Sekolah Taman Siswa Ki Hajar: Konsep Pendidikan Tanpa 'Perintah dan Sanksi'

Sekolah Taman Siswa Ki Hajar: Konsep Pendidikan Tanpa 'Perintah dan Sanksi'

Fahri Zulfikar - detikEdu
Rabu, 10 Mei 2023 07:00 WIB
Pranata (1959) Ki Hadjar Dewantara : Perintis perdjuangan kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka. (Wikimedia Commons)
Foto: Pranata (1959) Ki Hadjar Dewantara : Perintis perdjuangan kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka. (Wikimedia Commons)
Jakarta -

Praktik pendidikan yang ada di Indonesia banyak ditemukan unsur perintah dan sanksi. Perintah untuk mematuhi aturan seperti seragam, sistem belajar, dan lainnya yang tidak berhubungan dengan proses berpikir. Sedangkan sanksi diberikan ketika tidak mematuhi sebuah aturan.

Praktik pendidikan semacam ini juga ditemukan dalam metode pengajaran kolonial. Sistem pendidikan kolonial yakni materialistik, individualistik, dan intelektualistik.

Sistem pendidikan kolonial tersebut kemudian dilawan oleh Ki Hajar Dewantara dengan pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia).


Mendirikan Sekolah Taman Siswa, Melawan Sistem Pendidikan Kolonial

Kala itu Ki Hajar Dewantara memang dikenal sebagai tokoh pendidikan dengan buah pemikiran yang cemerlang. Ia kemudian memiliki gagasan untuk mendirikan sekolah bernama Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Ki Hajar Dewantara mengubah metode pengajaran kolonial, dari sistem pendidikan "perintah dan sanksi (hukuman)" ke pendidikan pamong.

Menurutnya pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam laman Direktorat SMP Kemdikbud RI.

Sistem Pendidikan yang Humanis, Kerakyatan, dan Kebangsaan

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan yang mengena kepada bangsa Timur adalah pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan.

Maka, hal tersebut mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami pendidikan yang humanis ini dengan menggabungkan model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India).

Menurutnya, dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan bumiputera.

Lalu dari mengadaptasi dua sistem pendidikan itu, tercetuslah istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah laku guru agar menjadi panutan murid dan masyarakat.

Hal tersebut berujung menjadi pegangan utama Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:

Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh)

Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),

Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya)

Perilaku guru Taman Siswa ini diterapkan di semua jenjang Pendidikan TS, antara lain: Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan Taman Guru (Sarjana Wiyata).

Pegangan Ki Hajar ini adalah upaya manifestasi resistensi kultural karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan sikap guru dalam pendidikan kolonial.

Namun, apakah guru dan sistem pendidikan ini masih memiliki ide yang sama dengan konsep Ki Hajar Dewantara?



Simak Video "Kisah Jizun Pengembala Asal Lombok: Studi Animal Science sampai S3 di Amerika"
[Gambas:Video 20detik]
(faz/nwk)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia