Komite 12 Delapan Puluh Tahun Lalu

Basri Amin

Oleh :

Basri Amin

Bacaan Lainnya

 

Sejarah Gorontalo (selalu) digerakkan di sebuah lokalitas. Di sebuah rumah sederhana, sebuah peristiwa besar terjadi. Melalui rapat terbatas di lingkaran GAPI (Gabungan Politik Indonesia), bertempat di kediaman Koesno Dhanoepojo di Ipilo (posisinya di depan Gedung Nasional), “Komite 12” dibentuk dengan tujuan menyikapi masa krisis yang serius di wilayah Gorontalo di awal 1940an.

Ketika itu, situasi kota Gorontalo di malam hari mencekam. Karena Pemerintah Hindia Belanda sudah membentuk Vernielings Corps (VC), yaitu bagian kepolisian yang akan membumi hanguskan kota Gorontalo sebelum ditinggalkan menjelang pasukan Jepang memasuki/menguasai sejumlah titik di Sulawesi. Pada Desember 1941, Perang Asia Timur Raya (Daitoa Senso) yang dikobarkan Jepang dengan secara tiba–tiba menyerang Pearl Harbour di Kepulauan Hawai dengan menghancurkan pasukan dan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat. Tak lama setelah itu, menyerang kilang minyak di Balikpapan pada 6 Januari 1942.

Di Gorontalo sendiri, VC sebagai pasukan khusus yang dibentuk Pemerintah Hindia Belanda di kota Gorontalo telah melakukan pembakaran gudang kopra di pantai Leato (Kampung Tenda) dan satu kapal motor “Kololio” milik pengusaha Lasahido di pelabuhan Kwandang.

Bagi GAPI, situasi ini sangat berbahaya. Untuk itu perlu penyelamatan dokumen partai-partai yang tergabung dalam GAPI dan penyiapan rakyat menghadapi situasi genting tersebut. Ada sebelas orang peserta rapat yang mewakili partai politik GAPI yang punya Cabang di Gorontalo. Untuk diketahui, GAPI di bentuk di Jakarta pada 1939 yang merupakan himpunan partai politik yang terkenal dengan semboyannya “Indonesia Berparlemen”.

Sikap GAPI merupakan perlawanan-banding kepada Pemerintah Hindia Belanda yang telah membentuk Volksraad (Dewa Rakyat) sejak 1920 tetapi tugasnya terbatas hanya memberi nasehat/ pertimbangan saja. Volksraad bukan parlemen. Sebaliknya, partai–partai politik yang bercita cita menuju Indonesia Merdeka sangat tidak puas dengan keberadaan Volksraad seperti itu. Melalui GAPI mereka kemudian mengumandangkan semboyan yang merupakan tuntutan, yaitu: “Indonesia Berparlemen”.

Adalah tradisi GAPI pada setiap rapatnya memajang di dinding tempat rapat, bendera merah putih yang ditengahnya bertuliskan “Indonesia Berparlemen”, semboyan politik yang selalu didengungkannya. Di Gorontalo, Ketua GAPI adalah Koesno Dhanoepojo (1913-1989). Beliau terkenal sebagai tokoh pergerakan nasional yang militan. Sebagai organisatoris yang berwawasan luas. Beliau dikenal juga sebagai seorang Guru. Istrinya juga tercatat sebagai Pejuang, bernama: Moen Hippy. Anggota BKR. Menerima Bintang Gerilya dan Satyalencana Perang Kemerdekaan I/II. Wafat 24 April 2006 (Eraku, 2007: 75-77). Koesno Dhanoepojo, ketika menjadi Gubernur Lampung, memilih tokoh “23 Januari 1942” yang dikenal sebagai  tokoh Pandu Gorontalo, (Kapt) Ibrahim Muhammad Alhabsy sebagai Sekretaris pribadinya.

Rapat GAPI pada 15 Januari 1942 malam penting dicatat karena pada awalnya yang hadir hanyalah 11 orang Tokoh Pergerakan/Politik Gorontalo guna merumuskan reaksi mereka terhadap kebijakan “bumi hangus” yang telah dirancang oleh VC tersebut. Rapat ini dipimpin langsung oleh Koesno Dhanoepojo. Mereka akan segera membentuk yang dinamakan Komite –terdiri dari para peserta rapat malam itu. Tapi di saat yang sama, diputuskan pula bahwa untuk “memimpin” Komite ini, menurut Ketua rapat/Ketua GAPI Cabang Gorontalo, “diperlukan seorang putera daerah pemberani yang sudah kita kenal”, demikian kata-kata Koesno, yaitu Nani Wartabone”. Peserta rapat pun langsung setuju dan bulat suara.

Tengah malam itu juga diutuslah salah seorang peserta rapat dengan bersepeda untuk mengundang Bapak Nani Wartabone di  Suwawa menuju Ipilo untuk bertemu dengan 11 orang lainnya –pimpinan kunci GAPI Gorontalo. Lebih kurang 40 menit kemudian Nani Wartabone tiba di tempat rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 malam hari, Jumat 16 Januari 1942.

Kepada Nani Wartabone, sejumlah fakta-fakta keadaan yang telah mereka kaji dan rapatkan diutarakan-tuntas oleh Koesno Dhanoepojo, sekaligus meminta kesediaan beliau menjadi Ketua Komite –yang akhirnya dinamai Komite 12–. Nani Wartabone pun tegas menyatakan kesediaannya. Terbentuklah Komite Duabelas 16 Januari 1942 yang diketuai Nani Wartabone, Wakilnya Koesno Dhanoepojo, bersama-sama Oe Boeloati (Muhammadiyah). Selebihnya adalah 9 (sembilan) orang berposisi sebagai anggota Komite. Termasuk 2 (dua) di antaranya mewakili PAI (Partai Arab Indonesia) Cabang Gorontalo, yaitu Hasan Badjeber dan Sagaf Alhasni. Adapula A.R Oeintoe (PERSIS) dan Usman Monoarfa (PSII).

Nama-nama Komite 12 selengkapnya adalah: Nani Wartabone, R.M. Kusno Dhanoepojo, Oe H. Buluati, A.R Ointoe, Usman Monoarfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G. Usu, M. Sugondo, R.M Dhanu Watio, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber.

Rapat bersejarah 16 Januari 1942 dini hari itu diakhiri dengan semua peserta (12) berdiri di depan meja yang hanya diterangi lampu “padamala” yaitu berupa botol dan kaleng susu yang berisikan minyak kelapa, lalu diberi sumbu dari kain atau tali. Setiap peserta memegang gelas berisi air putih dan meminumnya. Sambil mengucapkan Basmallah, Bismillahir Rahmanir Rahiem! Mereka pun bubar dengan berpelukan.

Rapat malam itu diakhiri dengan semua peserta (12) berdiri di depan meja yang hanya diterangi lampu “padamala” yaitu botol dan kaleng susu yang berisikan minyak kelapa, lalu diberi sumbu dari kain atau tali. Setiap peserta memegang gelas berisi air putih dan meminumnya. Sambil mengucapkan Basmallah, Bismillahir Rahmanir Rahiem! Merekapun bubar dengan berpelukan.

Adapun peristiwa “23 Januari 1942” TIDAK TERKAIT langsung dengan keberadaan Komite 12, karena tampaknya terdapat inisiatif yang dominan dari Nani Wartabone yang ternyata sudah menyusun sejumlah langkah infiltrasi yang hebat, sebagaimana terlihat dari upaya-upaya beliau  menjalin hubungan rahasia dengan Pendang Kalengkongan, Kepala Kantor Telegraf di Kantor PTT (Post, Telefoon en Telegraf) Gorontalo. Kantor ini sebagai obyek vital dijaga anggota Polisi dari suku Gorontalo dan Minahasa. Pendang Kalengkongan atas petunjuk Nani Wartabone (pribadi) meminta Pendang yang suku Minahasa itu “membina” para anggota Polisi itu.

Hubungan rahasia antara Pendang Kalengkongan dan Nani Wartabone sudah berjalan sebelum terbentuknya Komite Duabelas tersebut. Oleh Pendang semua informasi melalui telegraf itu disampaikan kepada Nani Wartabone. Dengan itulah semua Pak Nani beroleh “data lapangan” yang valid dalam menyusun gerakan heroiknya bersama kekuatan (rakyat) lainnya pada 23 Januari 1942, yang setiap tahunnya kita kenang dan hayati (?) hingga kini.

Catatan hari ini bersumber dari bahan-bahan sejarah yang disampaikan sesepuh Gorontalo Bapak Zain Badjeber, berdasarkan wawancara beliau dengan Bapak Hasan Badjeber (kakak iparnya), Bapak Oe. H. Baeloati dan Bapak Nani Wartabone secara langsung di Jakarta pada tahun 1978. Saya amat berterima kasih karena Bapak Zain Badjeber memberi saya amanah (sejumlah dokumen dan foto-foto) untuk dipelajari lebih lanjut, sembari berharap data yang lebih hidup bisa diperoleh dari memoar (?) para anggota Komite 12 tersebut. ***

Penulis adalah fellow di Lembaga Kajian Sekolah dan Masyarakat (LekSEMA)

E-mail: basriamin@gmail.com

Pos terkait