HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Jumat, 2021/11/04 14:10 WIB
Vanessa Angel dan Suami Tewas Kecelakaan di Tol Jombang
-
Sabtu, 2021/11/05 10:09 WIB
Sopir Vanessa Angel dan Bibi Tuai Hujatan hingga Trending Topic
-
Rabu, 2021/11/03 09:30 WIB
Pacar Baru Anya Geraldine Akhirnya Terungkap
-
Rabu, 2021/11/03 09:50 WIB
Viral Video Ribut dengan Cinta Laura, Nikita Mirzani Buka Suara
-
Senin, 2021/11/07 10:35 WIB
MV Kolaborasi BTS dan Coldplay “My Universe” Sentuh 100 Juta View
-
Minggu, 2021/11/06 16:28 WIB
Viral Konten Arwah Vanessa Angel, Adam Deni: Manusia Nggak Ada Otak!
|
Thread Tools |
21st April 2015, 23:10 |
#2561
|
Mania Member
|
PARA MODEL IKLAN KE SINETRON (Bag. 2)
Moudy Wilhelmina
Sedikitpun Moudy Wilhelmina tak mengira dapat main sinetron. Ia mendapat tawaran main sinetron Buku Harian (SCTV) dari Meriam Bellina, melalui seorang penata rias Budi Gunawan. Secara kebetulan, Budi adalah penata rias Moudy dan Meriam. "Mbak Mer, minta tolong pada Budi mencarikan pemain baru seorang foto model. Untuk main di sinetron yang dibikin PH ('production house')-nya mbak Mer. Akhirnya Budi nawarin saya," cerita Moudy yang terjun ke sinetron coba-coba. Ketika pertama kali syuting yang berlangsung di Surabaya, Moudy mengaku grogi berhadapan dengan kamera. Selain itu, mentalnya sempat ciut karena lawan mainnya adalah artis yang sudah punya nama, Didi Petet dan Ully Artha. Untuk mengatasi kekurangannya dalam berakting, Moudy banyak melakukan latihan dialog. Di samping itu, gadis (waktu itu) berdarah Sunda-Belanda kelahiran Jakarta, 23 Mei 1973 ini, mendapat pengarahan dari sutradaranya, Adisurya Abdi. Oleh (waktu itu) suami Meriam Bellina itu, Moudy disodori peran Nunuk yang dimainkan Desy Ratnasari. Namun Moudy menolaknya. "Karena setelah baca naskahnya peran Nunuk dialognya sangat banyak. Karena saya pemain baru, saya pilih peran Nia yang dialognya sedikit. Saya takut mengecewakan," jelas Moudy, lulusan SMA I Depok tahun 1991, sinetron serial Buku Harian yang beberapa waktu sebelum itu, ditayangkan hanya enam episode, menurut Moudy pada pertengahan tahun 1994 ini, (waktu itu) akan disambung sebanyak 20 episode. Dampak dari penampilannya di Buku Harian, juara favorit Gadis Sampul 1989 ini, mendapat tawaran main di layar lebar dalam film Si Manis Jembatan Ancol, serta membintangi sinetron Pramugari (TPI). Pada hari pertama Lebaran, 14 Maret 1994, Moudy bersama Sandy Nayoan dan Niniek L Karim tampil di SCTV dalam sinetron yang berjudul Seharum Nafasmu Ya Ramadhan. Daniek Budiman "Saya ikut sinetron bukannya ingin numpang ngetop. Tapi karena sekarang (1994) sinetron sedang 'in'. Apa salahnya saya coba, mumpung masih muda. Untuk itu, saya ikut sinetron nggak sekadar main-main. Saya tekuni dengan serius," ungkap Daniek Budiman. Gadis (waktu itu) tomboy yang bernama asli Rr. Diatrinari Andawasih ini pada tahun 1989 pernah menyabet penghargaan peragawati harapan I versi Sepatu Emas Enny Soekamto dan foto model favorit versi Rahadian Yamin. Di tahun 1990, menjadi finalis 'cover-girl mode', dan finalis 'Look of The Year' 1992. Berkat prestasinya itu, dara (waktu itu) kelahiran Madiun, Jatim, 17 Mei 1972 ini mendapat tawaran jadi model iklan di TV serta menjadi pemandu acara Rocket (RCTI-SCTV) bersama Jeffry Waworuntu. "Waktu itu, saya menggantikan Gladys Suwandhi. Saya enggak nyangka dapat terpilih," kenang Daniek. Secara tak diduga, salah satu mantan kru Rocket yang belakangan itu bekerja di PH Focus, menawarkan kepada Daniek main sinetron Cemplon. Di sinetron Cemplon yang (kala itu) akan ditayangkan SCTV dalam waktu dekat (setelah itu) sebanyak 13 episode, Daniek berperan sebagai Gadis Jawa bernama Ninik, sahabat karibnya Cemplon yang diperankan penyanyi Krisdayanti. "Saya dinilai pas memerankan orang Jawa, karena wajah dan dialek saya berbau Jawa," jelas mahasiswi ABA Jakarta jurusan bahasa Inggris (waktu itu). Dunia akting bagi Daniek, sebenarnya bukan hal yang asing. Karena di SMA, Daniek pernah aktif ikut teater. Namun di sinetron, Daniek mengaku menemukan hal yang baru. Seperti ketika syuting di Sleman, saat pengambilan gambar di sebuah sungai. "Dalam adegan tersebut, saya nyuci baju kayak orang desa, hanya memakai kain. Selama ini saya belum pernah melakukan hal seperti itu," cerita Daniek. Mira Asmara Sofyani Setelah sukses jadi bintang iklan, Mira Asmara Sofyani (waktu itu 16 tahun), mengembangkan sayapnya main sinetron. Bintang iklan obat (Waisan) bersama Rano Karno ini, mendapat tawaran dari 'agency model' di Jakarta, untuk main sinetron Masih Ada Rembulan (TPI). Motivasi Mira ikut sinetron, ingin mengasah kemampuan aktingnya, karena beberapa waktu sebelumnya, Mira pernah menjadi finalis dalam suatu lomba akting yang diselenggarakan Shafira. "Sebenarnya dunia model dan sinetron sama yaitu mengekspresikan perasaan," kata Mira. Dalam hal berakting, Mira mengaku masih banyak kekurangan (saat itu). Karena finals 'ASEAN Model Peagant' 1992 itu, baru pertama kali main sinetron. Mira pernah mendapat tawaran main film Lupus, namun ayahnya melarang, takut studinya terbengkalai. "Saya boleh main sinetron sama papa karena peran saya sangat sedikit. Selain itu rencananya syuting di Bandung. Tapi entah kenapa tiba-tiba pindah ke Jakarta," kata pelajar kelas I SMA Taruna Bhakti Bandung (angkatan 1993-1994). Selama mengikuti syuting Mira tidak masuk sekolah selama dua hari. Di sinetron Masih Ada Rembulan, berperan sebagai ibu muda bernama Suryani. Bagaimana Mira menghayati peran sebagai ibu? "Saya suka memperhatikan mama," jawabnya. Menurut Mira, sinetron Masih Ada Rembulan, menceritakan tentang drama keluarga yang ningrat. Namun, hingga saat itu Mira belum tahu sinetron yang disutradarai Achiel Nasrun itu akan ditayangkan di stasiun televisi mana, swasta atau TVRI. Dok. Pikiran Rakyat, 20 Maret 1994, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:04 |
#2562
|
Mania Member
|
JANGAN LAGI LECEHKAN TPI
MESKI (waktu itu) segera memasuki usia 6 tahun pada 23 Januari 1997 yang saat itu akan datang, TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) belum mau dibandingkan dengan televisi swasta lainnya. Saat itu, televisi yang menyandang nama dengan "pendidikan" ini sedang sibuk konsolidasi. Bila semua pembenahan berhasil dilakukan, maka Agustus tahun 1997 ini, TPI sebagai stasiun televisi swasta - selain RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), ANteve (Andalas Televisi), dan Indosiar - diharapkan (waktu itu) benar-benar bisa landas. Tiga tahun kemudian, tahun 2000, saat TPI berusia 9 tahun dan siap 'go-public', lembaga stasiun televisi swasta ini baru bisa dibandingkan dengan televisi swasta lainnya. Apa ada hubungan antara angka 9 dengan keberuntungan?
"Bukan begitu, setelah masuknya empat profesional yang tergabung dalam 'board of directors' (bidang program, keuangan, dll), kami sekarang (1997) sedang konsolidasi pembenahan ke dalam. Karena itu, bulan-bulan ini (Januari 1997) adalah saat-saat krusial bagi TPI. Ulang tahun pun tidak dirancang besar-besaran, sederhana saja. Bahkan seluruh program yang kami tayangkan adalah program lokal. Tidak ada yang impor," ujar direktur program dan operasional TPI, Drs. Ishadi SK, M.Sc, kepada Kompas, Jumat (17/1/97), di "markas" TPI, Pondok Gede, Jakarta Timur. "Kalau semua program pembenahan yang sudah dirancang ini berjalan baik, termasuk berhasil mengatasi sektor finansial, diperkirakan akhir Agustus nanti (1997), TPI 'take-off'. Diharapkan pada paruh terakhir 1997 dan tahun 1998, TPI sudah bisa meraih untung. Rencananya tahun 1999, TPI akan 'go-public'," tambahnya. MELIHAT upaya keras yang dilakukan para profesional di TPI itu, segera muncul kesan seolah televisi yang bisa disebut sebagai 'trendsetter' dalam film India dan musik dangdut itu belum bisa berjalan tenang. Stasiun televisi ini seolah-olah masih menanggung beban. Tidak seperti stasiun televisi yang lain. "Ya, dari awal TPI menjadi stasiun televisi yang fungsi sosialnya terlalu besar. Kalau stasiun televisi lainnya sudah jelas, basisnya bisnis. Kami ini basisnya pendidikan dalma arti luas," lanjut Ishadi. Diakuinya, ada aspek-aspek menonjol dari TPI. Pertama, semula TPI merupakan stasiun televisi yang "dilecehkan" oleh banyak orang, termasuk masyarakat intelektual menengah ke atas. Mengapa? "Karena pada awal pengembangannya tidak ada konsep yang jelas. Mungkin, ini dugaan saya. Saat itu (1991-1995) saya belum masuk. Pada awal TPI muncul, sudah dinyatakan berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah, sehingga - ya begitu saja, seleranya pun terkesan untuk kelas menengah ke bawah. Tetapi, meski ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, program yang ditayangkan harus berkualitas tinggi. Ini kesan pertama, yang mungkin bisa salah," lanjut Ishadi. Namun, keberpihakan TPI pada masyarakat kelas menengah ke bawah, sebenarnya disertai keinginan mengubah persepsi bahwa masyarakat bawah itu peka, sensitif, selalu menjadi korban yang jelek, miskin, jorok, tak terpelajar. TPI berusaha mengangkat mereka. Cara pendekatannya berbeda dengan yang dilakukan pemerintah yang lebih banyak slogan klise, TPI harus tampil beda. Aspek kedua, ternyata TPI merupakan stasiun televisi yang dicintai khalayak menengah ke bawah. Aspek ketiga, adalah pemiliknya (Siti Hardiyanti Rukmana) yang merupakan figur politik yang amat aktif. Bagaimanapun ini, tentu ada pengaruhnya. "Dengan ketiga aspek itu, kami mencoba menyempurnakan dan mengembangkan hal-hal yang sudah ada. Kuncinya tetap milik masyarakat menengah ke bawah, tetapi tidak dilecehkan. Dengan demikian TPI bisa menjadi aset yang positif bagi pemilik maupun bagi bangsa," tambah Ishadi. Masuknya tenaga-tenaga profesional muda secara tidak langsung juga menyuntikkan semangat baru (waktu itu) dalam tubuh TPI. Kebersamaan dan kekompakkan secara tidak langsung, ikut mempengaruhi penampilan TPI. Tidak mengherankan bila citra TPI di mata para intelektual menengah ke atas pun belakangan itu sudah menjadi baik. Tidak hanya itu, citra TPI di mata para pemasang iklan, para industri dan produser, kata Ishadi juga meningkat. Memang, upaya meningkatkan citra itu belum berpengaruh pada semua pihak, teetapi yang jelas, penampilan TPI (saat itu) menjadi lebih baik. Ketika itu, yang harus tetap dijaga adalah semua usaha yang akan terus berlanjut ini, tidak mengurangi komitmen TPI bagi masyarakat menengah ke bawah. "Ketika saya masuk, saya targetkan semua ini bisa terlaksana dalam dua tahun (1996-1998), pada benak saya, dalam dua tahun, TPI akan menjadi stasiun televisi yang berbeda dengan yang lain karena mempunyai penonton yang loyal, yang datang dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Meski tidak mudah, upaya ini harus terus dibina karena TV yang lain juga melakukan hal yang sama dengan caranya masing-masing," katanya. IHWAL unsur "pendidikan" yang tertempel pada nama TPI, seringkali dinilai sebagai dilema. Tetapi, bagi TPI sendiri, unsur "pendidikan" ini justru menjadi kekuatan. "Karen aitu, ketika semua orang ribut mengenai dampak TV, TPI justru tampil sebagai 'hero', dan mencoba memberi alternatif. Entah karena terbawa oleh nuansa itu, TPI justru makin hati-hati dalam memilih program," katanya. Disebutkan, ada survei yang dibuat suatu lembaga 'surveyor' independen mengenai TPI. Stasiun televisi ini oleh 'surveyor' itu, dipandang sebagai stasiun TV paling aman ditonton keluarga (waktu itu). Karena itu, tidak salah bila hasil survei ini justru dijadikan semboyan, "TPI - Televisi Keluarga." Diakui, semula banyak disuarakan agar TPI mengacu pada pendidikan seperti yang tercantum dalam namanya, namun dengan berbagai cara, TPI berhasil meyakinkan sejumlah orang, bahwa pendidikan tidak harus diartikan secara sempit, tetapi secara luas. Dengan demikian, TPI bisa menjadi lebih realistis. Karena definisi televisi pendidikan seperti yang dibayangkan menjadi berbeda dengan yang ada dalam konsep kebanyakan orang. TPI tidak mungkin seperti 'educational television' (ETV), yang banyak menayangkan pendidikan alam arti instruksional. "Kalau TPI harus mengacu pada pendidikan dalam arti sempit, jelas tidak bisa 'survive'. Karena tak disubsidi dan harus bersaing dengan stasiun TV lainnya. Toleransi yang bisa diberikan TPI sebagai televisi keluarga, mencoba beda dengan yang lain. Tidak menayangkan program-program yang mengandung unsur kekerasan," jelas Ishadi. Keputusan ini jelas membawa konsekuensi. Kompensasinya TPI ikut membantu program-rpogram pendidikan pemerintah secara umum, seperti program anak asuh, guru teladan, kuis pelajar, dan sebagainya. Dengan kiat seperti ini, TPI menjadi lebih leluasa untuk membina kerjasama dengan Depdikbud, BKKBN atau departemen lain. Cara ini jelas tidak mungkin dilakukan stasiun televisi lain. Tetapi, untuk membuat program yang terkait dengan dunia pendidikan tidak begitu mudah. Maklum, TPI bukan TVRI. TVRI dengan mudah dan tanpa beban bisa membuat sinetron seperti Keluarga Marlia Hardi dan Losmen yang diminati banyak orang. Untuk TV swasta, perbuatan tayangan harus dikaitkan dengan unsur laku dijual atau tidak. Jadi, pemasaran amat domiann. Boleh dikata, produk yang bagus pada stasiun TV swasta, ukurannya adalah bukan programnya bagus atau tidak, tetapi laku dijual atau tidak. "Laku dijual itu artinya juga ditonton banyak orang. Memang ini tidak disebut karena seperti Baywatch (RCTI), meski ratingnya rendah, tetapi iklannya penuh. Melrose Place (SCTV) tidak ada rating, tapi iklannya penuh. Akibatnya untuk bereksperimen amat susah untuk produk baru, diperlukan 10 hingga 20 kali tayangan barulah mendapat iklan. Contoh mudah, program Pepesan Kosong (TPI), setelah 150 episode baru mendapat iklan. Ini yang terjadi," jelas Ishadi. MENGINGAT kehadirannya sejak awal mempunyai kandungan fungsi sosial terlalu besar, maka gerak TPI pun tidak seleluasa TV swasta lainnya. Selain itu, keterlambatan mengantisipasi pembinaan karyawan ikut memperlambat laju pertumbuhan TPI. Akibat selanjutnya, "nasib" karyawan pun saat itu kurang terperhatnikan. "Kami berharap seluruh program pembenahan ini bisa ditingkatkan Maret nanti (1997) tayangannya, kita mencoba bersaing dalam gaji sehingga mudah merekrut orang bermutu. "Karyawan yang baik juga lebih betah bekerja," kata Ishadi. Bila semua karyawan berhasil dijalankan tahun-tahun selanjutnya, adalah tahun-tahun keberuntungan. Saat itu pun setelah para profesional muda mereka, TPI berhasil menggenjot pemasukan (selama enam bulan terakhir waktu itu / Juli-Desember 1996), sebesar 40%, melebihi iklan tahun sebelumnya (1995). Citra TPI pun ikut naik, ratingnya 50% lebih baik dari tahun sebelumnya (1995). Karena itu (beberapa tahun setelahnya), jangan lecehkan TPI. Dok. Kompas, 19 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:06 |
#2563
|
Mania Member
|
LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL SUNTIK ANTEVE 70 JUTA DOLLAR AS
KONSORSIUM lembaga keuangan internasional yang dikoordinasikan PT Sigma Batara, hari Rabu (29/1/97) di Jakarta, menandatangani perjanjian pemberian pinjaman sebesar 70 juta dollar AS (sekitar Rp 168 milyar) kepada stasiun televisi swasta ANteve (Andalas Televisi). Menurut rencana (saat itu) sebgian besar dari pinjaman itu, yakni 60%, (waktu itu) akan digunakan untuk meningkatkan sisi operasional, dan sisanya untuk pengembangan jaringan siaran.
Sebelum ini, ANteve juga pernah mendapatkan suntikan modal sebesar Rp 60 milyar pada tahun 1995, namun berupa tambahan modal dari para pemilik. Presiden direktur ANteve, Agung Laksono, seusai acara penandatanganan mengungkapkan, pemberian pinjaman itu merupakan bukti kepercayaan yang besar pada ANteve, bisnis pertelevisian, sekaligus stabilitas ekonomi di Indonesia. "Sebagai stasiun televisi swasta kami makin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Indonesia, dan sekarang (1997) juga, dipercaya oleh lembaga-lembaga keuangan luar negeri. Mereka tidak akan memberikan pinjaman kalau tidak yakin dengan prospek ke depan ANteve yang akan semakin baik," ungkap Agung. Lembaga-lembaga keuangan yang terlibat membantu ANteve dengan KEB (Asia) Finance Ltd., IBJ Asia Ltd., Korea Commercial Finance Ltd., Shinhan Ivestment Bank, JP Morgan Securities Asia Ltd., dan KAMWAY Investment, Ltd. Pinjaman sebesar 70 juta dollar AS untuk jangka waktu lima tahun (1997-2002) tersebut, menurut Agung mempunyai bunga yang lebih rendah, yaitu sekitar 10%. "Dengan bunga yang relatif lebih rendah, 'cost of money' atau pengeluaran uang akan bisa lebih ditekan di samping usaha-usaha efisiensi pada sektor-sektor lain, secara keseluruhan akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan," jelasnya. Presiden direktur ANteve, Agung Laksono, menambahkan kenyataan bahwa lembaga-lembaga internasional menarik kepercayaan kepada ANteve, merupakan pengakuan secara langsung dunia internasional bahwa perkembangan dunia pertelevisian di Indonesia merupakan lahan bisnis yang sangat menjanjikan. "Hal itu juga merupakan kepercayaan terhadap stabilitas di dalam negeri. Karena pada saat menjelang pemilu, ternyata lembaga-lembaga keuangan internasional masih mau memberikan pinjaman dalam jumlah besar," tegas Agung. Pinjaman berjangka waktu lima tahun tersebut dijaminkan pada aset ANteve yang saat itu nilainya sekitar Rp 300 milyar. "Tapi aset itu hanyalah jaminan tambahan, karena jaminan utamanya adalah keyakinan bahwa prospek usaha ANteve cukup baik," ungkap Agung. Persentase iklan Sebagai stasiun TV swasta, Agung menandaskan, ANteve menumpukan penghasilannya dari pemasukan iklan. Untuk menarik iklan lebih banyak itulah, maka materi-materi siaran ANteve harus terus ditingkatkan. Oleh karena itulah, sebagian besar dari pinjaman (waktu itu) akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan operasional, misalnya pembelian program ayng baik, meningkatkan sumber daya manusia, baru kemudian sisanya untuk memperluas jaringan transmisi sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia bisa menyaksikan ANteve. Persentase iklan di ANteve, diungkapkan Agung, saat itu memang masih belum memenuhi harapan. Dari standar 20% yang diperbolehkan untuk siaran iklan dari keseluruhan jam siaran, persentase iklan ANteve saat itu (1996) adalah 13%. "Jumlah itu sudah meningkat dari tahun sebelumnya (1995) yang masih di bawah 10%. Kecenderungannya pun terus semakin meningkat, mudah-mudahan tahun ini (1997) bisa 17%, dan tahun depan (1998) 20%," jelasnya sambil menambahkan bahwa ANteve (kala itu) baru akan bisa mencapai titik impas pada pertengahan tahun 1998. Agung menambahkan, sebagai pinjaman untuk meningkatkan usaha, maka pinjaman dari luar negeri tersebut tidak menyalahi aturan. "Yang paling baik memang kalau kami bisa mendapatkan dari masyarakat kita sendiri, yaitu melalui pasar modal. Tetapi, mengenai 'go-public' ini sangat tergantung dari izin pemerintah. Di lingkungan ANteve sendiri, kami sudah menyiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi manajemen ISO 9.000, sebagai salah satu prasyarat untuk bisa 'go-public'," ujar Agung. Dok. Kompas, 30 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:06 |
#2564
|
Mania Member
|
INDOSIAR HENTIKAN PROGRAM JITU
STASIUN televisi Indosiar secara bertahap telah menghentikan penayangan permainan Jitu untuk tayangan Senin-Jumat pukul 13.00-15.00. Upaya ini telah dimulai sejak 20 Januari 1997 lalu, sebagai pengganti Indosiar menayangkan film seri Ivy pukul 13.00-14.00 WIB dan Sansaar pukul 14.00-14.30 WIB, serta Infomercial pukul 14.30-15.00 WIB. Sementara itu, permainan Jitu untuk tayangan dini hari (pukul 00.30-01.30 WIB), masih dijalankan (kala itu) sambil menunggu informasi lebih lanjut.
Andreas Ambesa, humas Indosiar, dalam faksimili yang diterima Kompas, Rabu (22/1/97), menyebutkan permainan Jitu mulai ditayangkan sejak 22 Juli 1996 setiap Senin-Jumat siang pukul 13.00-15.00 WIB dan dini hari pukul 00.30-01.30 WIB. Permainan Jitu sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu Sana-Sini dan Dari-Dara. Permainan ini murni permainan ketangkasan yang dapat diikuti setiap orang yang membeli kartu PIN seharga Rp 5.000. Karena itu, penghentian acara ini tidak berkait dengan berita yang menyebutkan Jitu mengandung unsur judi. "Secara teknis, Jitu bukan judi," kata Andreas Ambesa. Dok. Kompas, 23 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:07 |
#2565
|
Mania Member
|
ASAL DIGARAP, ACARA LOKAL TELEVISI BISA BERSAING
ASAL digarap dalam kemasan yang pas, acara lokal televisi nasional bisa bersaing dengan program-program asing. Jika pemerintah konsisten, ketentuan untuk perbandingan acara lokal itu sudah tercantum dalam peraturan. Bersamaan dengan itu, diperlukan peningkatan sumber daya manusia, yang seringkali tertinggal dari kecepatan perkembangan teknologi pertelevisian.
Demikian rangkuman diskusi Prospek Acara Teve Anak Bangsa di Tengah Serbuan Paket Acara Produk Impor dalam Hal Perolehan 'Rating' dan Iklan, yang diselenggarakan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) menyambut ulang tahunnya ke-6 di Jakarta, Selasa (21/1/97). Tampil selaku pembicara antara lain sutradara Slamet Rahardjo, ketua umum P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), Yusca Ismail, penulis Arswendo Atmowiloto, direktur program dan operasional TPI, Ishadi, dan artis Paquita Wijaya, dan model Ratih Sanggarwati. Slamet Rahardjo kembali mengungkapkan keadaan yang sudah terlanjur dianggap benar. Misalnya bahwa sebetulnya dalam PP No. 6 tahun 1994 pasal 30 ayat 3 dan SK Menpen No. 215 tahun 1994 pasal 33 ayat 3, disebutkan produk film dan video asing harus diterjemahkan dengan sistem 'subtitle'. "Dengan adanya beban membaca teks 'subtitle', penonton akan lebih memilih tontonan berbahasa Indonesia," katanya. Penonton Dalam konteks ketika 'rating' hasil SRI (Survey Research Indonesia) sering diperdebatkan orang mengenai keabsahannya Yusca menyebutkan bahwa itulah yang sementara ini kita miliki, "Tidak murah membuat riset, bisa Rp 1 milyar," kata Yusca, sambil menambahkan bahwa di luar angka-angka 'rating' itu sebetulnya para pemasang iklan juga lebih cenderung memasang iklan pada produk-produk lokal. Mestinya lembaga-lembaga riset harus ada imbangannya. Celakanya, demikian Arswendo, di Indonesia belum ada Lembaga Pemirsa TV Resmi (saat itu) sehingga tidak jelas pemirsa mana mewakili apa. "Tidak seperti di negara-negara lain, yang bukan komunis. Lembaga pemirsa merupakan bagian yang sama kuat dari tiga kaki - dua yang lain adalah pemerintah dan stasiun siar dalam menilai layak tidaknya acara," kata Arswendo. Bila berbicara mengenai pemirsa, kata Arswendo, di Indonesia tak jelas pemirsa mana mewakili apa. Sampai Januari 1997, belum ada Lembaga Pemirsa TV Resmi. Tidak seperti di negara lain ayng bukan komunis, lembaga pemirsa merupakan bagian yang sama kuat dari tiga kaki - dua yang lain adalh pemerintah dan stasiun siar. "('Rating') ini 'ghost', hantu," kata Ishadi. Kita boleh tidak percaya, tapi banyak orang percaya itu." Dalam suasana seperti itu, demikian Arswendo, stasiun siar untung karena tidak berhadapan dengan lembaga pemirsa, tapi berhadapan dengan oknum-oknum yang kalau tidak suka, paling hanya menulis di kolom surat pembaca koran-koran. "Tapi hal ini juga merugikan dalam arti luas, suara pemirsa selalu merupakan reaksi dari yang sudah ditayangkan. Tidak pernah bisa turut merumuskan. Padahal, rumusan para kritisi, para wartawan yang kemudian melahirkan acara seperti Sesame Street." Namun demikian, para pembicara sependapat jika program lokal digarap dengan sungguh-sungguh, pemirsa akan memperhatikannya sebagaimana mereka perhatikan tayangan asing. Paquita menekankan, pengembangan sumber daya manusia di belakang teknologi pertelevisian. Ratih Sanggar menekankan pentingnya memperhatikan tampilan, antara lain kostum, karena begitu luar biasa daya tiru masyarakat terhadap tontonan di televisi. Dok. Kompas, 22 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:10 |
#2566
|
Mania Member
|
INDOSIAR SEMARAK, SCTV SIAPKAN GEMA RAMADHAN
UNTUK meramaikan ulang tahun kedua yang jatuh tanggal 11 Januari 1997, Indosiar (waktu itu) akan menyajikan tayangan khusus. Semarak 2 Tahun Indosiar pada tanggal tersebut pukul 19.30-22.30 WIB. Paket tayangan khusus itu terdiri paket liputan 'off-air' Indosiar selama 1996 (19.30-20.30 WIB), dan siaran langsung (20.30-22.30 WIB).
Hal itu dijelaskan humas Indosiar, Andreas Ambesa, Senin (6/1/97) di Jakarta, acara-acara lain yang juga digelar untuk meramaikan HUT kedua Indosiar adalah Gelar Film Indosiar, 8-12 Januari 1997, 19.30-22.00 WIB. Untuk paket liputan 'off-air', antara lain liputan 'off-air' musik 1996, rangkaian top dan pop acara 'tapping' Indosiar, acara 'off-air' Indosiar yang ada kaitannya dengan momen nasional, dan konser tunggal, dan festival musik Indosiar. Untuk paket siaran langsung, Semarak 2 Tahun Indosiar, dengan format 'variety show' (waktu itu) akan menampilkan Ruth Sahanaya, Farid Hardja, Lucky Reza, Base Jam, Yuni SHara, Jimmy Manopo Big Band, dan sederet artis lainnya. Paket ini (waktu itu) akan dibuka dengan menampilkan Rampak Bedug yang dibawakan mahasiswa STSI (Bandung), dilanjutkan tari kreasi kontemporer berbasis tradisional yang ditampilkan kelompok tari Pnetasindo. Paket siaran langsung ini mengambil tempat di Studio 1 dan Studio 3 secara bergantian. Ramadhan Menghadapi bulan Ramadhan, membuat sejumlah sajian khusus Irama Ramadhan bersama Bimbo ditayangkan Sabtu dan Minggu, 17.00-17.30 WIB, diikuti dengan penyejuk iman menjelang berbuka puasa. Sementara Rhoma Irama melalui Dakwah Rhoma Irama diputar Senin-Jumat, 17.30-18.00 WIB. Sinetron bernuansa Ramadhan, Di PintuMu Aku Mengetuk tiap Senin-Jumat pukul 17.00-17.30 WIB. Kisahnya tentang mantan preman yang sadar setelah kematian ibunya. Sementara itu, SCTV (Surya Citra Televisi), secara khusus (waktu itu) akan menayangkan paket Bulan Penuh Hikmah. Paket tersebut (waktu itu) akan terdiri dari Gema Ramadhan berupa tabligh akbar di empat kota, yaitu Medan (siaran tunda ditayangkan Sabtu, 11/1/97, 20.00-21.30 WIB), Jakarta (Jumat, 17/1/97, 20.00-22.00 WIB), Demak (Kamis, 23/1/97, 20.30-22.00 WIB), dan Surabaya (Selasa, 28/1/97, 19.30-22.00 WIB). Selain Gema Ramadhan, paket lainnya adalah Kisah-Kisah 25 Nabi yang ditayangkan setiap hari mulai 10/1/97 sampai 8/2/97, 05.00-05.30 WIB, dan film berdurasi 1 jam, Tiada Tuhan Selain Allah (10/1/97 - 7/2/97) dengan jam tayang bervariasi antara pukul 00.00-01.00 WIB atau 01.30-02.30 WIB. SCTV juga (waktu itu) akan menayangkan serial Hikayat Pengembara 2 (10/1/97 - 8/2/97) setiap hari pukul 17.35-18.05 WIB. Gema Dialog Ramadhan setiap hari selama Ramadhan 1997, (waktu itu) akan ditayangkan 17.20-17.35 WIB dan Di Ambang Fajar yang (kala itu) akan menampilkan KH Zainuddin MZ, ditayangkan setiap hari Jumat. Dua acara menarik lainnya, adalah sinetron spesial Seharum Nafasmu Yaa.. Ramadhan (9/2/97, 13.00-14.30 WIB) dan Spesial Idul Fitri "Cafe Rujak Cingur". Dok. Kompas, 7 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:10 |
#2567
|
Mania Member
|
ANTEVE TAWARI SIARAN DAERAH KERJASAMA BANGUN PEMANCAR
PARA pengusaha di daerah ditawarkan untuk membangun stasiun pemancar relai siaran televisi yang (waktu itu) akan dipergunakan dan dibayar hak sewanya, sebagai bentuk kerjasama yang menguntungkan. Hal itu dikemukakan presiden direktur ANteve (Andalas Televisi), Agung Laksono, di Batam, Rabu (11/1/97).
"Di Amerika Serikat (AS), Australia, hal semacam ini, sudah lazim sehingga stasiun televisi bisa lebih berkonsentrasi untuk membangun perangkat lunak saja. Tetapi, di sini hal itu memang belum dirintis. Jadi, kini (1997) kami membuka diri bagi pengusaha lokal," katanya dalam jamuan makan siang bersama kepala satuan pelaksana (lasatlak) Badan Otorita Batam, Soeryohadi Sudjatmiko, SE, MBA, Muspida Kodya Batam, Kadin, dan pengusaha Batam. Menurut Agung, yang ideal stasiun hanya memikirkan program dan acara menarik di samping juga memang, perangkat pendukung seperti kamera, studio, dan sebagainya. Namun karena kondisi geografis tanah air, stasiun swasta juga harus menanam modal untuk pembanguna pemancar, yang investasinya tinggi bermilyar rupiah, untuk setiap stasiun pemancar. Dengan sistem sewa, maka pengusaha daerah dijamin akan untung karena setelah membuat menara pemancar, mereka tinggal memetik hasilnya. Bagian ANteve sendiri, cara ini lebih praktis. Karena tidak memikirkan pembangunan dan pemeliharannya. Kehadiran Agung Laksono dan jajaran ANteve untuk meresmikan dimulai operasinya pemancar di Bukit Dangas, Sekupang, yang hasil kerjasama dengan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Ini kerjasama keempat dengan model yang sama setelah di Ujungpandang, Semarang, dan Medan dengan TPI memiliki menara dan ANteve ikut memasang transmisi. Sementara di Surabaya dan Bandung, ANteve pemilik menara dan TPI ikut memasang transmisi. Stasiun ANteve lain ada di Jakarta, Lampung, menyusul di Denpasar. Masyarakat Batam saat itu dapat menerima program ANteve, tanpa harus memakai parabola, cukup antena biasa. Termasuk juga ke wilayah Johor dan Singapura. Dengan demikian, maka RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI, dan ANteve belakangan itu bisa dengan mudah diterima di kedua negara, sementara kalau dengan parabola mencapai India, Thailand, dan Australia di selatan. "Ini sejalan dengan keinignan pemerintah. Tidak hanya kita yang menerima program TV luar, tetapi program kita pun bisa masuk ke negeri mereka," kata Agung Laksono. Suryohadi Sudjatmiko mengungkapkan harapan agar Batam sebagai pulau straegis yang diproyeksikan pemerintah, dapat menandingi posisi Singapura. Bisa lebih banyak dipromosikan atau setidaknya diinformasikan secara benar dan akurat, agar citranya sebagai pusat industri dan wisata makin baik, bukan makin buruk seperti yang sering diinginkan pihak-pihak tertentu yang tidak suka pada kemajuan yang dicapai di sana. Dok. Kompas, 10 Januari 1997, dengan sedikit perubahan |
23rd April 2015, 01:12 |
#2568
|
Mania Member
|
TELEVISI SWASTA BISA DIBREIDEL?
JANGAN coba-coba media massa tercetak membikin "kenakalan" dengan sengaja ataupun tidak melanggar "rambu-rambu" politis. Kemungkinan sanksinya kalau tidak cuma peringatan biasa atau peringatan keras, ya apalagi kalau bukan pembreidelan. Wewenang Menpen, untuk mencabut Surat izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) diatur Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/1984. "Godam" Permen tersebut masih menghantui kalangan pers tercetak untuk tidak salah dalam menjalankan kebebasan pers yang dimilikinya.
Namun, meski adanya Permen tersebut laju, dinamika media massa tercetak sebagai media kontrol sosial tak sepenuhnya kehilangan idealismenya sebagai pers perjuangan. Dalam realitasnya "pengesekan" kepentingan dalam mengibarkan idealisme tersebut seringkali terjadi dalam berbagai kadarnya. Indikatornya adalah banyak penerbitan pers yang mendapatkan peringatan atau satu dua yang sempat "digebuk" pembreidelan. Contoh mutakhir (waktu itu) adalah pembreidelan tabloid Monitor beberapa tahun sebelum itu (1989). Nah, persoalan yang disorot (1994), bagaimana andaikan TV swasta kita melakukan "kenakalan" kategori berat, umpamanya sampai melanggar rambu-rambu politis yang dianggap berdampak luas? Bisakah TV swasta bersangkutan menerima sanksi pencabutan izin siaran? Alias TV swasta tersebut dibreidel? Ataukah cukup diwajibkan meminta maaf saja kepada masyarakat penonton dan pemerintah? Diakui, pembekuan SIUPP sebuah media tercetak di satu sisi merupakan kerugian bagi dunia pers kita. Masyarakat kehilangan salah satu media informasinya, investor kehilangan asetnya, wartawan dan karyawan atau pengecer kehilangan (sementara) pekerjaannya. Nah, apalah lagi kalu itu terjadi pada sebuah stasiun penyiaran televisi yang telah menelan investasi triliunan rupiah. Tentu bisa dikatakan, haruskah dana sebesar itu hangus sekejap, hanya karena suatu kesalahan "segebrak"? Namun, di sisi lain, haruskah justru masyarakat banyak yang malah dirugikan, jika televisi sulit dikontrol materi siarannya? Akankah TV swasta merasa takut kalau sebuah kesalahan tak pernah diberi sanksi berat? Seperti SCTV (Surya Citra Televisi) yang dua kali membuat kesalahan yang membuat marah pemirsa. Sehingga preskom SCTV, Muhammad Noer, (ketika itu) akhirnya tak bisa dicegah mengundurkan diri, setelah pengunduran diri kasus pertama diurungkan. Atau ketika RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dalam kasus "mendahului" Keputusan Munas PWI di Lampung menyiarkan berita prematur, TV swasta itu meminta maaf, persoalan selesai! Boleh saja pihak TV swasta (TPI, RCTI, SCTV, dan ANteve) bisa memberikan garansi, bahwa mereka memiliki sistem kontrol atau sensor ganda. Selain lewat BSF (Badan Sensor Film) yang juga ada 'self control'-nya. Namun, argumen ini tak memiliki kekuatan mutlak. Kesalahan, kekhilafan, kelalaian, kecolongan, adalah sesuatu hal yang sangat manusiawi terjadi kapan saja, pada sistem yang sehebat apapun. Toh, apapun peraturan karena menyadari keinginan adanya pelanggaran selalu disertai bentuk sanksi. TVRI yang notabene TV yang "dikendalikan" aparat birokrat pemerintah, mengapa harus terjadi penyiaran berita wawancara tokoh PKI, Soebandrio? Atau sempat menyiarkan film yang kemudian dinilai penonton sangat menyinggung perasaan, yaitu film yang mengekspose titik singgung rasa keagamaan? Dan TVRI, tentu saja meminta maaf dengan semua kesalahan itu. Semua kenyataan di atas, dimunculkan karena persoalan yang telah timbul dan mungkin saja akan timbul kapan saja. Belum diuraikan dalam sebuah undang-undang (UU). Dinamika pertelevisian yang demikian, maraknya akhir itu adalah fenomena terbilang baru (saat itu). Memang, usia pertelevisian di Indonesia sudah 31 tahun (waktu itu) tapi globalisasi dan deregulasi pertelevisian di tanah air baru terjadi sejak 1990, (saat itu) kurang dari lima tahun. Dan justru pada era lima tahun terakhir (waktu itu / 1989-1994), inilah persoalan di balik kemajuan pertelevisian seringkali timbul dan mengundang opini dan reaksi masyarakat banyak. Dan jawaban di atas semua pertanyaan itu, saat itu berpusat pada RUU (rancangan undang-undang) Siaran yang tengah digodok pemerintah (waktu itu) sebelum diajukan ke DPR untuk disetujui dan disahkan nantinya oleh Presiden Soeharto. Konon RUU tersebut terdiri dari 12 bab dan 53 pasal, mencakup banyak hal yang berkaitan dengan pengaturan lalu lintas, penyiaran nasional, radio, dan televisi. Menurut Alex Leo Zulkarnaen, Dirjen Radio, Televisi, dan Film Deppen, seperti dikutip Vista TV yang diatur dalam UU (undang-undang) Siaran itu, hanya prinsip-prinsipnya saja. Masalah detailnya (waktu itu) akan diatur lagi. "UU tersebut tidak akan berdiri sendiri, tentu pelaksanaannya akan ada peraturan dalam peraturan pemerintah, mungkin keputusan presiden (keppres) atau keputusan menteri," ujar Alex. Belum bisa dinilai sejauh mana representasi UU tersebut dalam mengakomodasikan semua persoalan pertelevisian. Bagaimana menjawab persoalan interaksi antara TVRI dengan TV swasta, antar TV swasta, dan antara TV nasional dengan TV asing. Kemungkinan investasi pertelevisian di dalam negeri, siaran TV asing di negara kita, pengaturan sumber pendapatan TVRI dan televisi swasta, dan sebaainya. Dalam soal "memadai" bagi pelanggaran yang dilakukan media elektronik dan radio. Breidel? Peringatan keras, atau apa? Kalau bukan semaam breidel, artinya penyiaran stasiun TV bebas dari sanksi dicabutnya surat izin penyiaran. Lantas, sanksi seperti apa yang bisa dinaggap tidak terkesan "menggodam", tapi cukup membuat pihak TV bersikap hati-hati? Apakah pihak pers tercetak tidak akan merasa "dipilih kasih" kalau tak ada breidel buat pers elektronik, sementara mereka masih dihantui Permen No. 01/1984 (siap dibreidel tanpa sempat memberikan pertanggungjawaban)? Dok. Pikiran Rakyat, 27 Maret 1994, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer