Masa kecil…" />

Jamil Azzaini: Proposal Hidup untuk Sukses Mulia

author : Agus Surono
Friday, 25 February 2011 - 03:01 pm

Share |

"Hidup seperti main film. Butuh skenario alias proposal. Andalah pemain utamanya," tegas Jamil Azzaini, salah satu motivator yang terkenal dengan konsep Sukses Mulia-nya.

Masa kecil Jamil jauh dari kecukupan. Ia pindah ke Lampung dari Purworejo karena ayahnya yang bekas kepala desa diterima bekerja sebagai satpam dan guru mengaji di perkebunan PTP X (kini PT Perkebunan Nusantara VII). Perkawanan dengan anak-anak asisten kebun membuat Jamil bisa nonton televisi, dan tahu fasilitas di sana: ada rumah dinas, teve, mobil dinas, dan sebulan sekali jalan-jalan ke kota untuk belanja danplesiran. Irikah Jamil? Ya, tapi iri positif.

Walau menjadi anak keluarga termiskin nomor dua di situ, keinginannya melambung jauh. Setiap kali membeli buku tulis, di lembar pertama ia menulis:Nama saya Jamil, cita-cita insinyur pertanian. Seperti Pak Asisten!Rumahku besar, ada mobil Jeep. Istriku cantik berambut panjang. Aku masuk teve dan bersalaman dengan Pak Harto. Aku juga menulis di koran. Uangku banyak, bisa pergi haji bersama Bapak dan Mamak. Aku tak mau miskin lagi, gak enak karena sering dihina. Itulah "Proposal Hidup" bocah kelahiran Purworejo 1968.

Saat gurunya bertanya cita-cita setiap murid, dengan lantang Jamil menjawab: "insinyur pertanian!" Seisi kelas gemuruh menertawai. Termasuk sang guru. Karena tak tahan diejek, ia tonjok si pengejek. Sontak yang lain mengeroyok. Kepala Jamil berdarah dikepruk bambu, meninggalkan pitak sampai sekarang. Sejak itu, Ahmad Zaini, sang bapak yang hanya lulusan Sekolah Rakyat membawa Jamil ke teman-temannya, "Ini anak saya, calon insinyur pertanian." Tindakan itu menjadi motivasi tersendiri buat Jamil.

Jungkir balik Jamil mewujudkan cita-citanya itu. Meski ia jadi bintang di sekolah tak lantas membawanya dekat ke cita-citanya tadi. Selepas SD, Jamil masuk satu-satunya SLTP di situ, SMP Tri Bhakti Utama. Namun ia harus membiayai sendiri sekolahnya. Selesai salat Subuh ia menderes karet beku (lateks) sampai pukul 07.00. Sebulan ia digaji Rp 4.000,-. Ketika itu SPP sekolah Rp 1500,-. Lalu ia pergi ke pasar, membeli makanan ringan untuk dijual di SD dekat rumah. 

Habatnya, ia sering ditunjuk menggantikan guru yang absen lantaran selalu jadi ranking pertama. Jamil pun amat menikmati berdiri di depan kelas, membagi ilmu. "Saya sering berdoa, semoga guru tidak masuk, supaya saya boleh mengajar," Jamil tertawa. Mantera ajaib (magic word) di setiap lembar pertama buku tulisnya seperti memberi kekuatan ketika harus mengayuh sepeda ke SMAN Way Halim di Bandar Lampung. Berjarak 23 km dari gubuknya, berarti sehari 46 km ia mengontel pedal. Tak heran, setiba di sekolah baju seragamnya kuyup oleh keringat. Kalau capek, ia menumpang truk pengangkut pasir, kayu, atau barang dagangan lain yang kebetulan lewat depan sekolah. 

Kata-kata Bapaknya terus menyemangati, "Kamu harus terus belajar. Kalau kamu punya ilmu, nanti kamu akan dijaga oleh ilmu itu. Kalau punya harta, malah sibuk menjaga harta." Jamil menjawabnya dengan prestasi. Ia juara berbagai lomba, baik di tingkat sekolah maupun antarsekolah. Juara pidato, karya ilmiah, cerdas cermat, siswa teladan, simulasi P4, baris berbaris, dan sederet lainnya. 

Ketika ia diterima di Institut Pertanian Bogor tanpa tes selulus SMA (1987), tak lantas membuat hatinya berbunga-bunga. Ia tak punya uang buat mengurus ke Bogor. Berdua sang Bapak, Jamil mendatangi orang terkaya di desa untuk pinjam uang. Namun apa yang didapat? Mereka malah dihina, "Kalau miskin tak usah panjang angan-angan. Baru mau kuliah sudah pinjam uang, apa bertahun-tahun selanjutnya mau pinjam uang terus?"

Jamil menangis. Dalam perjalanan pulang, Bapak menghentikan genjotan sepeda, lalu memeluknya, "Kamu harus jadi insinyur pertanian, biar tak dihina." Singkat kata, untuk mengganjal biaya hidup dan kuliah, Jamil harus berjualan koran, buku, dan kurma dari pintu ke pintu. Ia juga membuka usaha rental komputer, katering, dan kerja-kerja serabutan lainnya.

Tahun 1992, si pitak akhirnya jadi insinyur pertanian. Mimpi di halaman pertama buku tulisnya telah terwujud. Impian mengejar gelar S2 di IPB pun tergapai. Jika ketika S1 indeks prestasinya tak lebih dari 3, saat lulus S2 semua matakuliahnya bernilai A, hanya satu yang B. Ia pun masuk teve, menulis di koran, terkenal, bahkan naik haji.

Apa rahasia Jamil mewujudkan semua mimpinya? Ia menyebut tiga hal: bintang terang, lingkungan positif, dan berani ambil risiko. Bintang terang adalah cita-cita yang harus dicapai. Target harus ditulis, terus menerus, untuk membakar semangat. Sedangkan lingkungan positif memberi kekuatan, jadi hindari lingkungan negatif yang setiap hari melemahkan semangat mencapai bintang terang. Sementara berani mengambil risiko justru mengajarkan kita tahu banyak cara berkelit dari kegagalan.

Masih ada lagi resep Jamil mencapai sukses, yakni rumus motivasi dalam menggeber ketiga langkah optimalisasi diri. Ia katakan, "Motivasi adalah TB (To Be) dikalikan TH (To Have) dikalikan V (Valensi)." TB adalah keinginan 'menjadi', TH adalah keinginan 'memiliki' (materi), dan V adalah kemampuan menggerakkan potensi intelektual, emosional, dan spiritual. Mereka yang mementingkan TH menurut Jamil seorang profesional. Sedangkan yang mementingkan TB dan V pasti seorang expert (ahli) yang meyakini TH akan datang dengan sendirinya bila TB dan V dilipatgandakan.


Makin menarik saat ia bicara tentang Tabungan Energi Positif, yang akan dicairkan dalam bentuk 4-ta (harta, takhta, kata, dan cinta). Harta adalah memiliki kemampuan mengelola uang yang baik. Takhta adalah siap memikul amanah. Kata adalah ucapannya bertuah, lisannya ditunggu orang, ceramahnya menyenangkan, nasehatnya mengena, doanya mustajab, menyadarkan orang lain, tulisannya dibaca orang, dsb. Cinta adalah popularitasnya naik, dipuja, pengikutnya banyak, relasi meningkat, teman yang loyal, dsb.

Namun, Jamil mengingatkan, "Jika 4-ta cair dari tabungan energi negatif, bersiaplah menuju kehancuran."

Share |
comments powered by Disqus
Login, Not yet registered
Kompas Gramedia Magazine copyright@2013