Habib Shaleh Sampaikan Peran Alkhairaat dan Kiprah Guru Tua di Harlah ke-120 Ponpes Tebuireng

oleh
Habib Shaleh bin Muhammad Aljufri saat menjadi pembicara pada seminar dalam rangkaian peringatan Harlah Pondok Pesantren Tebuireng ke 120, di Jombang, pekan lalu. (FOTO: IST)

JOMBANG – Habib Shaleh bin Muhammad Aljufri, berkesempatan mewakili Ketua Utama Alkhairaat, Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri dan Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat, Habib Ali bin Muhammad Aljufri untuk menghadiri peringatan hari lahir (harlah) ke-120 Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, di Jombang, Jawa Timur, pekan lalu.

Habib Shaleh bin Muhammad Aljufri saat berziarah ke makam Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dan Abdurrachman Wahid (Gus Dur) usai mengikuti peringatan hari lahir (harlah) Pondok Pesantren Tebu Ireng, di Jombang, pekan lalu. (FOTO: IST)

Harlah yang juga dihadiri para Tokoh Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan juga Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) itu juga dirangkai dengan seminar nasional bertema “Memadukan Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional”.

Habib Shaleh yang merupakan salah satu unsur Ketua PB Alkhairaat juga didaulat menjadi salah satu narasumber pada seminar tersebut.

Habib Shaleh bin Muhammad Aljufri saat foto bersama dengan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) beserta para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) lainnya pada peringatan hari lahir (harlah) Pondok Pesantren Tebuireng, di Jombang, pekan lalu. (FOTO: IST)

Pada kesempatan itu, Habib Shaleh memaparkan tentang peran Alkhairaat dalam mencerdaskan bangsa.

“Tentunya berbicara tentang Alkhairaat, maka tidak terlepas dari pendirinya, yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua),” katanya saat membuka materi.

Pada tahun 1926, kata dia, Pendiri Alkhairaat pernah ke Jawa bertemu dengan Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.

“Maka pada seminar ini akan menjadi titik awal kembali untuk terus silaturahmi kami tetap terjaga,” ungkapnya.

Sertifikat sebagai narasumber seminar nasional yang diserahkan kepada Habib Shaleh. (FOTO: IST)

Habib pun menceritakan dengan singkat sejarah berdirinya Alkhairaat. Pada tahun 1930, kata dia, Alkhairaat resmi dibuka.

Sejak berdiri hingga saat ini, kata dia, Alkhairaat telah memiliki 1561 sekolah/madrasah dari berbagai jenjang, serta terdapat 50 pondok pesantren yang terbesar di kawasan Timur Indonesia.

Atas kepercayaan masyarakat untuk ikut mencerdaskan bangsa, kini Alkhairaat juga telah memiliki universitas yang diberi nama Universitas Alkhairaat (Unisa) dengan sejumlah fakultas, seperti Fakultas Kedokteran, Pertambangan, Syariah, Ekonomi, Pertanian, Sastra, Perikanan, dan Pendidikan.

“Alkhairaat telah banyak menelorkan generasi sehingga mereka berhasil di dalam kehidupan. Ada yang memegang jabatan, mulai dari lurah sampai Menteri, Gubernur, Bupati, Camat dan sebaginya. Alhamdulillah Alkhairaat telah menciptakan generasi yang berakhlaqul karimah. Jadi perjuangan Habib Idrus bukan hanya mencerdaskan dari segi intelektual saja, tapi turut mencerdaskan dari segi spiritual,” tutur Habib.

Tak sampai di situ, Habib juga mengisahkan perihal pemberian nama Bandar Udara (Bandara) di Palu, dari Mutiara menjadi Mutiara SIS Aljufri.

“Nama Mutiara atas pemberian Presiden Soekarno. Kemudian berganti nama menjadi Bandara Mutiara SIS Aljufri Palu. Perubahan tersebut atas permintaan tokoh masyarakat Palu yang dimaksudkan untuk menghargai jasa Sayyid Idrus bin Salim Aljufri,” jelasnya.

Bagi masyarakat Sulteng, lanjut dia, Alkhairaat telah menjadi wadah pendidikan Islam yang sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Sistem pendidikan yang dibawa Habib Idrus adalah sistem lama. Meskipun Habib Idrus tidak bisa berbahasa Indonesia, beliau memberi pengajaran dengan pendekatan kitab-kitab, sehingga mampu mencetak murid-muridnya menjadi ustadz,” ujarnya.

Habib Shaleh pun menjelaskan alasan mengapa Habib Idrus tidak menulis buku atau kitab untuk dijadikan sebagai peninggalan ketika ia wafat.

“Sebab Habib Idrus merasa tidak sama dengan datuk-datuknya. Tetapi Habib Idrus mampu menciptakan buku-buku hidup yang bisa ditanya kapan saja, yaitu murid-muridnya,” tuturnya.

Habib juga tak lupa mengisahkan secara ringkas awal perjalanan dakwah Habib Idrus di Sulteng, hingga berkembangnya Perguruan Alkhairaat, saat ini.

Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik. Mereka pun bersama-sama mendirikan sebuah tempat yang digunakan untuk proses belajar-mengajar.

Madrasah pendidikan ini diberi nama Al-Hidayah yang mana memiliki kesamaan dengan madrasah yang telah dibangun oleh dua bersaudara, Sayyid Ali Alhabsyie dan Sayyid Abdollah Alhabsyie di Tojo Una-Una, Ampana.

Hampir setahun lamanya Guru Tua tinggal dan menetap di Wani. Hingga pada tahun 1930 M beliau pun pindah ke Kota Palu atas dukungan Raja Djanggola.

Dengan dukungan dari warga setempat serta konsistensi Guru Tua, pada tanggal 14 Muharram 1349 H atau 30 Juni 1930, bertempat dilantai bawah rumah Haji Daeng Marocca (depan Masjid Jami) Lembaga Pendidikan Islam Alkhairaat diresmikan.

“Perjalanan Guru Tua sebagai seorang juru dakwah dan pendidik semakin memantapkan niat beliau untuk menetap di Kota Palu, hingga menikah dan memperoleh keturunan,” tutupnya.

Di akhir pemaparan materinya, Habib Shaleh mengolaborasikan ciri khas dari masing-masing Ormas yang ada di Indonesia, yakni Wa Allahu Al- Miwafiq ila Aqwami At-Thoriq (NU), Wa Billahi Taufiq Wa Al- Hidayah (Muhammadiyah), Wa Allahu Al-Musta’an (Alkhairaat).

Dari seminar tersebut, para peserta pun sudah banyak mengetahui seluk beluk dan perkembangan Alkhairaat. Hal itu terlihat dari antusias peserta yang menanyakan sejarah dan perkembangan Alkhairaat kepada Habib Shaleh.

Habib Shaleh bin Muhammad Aljufri menyerahkan buku sejarah Alkhairaat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab kepada Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), ketika menghadiri peringatan hari lahir (harlah) Pondok Pesantren Tebuireng, di Jombang, pekan lalu. (FOTO: IST)

Di kesempatan itu, Habib menyempatkan diri membagi buku sejarah Alkhairaat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab kepada Gus Sholah dan Menristekdikti, Mohammad Nasir serta beberapa tokoh NU lainnya. Sementara Habib Shaleh sendiri mendapatkan sertifikat sebagai narasumber dari seminar nasional tersebut.

Tak hanya itu, Habib Shaleh juga diperkenankan menziarahi makam Pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari dan makam Mantan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Gus Sholah dan tokoh NU juga menyampaikan salam kepada Ketua Utama Alkhairaat dan Ketua Umum PB. Alkhairaat. Saya sampaikan, Insya Allah jika Alkhairaat mengadakan seminar yang sama di waktu yang akan datang, maka akan mengundang pula para tokoh NU untuk hadir,” katanya.

Sementara Gus Sholah menyampaikan alasannya mengapa mengundang Alkhairaat dalam seminar tersebut.

Menurut cucu KH M Hasyim Asy’ari itu, Alkhairaat mempunyai lebih dari 1000 santri di Indonesia Timur sehingga sangat layak untuk dijadikan sebagai referensi dalam penerapan pendidikan Islam di Indonesia.

Selain Alkhairaat, juga turut diundang pimpinan organisasi keagamaan dan pengasuh pondok pesantren yang memiliki ciri khas masing-masing, antara lain Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur, Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan sebagai pesantren tertua di Jawa Timur.

Selain itu ada pula pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan Jawa Timur. (RIFAY/FALDI)