Letjen Djaja Suparman, Jejak Kudeta, hingga Penjara Sukamiskin

ADVERTISEMENT

Letjen Djaja Suparman, Jejak Kudeta, hingga Penjara Sukamiskin

Sudrajat - detikNews
Jumat, 14 Okt 2022 11:50 WIB
Mantan Pangkostrad dan Dan Sesko ABRI Letjen TNI Djadja Suparman
Foto: Letjen (Purn) Djadja Suparman (Repro cover buku
Jakarta -

Saat lahir pada 11 Desember 1949, Momo dan Hj Aminah menamai anak lelaki mereka Tatang. Karena setiap kali ditimang-timang sering disapa 'Anak Radja', hingga usia balita Tatang kemudian popular dengan sapaan Djadja. Saat lulus SMA, Djadja menambahkan namanya Suparman yang merupakan plesetan dari tokoh superhero Superman. Nama Tatang pun kemudian seperti terlupakan, dan berganti menjadi Djadja Suparman.

"Sebagai anak polisi setingkat kopral, sang Superman selalu menjaga dirinya tidak terlibat hal-hal yang menyimpang dan bermasalah," demikian secuplik catatan harian Letjen TNI Djadja Suparman dalam buku 'Jejak Kudeta 1997-2005'.

Beberapa hari setelah buku itu terbit, saya bersama rekan Pasti Liberti Mappapa menjumpai Djadja di kediamannya, kawasan Pondok Indah, 13 Maret 2013. Ada perasaan tak nyaman yang sempat menyelinap saat begitu menjejakkan kaki di teras rumahnya. Maklum, mantan Panglima Kostrad itu punya banyak stigma negatif.

Tak cuma dicitrakan sebagai jenderal killer, dia juga disebut berada di balik semua kerusuhan sosial berbau SARA yang terjadi di berbagai pelosok negeri dalam kurun waktu 1997-1999. Bahkan, saat Bom Bali I meledak, dia, yang tengah berada di Vietnam, pun sempat dikaitkan sebagai aktor intelektualnya.

Nyatanya saat membuka pintu menyambut kami, Djadja Suparman tak seseram yang dicitrakan. Mengenakan kemeja putih lengan panjang dipadu dasi merah marun, serta pantalon dan sepatu serba hitam mengkilat, dia terlihat perlente.

Letjen (Purn) Djadja Suparman (Foto: dok. Istimewa)Foto: Letjen (Purn) Djadja Suparman (Foto: dok. Istimewa)

Kala itu, di usia 64 tahun dan masih menjadi suami Connie Rahakundini Bakrie yang kini popular sebagai pengamat militer, tubuh Djadja terlihat six-pack berkat kegemarannya berenang di halaman belakang rumah, dan lari sejauh 10 kilometer setiap hari. "Saya juga tak pernah berpikir negatif, makanya tetap segar dan bugar," ujar Djadja tersenyum simpul.

Sekitar dua jam, kami berbincang seputar berbagai stigma yang dialamatkan kepadanya, ajakan kudeta terhadap Presiden BJ Habibie oleh para tokoh sipil, hingga materi dan alasannya menerbitkan buku tersebut. Maklum, selain Djadja kala itu terbit juga sejumlah memoar dari para pensiunan jenderal. Mantan Wakil KSAD Letjen Kiki Syahnakrie, misalnya, menerbitkan 'Timor Timur The Untold Story', mantan Kepala BIN Jenderal AM Hendropriyono menulis Operasi Sandi Yudha (2013), mantan KSAU Marsekal Chappy Hakim menulis 'Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia' dan 'Fenomena Pompa Bensin'.

Terkait anggapan seolah dia berada di balik FPI, Laskar Jihad, dan kelompok radikal lainnya, Djadja Suparman tegas menampik. Sebelum menjabat Pangdam Jaya menggantikan Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoedin, katanya, FPI atau Laskar Jihad sudah berdiri dan aktif.

Banyak organisasi terselubung dan bergerak di bawah tanah pada masa Orde Baru, lanjut Djadja, kemudian muncul secara legal pada masa perubahan. Tapi tidak disertai dengan penegakan hukum yang tegas dan adil. Jadi tidak ada lagi pengertian tak tersentuh oleh hukum, "Masalahnya mau atau tidak, berani atau tidak?," tegas Djadja.

Setelah pensiun dari TNI, lelakih kelahiran Gandasoli - Sukabumi itu lebih suka bergerak di bidang sosial. Dia memimpin organisasi kemasyarakatan Pejuang Siliwangi Indonesia, yang berdiri sejak 1926. Juga mendirikan Koperasi Primer Nasional untuk mendukung kepentingan organisasi, serta mendirikan lembaga kajian Institute of Defense and Security Studies. Untuk mendukung semua aktivitasnya itu,

Djadja mengaku berbisnis dengan pemodal asing di bidang pertanian dan pengolahan hasil produksi. Kenapa tak terjun ke dunia politik? Dia mengaku pernah ditawari untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI tapi menolak. Djadja merasa tidak mampu karena harus lewat partai. "Saya tidak mampu mengongkosi," ujarnya dengan senyum sinis.

*

Berbulan kemudian saya mendengar kabar Letjen TNI Djadja Suparman divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Alumnus AKABRI 1972 itu dinyatakan bersalah mengkorupsi uang negara sebesar Rp 13,3 miliar saat menjabat Pangdam Brawijaya, Jawa Timur.

Majelis hakim yang diketuai Letnan Jenderal Hidayat Manao menyatakan Djadja tidak bisa mempertanggungjawabkan uang negara Rp 13,3 miliar dari operator jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) pada 1998 silam. Sebaliknya Djadja bersikeras bahwa apa yang dia perbuat bukan kategori korupsi. Alasannya uang PT CMNP merupakan bantuan natura, bukan ganti rugi atas pelepasan aset tanah Kodam seluas 8,8 hekter di Kelurahan Dukuh Menanggal, Surabaya.

"Uang Rp 13,3 miliar itu saya pakai buat mengamankan Jawa Timur agar tidak tertular kerusuhan Mei 98 di Jakarta," kata dia.

Menurut Djaja, uang itu dipakai untuk pengadaan kendaraan operasional Korem dan Kodim, serta meningkatkan kesejahteraan prajurit. Pos terbesar dari pengeluaran itu, kata dia, buat pembinaan teritorial. Tujuannya agar masyarakat solid dan tak mudah terprovokasi bertindak anarkistis.

Dinilai sukses mengamankan Jawa Timur, oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto Djadja ditarik ke Ibu Kota sebagai Pangdam Jaya menggantikan Sjafrie. Di Jakarta dia juga mengklaim berhasil meredam gejolak-gejolak yang timbul pasca-lengsernya Presiden Soeharto. "Tapi negara tak pernah mengapresiasi, saya malah dibeginikan," ujar Djaja kepada pers kala itu.

Atas putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, September 2013, Djadja mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Tapi pada 19 April 2015 MA menolak upaya Djadja. Sekalipun demikian, dia tak langsung dieksekusi. Surat panggilan eksekusi sebagai pelaksanaan atas putusan MA baru keluar enam tahun kemudian, 13 Mei 2022.

Merasa tak diperlakukan adil, Djadja yang pensiun dengan jabatan terakhir Inspektur Mabes TNI menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Jokowi, 5 Juli 2022. Tapi istana, lewat Kepala Stap Kepresidenan Moeldoko menyatakan tak bisa mencampuri urusan pengadilan. Hingga Kamis, 13 Oktober 2022, muncul kabar bahwa Letjen Djadja Suparman telah dieksekusi ke Lapas Sukamiskin, Bandung.

Menilik ekspresinya dalam foto yang beredar, sepertinya Letjen Djadja Suparman ingin menunjukkan jiwa kesatria meskipun proses hukum yang dijalaninya menyisakan tanda tanya. "Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara...," begitu Djadja pernah berkata.

Lihat juga Video: Lukas Tumiso, Eks Tapol Penyintas Pulau Buru

[Gambas:Video 20detik]




(jat/rdp)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT