22 April 2007

AL-IKHWAN: WAHABI PEMBERONTAK [1]

AL-IKHWAN: WAHABI PEMBERONTAK [1]
[tulisan kesatu]


Pendahuluan

Dulu saya pernah bercerita, masjid kami yang belum jadi kedatangan satu keluarga dari Arab Saudi. Mereka berniat untuk menyalurkan dana yang mereka miliki untuk kelanjutan pembangunan masjid komplek yang sudah lama belum rampung.
Ketika disodorkan proposal yang sudah kami siapkan, salah seorang dari mereka menolak saat melihat sampul proposal tersebut. Lalu mengusulkan agar nama masjid yang tertera di proposal tersebut diganti saja. Dengan nama apa pun boleh asal jangan nama itu. Di sana tertulis dengan huruf besar nama masjid kami Masjid Al-Ikhwan.
Saat ditanya mengapa demikian? “Karena nama Al-Ikhwan identik dengan nama Osama,” katanya. Soalnya kalau di sana mendengar nama Osama bin Laden sudah antipati dan seringkali dicokok oleh pemerintah sana bila ada kaitan dengan nama itu. Jadi, takutnya nanti orang tidak mau pada menyumbang.
Dulu saya berpikir ada dua kemungkinan dalam masalah ini. Pertama ia menganggap bodoh kami yang tidak tahu tentang pertarungan pemikiran di tanah saudi antara salafy dengan Ikhwanul Muslimin, sehingga untuk memudahkan berbicara dengan kami maka dikaitkan dengan nama Osama Bin Laden. Atau yang kedua memang ia benar-benar tidak tahu tentang kaitan kedua jama’ah ini tapi hanya mendengar dari informasi sepihak yang membenci Al Ikhwanul Muslimin lalu mengait-ngaitkanya dengan Osama.
Setelah pertemuan tersebut saya sempat menyimpulkan bahwa nama Al Ikhwan (yang dalam bahasa Indonesia berarti persaudaraan) bagi saudara-saudara kita di tanah Arab Saudi sana menjadi bahan pertimbangan terpenting untuk jadi tidaknya berinfak. Atau karena kebencian semata nama Al-Ikhwan identik dengan ke-bid’ah-an (menurut mereka), lawan politik, dan pendukung Osama?

Al-Ikhwan
Tetapi saya barulah mengerti banyak mengapa nama Al-Ikhwan menjadi momok di Arab Saudi. Dan kaitan terdekat dari semua itu adalah masalah politik bukan pemikiran agama. Buku yang menjadi rujukan saya adalah buku lawas [1981] yang ditulis oleh Robert Lacey berjudul The Kingdom yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kerajaan Petrodolar Saudi Arabia.
Sebanyak 102 halaman di bagian kedua buku tersebut dengan judul Al-Ikhwan diungkap manis pahitnya hubungan antara Abdul Aziz bin Saud dengan Al-Ikhwan sebagai kesatuan tempur yang tekstualis dalam tafsir agama, penerus gerakan wahabi, militan, tangguh, dan ganas.
Tapi Robert Lacey dalam catatan kakinya di halaman 180 sudah mewanti-wanti bahwa kelompok Al-Ikhwan dari Nejd ini tidak ada kaitannya dan tak boleh dicampuradukkan dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun (Persaudaraan Muslim) yang dibentuk di Mesir di tahun 1930-an dan masih aktif sampai saat ini.
Kelompok ini di tahun 1912 datang dan menempati daerah penggembalaan yang disebut Al-Artawiyah. Di sana terdapat beberapa sumur tempat kafilah-kafilah dari Nejd dan Qasim bertemu. Kalau sekarang Al-Artawiyah ini berada di jalur perjalanan antara Riyadh dengan Kuwait.
Gerakan Al-Ikhwan ini sesungguhnya adalah pembaharuan dari gerakan kemurnian beragama yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdulwahhab. Seperti diketahui bersama di tahun 1744 terbentuklah persekutuan antara Muhammad bin Abdulwahab dengan Muhammad bin Saud sebagai penerus dinasti Saud penguasa Dar’iyah.
Kelompok Al-Ikhwan selalu berpegang teguh akan arti harfiah yang tersurat di Qur’an, sementara Hadits mereka anggap sebagai buku petunjuk dan perintah yang harus mereka laksanakan setepat-tepatnya. Mereka tak mau memakai aghal—tali ikat kepala, hitam, karena menurut mereka nabi tak pernah memakainya. Mereka juga memotong jubah mereka setinggi lutut. Mencukur kumis dan memanjangkan jenggot.
Lacey menulis bahwa penampilan mereka selalu menunjukkan betapa mereka menjauhi keduniawian, menolak tembakau, dan pula menolak radio dan telepon, karena Nabi tak pernah memakainya. Tapi anehnya tidak menolak kehadiran senapan dan penggunaannya. Di Al-Artawiyah menyanyi, menari, dan bahkan permainan anak-anak dilarang. Mereka menganggap bahwa mereka prajurit Allah yang tugas utamanya adalah membersihkan dan memurnikan agama.
Ada satu perbedaan penting antara gerakan Al-Ikhwan di awal abad dua puluh dengan kaum Wahabi. Bahwa Muhammad bin Abdulwahhab adalah seorang yang tinggal di kota dan pesan yang disampaikan khusus diperuntukkan bagi penghuni kota sedangkan kelompok ini adalah dari kaum Badui dan tugas merekalah untuk menyebarkan pemahaman mereka di tengah masyarakat badui yang pada saat itu masih saja percaya dengan takhayul. Cuma itu saja. Dan pada saat itu mereka belum menjadi kekuatan tempur. Karena Abdul Aziz belum datang kepada mereka.

Kekuatan Tempur
Yang jelas gerakan ini tak akan mungkin berkembang tanpa campur tangan Abdul Aziz. Ia memberi mereka tanah, mengirimkan penyuluh ke padang pasir untuk mengumpulkan lebih banyak anggota baru untuk pemukiman mereka.
Di tahun 1912 ia menempatkan dirinya secara kukuh di pucuk pimpinan gerakan ini. Dengan memberikan sebuah bentuk keterikatan kepada kelompok ini dengan menghancurkan benda kesayangannya di depan umum berupa gramopon putar tangan yang dibawanya dari Kuwait dan sering dimainkannya di dalam tendanya. Kaum Ikhwan mengangguk setuju dengan perbuatannya.
Di tahun 1917 dengan biaya pribadinya memesan dari India sejumlah besar buku cetakan karangan Ibnu Abdulwahab, pendidikan dasar tentang iman, agar pemikirannya bisa tersebar luas di tengah padang pasir.
Bagi Abdul Aziz pengorbanan benda kesayangannya ini tak seberapa dengan hasil yang ia dapatkan dengan menggenggam kekuasaan kelompok ini. Dengan kekuatan tempur dari gerakan ini—perlu diketahui bahwa sebelumnya Abdul Aziz mempunyai kekuatan tempur lain dari suku-suku Badui liar yang hanya bisa dibeli dengan emas untuk bertempur dengan Kaum Rasyid, tetapi tidak untuk loyalitas kepadanya—sebanyak 60.000 sejak tahun 1912 ia dapat menjinakkan suku-suku Badui liar dan menunjukkan kekuatannya pada rival utamanya yaitu Penguasa Hijaz Syarif Husain bin Ali.
Di tahun 1916 mereka dapat menguasai Khurmah—suatu daerah yang disepakati oleh Abdul Aziz dengan Inggris sebagai daerah perbatasan daerahnya Nejd dengan daerah Syarif yaitu Hijaz. Bahkan mereka sanggup menguasai Turabah suatu daerah yang jaraknya ’hanya’ 150 km dari Mekah. Walaupun sempat dikuasai kembali oleh Syarif dengan pasukan dibawah kepemimpinan Abdullah bin Husain, namun tanggal 26 Mei 1919 Turabah direbut kembali.
Penuturan salah seorang yang lolos dari sergapan Al-Ikhwan ini adalah ”aku melihat darah mengalir di Turabah bagaikan anak sungai di antara batang-batang kurma. Aku melihat mayat-mayat ditumpuk di benteng sebelum aku melompat ke jendela.”
Taif geger mendengar berita tersebut. Dengan hancurnya pasukan Abdullah maka Hijaz sama sekali tak punya kekuatan lagi. Dengan mudahnya kaum Ikhwan bisa maju dan meruntuhkan Mekah. Tapi Abdul Aziz merasa belum saatnya untuk menakhlukkan Mekah karena ia ingin agar kota tersebut tidak direbut dengan kekerasan, cara itu takkan menjamin ia berkuasa lama di sana.
Terlalu dini bagi Saudi untuk bisa merebut Hijaz tanpa mendapat tentangan dari Inggris atau dunia Islam lainnya. Maka ia berusaha membujuk Al-Ikhwan untuk kembali ke pangkalan dengan alasan ia memerlukan mereka untuk menghadapi tantangan kaum Rasyid. Ini benih perpecahan Abdul Aziz dengan Al-Ikhwan. Mengapa hanya berhenti sampai di sini? Menurut kelompok ini, inilah saatnya membersihkan Mekah, Madinah, dan semua daerah di pantai Laut Merah dari segala macam khurafat.
Dan benar kekuatan mereka digunakan oleh Abdul Aziz untuk mengalahkan saingan utamanya di Nejd yaitu kaum Rasyid. Setelah menakhlukkan Jabal Syammar di musim panas 1920, di awal Nopember 1921, Hail, sebagai pusat kekuasaan kaum Rasyid ditakhlukkan. Para saudagar Hail agaknya sudah bosan dengan keluarga Bani Rasyid yang memerintah mereka dan tak mau mengundang kemarahan kaum ikhwan hingga para saudagar tersebut memutuskan untuk membukakan pintu gerbang Hail. Kini Abdul Aziz adalah penguasa Nejd sejati dengan mengganti gelar untuknya semula adalah Amir Riyadh menjadi Sultan Nejd.
Di tahun 1922, tanpa sepengetahuan Abdul Aziz sekitar 1500 prajurit Al-Ikhwan memasuki Transyordania (kini Yordania) yang saat itu dikuasai oleh Keluarga Hasyim dan sampai berada 15 km dari Amman. Setelah hampir banyak menguasai perkampungan di sekitar daerah tersebut mereka terhalang oleh patroli pesawat terbang Inggris, mereka mundur. Apalagi ditambah dengan dukungan pasukan kendaraan berlapis baja Inggris yang memang tak dapat dibandingkan dengan kuda-kuda mereka.
Abdul Aziz mendengar berita itu langsung menjebloskan pimpinan tentara Al-Ikhwan yang tersisa. Dan ia minta maaf kepada para penguasa Inggris. Tetapi sesungguhnya Abdul Aziz memaklumi keinginan dari Kaum Al-Ikhwan untuk pergi ke mana pun mereka inginkan, menjarah rayah daerah manapun yang mereka kehendaki. Ke daerah-daerah kosong yang ditinggalkan oleh Turki sejak Perang Dunia Pertama selesai.
Maka energi mereka disalurkan untuk merebut daerah Asir, sudut barat daya Arabia, daerah subur yang terjepit antara Hijaz dan Yaman. Daerah seluas 4000 mil itu pun dapat dikuasai oleh Abdul Aziz. Setelah itu mereka berniat untuk menguasai Kuwait, sekutu Abdul Aziz awalnya saat Kuwait diperintah oleh Mubarak dari keluarga Sabah. Namun saat Mubarak meninggal dan digantikan oleh anaknya, Salim, Abdul Aziz memutuskan untuk merebut daerah perbatasan yang sering menjadi sengketa yang tak kunjung padam. Menjadi sengketa karena bagi masyarakat Badui batas daerah pada saat itu cuma ada di hati manusia.
Tapi Inggris tak mau ini terjadi. Menurut Inggris, Asir bolehlah direbut, tapi Kuwait dan Irak lain ceritanya. Maka di tahun 1921 beberapa kapal perang dikirim untuk melindungi Kuwait. Pasukan Al-Ikhwan yang dipimpin oleh Faisal al-Dawisy pun harus berhadapan dengan polisi padang pasir plus dukungan Angkatan udara Inggris saat merambah Irak. Kali itu, Al-Ikhwan bertindak rasional memutuskan untuk mundur, dan ini lebih menguntungkan daripada keberanian semata. Sekarang, batas hati yang ada di manusia kadang harus mengalah pada penentuan dari Pemerintah Kerajaan Inggris.

Bersambung.

Maraji’:
1. Kerajaan Pertrodolar Saudi Arabia, Robert Lacey, Pustaka Jaya, 1986;
2. History of The Arabs, Philip K. Hitti, PT Serambi Ilmu Semesta, 2005;
3. Ensiklopedia Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1999


Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12:54 26 Maret 2007
Kalibata Masih Membiru
http://10.9.4.215/blog/dedaunan

No comments: