dari 30 rumah di kampung Bukit Runciang ini. Dan lalu saya menanyakan kepada penduduk setempat kemana arah jalan ini.

Dari keterangan penduduk setempat yang kebetulan saya tepat berada di persimpangan maka jalan lurus itu akan sampai menuju Monumen Bela Negara di Aie Angek dan bila mengikuti jalan setapak belok kiri maka akan sampai ke Sungai Naniang. Jarak dari Bukit Runciang tersebut ke Sungai Naniang sekitar lebih kurang 10 km atau lebih sedikit. Saya tidak menempuh jalan tersebut karena hampir mustahil bisa dilewati oleh motor. Dan lalu sebelum balik saya pun memotret beberapa tempat di situ dan lalu akhirnya balik.

Feni Efendi, Payakumbuh, 2017

Dapatkan 2 buah bukunya dalam penelitian ini:

Jejak yang Terlupakan

Judul Buku: JEJAK YANG TERLUPAKAN: Menyusuri Jejak Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam Menjalankan PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI) pada Masa Agresi Militer Kedua Belanda di Sumatera Tengah

Genre: Catatan Perjalanan

Penerbit: JBS Yogyakarta

Penulis: Feni Efendi

Pemesanan: WA 0812-6772-7161 / HP 0823-8485-2758

 

Selendang Ibu Perdana Menteri

Judul Buku: SELENDANG IBU PERDANA MENTERI

Genre: buku puisi PDRI

Penerbit: JBS Yogyakarta

Penulis: Feni Efendi

Pemesanan: WA 0812-6772-7161 / HP 0823-8485-2758

  1. author

    kurnia10 months ago

    keren untuk website ini

    Reply

Leave a reply "PDRI DI KOTO TINGGI GUNUANG OMEH"