BAGIKAN

Oleh Yakobus Odiyaipai Dumupa

“Menjadi pintar bukan soal apa saya bisa, tetapi soal bagaimana saya bisa.” (Dumupa Odiyaipai)

SEJARAH kehidupan manusia telah mencatat bahwa dunia telah melahirkan para ‘Pemimpin Besar’ (yang mempunyai jiwa besar, melakukan perjuangan besar, menerima risiko besar, dan meraih sukses besar). Para ‘Pemimpin Besar’ telah memanfaatkan mandat yang diberikan oleh rakyatnya dengan konsistensi yang tinggi (tanpa menyerah)  untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan rakyatnya, walaupun harus berhadapan dengan berbagai kendala dan tantangan yang luar biasa. Demi meraih impiannya dan impian rakyatnya, mereka tak gentar diteror, dianiaya, dipenjarakan, diasingkan, bahkan dibunuh. Bagi mereka, itu semua adalah konsekuensi dari perjuangan. Karena itulah, kebanyakan dari mereka menjadi idola rakyatnya, bahkan menjadi idola umat manusia yang mencintai dan menghendaki kehidupan yang bebas (dari berbagai belenggu penjajahan dan penindasan), karena sejatinya setiap orang mempunyai hak asasi untuk hidup bebas.

Dari sekian banyak pemimpin besar, beberapa di antaranya Mohandas Karamchan Gandhi (India), Nelson Rolihlahla Mandela (Afrika Selatan), Fidel Alejandro Castro Ruz (Kuba), Ernesto Guevara Linch de la Seme (Argentina, Kuba, Boivia), Martin Luther King, Jr (Amerika Serikat), Oscar Romero (El Salvador), Paulo Freire (Brasil), Rigoberta Menchu Tum (Guatamala), Hugo Rafael Chavez Frias (Venezuela), Juan Evo Moarales Ayma (Bolivia), Mahmoud Ahmadinejad (Iran), Subcomandante  Marcos (Mexico).

Adanya penjajahan Inggris atas India, telah melahirkan Mohandas Karamchan Gandhi sebagai pemimpin bangsa dan tokoh kemerdekaan India. Praktik politik apartheid di Afrika Selatan telah melahirkan Nelson Rolihlahla Mandela sebagai penentang dan tokoh pembebas rakyat Afrika Selatan dari praktik politik tersebut. Kekuasaan rezim militer dan korup Flugencio Batista yang menderitakan rakyat Kuba telah melahirkan Fidel Alejandro Castro Ruz sebagai penentang dan tokoh pembebas rakyat Kuba. Praktik Imperialisme dan Neoliberalisme  di Amerika Selatan dan Amerika Tengah (dan juga di seluruh dunia) telah melahirkan Ernesto Guevara Linch de la Serne sebagai tokoh penentang dengan jalan gerilya bersenjata.

Praktik politik rasialisme di Amerika Serikat yang menjadikan orang Afrika  (berkulit hitam dan berambut keriting) sebagai budak telah melahirkan Marthin Luther King, Jr, sebagai penentang dan tokoh pembebas dari rasialisme. Adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim militer dan korup di El Savador, telah melahirkan Oscar Romero sebagai penentang utama rezim tersebut. Adanya praktek pendidikan yang tidak membebaskan manusia (memanusiakan manusia) di Brasil dan hampir semua Negara, telah melahirkan Paulo Freire sebagai tokoh pendidikan yang membebaskan manusia. Kekuasaan rezim militer di Guetamala yang merampas tanah adat dan membunuh masyarakat adat Indian, telah melahirkan Rigoberta Menchu Tum sebagai penantang dan advokat internasional atas hak asasi masyarakat adat di Guetamala.

Kekuasaan rezim militer dan korup Venezuela yang menjadi “boneka” Amerka Serikat, sehingga mengorbankan rakyat Venezuela, telah melahirkan Hugo Rafael Chaves Frias sebagai tokoh revolusioner dengan konsep “Sosialisme Abad 21”. Kekuasaan rezim militer dan korup Bolivia yang menjadi “boneka” Amerika Serikat, sehingga masyarakat adat Indian menjadi korban konspirasi antara rezim militer dan Amerika serikat, telah melahirkan Juan Evo Morales Ayma sebagai penentang dan tokoh pembebas masyarakat adat di tanah leluhurnya. Praktik neoliberalisme yang dipraktikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yang mengorbankan negara-negara lemah, telah melahirkan Mohmoud Ahmadinejad sebagai tokoh penentang Iran. Adanya praktek neoliberalisme yang oleh Marcos disebut “Perang Dunia Keempat” dewasa ini dan ketidakadilan bagi masyarakat adat Indian di Mexico oleh pemerintah, telah melahirkan Subcomandante Marcos sebagai penentang neoliberalisme dan ketidakadilan dengan “senjata kata”.

Para pemimpin besar tersebut terpaksa menjadi pemberontak karena dipaksa oleh sejarah penjajahan, diskriminasi, ketidakadian, dan penderitaan yang diterima oleh rakyatnya. Adanya kesulitan hidup, dimana tak terpenuhinya kebutuhan rakyat yang menjadi haknya, menjadi motivasi bagi mereka untuk menjadi pemimpin besar. Kebanyakan dari mereka menimba pengetahuan dari pengalaman hidupnya dan rakytanya yang oleh Evo Morales disebut belajar dari “universitas kehidupan” menyangkut apakah telah, sedang dan kemungkinan akan berjalan normal. Selanjutnya, setelah mengetahui dan memahami ada hal-hal tidak normal yang memalangkan nasib rakyatnya, maka hati nurani mereka tergerak untuk melawan ketidaknormalan tersebut.

Belajar dari pengalaman, kebayakan kondisi tidak normal (yang kadang-kadang dianggap normal), disebabkan oleh adanya sikap eksploitasi dan dominasi oleh pihak tertentu kepada pihak lain. Yang kemudian hal itu ditandai dengan adanya teror, penyiksaan, pembunuhan, genosida (pelenyapan etnis tertentu secara sistematis), perampokan kekayaan alam, pemaksaan kebudayaan (bahasa, makanan, pakaian, seni, dan lainnya), dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya terhadap pihak yang dikuasai atau dijajah.

Kondisi demikian kemudian menumbuhkan rasa nasionalisme (atau sebutlah “rasa senasib”) sebagai satu komunitas yang terjajah, yang kemudian mendorong mereka untuk bersatu dan menentang penjajahan tersebut. Dalam kondisi demikianlah biasanya pemimpin besar itu lahir. Hampir semua pemimpin besar yang lahir tahu dan paham bahwa penjajahan, diskriminasi, ketidakadilan dan penderiataan tersebut bukan takdir yang wajib mereka terima. Mereka juga tahu dan paham bahwa hal itu bukan wasiat leluhur yang wajib mereka terima. Dan akhirnya, mereka tahu dan paham bahwa hal itu bukan impian yang harus mereka pertahankan dan raih. Bagi mereka, semuanya itu sengaja diciptakan oleh manusia untuk mencari keuntungannya sendiri sambil mengorbankan orang lain.

Karena itu, para pemimpin besar yang telah lahir dari Rahim sejarah penjajahan, diskriminasi, ketidakadilan, dan penderitaan merasa bahwa “melawan adalah kewajiban suci” untuk mempertahankan dan menyelamatkan harga diri kemanusiaan dan warisan tanah leluhurnya. Dengan memegang prinsip tersebut, mereka telah berjuang menentang segala bentuk penjajahan, diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan mereka telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk berjuang. Bagi mereka, teror, intimidasi, penyiksaan, pemenjaraan dan pembunhan adalah kosekuensi perjuangan yang wajib mereka terima. Tetapi mereka selalu percaya bahwa “mereka akan menang”, dan memang benar kemenangan selalu memihak mereka.

Apabila para pemimpin besar tersebut telah, sedang dan kemungkinan akan sukses memimpin rakyatnya, apakah kepemimpinannya boleh ditiru oleh orang (calon) pemimpin dan atau pemimpin dan atau pemimpin lain? Sudah pasti boleh! Karena mereka telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin besar, yang dengan jiwa besar melakukan perjuangan besar, tanpa mempedulikan resiko besar untuk meraih sukses besar bagi rakyat yang dipimpin. Orang lain perlu belajar dari mereka karena tiga alasan. Pertama, karena mereka tahu dan paham dinamika penjajahan. Kedua, karena mereka telah bekerja atau berjuang melawan penjajahan. Ketiga, karena mereka telah berhasil meraih cita-cita perjuangan.

Memang sangat sulit untuk bertemu langsung dengan para pemimpin besar tersebut, karena sebagian dari mereka telah meninggal dunia (ada yang mati sadis karena dibunuh). Tetapi ada yang susah ditemui karena jauhnya jarak yang ditempuh, karena mereka kebanyakan berada di negara yang berbeda-beda. Tetapi kepopuleran nama besar mereka cukup membantu orang lain untuk dapat belajar dari mereka, karena perjuangan mereka cukup terdokumentasi. Di antara mereka ada yang menuliskan riwayat perjuangannya sendiri (otobiografi), ada juga yang perjuangnnya ditulis oelh orang lain (biografi), dan bahkan ada juga yang perjuangannya disebarkan oleh media massa ataupun secara lisan.

Dari sekian banyak cara untuk belajar dari mereka, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan cara membaca. Dengan membaca otobiografi, biografi, dokumentasi media massa, orang lain dapat belajar bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh para pemimpin besar tersebut untuk diambil hikmahnya. Selanjutnya orang lain dapat meniru sambil menyesuaikan diri dengan kondisi obyektif di arena perjuangan masing-masing. Dengan cara ini orang lain yang telah, sedang dan akan menjadi korban penjajahan dan penindasan dapat mendidik dirinya sendiri untuk menjadi pemimpin besar di kemudian hari, karena dunia tidak pernah berhenti melahirkan pemimpin besar.

                             ************

Sumber Tulisan : “Kata Pengantar” dalam buku Mengenal dan Belajar dari Para Pemimpin Besar, 2012, Penerbit Lembaga Pendidikan Papua.

TINGGALKAN BALASAN

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini