Indonesian Ocean Forecasting System (Ina OFS) - Experimental

Prediksi Harian Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature) dan Arus Permukaan (Ocean Current Circulation) diperoleh dari luaran prediksi model global HYCOM + NCODA dengan resolusi grid 1/120 x 1/120 (~ 9.25 km x 9.25 km). Gambar hasil prediksi diolah dengan menggunakan software Ferret, yang merupakan perangkat analisa untuk data grid dan non-grid yang dibangun oleh NOAA-PMEL. Untuk melihat/mendownload data Archive klik

Team Ina OFS : A. Rita Tisiana Dwi Kuswardani, Ph. D; Dr.-Ing.Widodo Setiyo Pranowo; Dani Saepuloh, S.Kom; Wida Hanayasashi Samyono, S.Kel; Muallimah Annisaa, S.Kel; Novita Ayu Ryandhini, S.Kel;

Jepara - Pantai Benteng Portugis atau Pantai Jepara viral karena air laut yang surut dikira masyarakat mau ada tsunami. Sebenarnya posisi pantai ini aman dari tsunami atau nggak ya?

Pantai Benteng Portugis berada di Desa Ujungwatu dan berbatasan dengan Desa Banyumas, Kecamatan Donorejo, Jepara. Melalui analisis cepat, Widodo Setiyo Pranowo, Peneliti Madya Bidang Oseanografi Terapan Pusat Riset Kelautan KKP, menjabarkan kemungkinan terjadinya tsunami, tapi di Laut Jawa selatan.

"Secara umum syarat terjadinya pembangkitan tsunami yang berasal dari gempa tektonik ada dua, yaitu terdapat zona subduksi atau penunjaman lempeng atau patahan aktif dan terdapat gempa berkekuatan antara Mw 6,9 hingga 9,0 dengan posisi pusat gempa berada di wilayah laut dan terletak di kedalaman kurang dari 33 km di bawah permukaan dasar laut menuju ke perut bumi pada zona tersebut," jelas Widodo.

Kalau dilihat dari persyaratan di atas, di wilayah Jepara di sekeliling Pulau Mandalika, tidak akan mungkin ada penyebab tsunami. Karena gempa-gempa yang berpotensi menyebabkan tsunami berada di selatan Jawa.

Ada penjelasan logis untuk kasus sangat surutnya perairan Pantai Jepara yang berada dekat dengan Pulau Mandalika. Fenomena alam ini dikenal dengan kondisi air surut tersurut karena fenomena gaya tarik rembulan, dan juga karena adanya penumpukan atau akumulasi sedimen yang sangat tinggi di sepanjang pesisir utara Jawa yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat setempat.

"Saya akan jelaskan terkait akumulasi sedimen terlebih dahulu. Sedimentasi di wilayah Pantai Jepara dan sekitarnya sejak abad ke-15 adalah sangat tinggi," jelasnya.

Hal ini bisa dijumpai dari beberapa petikan catatan sejarah yang ditulis oleh Dra Nj S Notosoegondo pada 1971, kemudian hasil penelitian dari HJ de Graaf dan Pigeaud tahun 1985, tulisan buku dari Denis Lombard tahun 1996, dan disambung oleh Prof Dr Slamet Muljana pada 2005.

"Bahwa pada abad ke-15, Demak, Kudus, Juwana, dan Rembang merupakan satu garis pantai yang lurus memanjang ke timur. Tidak seperti sekarang ini, yang dipisahkan oleh Semenanjung Muria, dahulu kala kawasan ini disebut sebagai suatu pulau Gunung Muria tersendiri yang dipisahkan dengan Pulau Jawa oleh Selat Muria," ceritanya.

Dari latar belakang sejarah tersebut membuktikan bahwa telah terjadi sedimentasi yang sangat tinggi. Sedimentasi ini berlangsung selama sekitar 200-300 tahun yang kemudian menutup Selat Muria, sementara Pulau Gunung Muria menyatu dengan Pulau Jawa.

"Saya sering diajak pulang kampung oleh ayah saya ke Gunung Muria, sekitar tahun 1980-1990-an. Ketika melalui jalan utama dari Kota Demak menuju Kudus apabila pada saat musim hujan, air sungai dengan mudah meluap dan membanjiri jalan tersebut. Kemungkinan besar jalan utama dan sawah-sawah tersebut berada di atas akumulasi sedimen masa lalu," kenang Widodo.

Kembali pada kasus sedimentasi di pesisir Jepara dekat Pulau Mandalika, bisa kita lihat dari foto citra satelit yang dikompilasi oleh Google Earth yang memperlihatkan betapa tingkat sedimentasi di pesisir tersebut sangatlah tinggi, terutama terjadi mulai dari pertengahan Mei hingga Agustus.

"Arah datang sedimentasi adalah dari arah timur, terlihat dari pola turbulensi yang tercipta ketika aliran air yang mengandung sedimen melewati Pulau Mandalika, bisa dilihat pada citra tanggal 21 Juli 2020, tanggal 21 Mei 2019, tanggal 16 Juni 2018, tanggal 27 Juli 2017," paparnya.

Sumber sedimennya diduga berasal dari sungai-sungai yang berada di pesisir utara Jawa bagian timur. Fakta-fakta ini menjelaskan bahwa probabilitas terjadinya penumpukan sedimen di pesisir utara Jepara pada periode Musim Angin dari Timur (mulai pertengahan Mei hingga September atau pertengahan Oktober) adalah cukup tinggi.

"Berdasarkan rentetan citra satelit tersebut, penumpukan sedimen tersebut menyebabkan pendangkalan perairan pantai bisa mencakup wilayah pantai yang luas, sehingga ketika adanya fenomena alam air surut biasa maka terlihat kondisi muka air sangat surut tersurut dan cakupannya sangat luas melebihi kondisi sebelumnya atau biasanya," tambahnya.

Terkait dengan fenomena pasang-surut, fakta dari kondisi pasang surut dari stasiun Semarang dan Rembang, pada 28 September 2020 dari pagi hingga sore permukaan air laut berada dalam kondisi menuju surut.

"Kondisi air surut ini cukup surut dari biasanya karena mendekati fase bulan purnama. Artinya, Jepara, yang terletak di antara Semarang dan Rembang, juga akan mengalami kondisi yang sama pada 28 September tersebut, yakni dari pagi elevasi permukaan laut dalam proses menuju surut hingga kemudian semakin mendekati sore hari elevasinya semakin surut tersurut," ujarnya.

Elevasi permukaan laut yang semakin surut ini ditambah dengan pendangkalan pesisir pantai utara Jepara dekat Pulau Mandalika akibat sedimen. Kemudian menjadi penampakan air surut ekstrem yang dilihat oleh masyarakat. "Berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta di atas, kondisi tersebut bukanlah merupakan indikasi bakal terjadinya tsunami di pantai Jepara," tutupnya.

Sumber Berita : Detik Travel