HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Selasa, 2022/11/18 16:23 WIB
Masih Status Janda, Angel Karamoy Terbuka soal Jodoh
-
Selasa, 2022/11/18 11:14 WIB
Aktor Senior Rudy Salam Meninggal Dunia
-
Minggu, 2022/11/16 11:21 WIB
Denise Ungah Foto Regi Datau di IG, Reaksi Ayu Dewi Disorot
-
Selasa, 2022/11/18 13:44 WIB
Tips Mayangsari Agar Suami Tak Direbut Pelakor Kembali Viral
-
Selasa, 2022/11/18 17:30 WIB
Lagi, Dewi Perssik Laporkan Banyak Akun Hater ke Polisi!
-
Selasa, 2022/11/18 16:00 WIB
Selamat, Istri Ridho DA Melahirkan Anak Pertama
|
Thread Tools |
5th November 2015, 20:58 |
#3191
|
Mania Member
|
PENGURANGAN KARYAWAN DI SCTV
MULAI bulan Agustus 1998 ini stasiun televisi SCTV (Surya Citra Televisi) mengadakan pengurangan karyawan. Hal ini terpaksa dilakukan, setelah berbagai upaya penghematan ternyata tak mampu dipertahankan lagi. Pengurangan karyawan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bagian, sehingga hal ini tak akan mengganggu kelancaran operasional SCTV setiap hari.
Riza Primadi, sekretaris perusahaan SCTV, hari Rabu (5/8/98) menyatakan, pengurangan karyawan itu sampai Agustus 1998 masih bersifat sukarela. Artinya, pihak manajemen menjelaskan kondisi perusahaan sehingga karyawan mengerti sepenuhnya mengapa diperlukan perampingan karyawan. "Kalau kemudian ternyata perampingan tak bisa dijalankan dengan sukarela, ya mungkin terpaksa PHK (pemutusan hubungan kerja). Tapi mudah-mudahan tidaklah," katanya (waktu itu). Ia mengibaratkan kondisi SCTV bak kapal yang hendak tenggelam. Upaya yang dilakukan agar kapal itu tak karam adalah dengan mengurangi penumpangnya. "Kami berharap dengan perampingan ini SCTV tak sampai harus tenggelam." Riza tak menyebutkan berapa banyak karyawan yang harus mengundurkan diri. Sumber lain menyebutkan, dari 1.200 karyawan (saat itu) akan tinggal 800 orang. Mengenai hal itu Riza menekankan, berapa banyak karyawan yang harus meninggalkan SCTV benar-benar sangat tergantung pada pimpinan bagian masing-masing. "Pimpinan bagian yang paling tahu kondisi di bagiannya masing-masing. Jadi bisa saja ada bagian yang tak mengurangi karyawan, tapi ada yang bisa dikurangi, dan ada pula yang dihapuskan," ucapnya. Batas waktu hasil evaluasi pimpinan itu tanggal 20 Agustus 1998. Langkah terakhir Pengurangan karyawan, menurut Riza, benar-benar merupakan langkah terakhir untuk memperpanjang usia SCTV. Alasannya, tanpa pengurangan karyawan kemungkinan SCTV (kala itu) akan semakin cepat tenggelam. "Dengan cara ini kami berharap bisa bertahan minimal sampai akhir tahun (1998). Syukur-syukur kalau ada pemilik modal yang mau menginvestasikan uangnya," Riza menambahkan. Untuk menjalankan kembali roda SCTV dibutuhkan investasi sekitar Rp 700 milyar. Pengurangan jam tayang untuk menghemat biaya operasional sekitar Rp 20 juta per jam tak mungkin lagi dilakukan, karena hal itu (waktu itu) akan mengakibatkan pendapatan dari iklan semakin terpuruk. Selain itu, biaya lain seperti satelit dan sewa gedung tak terpengaruh dengan panjang-pendeknya jam tayang. "Kami sudah menghemat di program, antara lain sejak Juli 1997 tidak ada lagi program baru yang dibeli terutama film asing. Kalau sekarang (Agustus 1998) ada program baru, itu stok yang dikeluarkan. Jadi penghematan di sini sudah tak mungkin ditekan lagi," jelasnya. Meski juga mengalami kesulitan keuangan, namun stasiun TV swasta lain seperti RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), ANteve (Andalas Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), dan Indosiar hingga Agustus 1998, belum memutuskan untuk melakukan pengurangan karyawan. Strategi yang dilakukan TPI, ANteve, dan Indosiar antara lain dengan memperbanyak program yang diproduksi di studio sendiri. Sementara RCTI sejak Agustus 1997 tak lagi membeli film asing, dan lebih banyak memberlakukan bagi hasil untuk produksi lokal. Dok. Kompas, 6 Agustus 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:08 |
#3192
|
Mania Member
|
SIARAN SEPAKBOLA DIPERTAHANKAN
STASIUN televisi swasta (waktu itu) tetap akan menayangkan Liga Inggris dan Italia, meskipun harga hak siar acara tersebut naik dan ada kesulitan mencari sponsor. Stasiun televisi ANteve (Andalas Televisi) dan SCTV (Surya Citra Televisi) - kala itu - akan menyiarkan Liga Inggris mulai bulan Agustus 1998 yang saat itu akan datang, sedangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) - saat itu - akan menayangkan Liga Italia September 1998 nantinya.
"Sebelumnya harga hak siar Liga Italia 300.000 dollar AS, sekarang jadi 450.000 dollar AS atau sekitar Rp 6 milyar. Sebenarnya kenaikan harga hak siar itu normal, tetapi karena nilai rupiah kita anjlok, maka menjadi mahal," ucap penanggung jawab produksi olahraga RCTI, Linda Wahyudi, di Jakarta, Senin (27/7/98). Di samping itu, kata Linda, saat itu susah mencari sponsor. Sebenarnya sudah ada satu sponsor (Djarum), tetapi RCTI tetap terus mencari karena tidak mungkin menayangkan Liga Italia hanya dengan satu sponsor. Apalagi RCTI masih harus membayar penggunaan satelit dalam dollar AS, belum lagi ditambah ongkos produksi lain. Secara terpisah 'marketing manager sport' ANteve, Dwita Herman, mengemukakan, ANteve merencanakan (waktu itu) menayangkan Liga Inggris, meskipun harga hak siarnya makin membubung. Hak siar Liga Inggris naik dari harga 250.000 dollar AS, naik menjadi satu juta dollar AS atau sekitar Rp 15 milyar. Kenaikan harga hak siar tersebut karena ada perubahan promotor. "Jika ada perubahan promotor biasanya ada tender. Promotor yang baru harus membeli lebih mahal dari promotor sebelumnya. Selain itu, banyak bintang juga main di Liga Inggris. ANteve sendiri masih melakukan negosiasi harga dengan promotor baru (waktu itu). Berapa kami akan menawar hak siar itu belum bisa disebutkan," tutur Dwita Herman. Sophi Djuzman, 'program acquisition' SCTV, mengatakan, SCTV (ketika itu) akan menayangkan partai pembukaan Liga Inggris, charity shield pada tanggal 9 Agustus 1998 yang kala itu akan datang, antara klub Arsenal dan Manchester United. "SCTV tetap berupaya untuk menayangkan Liga Inggris karena itu merupakan trade mark SCTV. Kami tidak mau jika Liga Inggris pindah ke stasiun televisi lain, karena itu akan merusak 'image network'. Sekarang (Juli 1998) kami sedang melakukan pembicaraan bagi hasil dengan sponsor," ujar Sophi Djuzman. Sebenarnya hak siar dapat diperoleh lebih murah. Menurut Linda Wahyudi, itu dapat dilakukan tetapi dalam bentuk siaran tunda satu minggu kemudian. "Tapi bagaimana, pemirsa kita sudah terbiasa menonton tayangan langsung dan keesokan hari mereka dapat mengetahui hasil pertandingan dari koran. Karena itu kami upayakan siaran langsung," kata Linda. Dok. Kompas, 28 Juli 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:10 |
#3193
|
Mania Member
|
MASIH JAUH, KEMUNGKINAN TV SWASTA BANGKRUT
MESKI kembang-kempis karena "kue" iklannya tinggal 30%, namun kemungkinan TV swasta segera bangkrut (waktu itu) relatif masih jauh. Di sisi lain, kondisi krisis (sampai September 1998) ini kerap digunakan pengelola stasiun TV untuk menunda kewajibannya kepada rumah produksi ('production house'/PH). Padahal kenyataannya, sinetron tetap menjadi primadona tayangan di TV swasta. Sinetron menduduki rating tinggi dan mampu mengundang pemasang iklan.
Walaupun umumnya sinetron yang ditayangkan di TV swasta masih berkualitas dasar, artinya sinetron hanya menunjukkan apa yang kasat mata dan menjual mimpi, sinetron-sinetron di TV swasta umumnya memiliki pola pikir yang seragam, dan tak memberi kemungkinan banyak bagi pemirsa untuk menonton "jenis" sinetron lain. Demikian antara lain terungkap dalam sarasehan RCTI Oke bertema Program Lokal di Tengah Krisis Moneter: Mampukah Sinetron Bertahan sebagai Primadona?, di Jakarta, Kamis (3/9/98). Salah seorang pembicara, ketua umum KFT (Karyawan Film dan Televisi), Slamet Rahardjo mengakui, meski kualitasnya hanya di tingkat dasar, tetapi sinetron Indonesia disukai pemirsa. Namun ia mempertanyakan, mengapa pekerja film hanya mengikuti selera pasar dan tidak berusaha menciptakan sesuatu yang mampu mengajak pemirsa merenung atau berpikir. Pembicara lainnya, Raam Punjabi, dirut Multivision Plus mengatakan, bagaimanapun keoptimisan kelangsungan hidup TV swasta bisa membuat PH bernafas. Walaupun (waktu itu) masih ada kewajiban pengelola TV kepada PH yang belum diselesaikan namun masih ada harapan hidup bagi PH karena "tokonya" masih ada. Ia menolak menyebutkan piutang Multivision terhadap TV swasta. Namun menurut dia, sejak krisis moneter sebagian sinetron produknya yang ditayangkan TV swasta memakai bentuk kerja sama bagi hasil dan tetap mampu menarik iklan. Pembicara lainnya, Deddy Mizwar menambahkan, hubungan PH dan stasiun TV cenderung seperti buruh dan majikan daripada kemitraan. "Ada pertemuan antara pemasang iklan dengan stasiun TV, tapi tidak ada pertemuan antara TV dengan PH. Apa TV takut ditagih utangnya?" Kesamaan bahasa Budi Darmawan, manajer humas SCTV (Surya Citra Televisi) mengatakan, tak adanya kemampuan TV swasta membeli program asing memberi peluang bagi PH lokal, karena lebih dari 65 persen program di TV swasta merupakan program lokal. Namun di sisi lain, kemampuan TV swasta membeli sinetron produk lokal pun menurun. "Untuk masa sekarang (1998) ini, apakah masih layak kalau harga sinetron lebih dari Rp 90 juta per episode?" Endah Hari Utari, manajer perencanaan dan pengembangan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) menambahkan, stasiun TV berharap agar PH bisa menurunkan tarif sinetronnya, hingga baik stasiun TV maupun PH sama-sama diuntungkan dalam situasi sulit ini. Diingatkannya, peluang menjual sinetron ke pasar luar negeri terbuka luas. "Jadi pembuatan sinetron itu sebaiknya juga mempertimbangkan pasar internasional." Pasar itu bukan hanya di kawasan ASEAN, tapi Mahkota Mayangkara misalnya dibeli Inggris. Atun S Purbo, direktur program dan pemasaran ANteve (Andalas Televisi) mempertanyakan, apakah sinetron yang umumnya glamor itu masih cocok untuk masa sulit saat itu? Hal itu dikaitkan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Menurut dia, ketika itulah saatnya bagi semua pihak untuk berani melakukan perubahan. Sependapat dengan Atun, dirut RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Ralie Siregar menambahkan, perlunya pertemuan antara PH dengan stasiun TV untuk mewujudkan kesamaan bahasa kedua pihak. Kesamaan bahasa itu bukan hanya mengenai tema dan bentuk sinetron yang tak melulu berorientasi komersial, tapi sampai pada kerja sama yang bisa menguntungkan keduanya. Asaf Antariksa dari Indosiar memberi data betapa sinetron masih disukai pemirsa (sampai saat itu). Setiap minggu, penayangan sinetron di lima TV swasta (ketika itu) 61 jam. Jumlah itu menurun 10,5 jam dibanding data tahun 1997. Namun data tahun 1998 ini pun masih menunjukkan bahwa sinetron mendominasi top ten program dari seluruh program yang diputar TV swasta. Dok. Kompas, 4 September 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:12 |
#3194
|
Mania Member
|
ATURANNYA TVRI TAK BERIKLAN, FAKTANYA BERBEDA
BELAKANGAN itu, TVRI memasang iklan pada sebagian acara yang ditayangkannya, sama dengan stasiun-stasiun televisi swasta (TPI, RCTI, SCTV, ANteve, dan Indosiar). Padahal di atas kertas, TVRI tidak boleh beriklan. Iklan di TVRI misalnya pada pertandingan sepak bola Piala Dunia (Juni-Juli 1998 lalu), konser Kucinta Indonesiaku (19/8/98, pukul 22.00 WIB), tayangan miniseri Sabai Nan Aluih (21-23 Agustus 1998, pukul 20.00) dan acara pagelaran Cinta Indonesia Cinta Merah-Putih (24/8/98, pukul 19.30 WIB).
Iklan yang ditayangkan TVRI tak selalu berupa iklan penuh seperti pada iklan-iklan TV swasta yang biasanya mengambil waktu sekitar enam menit untuk 30 menit acara. Sebagian iklan di TVRI berupa 'running-text' dan 'superimpose', seperti yang ditampilkan pada penayangan Sabai Nan Aluih dan pagelaran Cinta Indonesia Cinta Merah-Putih. Dirjen RTF, Drs. Ishadi SK, Senin (24/8/98) di Jakarta, tak menjawab secara tegas apakah penayangan iklan di TVRI itu merupakan pelanggaran terhadap peraturan atau tidak. Khusus soal iklan pada penayangan pertandingan sepak bola Piala Dunia 1998, Ishadi mengatakan, hal itu dilakukan karena adanya krisis moneter yang mengakibatkan merosotnya nilai rupiah terhadap dollar. "Sama seperti stasiun TV swasta lainnya, TVRI juga harus berusaha keras memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini memang ada usaha memperoleh dana lewat iklan," katanya usai selamatan HUT ke-36 TVRI. Tentang iklan pada konser Kucinta Indonesiaku, Ishadi berkilah, itu dilakukan karena sudah merupakan sebuah paket dengan acaranya. "Acara itu sendiri bagus dan temanya juga kuat, jadi memang pantas kalau TVRI juga menyiarkannya. Ternyata acara itu sepaket dengan iklannya, ya sudah," ucapnya. Iklan berbentuk 'running-text' dan 'superimpose', menurut Dirjen RTF Ishadi merupakan suatu kerja sama yang diberi kebijaksanaan khusus. Ishadi tidak merinci pendapatan yang diperoleh TVRI dari penayangan iklan. Namun ia meyakinkan bahwa pengeluaran uang dari iklan itu bisa dipertanggungjawabkan. "Semuanya transparan. Penggunaan uang itu untuk apa saja juga jelas dan terawasi," kata Ishadi. Selama itu TVRI mendapatkan dana antara lain dari APBN, iuran televisi dari pemirsa, dan setoran wajib 12,5 persen pendapatan iklan dari TV swasta. Tak keberatan, asal adil Menanggapi kenyataan TVRI menayangkan iklan, Zoraya Perucha, manajer humas ANteve (Andalas Televisi) menyatakan, pihaknya telah mengirimkan surat yang isinya mempertanyakan hal tersebut kepada TVRI. "Kalau TVRI mau beriklan silakan saja, kami tidak keberatan, tidak ada masalah. Asalkan itu dilakukan secara adil, karena di sini ada aturan mainnya, ada peraturan yang menyebutkan hak dan kewajiban TV swasta dan juga TVRI," tutur Zoraya. Riza Primadi, direktur pemberitaan urusan perusahaan dan personalia SCTV (Surya Citra Televisi), berpendapat senada. Katanya, "Kami tak menolak TVRI beriklan, sepanjang itu sesuai dengan peraturannya. Tapi kalau peraturannya tak mengizinkan, seharusnya kita semua mematuhinya. Semua pihak harus mematuhi peraturan, termasuk TVRI." Ia mencontohkan, ketika pemerintah melarang penayangan film bersulih-suara, semua TV mematuhinya. Padahal kerugian dana yang harus ditanggung akibat peraturan tersebut relatif besar. "SCTV misalnya, punya sekitar 1.200 jam program yang sudah di-'dubbing' ke bahasa Indonesia. Kami patuh, dan ini tidak kami tayangkan." Sementara Eduard Depari, manajer humas RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) berpendapat, seharusnya TVRI tidak beriklan dulu sampai UU Penyiaran yang belakangan itu tengah direvisi selesai dibicarakan dan ditetapkan DPR. Katanya, "Kalau praktek TVRI beriklan terus dijalankan, apa ini tidak sama dengan melecehkan peraturan?" Fakta TVRI beriklan juga mengesankan penafsiran peraturan untuk keuntungan sendiri. Alasannya, selain dari iklan, TVRI (kala itu) juga tetap memperoleh dana dari iuran pemirsa dan setoran 12,5 persen dari pendapatan iklan TV swasta. Dok. Kompas, 26 Agustus 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:15 |
#3195
|
Mania Member
|
DIRJEN RTF TENTANG TVRI: AKAN TERSISIH JIKA GAGAL DALAM PEMBARUAN
DIRJEN Radio Televisi dan Film (RTF), Drs. Ishadi SK menyatakan, dalam alam reformasi seperti belakangan itu, TVRI harus mengadakan pembaruan, berkompetisi secara profesional dengan TV swasta. Kalau itu gagal dilakukan, maka TVRI akan tersisih, tidak kredibel dan tidak terhormat.
Hal tersebut diungkapkan Ishadi dalam acara "Kangen-kangenan Budaya" di Kawasan Budaya Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis (6/8/98). Acara ini dihadiri beberapa seniman di antaranya Emha Ainun Najib, Chaerul Umam, Bagong Kussudiardjo, Novi Budianto. Ishadi menyatakan, secara konsep dalam hal berita-berita, TVRI arahannya memang tidak sekadar menggelorakan pembangunan tanpa kritik. TVRI nantinya harus berani menyentuh sendi-sendi kehidupan seperti nepotisme, kolusi dan korupsi. Menurut dia, berbicara keberadaan radio, televisi dan film (RTF) tidak bisa lepas dari dua hal. Yang pertama adalah suatu kenyataan bahwa keberadaan RTF masih berdasar pemikiran Barat, tempat di mana televisi berasal. Artinya keberadaannya masih seperti tempat penyaluran pikiran-pikiran Barat pada masa itu. "Karena itulah RTF kita tidak efektif bahkan 'counter productive', karena dalam perjalanannya tidak difungsikan secara baik," ujarnya. Yang kedua, produk RTF hakikatnya adalah cermin dari masyarakat, wajah dari impian masyarakat. Dalam kaitan ini, TV lantas mengikuti perjalanan hukum bisnis. Mana yang menyedot penonton dan mendatangkan banyak uang, itulah yang kemudian menjadi produk. "Film-film dari Starvision atau Indovision justru lebih laris, tetapi film Teguh Karya yang berbobot tidak selaris itu," ujarnya. Dikatakannya itu memang realitas yang ada. Mengapa kita tetap pada realitas itu, karena masyarakat kita terkungkung pada keinginan- keinginan tersebut. Yang lahir kemudian adalah karya-karya mimpi masyarakat kita. "Rumah mewah, mobil bagus, itu yang kemudian mengungkung pemikiran mereka. Karena hanya mimpi, maka terjadilah kasus penjarahan," kata Ishadi. Melawan Karena RTF kita masih terkungkung dalam konsep pemikiran Barat, menurut Ishadi, cara melawannya pun harus cara Barat. Banyak yang bisa dilakukan, yang tujuannya menggugah opini publik, yaitu diskusi yang kemudian dimasyarakatkan, membuat opini-opini di DPR, bahkan sampai pada demonstrasi. Berlarut-larutnya perjalanan RTF kita, menurut Ishadi, juga disebabkan tidak disiapkannya sistem mekanisme kontrol. Mengutip pernyataan Menpen Yunus Yosfiah, Ishadi menyatakan, salah satu kunci efektifnya kontrol itu harus diserahkan kepada masyarakat. Lembaga kontrol itu harus bukan institusi pemerintah. Untuk bisa mendapatkan fungsi kontrol efektif itu, menurut Ishadi yang masih mengutip pernyataan Menpen, adalah membangun kebebasan pers. "Kebebasan pers harus dilindungi hak kontrolnya. Dengan kebebasan pers semuanya akan bisa dikontrol, dan orang yang berbuat salah akan takut, karena selalu dikontrol oleh media massa," ucapnya. Dok. Kompas, 7 Agustus 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:15 |
#3196
|
Mania Member
|
TVRI AKAN PERPANJANG JAM SIARAN
DIREKTUR TVRI Aziz Husein hari Senin (3/8/98) mengatakan, TVRI akan memperpanjang jam siarannya. Kalau sebelumnya siaran TVRI Pusat Jakarta dimulai pukul 14.00 WIB setiap hari, kecuali hari Minggu atau libur lainnya, maka setelahnya, siaran dimulai menjadi lebih awal misalnya pagi hari.
"Untuk perpanjangan jam tayang itu, TVRI akan menggunakan jaringan pemancar yang selama ini dipakai TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)," kata Aziz di sela-sela peresmian berdirinya TVRI stasiun produksi Bengkulu. Namun demikian ia belum bisa menjelaskan kapan penambahan jam tayang bakal dimulai. "Ya, diusahakan bisa secepatnya," ujarnya. Masih menurut Aziz Husein, rencananya (kala itu) pada awal Agustus 1998 ini, TPI (waktu itu) akan mengembalikan jaringan pemancar TVRI yang sebelumnya mereka gunakan untuk mengudara. Humas TPI, Theresia Ellasari yang dihubungi secara terpisah, 3 Agustus 1998, membenarkan pihaknya (waktu itu) akan menyelesaikan kontrak sewa stasiun transmisi milik TVRI. "Rencana semula akan diserahkan pada akhir tahun 1999, tapi kemudian manajemen mengadakan perubahan dan rencananya akhir Agustus (1998) ini TPI akan menghentikan sewa stasiun transmisi TVRI," jelas Ella (kala itu). Setiap bulan TPI harus membayar Rp 500 juta untuk menyewa 150 stasiun transmisi TVRI. Meski Ella mengaku belum tahu (waktu itu) kapan sewa stasiun transmisi akan diakhiri tetapi ditegaskannya TPI tidak keberatan jika TVRI akan memakai kembali stasiun transmisi tersebut. Dok. Kompas, 4 Agustus 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:16 |
#3197
|
Mania Member
|
HUT TELEVISI DI MASA KRISIS
DALAM bulan Agustus 1998 ini pemirsa televisi dimanjakan dengan aneka tontonan di TVRI, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), dan SCTV (Surya Citra Televisi), yang berulang tahun pada tanggal 24 Agustus. TVRI merayakan hari jadinya ke-36, RCTI ke-9, dan SCTV ke-8. Ketiganya seakan berlomba menarik perhatian pemirsa dengan berbagai acara yang digelar sejak awal Agustus 1998. Bahkan TVRI yang biasanya "tertutup" pun khusus menggelar acara jumpa pers, agar kemeriahan HUT-nya diketahui khalayak.
Meski "kue" iklan untuk kelima stasiun TV swasta tinggal 30% (sampai Agustus 1998), RCTI dan SCTV tetap merancang acara khusus. TVRI yang belum berhasil mengumpulkan iuran TV dari pemirsa dan menarik piutangnya dari TV swasta (kala itu) tak mau ketinggalan. TVRI membuat mini seri berbiaya Rp 180 juta berjudul Sabai Nan Aluih, di samping Sepekan Lawak (menampilkan antara lain Bagito Grup), Sepekan Musik (Iwan Fals, Harry Roesli, AB Three), dan Sepekan Sinetron. RCTI mencoba meraih penonton dari berbagai selera dengan menyediakan aneka film, mulai dari Festival Film India, Film Keluarga, Film Indonesia, Film Mandarin, Paket Program Terbaik Favorit Pemirsa seperti Basho, Ada-Ada Saja, Lika-Liku Laki-Laki, dan Gara-Gara. Stasiun TV swasta pertama ini juga menyajikan Layar Emas dengan film-film yang dibintangi aktor Bruce Willis. Sementara SCTV antara lain menjagokan pilihan program yang dirangkum dalam tayangan selama 5,5 jam pada hari Minggu (23/8/98). Pada hari Minggu (23/8/98), mulai pukul 18.00 (kala itu) akan dihadirkan berturut-turut antara lain Waroeng Aspirasi (siaran langsung hiburan dan bincang-bincang dari Jamz, Lippo Sudirman, Jakarta Selatan) dan Legong Suropati (pergelaran tari dan nyanyi karya Guruh Soekarnoputra). Mulai Senin (24/8/98) sampai Minggu (30/8/98) SCTV memutar film-film box-office seperti Batman Returns, Up Close and Personal, Lethal Weapon. Acara puncak HUT RCTI ditayangkan Senin (24/8/98) dengan menampilkan Semesta Raya Indonesiaku. Acara hiburan yang 'shooting'-nya dilakukan di Gedong Songo, Ungaran, Jawa Tengah ini, menampilkan Iwan Fals, Chrisye, dan Reza Artamevia. Pada hari dan waktu yang sama, pukul 19.30 WIB, TVRI juga menayangkan pergelaran karya Guruh Soekarnoputra berjudul Cinta Indonesia Cinta Merah-Putih. RCTI juga membuat acara 'off-air' seperti Kejuaraan Debat Wawasan antar-Perguruan Tinggi se-Indonesia, pasar peduli, dan sarasehan soal TV. TVRI punya kegiatan serupa, misalnya bakti sosial bagi sebagian masyarakat. NAMUN di balik kemeriahan acara HUT ketiga stasiun TV itu sebenarnya terdapat masalah yang relatif tak mudah diuraikan. RCTI misalnya harus berhemat agar bertahan sampai sekitar pertengahan tahun depan dan tidak mem-PHK sekitar 1.200 karyawannya. Penghematan mulai dari kertas, telepon, sampai urusan kendaraan. "Untuk mengurangi jam tayang, kalau bisa janganlah," kata dirut RCTI, Ralie Siregar. "Sekarang ini (Agustus 1998) kami berusaha agar bisa tetap 'survive'," tambah Ralie. Caranya antara lain dengan melirik berbagai peluang, seperti iklan kuis. Dari sini saja RCTI bisa mendapatkan pemasukan sekitar Rp 18 milyar setahun. Sementara biaya operasional sekitar Rp 50 juta per jam diupayakan bisa ditekan menjadi Rp 20 juta. Penghematan untuk acara HUT tahun 1998 ini relatif besar. Kalau tahun sebelumnya (HUT ke-8 RCTI) dana untuk berbagai acara semacam mencapai sekitar Rp 1,6 milyar, menurut Eduard Depari, Manajer Humas RCTI, tahun 1998 ini (HUT ke-9 RCTI) dananya dipangkas sampai tinggal sekitar Rp 400 juta saja. Sementara SCTV tahun 1998 ini tak mengadakan kegiatan 'off-air'. Dana untuk kegiatannya pun diciutkan menjadi Rp 100 juta. Walaupun TVRI berusaha bersaing dengan TV swasta yang juga berulang tahun, beban yang disandang stasiun TV milik pemerintah ini belum terurai. Meski faktanya TVRI menyiarkan iklan, misalnya pada penayangan pertandingan sepak bola Piala Dunia bulan Juni-Juli 1998 dan konser Kucinta Indonesiaku pada Rabu (19/8/98) pukul 22.00 WIB, di atas kertas TVRI sebenarnya tak boleh beriklan. Untuk menunjang kegiatan operasionalnya, TVRI memperoleh dana dari APBN, iuran TV, dan setoran wajib semua TV swasta sebesar 12,5 persen dari pendapatan iklan masing-masing TV swasta. Direktur Televisi Aziz Husein menyatakan, utang setoran wajib TV swasta kepada TVRI sekitar Rp 121,8 milyar. Sayangnya, pendapatan dari iuran TV itu ternyata tak memberi hasil memadai, karena pemirsa tak mau membayar dengan alasan tak menonton TVRI. Soal iuran TV ini sudah ruwet sejak pemungutannya dilakukan PT Mekatama Raya tahun 1991. Penarikan uang dari TV swasta (TPI, RCTI, SCTV, ANteve, dan Indosiar) juga seret, apalagi setelah krisis moneter. Piutang TV swasta pada pemasang iklan menumpuk hingga sekitar Rp 200 milyar (sampai Agustus 1998). Dirjen RTF Ishadi berharap, TVRI (waktu itu) segera menjadi badan usaha yang bisa beriklan hingga dapat bersaing bebas dengan TV swasta. Namun faktor legal bagi TVRI untuk beriklan tampaknya masih panjang, karena hingga saat itu UU Penyiaran yang membelenggunya belum juga diubah. Tahap selanjutnya yang harus ditempuh TVRI adalah merampingkan awaknya. Ini pun bukan hal yang mudah dan cepat bisa diwujudkan. KESULITAN yang melilit SCTV lebih nyata, karena mulai Agustus 1998 ini rencananya (waktu itu) perampingan karyawan dilakukan. Menurut Riza Primadi, direktur pemberitaan dan personalia SCTV, semula SCTV berharap masing-masing pimpinan departemen sendiri yang memutuskan jumlah karyawan yang diperlukan. Namun hingga 22 Agustus 1998 belum diketahui jumlah karyawan yang terkena perampingan. Jumlah karyawan SCTV 1.200 orang. Untuk masa itu, jumlah idealnya sekitar 800 orang. Di samping mengurangi karyawan, SCTV sebelumnya telah mengurangi jam tayang dari rata-rata sehari 20 jam menjadi 17 jam, menekan biaya operasional menjadi Rp 20 juta per jam, dan sejak Juli 1997 tak lagi membeli film asing. ANteve (Andalas Televisi) pun menurut manajer humasnya, Zoraya Perucha, berhemat habis-habisan. Di samping itu, sejak Desember 1997, sebagian karyawan ditunda penghasilan bulanannya sebesar 2,5-10 persen. Karyawan ANteve belakangan itu (Agustus 1998) berjumlah sekitar 700 orang, dan menurut Zoraya hingga Agustus 1998 belum terpikir untuk melakukan PHK. Dok. Kompas, 23 Agustus 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 21:18 |
#3198
|
Mania Member
|
MULAI OKTOBER 1998, TPI “LEPAS” DARI TVRI
MULAI 1 Oktober 1998, stasiun televisi TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) tidak lagi menggunakan transmisi milik TVRI. Selama berdirinya, sejak 23 Januari 1991, TPI menyewa transmisi TVRI dengan sewa per bulan sekitar Rp 500 juta. Untuk selanjutnya TPI (waktu itu) akan menggunakan transmisi miliknya yang tersebar di 12 wilayah.
Menurut siaran pers humas TPI, stasiun TV ini saat itu memiliki sendiri transmisi di Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya, Madiun, Banda Aceh, Medan, Palembang, Batam, Ujungpandang, dan Palu. Lewat transmisi tersebut, TPI untuk sementara itu merasa cukup dapat menjangkau pemirsanya. Menanggapi rencana pemutusan sewa transmisi TPI ini Drs. Suryanto Sastrosuroyo, kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta, menyatakan, ia baru mendengar rencana pemutusan sewa transmisi tersebut. Bila benar, pemutusan itu menurut dia akan diikuti dengan kebijakan baru sehubungan dengan kosongnya jam pagi. Di samping itu, pihaknya (waktu itu) akan segera mengkaji berbagai faktor yang memungkinkan digunakannya waktu siaran yang selama ini dipakai TPI. Hal ini dinilainya tak bisa selesai misalnya, hanya dalam waktu satu bulan. "Banyak faktor yang terkait di sini. Ada program yang mau ditayangkan, dukungan fasilitasnya seperti, peralatan, dana, dan mempersiapkan orang-orangnya. Kami juga sudah harus mulai memikirkan segmen utamanya," Suryanto menambahkan. Selama itu TPI menggunakan transmisi TVRI mulai pukul 05.30-13.30 WIB. Untuk sementara itu, waktu tayang utama TPI ada pada pagi hari. Namun pelepasan sewa transmisi tersebut, menurut humas TPI, Theresia Ellasari,(waktu itu) tak akan mengganggu kelancaran operasionalnya. "TPI tetap siaran seperti biasa. Kami akan lebih memusatkan perhatian pada wilayah kota-kota besar dan sekitarnya. Selama ini, merekalah sasaran utama para pemasang iklan." Sementara TVRI sendiri dengan 14 stasiun penyiaran, delapan stasiun produksi dan 402 pemancar, mampu menjangkau 81,52 persen penduduk Indonesia. Dok. Kompas, 10 September 1998, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 22:49 |
#3199
|
Mania Member
|
TPI AKAN DIPADATI PAKET KOMEDI, EH ADA TANDINGAN LENONG RUMPI (RCTI/SCTV)
Komedi, kesenian
MEMASUKI tahun kedua (1992), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) mengundang beberapa sutradara, aktor, produser kondang melangkahkan kakinya ke sana. Mereka (waktu itu) akan mengisi lahan yang disediakan. Kebebasan berkarya dibeirkan seluas-luasnya. Baik itu sinetron, kuis, musik, dan kesenian tradisional, yang serius maupun komedi, semuanya boleh tampil. Pada tahun 1992 inilah (waktu itu) diharapkan mutu siaran dan acara-acaranya akan lebih baik. Itulah sebabnya, TPI merekrut sutradara-sutradara besar untuk menggarap sinetron. Karena di dalam rangka eksplorasi itu, dibutuhkan orang-orang yang memang sudah piawai di bidangnya. Kehadiran Wim Umboh misalnya. Wim Umboh sendiri mengakui, bahwa larinya ke TPI bukan hanya sekadar ingin tampil. Ia menghasilkan suatu karya yang lahir dari hati, bukan hanya dari pikiran. Ia ingin berbuat sesuai dengan keinginannya. Tidak ada persyaratan apapun yang diajukan TPI sebelumnya. "Tidak, tidak ada," jawabnya tegas. Ia melahirkan seorang tokoh guru dalam seri Pahlawan Tak Dikenal, yang dirasa tidak akan bisa dilakukannya dalam film layar lebar. Begitu juga dengan kehadiran sutradara Imam Tantowi. Dia (waktu itu) akan menggarap sinetron yang berbau sosial dengan tajuk Madu, Racun, dan Anak Singkong, yang syutingnya (waktu itu) akan dimulai akhir bulan Februari 1992 ini. Imam Tantowi hadir dengan kesadaran yang tak berbeda dengan Wim Umboh. Di samping itu, obsesinya tentang film anak-anak (saat itu) akan bisa dituangkan di sini. "Kalau di film layar lebar nggak mungkin ada produser yang mau," ujarnya. Adalah patut dibanggakan seandainya sineas-sineas yang ada saat itu sudah mempunyai kesadaran seperti ini. Bukan tidak mungkin dunia perfilman di tanah air ini (waktu itu) akan mengalami suatu perubahan yang diawali dari dunia sinetron. Baik dari segi tema maupun penggarpaan. Kesadaran ini telah dialami Ali Shahab jauh sebelumnya. Serinya Desaku Bumiku yang telah habis masa putarnya, (waktu itu) kembali akan ditayangkan lanjutannya. "Saya sudah siapkan sebanyak 60 episode," ujarnya bangga. Keinginannya untuk membuat serial yang jumlahnya mencapai ratusan episode, kayaknya (saat itu) akan terlaksana. Soal seri terbarunya (waktu itu) yang bertajuk Pepesan Kosong, dia bilang, "Sudah berjalan produksinya. Tinggal menunggu tanggal penayangannya saja." Lenong, lawak Meskipun TPI membawa misi pendidikan, buat produser macam Benny V Abubakar dari PT Wahyu Sahaja yang menelorkan seri Kabayan Orang Beken, tidak menjadi halangan. "Justru karena ada unsur P (pendidikan)-nya itu saya hadir," ungkapnya. Kehadirannya dengan seri komedi ini, karena ia melihat bahwa orang saat itu memang perlu supaya tidak stres. Di samping itu, komedi mempunyai unsur yang sangat halus dalam menyentil orang. "Kritikan dan pendidikan lewat humor tidak membuat orang marah dan merasa digurui," lanjutnya. Maka selesai menggarap Kabayan yang 9 episode ini, ia mulai 'star' untuk menggarap Ulah Pak Bedul, cerita rakyat Sumatera sebanyak 9 episode, dengan pemain Charles Hutagalung dan Dewi Irawan. Rencananya (waktu itu) syuting akan dimulai bulan Maret 1992. Kehadiran Benyamin S, patut pula diperhitungkan. Laki-laki Betawi ini (kala itu) akan menggarap kesenian daerahnya sendiri, yang diberi nama Lenong Modern. Ia bertindak sebagai penulis cerita, sekaligus menyutradarainya. Ia membantah kalau kehadirannya di TPI ini sebagai tandingan Lenong Rumpi (RCTI/SCTV). Ia sendiri mengaku, sangat bangga dengan hadirnya Lenong Rumpi. "Mereka telah menunjang kesenian Betawi, cuma barangkali pakemnya saja yang belum digarap," katanya. Tapi kalau Bokir malah tanpa kompromi, kehadirannya di TPI terus terang dikatakan bersaing dengan Lenong Rumpi. Ia tak akan menggunakan naskah orang lain. Ia (waktu itu) akan menggarap naskah dan pemainnya sendiri. "Mau bagus atau jelek, itu tanggung jawab saya," kata Bokir jujur. Dalam kehadirannya di TPI, ia (kala itu) akan membawakan lawakan yang dikemas dalam bentuk Topeng Betawi. "Lawakannya nggak terlalu kasar, dan nggak dicari-cari," ujarnya semangat. Ia (waktu itu) akan tampil sebulan dua kali dengan menghadirkan sekitar 40 orang pemain. Sedang Benyamin S (waktu itu) akan menurunkan pemain yang sudah punya nama seperti Nurul Arifin, Rini S Bono, dan beberapa pemain beken lainnya. Asmuni dan kelompoknya juga tak mau ketinggalan. Dia merencanakan membuat komedi yang dapat mengundang gelak tawa pemirsa (kala itu). Namun bentuknya ia belum tahu pasti. Dok. Bintang - No. 51, 15-21 Februari 1992, dengan sedikit perubahan |
5th November 2015, 22:50 |
#3200
|
Mania Member
|
JAGUNG BAKAR DAN GADIS ATAU JANDA KENA CEKAL TVRI, ELVIE SUKAESIH, ELLYN TAMAYA, DAN
Porno, purnama
SETELAH berkali-kali muncul di TVRI, tiba-tiba lagu Jagung Bakar dan Gadis Atau Janda diharamkan. Tuduhan bahwa lirik lagu itu mengandung unsur porno yang menjadi landasan pelarangan itu. Tentu saja ini sangat aneh. Karena toh lagu itu, sudah berkali-kali ditayangkan, dan di TVRI ada tim seleksi yang tugasnya menseleksi setiap lagu yang akan ditayangkan. Apakah mereka kebobolan. Yang lebih aneh lagi lagu Gadis Atau Janda itu lagu lama yang dirilis ulang. Tapi apa boleh buat, vonis sudah dijatuhkan. Tak hanya masyarakat yang kemudian bertanya-tanya. Ellyn Tamaya dan Elvie Sukaesih, penyanyi kedua lagu itu pun juga tidak mengerti dengan tuduhan porno yang dilontarkan TVRI. "Saya sendiri lagu tahu saya dilarang setelah baca koran. Sebenarnya saya menyayangkan lagu sebagus itu dilarang. Padahal lagu itu banyak yang senang. Maka saya menghimbau kepada yang berwenang tolong menjelaskan, kalau lagu itu porno, unsur mana yang dimaksud. Karena menurut saya lagu itu lagu humor dan tidak mengandung maksud apa-apa," kata Elvie yang menjadikan Gadis Atau Janda, duet dengan Mansyur S. Lagu karya Awab, pimpinan OM Purnama ini, sekitar tahun 70an pernah dinyanyikan Elvie. Waktu itu dia menyanyikannya duet dengan Muchsin alatas. Jadi, Gadis Atau Janda adalah lagu yang dirilis ulang karena selera pasar. Tentang penampilannya saat menyanyikan lagu ini, Elvie juga merasa tampil sopan. Artinya tidak bergaya berlebihan yang bisa mengundang. Sebetulnya lagi, Elvie menyanyikan lagu ini untuk menandingi lagu-lagu dari album lamanya, yang beredar kembali tanpa seijinnya. "Masalahnya banyak lagu saya yang muncul kembali, tapi dengan sampul yang berbeda. Orang enak-enak ngejual lagu saya, tapi saya sendiri nggak dapat apa-apa," ujarnya dengan sedikit kesal. "Tapi kalau itu sudah peraturan, ya saya menerima saja." Tak hanya tuduhan porno sebetulnya yang menggelisahkan Elvie. Budaya kita yang menegatifkan janda juga dia tuding. "Kalau bicara janda asosiasinya sudah ke hal-hal porno. Padahal kalau kita mau lihat yang gadis juga belum tentu perawan," ungkap Elvie lagi. Sebelum menyanyikan lagu itu konon Elvie juga sudah bertanya pada teman-temannya apakah lagu Gadis Atau Janda itu, porno atau tidak. Dia pun juga bertanya pada anak-anaknya. "Khan anak sekarang (1992) biasanya lebih kritis, dan ternyata jawaban mereka lagu itu tidak ada pornonya sama sekali," tandasnya. Senada dengan Elvie Sukaesih, Ellyn Tamaya, penyanyi lagu Jagung Bakar juga tidak mengerti dengan kriteria porno yang dituduhkan pada lagunya. "Sebelum lagu itu ditayangkan, khan sudah diperdengarkan lebih dulu pada orang-orang TVRI. Malah waktu rekaman kita membawa jagung bakar beneran. Menurut saya lagu ini tidak porno, kalau kita simak baik-baik lagu ini khan berisi tebak-tebakan mengenai jagung bakar," ucap gadis ini panjang lebar. Dampak pelarangan kedua lagu ini, tentu saja tak hanya bagi penyanyinya, tapi juga produser pemilik lagu itu. Selama itu televisi, terutama TVRI masih diyakini sebagai sarana promosi yang paling efektif. Pelarangan sebuah lagu muncul di TVRI, berarti hilangnya peluang melakukan promosi. Dan tentu saja, produserlah orang yang merasa paling bertanggung jawab untuk pemasaran sebuah lagu. "Syaa jadi bingung juga. Kalau memang dilarang kenapa tidak dari awal? Kalau dinilai porno, jagung bakarnya divisualisasikan dengan jelas," ini kata Dharmawan, produser lagu Jagung Bakar. Sama seperti Ellyn Tamaya, Dharmawan pun mengatakan kalau lirik lagu Jagung Bakar semata-mata berisi tebakan. "Jangan dilihat dari satu sisi saja dong," tambahnya. Tapi bagi Dharmawan sendiri, pelarangan lagunya muncul di TVRI ternyata berdampak positif sekaligus negatif bagi pemasaran lagunya. "Ada untungnya, ada ruginya. Ruginya promosi yang sudah kami siapkan untuk jangka panjang jadi berantakan. Dampak yang menguntungkan kami, sesuatu yang tidak dapat dimunculkan di teve, biasanya mengundang ingin tahu masyarakat," ucapnya. Kalau mau dijabarkan lebih lanjut lagi, biasanya sesuatu yang dilarang memang malah mengundang orang untuk tahu lebih banyak. Dalam kasus ini, mungkin masyarakat malah banyak yang ingin membeli kasetnya. Sampai saat itu, sudah sekitar 20.000 'copy' lagu Jagung Bakar yang dilempar ke pasaran. Dan konon permintaan masyarakat masih terus bertambah. Kasetnya sendiri memang tidak dilarang beredar. Di radio-radio, lagu ini (waktu itu) juga masih sering diperdengarkan. Dan rencananya (waktu itu), produser lagu ini akan mengalihkan promosinya lewat radio dan memperbanyak 'show' artisnya. Sebagai produser Dharmawan pun tidak berkecil hati. Dia masih tetap yakin penyanyinya, Ellyn Tamaya, masih punya peluang. Untuk itu dia akan mengadakan festival karaoke di radio-radio (saat itu). Pertanyaan yang kemudian muncul memang seputar kriteria yang dipakai TVRI untuk melarang lagu itu. "Sebetulnya syair lagu tersebut tidak porno. Tapi konotasi orang bisa mengarah ke sana," jawab Hoediono, kasie perencana musik dan hiburan TVRI. Tanpa menjelaskan lebih rinci, Hoediono juga mengatakan kalau secara keseluruhan lagu tersebut memang berkonotasi tidak mendidik. Tentang kenapa baru belakangan itu dilarang, Hoediono mengakui kalau TVRI memang kecolongan. Konon ini disebabkan penerimaan materi lagu yang sering mendadak. Padahal, menurutnya, TVRI sudah sering mengingatkan koordinator acara untuk mengirimkan materi lagu jauh-jauh hari. "Dengan begitu, kami lebih bisa menyeleksi materi lagu. Tapi yang sering terjadi, malah mereka memberikan materi lagu langsung ke bagian produksi tanpa melalui kami," jelas Hoediono sambil menghimbau agar para koordinator acara juga lebih selektif memilih materi lagu. Sampai saat itu Hoediono belum tahu pasti sampai kapan pelarangan itu berlaku. Tapi yang jelas, vonis sudah dijatuhkan. Dok. Bintang - No. 51, 15-21 Februari 1992, dengan sedikit perubahan |
-
Dewi Perssik Kembali Laporkan Akun Hater ke Polisi
-
Masih Status Janda, Angel Karamoy Terbuka soal Jodoh
-
GoTo PHK 1.300 Karyawan
-
Karyawan Resign Massal, Seluruh Kantor Twitter Tutup
-
Viral Pengantin Pakai Ranjang Pasien Saat di Pelaminan, Kisahnya Bikin Haru
-
Viral Wanita Ngaku Sulit Dapat Pasangan, Dihujat Netizen Usai Ungkap Kriterianya
-
Wanita Pacaran dengan Pembunuh, Setia Tunggu Kekasih Keluar Penjara Tahun 2052
-
Pernikahan Berubah Jadi Malapetaka Usai Pengantin Pria Dapat Kado dari Mertua
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer