Close
 
Jumat, 4 Maret 2016   |   Sabtu, 24 Jum. Awal 1437 H
Pengunjung Online : 1.698
Hari ini : 5.702
Kemarin : 65.905
Minggu kemarin : 665.993
Bulan kemarin : 2.806.327
Anda pengunjung ke 99.900.633
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Artikel

05 april 2008 07:52

Penanggalan Peladang Dayak Bahau di Kalimantan Timur dan Lamaholot-Flores Timur di Nusa Tenggara Timur: Tinjauan Kearifan Lokal Antarbudaya

Penanggalan Peladang Dayak Bahau di Kalimantan Timur dan Lamaholot-Flores Timur di Nusa Tenggara Timur: Tinjauan Kearifan Lokal Antarbudaya

Oleh: Inyo Yos Fernandez

Abstrak

Penanggalan peladang etnik Dayak Bahau-Busang (DBB) di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur mempunyai ciri khas yang berbeda jika dibandingkan dengan penanggalan peladang etnik Lamaholot Pulau Solor (LPS) di Kabupaten Flores Timur. Kekhasan masing-masing daerah dengan perbedaan lingkungan alam geografis tempat para peladang melangsungkan aktivitas berladang mereka, merupakan faktor utama penyebab perbedaan itu. Perbedaan dalam kearifan lokal itu tidak terlepas pula dari perbedaan pandangan dunia dan tanggapan terhadap lingkungan ekologisnya.

Komunitas peladang DBB memiliki penanggalan yang berdasarkan pada siklus rotasi bulan dengan nama-nama bulan yang bervariasi mulai dari timbulnya bulan pertama sampai bulan purnama yang merupakan perputaran pertama. Setelah bulan purnama, mulai beralih perputaran kedua sejak purnama menyusut perlahan hingga bulan ke 30 hingga mulai timbul bulan baru lagi. Dalam penanggalan peladang DBB, terdapat 30 nama bulan sesuai dengan wujud ukuran dan bentuknya.

Komunitas subetnik LPS mempunyai pandangan kosmologis dan eksistensial. Mereka melihat waktu sebagai bersifat siklus-spiral sekaligus bersifat fungsional, sehubungan dengan aktivitas peladangan mereka. Penamaan bulan dalam setahun mengikuti aktivitas berladang itu seperti nama yang lazim digunakan oleh para peladang. Penanggalan peladang subetnik LPS pada dasarnya diselaraskan dengan siklus rotasi matahari atau sejalan dengan penanggalan tahun masehi.

1. Pendahuluan

Komunitas subetnik Dayak Bahau-Busang (DBB) di Kabupaten Kutai Barat, bermukim di dataran rendah daerah aliran sungai (DAS) Mahakam, di Kecamatan Long Pahangai dan Long Tuyuq, yang terletak di sekitar jeram dan riam Mahakam yang terkenal dahsyat dan penuh tantangan bagi olah raga arung jeram. Mata pencaharian penduduk DBB sejak semula adalah berladang berpindah-pindah, namun dewasa ini sudah banyak yang beralih ke cara berladang menetap. Berkat pengaruh lingkungan ekologisnya yang diliputi hutan rimba dan sungai, penduduk DBB memiliki khazanah aset budaya yang kaya dan khas sesuai dengan keadaan ekologi dan sumber daya alamnya yang murah dan ramah.

Bahasa DBB termasuk salah satu dialek dari sejumlah dialek bahasa Bahau,[1] di daerah transisi sepanjang DAS yang terletak di antara daerah hilir dan hulu Mahakam. Suku DBB semula berasal dari daerah Sungai Wahau, yaitu anak Sungai Kayan di Wilayah Apo Kayan. Leluhur para ahli waris budaya DBB berasal dari Apo (“dataran tinggi”) Kayan, sebuah lokasi yang dipandang menjadi sumber tradisi hampir semua suku Dayak lain[2] di dataran rendah DAS Mahakam. Salah satu produk folklore yang terkenal di daerah ini adalah upacara Kayau (Kayo). Upacara adat yang pesertanya terdiri dari kaum lelaki DBB semata. Upacara itu mengingatkan pada salah satu budaya khas Dayak yang populer, yaitu “mengayau” (Selato, 1989). Walaupun dalam praktik tidak ada lagi, namun ritual itu masih dipelihara sebagai relik budaya warisan para leluhur yang diungkapkan melalui perilaku verbal dan non verbalnya. Selain itu, upacara Dangai (Dange) merupakan suatu ritual syukuran pascapanen (Sombroek, 1980), yang semua anggota komunitas DBB dapat menjadi pesertanya dan merupakan ritual adat yang meriah karena luapan kegembiraan hati atas hasil panen yang dianugerahi Sang Wujud Tertinggi.

Para peladang DBB sangat menggantungkan kehidupannya pada ladang garapannya, sehingga sangat peduli dan beradaptasi dengan situasi ekologis di sekitarnya. Tidak dapat diingkari bahwa dunia mereka adalah hutan, sungai, ladang, hewan, tumbuhan yang menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Selain itu, mereka juga mengenal makhluk lain dari alam dunia supernatural seperti roh-roh dari dunia atas selain tempat wujud tertinggi. Menurut pandangan budaya setempat, roh-roh yang berasal dari dunia lain[3] selain dunia mereka, termasuk roh-roh penguasa hutan dan sungai, harus disapa di saat akan pergi berburu atau menangkap ikan. Demikian pula, ketika mereka akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perladangan.

Dalam tulisan ini, selain komunitas subetnik DBB, akan ditinjau pula komunitas etnik Lamaholot yang berdiam di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang pada dasarnya dapat dibedakan atas subetnik Flores Timur Daratan dan Kepulauan Solor. Sub-subetnik Lamaholot mendiami wilayah kepulauan Solor yang meliputi daerah subetnik Lamaholot Pulau Solor (LPS), Adonara, dan Lembata.

Bagian terbesar anggota komunitas subetnik LPS hidup sebagai peladang dan hingga kini masih ditemukan di desa-desa di Kecamatan Solor Barat dan Solor Timur. Di masa lampau, Pulau Solor dikenal sebagai daerah penghasil kayu cendana yang terkenal. Namun, dewasa ini tidak dihasilkan lagi kayu cendana kecuali yang masih ditemukan di Pulau Timor.

Pada umumnya, terdapat pandangan yang sama dengan suku DBB tentang adanya tiga bagian dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia seberang. Menurut mereka, dunia atas adalah “di atas di tengah langit” (teti kelen tukan), dunia tengah adalah bumi dan alam sekitarnya (tana ekan), dan dunia seberang adalah “dunia di seberang sana” (lau tonen-baya). Ketiga dunia tersebut. Membentuk kesatuan relasi dalam susunan berlapis tiga, yang di dalamnya dunia manusia menjadi porosnya. Terdapat hubungan yang teratur oleh norma-norma yang terjalin erat antara dunia manusia dengan dunia ilahi dan dunia arwah para leluhur.

Untuk menjalani kehidupan diperlukan norma-norma yang mengatur hubungan antarmanusia dalam dunianya dan relasinya dengan dunia lain, sebagaimana ditemukan pada adat istiadat LPS. Adat budaya berladang yang selalu terjadi pada setiap tahunnya menyebabkan para peladang harus menghadapi lagi guratan pengalaman yang telah diwariskan dari leluhur mereka.

Di antara berbagai norma adat istiadat yang ada dalam kehidupan berladang LPS, penanggalan komunitas peladang merupakan sebuah relik kebudayaan lokal yang didukung oleh para pendukung budayanya. Kearifan lokal itu merupakan pedoman dalam menyiasati keterbatasan kondisi lingkungan alam geografis yang ada dengan daya juang yang memadai agar dapat mencapai keberhasilan dalam menjalani kehidupan sebagai peladang sehari-hari.

2. Penanggalan Peladang DBB, di Kutai Barat, Kaltim dan LPS di Flores Timur, NTT

Penanggalan peladang kedua etnis pribumi di Kalimantan Timur dan di Nusa Tenggara Timur yang diajukan dalam tinjauan kearifan lokal antarbudaya ini memperlihatkan bahwa walaupun sama-sama merupakan masyarakat peladang, namun terdapat kekhasan masing-masing budaya dalam beradaptasi dan menanggapi alam geografis yang ada di sekitarnya.

Dengan demikian, terdapat perbedaan dalam penanggalan dunia peladang kedua etnik itu. Berikut ini akan diuraikan secara berurutan penanggalan peladang subetnik Dayak Bahau-Busang di Kalimantan Timur dan subetnik Lamaholot-Pulau Solor di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

2.1 Penanggalan Peladang DBB di Kutai Barat, Kalimantan Timur

Dalam melakukan aktivitas perladangan, para peladang suku DBB yang hidupnya sehari-harinya berhadapan dengan rimba dan sungai terjadi adaptasi dengan lingkungan kehidupan mereka. Karena itu, mereka lalu menata kehidupan agar dapat sesuai dengan alam sekitarnya. Berdasarkan pengalaman hidup dalam menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan alam, maka terciptalah pedoman atau norma kehidupan kolektif yang dikenal sebagai tata adat istiadat setempat yang perlu dipatuhi oleh semua anggota komunitas mereka.

Norma adat istiadat itu dimaksudkan untuk mengatur kehidupan agar selalu terjamin hidup bermasyarakat yang rukun, aman, damai, dan sejahtera. Pada dasarnya, norma-norma itu harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar karena mengandung resiko dapat terkena sanksi adat. Para pelanggar adat bukan hanya akan mendatangkan bencana atau kemalangan bagi dirinya tetapi juga anggota kelompoknya dalam kehidupan komunitas mereka. Namun, jika norma adat itu dipatuhi maka dapat mendatangkan kebahagiaan atau keuntungan (kemujuran). Salah satu sarana yang berguna dalam kehidupan peladang yang terkait dengan norma adat warisan leluhur adalah pedoman untuk memelihara tatanan hidup dan beradaptasi dengan alam sekitarnya, yang berwujud penanggalan peladang warisan budaya para leluhurnya. Yang dimaksud dengan penanggalan di sini adalah patokan urutan waktu sehubungan dengan siklus berladang, yaitu waktu yang tepat untuk melaksanakan aktivitas berladang dan kehidupan sehari-hari yang terkait dengan kegiatan itu. Setiap warga komunitas perlu mengetahuinya dan dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka bersama.

Sesuai dengan penanggalan Suku DBB terdapat sembilan nama bulan yang sebenarnya berlaku sesuai dengan wujud fisik bulan dari yang berukuran kecil (hampir tidak kasat mata) mengalami perubahan dari waktu ke waktu hingga yang terlihat secara kasat mata dan sampai menjadi bulan purnama. Nama setiap bulan itu adalah sebagai berikut: 1) Tubuq, 2) Kelehivai, 3) Ipan lejau, 4) aring deng, 5) matan deng puun, 6) matan deng uq 7) luung payang, 8) beliling jayaa, 9) kamad, dan 10) patak.

Sesuai dengan siklus (daur) peredaran bulan sejak awal timbulnya bulan pertama (tubuq uq) hingga munculnya bulan purnama (kamad) dan sejak bulan purnama penuh berangsur mundur ke ukuran yang perlahan beralih dari ukuran yang besar (ayaq) beralih ke ukuran yang kecil (uq) lagi hingga bulan memulai siklusnya yang baru lagi selama 30 hari.

Pada setiap nama bulan itu, hampir selalu terdapat unsur yang menunjukkan jenis ukuran bulan pada saat mulai dengan "kecil" (uq) lalu "besar" (ayaq), terkecuali pada bulan 7, 8, dan 9. Pengecualian itu berkaitan dengan tenggat masa tabu[4] (pantang) yang harus dipatuhi menurut pandangan masyarakat sesuai dengan kebiasaan mereka untuk beradaptasi dengan keadaan alam semesta. Selain itu, terkecuali juga untuk bulan ke 15, yaitu purnama (kamad), dan bulan ke 30 (patak), yaitu saat peralihan ke bulan baru.

Setelah “putaran pertama" berakhir (dengan urutan bulan berukuran kecil ke ukuran besar), hingga posisi bulan mencapai puncaknya pada bulan ke 15 "purnama (kamad), selanjutnya mulailah perhitungan kembali dengan "putaran kedua" pada bulan ke 16 (beliling jayaa ayaq) diikuti urutan (beliling jaya uq). Kemudian memasuki bulan ke 18 (luung pajang ayaq) dan berikutnya bulan ke 19 (luung pajang uq). Demikian seterusnya, hingga mencapai bulan ke 29 dan bulan ke 30 sebelum beralih ke rotasi siklis berikutnya.

Patut dicatat nama bulan 5 dan 6 (ipan lejau) berarti ”gigi harimau”. Dimulai dengan nama bulan berukuran "kecil" seperti "gigi harimau kecil" (ipan lejau uq), kemudian diikuti “gigi harimau besar” (ipan lejau ayaq). Nama harimau itu dikaitkan dengan bentuk bulan yang runcing kokoh dianalogikan dengan gigi harimau. Adapun penggunaan nama hewan itu bersifat metaforis karena bertalian dengan cerita mitos[5] yang mengisahkan kesaktian hewan buas itu.

Berikut ini disajikan siklus rotasi bulan menurut pandangan Suku DBB.

 

2.2 Sistem Penanggalan Peladang Subetnik Lamaholot Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur NTT

Keadaan geografis dan topografis Pulau Solor yang bergunung dan berbukit­-bukit sejak lama telah menawarkan peluang kepada penduduk di sekitarnya untuk menggarap ladang mereka yang tersebar di kaki gunung atau lereng-lereng bukit guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, karena curah hujan yang terbatas pada musim penghujan memungkinkan para peladang hanya dapat menggarap lahan ladang mereka secara intensif, agar dapat bertarung dalam daur hidup alam tropis yang gersang, yaitu dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan ekologi di sekitarnya. Kearifan lokal yang telah diwariskan dari zaman leluhur telah menetapkan norma-norma yang harus dipatuhi dalam melaksanakan aktivitas hidup sebagai peladang. Meskipun masa kemarau panjang selalu menjadi tantangan yang tetap, mereka tidak berkecil hati karena dengan mematuhi norma adat istiadat setempat curah hujan yang terbatas itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Dalam hal waktu, masyarakat Solor mempunyai pandangan kosmis dan eksistensial[6]. Mereka melihat waktu bersifat siklus-spiral sekaligus bersifat fungsional, sehubungan dengan aktivitas perladangan mereka. Penamaan bulan dalam setahun mengikuti aktivitas berladang itu, seperti nama yang lazim digunakan oleh para peladang. Di antaranya ada bulan yang diberi nama wulan beolan (Agustus), kayo karen (September), kolon gae tana (Oktober), nuba baken (November), toban nika (Desember), mepik (Januari), maek (Februari), kewaek raen (Maret), kebarek raen (April), kelake raen (Mei), sorit (Juni), dan berauk atau wuqun nuran (Juli).

Masa "membuka lahan" di ladang (wulan beolan) berlangsung sejak "membabat pohon" di hutan (tineq man), atau "menggarap ladang lama" (gotan keledan), saat mengerjakan "kebun kolektif kelompok besar" (nika leun) atau "kebun kolektif kelompok kecil" (nika doren) hingga "membakar kekayuan di kebun" (seruq man) dan "pembersihan lahan" (putun man). Kemudian dilanjutkan dengan masa "gugurnya dedaunan" (kayo karen) dan masa "burung mengais tanah" (kolon gae tana) masih merupakan masa persiapan lahan dan kelengkapannya sebelum tiba masa "bertanam" (nuba baken). Batas masa itu dinamakan “jatuhkan alat untuk menanam" (toban nikan). Pada masa tanaman mulai dibenamkan di tanah hingga mulai tumbuh "menjarum" (tawa nuan) terdapat masa tabu atau pantang, karena saat itu berlangsung upacara adat untuk memohon berkat agar tanaman bertumbuh baik-baik. Ketika datang saatnya "menyiangi" (mepik), ladang dibersihkan dari rerumputan yang mengganggu tanaman. Masa selanjutnya merupakan musim penghujan yang mencapai puncaknya sehingga sering terjadi "banjir dan tanah longsor" (maqe). Demikianlah ketika tiba masanya para "wanita mencicipi hasil sulung" (kewae raqen)[7] ladang mereka, menyusul "para gadis" pun tidak ketinggalan (kebarek raen). Masa itu berlangsung "pengambilan terbatas jagung muda" untuk makan bersama bagi kelompok kecil yang bekerja pada kebun kolektif (murun belek), yang juga berarti kaum lelaki (kelake raqen) turut serta menikmati. Tiba waktu "memetik panen dan menyimpannya" (sorit) ke dalam lumbung. Pada saat itu dilakukan upacara syukuran pascapanen untuk bergembira bersama menikmati pemberian dari Wujud Tertinggi (lera wulan tana ekan), "matahari­ bulan dan ibu pertiwi". Bulan terakhir dengan perayaan syukur dan upacara “makan hasil ladang baru” dinamakan berauk atau wuqun nuran.

3. Penutup Dan Kesimpulan

Demikianlah tinjauan terhadap penanggalan peladang subetnik DBB di Kabupaten Kutai Barat jika dibandingkan dengan yang berlaku pada peladang subetnik LPS di Kabupaten Flores Timur. Tampak bahwa walaupun sama-sama menjalani budaya peladang tetapi yang tampak pada kedua etnik di Nusantara itu perbedaan yang cukup signifikan karena penanggalan peladang DBB berlangsung sesuai dengan siklus rotasi bulan dari waktu ke waktu, tetapi penanggalan peladang LPS mengikuti siklus rotasi yang dapat disejajarkan dengan siklus rotasi matahari sesuai dengan penanggalan tahun masehi. Perbedaan yang dapat diamati pada peladang subetnik DBB dengan peladang subetnik LPS tampak terkait dengan adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan ekologisnya masing-masing dan sesuai dengan pandangan hidup mereka tentang dunia kosmologinya. Situasi dan kondisi lingkungan ekologis di belahan Nusantara yang dekat pusat Katulistiwa itu memiliki keadaan alam geografis yang sangat berbeda dengan daerah Nusa Tenggara Timur yang secara umum alam geografisnya terletak pada wilayah yang kurang curah hujan dan musim kemarau yang panjang. Hal itu berdampak pada perbedaan cara menanggapi lingkungan alam sekitarnya dalam melahirkan aset budaya yang khas dan jelas berbeda dengan alam geografis Kalimantan Timur yang kaya dan ramah.

Daftar Pustaka

  • Bao, Orin. 1986. Tata Berladang Tradisional Suku Bangsa Lio. Ende: Nusa Indah.
  • Fernandez, Inyo Yos. 2007. "Bahasa-bahasa Kerabat Sub-subetnik Dayak di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur". Makalah yang disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Angkatan III Program Beastudi Antarbudaya/ Antarregional pada Pusat Studi Asia pasifik UGM tgl. 7-8 Desember 2007.
  • Selato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Engang. Jakarta: Elf Aquitane Indonesia.
  • Sombroek, H. P. MSF. 1980. Dangei: Een Busang Dajak Plechtigheid. Ritan Baru. Mimeograf.
  • ---------. 1986. Kamus Bahasa Bahau Busang-Indonesia-Belanda. Mimeograf.
  • Suban Hayon Y. 2005. "Etika dan Moralitas dalam Kehidupan Publik: Berdasarkan Kearifan Lokal Budaya Lamaholot". Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Kebudayaan Lamaholot sebagai Pilar Pembanguan di Kabupaten Flores Timur, Larantuka, Flores, tanggal. 21-23 Maret.

_____________________

Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional “Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara”, dalam rangka menyambut Dies Natalis Ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM yang diselenggarakan pada tanggal 23 Februari 2008 di Auditorium FIB-UGM Yogyakarta.

_____________________

Inyo Yos Fernandez, adalah Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.

Kredit foto : bpid.samarinda.go.id



[1] Belum dilakukan kajian khusus terhadap bahasa Bahau dan dialek-dialeknya sejauh ini. Namun, kamus bahasa Bahau Busang yang disusun oleh Sombroek (1986) merupakan kamus tribahasa (dalam bahasa Busang, Indonesia, dan Belanda) yang berharga.

[2] Bahasa-bahasa kerabat di daerah dataran rendah DAS Mahakam termasuk subkelompok Dayak Mahakam (Dayak Mekaam), sebagai kontras dari subkelompok Kayan Medalam di Kalimantan Barat (Fernandez, 2007)

[3] Kebanyakan suku-suku Dayak percaya bahwa masih ada dua dunia selain dunia mereka (dunia manusia). Dua dunia yang lain adalah dunia atas yang didiami wujud tertinggi, dan dunia bawah yaitu dunia arwah. Hal serupa juga terdapat di kalangan pribumi suku asli Suku Lamaholot, di Flores Timur. 

[4] Dalam pandangan masyarakat DBB pada bulan 4 dan 5 yang ditandai dengan kata deng yang berarti “jangan”, terdapat larangan untuk bekerja seperti mengerjakan ladang, membangun rumah atau membuat perahu, bahkan mengumpulkan rotan di hutan pun dilarang. Jika terjadi pelanggaran atas tabu pada bulan yang disebut juga "bulan panas" itu maka dapat terjadi kegagalan dalam hasil panen, konflik dalam keluarga sehingga terjadi perpisahan, pasangan suami istri mandul, dan sebagainya.

[5] Walaupun sekarang secara fisik harimau telah lenyap karena kulitnya (seperti kulit macan pohon) biasa menjadi korban untuk dijadikan bahan busana adat (sebagai lambang kesatriaan) bagi para Dayak, namun banyak di antara mereka yang percaya bahwa harimau masih hidup secara spiritual, karena suara gaibnya masih terdengar dan jejaknya masih dapat dikenal oleh para pemburu di tengah hutan atau di pinggir sungai.

[6] “Etika dan Moralitas dalam Kehidupan Publik: Berdasarkan Kearifan Lokal”. (Suban Hayon Y. 2005: 12-13)

[7] Di bulan Maret, jika dibandingkan dengan penanggalan peladang lain di Flores Tengah (Subetnik Lio) ternyata hal yang sama berlaku, yaitu upacara agar para wanita dapat memetik sayur, jagung muda, dan buah tabu di ladang mereka (Orin Ban, 1989).

 


Dibaca : 7.772 kali.

Tuliskan komentar Anda !