MENGENAL RIWAYAT & FALSAFAH HIDUP PAKU ALAM VIII

Seminar Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Paku Alam VIII

MENGENAL RIWAYAT & FALSAFAH HIDUP PAKU ALAM VIII

Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, Monumen Jogja Kembali, 23 April 2015

Oleh :

HERU WAHYUKISMOYO

  1. Paku Alam VIII & Mata Rantai Perjuanganya :

Sosok Ksatriya Jawa ini dilahirkan pada tanggal 10 April 1910 ditengarai dengan candra sengkala “Mumbul Tejaning Manggala Yudha” (Tahun Jawa, 1870) dengan nama Gusti Raden Mas Haryo Sularso Kuntosuranto putra dari Paku Alam VII dengan Permaisuri Gusti Raden Ayu Retno Purwoso binti Paku Buwono X.    Dari sinilah dua darah mengalir dari Kasunanan Surakarto dan Kasultanan Yogyakarta yang menyatu pada sosok Kanjeng Gusti Adipati Aryo Prabu Suryodilogo yang disandangnya sejak tanggal 4 September 1936.

Setengah tahun kemudian dinobatkan menjadi KGPAA Paku Alam VIII, tepatnya pada tanggal 12 April 1937  atau selisih tiga tahun dengan penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang jatuh pada tanggal 18 Maret 1940, dan kelak kemudian hari keduanya akan menjadi sosok “loro – loroning atunggal” atau duet dua kepemimpinan dalam satu kesatuan yang utuh “Dwi Tunggal” dan akan menentukan nasib, masa depan negeri masing – masing akan tetap menjadi negara kerajaan (sistim monarkhi) atau negara republik (sistim demokrasi).

Perpecahan Mataram menjadi “semongko sasigar” yang ditengari dengan sengkalan “Dwi Naga Rasa Tunggal” dan sering dimaknai secara simbolis sebagai Dwi Nagara Satunggal, yakni berdirinya Kasunanan Surakarto Hadiningrat dan Kasultanan Nayogyakarto Hadiningrat, dilanjutkan invasi kerajaan Inggris dibawah kepemimpinan Raffles yang terkenal dengan “Gegeran Spei, 1811 – 1813”. Meski Mataram pecah menjadi empat bagian atau Catur Sagatra, bukan menjadi penghalang bagi para pemilik negeri masing-masing untuk bersatu padu kembali mewujudkan tujuan dan cita cita mulia bagi kemerdekaan bangsa dan negaranya.

Sejarah menakdirkan Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggris pimpinan Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, Putera Hamengku Buwono I yang berjasa kepada Inggris, karena ia berusaha melunakkan hati Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudaranya seayah. Pakualaman merupakan keluarga raja kecil, maka dari kalangan mereka muncul kesadaran akan perlunya pembaharuan di kalangan masyarakat Jawa.

Mereka benar benar sadar bahwa suasana Jawa telah berubah, sehingga perubahan intelektualitasisasi keluarga Pakualaman ini dimulai pada masa Sri Paku Alam V (1878 – 1900) dengan melahirkan tokoh tokoh awal pergerakan kebangsaan seperti Kusumoyudho, Notosuroto, Notodiningrat (Wreksodiningrat), Suryopranoto dan Suwardi Suryoningrat dan dari Pakualamanlah lahir tokoh pendidikan nasional yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro (Moedjanto, 1994 : 34-35).

Usaha usaha perjuangan keluarga Pakualaman tidak lepas dari pendidikan, usaha Sri Paduka Paku Alam VII dibidang pendidikan diabadikan oleh R Harjosumarto (KRT Atmodiningrat) dalam Gedenkschrift 25 Jarig Bestuursjubileum ZH Paku Alam VII” terbitan Yogyakarta yang berjudul Kemajuan Ongerwijs dalam Regentschap Adikarta” yang isinya adanya kesadaran atas luas wilayah yang sempit : “Adikarta itu tanah yang kecil dan yang tidak berharga (onbeduidend). Karena tempatnya sungguh kecil (suatu Regentschap yang hanya membawahkan empat onderdistrik), padahal letaknya ditepi laut; hingga terkenal penyakit malarianya”.

Residen Van Baak sejak 1882 telah mulai dengan gagasannya membagi daerah Kesultanan Yogyakarta kedalam tiga afdeeling, yaitu Mataram; Kulon Progo: dan Gunung Kidul. Pada tahun 1903, gagasan itu dilaksanakan dengan Yogyakarta, Wates, dan Wonosari sebagai ibukota afdeeling. Mataram terdiri dari Kota Yogyakarta sebagai Ibukota, Sleman, Bantul dan Kalasan. Setelah reorganisasi pangreh praja pada tahun 1926, daerah Kasultanan dibadi dalam empat kabupaten dan hanya satu saja yang memakai nama kota, yaitu kabupaten Kota Yogyakarta sekaligus memiliki Kawedanan Kota Yogyakarta. (Abdurrachman Surjomiharjo, 2008 : 5-6)

Peran perjuangan dibidang pendidikan lebih lanjut disebutkan : “sampai sekarang, tiap tiap tahun Negeri Pakualaman terus membuka atau memberi subsidi sekolahan sekolahan baru, kanjeng gouvernemen terus membantu kemajuan pelajaran di Regenstchap Adikarta. Beberapa rumah sekolah dibukanya, misalnya : Rumah sekolah klas II, Vervolg, Meisjes-Vervolg, Schakel, dan Ambachtscool” (Poerwokosoemo, 1985 : 305-306).

  1. Paku Alam VIII, Sang Pengemban Amanat

Sejarah & Peran Perjuangannya :

           Kepemimpinan Paku Alam VIII dibawah kekuasaan Belanda, terhitung Sembilan tahun sejak penobatannya pada tahun 1937 hingga memasuki fase fase Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, momentum strategis ini berhasil dilampaui dengan penuh kebijakan sehingga berhasil mengambil keputusan keputusan politik bersama Hamengku Buwono IX secara jitu sehingga kebijakan politiknya disebut sebagai “conditio sine qua non”[2], yaitu situasi kondisi yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat yang tak terelakkan, khususnya dalam menentukan arah angin untuk tetap berpihak kepada kepentingan kekuasaan “status quo” kerajaan atau demi kepentingan kemaslahatan bangsa dan negara yang lebih besar ?

Paku Alam VIII yang meneruskan jejak ayahandanya secara diam diam mendukung gerakan perjuangan Ki Hajar Dewantoro melalui pendidikan diamati oleh Belanda sehingga tidak diijinkan melanjutkan sekolah militer di Belanda dan hanya diijinkan masuk sekolah yang bernama Recht Hogere School di Jakarta, itupun baru berjalan dua tahun dipanggil pulang untuk kembali ke Yogyakarta. Kemudian memilih bekerja di jawatan agraria agar bisa berdialog langsung dengan masyarakat dan menyampaikan pesan pesan perjuangan kepada para kepala desa sambil mengukur tanah, memasang patok bersama rakyat setempat. (Wawancara dengan Paku Alam VIII oleh Yudhastawa, dkk., 1997)

Pada masa pemerintahan Jepang, Kadipaten Pakualaman maupun Kesultanan Yogyakarta dijadikan sasaran strategis pemerintahan Jepang untuk diadu domba agar kekuatannya menjadi lemah, terutama setelah penyerahan tanpa syarat Belanda kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Paku Alam VIII bersama Hamengku Buwono IX tidak bisa melihat rakyatnya dieksploitasi dan diperas tenaganya untuk kerja romusha, keduanya membangun sinergisitas atau hubungan yang sangat pribadi sehingga tidak mudah dipecah belah dengan cara berkantor bersama di Kepatihan serta kompak mengatur strategi agar rakyatnya tidak dikirim romusha ke lain daerah.

Saat saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hubungan baik kedua belah pihak (negeri masing-masing) antara Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogyakarta dikembangkan dengan mengajak Kadipaten Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarto (catur sagatra), saat itu Paku Alam VIII diutus Hamengku Buwono IX untuk menjalin diplomasi politik antar empat kerajaan agar memiliki sikap politik yang sama dalam mendukung para pejuang kemerdekaan sambil  panahan disuatu tempat antara  Sragen – Mantingan. (KPH Wijoyokusumo, 1999)

Oleh karena itu tidak heran, jika ketika Proklamasi Kemerdekaan RI keempat negara kerajaan (ex Mataram) rela bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak terjadi enclave (adanya negara dalam negara) dengan cara masing masing kerajaan/kadipaten diberi Piagam Kedudukan pada tanggal 19 Agustus 1945 sesuai Nama, Kedudukan, Gelar dalam Negara masing masing tetap pada kedudukannya secara adat dan secara kenegaraan menjadi Daerah Istimewa yang bersifat kerajaan sesuai amanat UUD 1945, pasal 18 dan penjelasannya.

Menurut penuturan Siti Rahayu Condrokusumo (menantu PA VIII), Ngarso Dalem (Hamengku Buwono IX) sering menyebut Kanjeng Gusti (Paku Alam VIII) dengan kata “Paman” karena secara hubungan darah maupun usia lebih tua, sehingga wajar disuatu saat justru  Paku Alam VIII yang memulai bicara kepada Hamengku Buwono IX ketika mau bergabung dengan NKRI atau tetap menjadi negara kerajaan.

Seperti sudah ditakdirkan untuk bersehati,  Paku Alam VIII justru yang berkata : “Saenipun kito bergabung kaliyan RI (sebaiknya kita bergabung dengan RI)” dan langsung ditimpali kata setuju oleh Hamengku Buwono IX : “Yess.!!” dan mereka berduapun kompak  untuk berintegrasi dengan NKRI bersamaan dengan Sidang KOOTI HOOKOOKAI (perwakilan rakyat) yang bersidang di Gedung Seni Sono, pada tanggal 19 Agustus 1945 untuk mendukung kemerdekaan menyatakan tunduk pada pemerintahan NKRI. (Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, 2011 : 44)

Untuk selanjutnya tinta emaspun ditorehkan dengan terbitnya Amanat 5 September 1945 yang ditanda tangani secara sendiri – sendiri, disusul Amanat yang ditanda – tangani secara bersama sama, lalu lahirlah Amanat 30 Oktober 1945 yang lebih rinci mengatur jalannya pemerintahan Yogyakarta diserahkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (sistim demokrasi) serta lahirnya UU No. 3/1950 yang menyatakan dengan tegas bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Masa masa Orde Lama – Orde Baru – Orde Reformasi, sikap politik Paku Alam VIII tetap konsisten terhadap keputusan keputusan sebelumnya dan benar benar menerapkan sikap “sabdo pendhita ratu tan keno wola – wali”, bahkan sejarah sejak berdirinya Mataram Ngayogya sampai dengan berdirinya DIY atau “Sepintas Sejarah DIY” ditulis dalam buku agenda Pemerintah Daerah secara rinci, singkat padat agar diketahui oleh seluruh aparatur pemerintah daerah dan masyarakat bahwa DIY itu istimewanya dalam tiga hal, yaitu : “Sejarah; Daerah dan Kepala Daerahnya”.

Paku Alam VIII juga memerintahkan kepada para staffnya untuk menyusun buku “Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” melalui Keputusan Gubernur No 68/TIM/1990 yang berisi tentang Latar Belakang; Gambaran Umum DIY; Tata Pemerintahan Kerajaan Mataram; Tata Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman; serta hubungannya dengan pemerintahan kolonial; Tata Pemerintahan Masa Jepang; Awal Proklamasi; Masa RIS (1949-1959); Pemerintahan DIY  Pasca Dekrit Presiden; Tata Pemerintahan Orde Baru (1966-1990), agar supaya : “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Paku Alam VIII adalah sosok yang konsisten terhadap aturan konstitusi maupun aturan adat, hal ini ditunjukkan secara tegas bahwa dirinya adalah tetap wakil gubernur DIY sampai wafat, jabatan sementara (PJS Gubernur DIY) adalah tehnis administrative yang harus ditaati dan tidak pernah mau dinaikkan jabatannya sebagai Gubernur ketika Hamengku Buwono IX wafat, suatu saat ketika jabatan wakil gubernur akan diisi pejabat struktrual beliau menjawab dengan diplomatis : “bahwa posisi yang kosong adalah Gubernur DIY bukan Wakil Gubernur DIY,  posisi saya adalah tetap wakil gubernur DIY karena posisi gubernur DIY adalah hak politik Kesultanan Yogyakarta”.  (KPH Wijoyokusumo, 1999)

Paku Alam VIII adalah sosok pelestari budaya, sehingga menyadari sepenuhnya bahwa Puro Pakualaman sebetulnya bukan milik pribadinya dan suatu saat akan menjadi milik masyarakat sesuai perkembangan jaman. Keprihatinan terhadap menipisnya jiwa  untuk melestarikan budaya Jawa terus berkecamuk dalam hati sanubarinya sehingga besar harapannya para putri hingga cucu – cucunya kelak terus mengembangkan tradisi tari klasik gaya Pakualaman, terutama Bedhoyo dan Srimpi. Atas kepeduliannya pada budaya leluhurnya pada tahun 1993 Paku Alam VIII bersama Kartika Affandi, mendapat anugerah penghargaan dibidang seni oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. (Murwendyah Anglingkusumo, tanpa tahun : 23, 29)

III.       K e s i m p u l a n :

  1. Paku Alam VIII adalah sosok pejuang kemerdekaan RI bersama Hamengku Buwono IX, khususnya dalam rangka mengintegrasikan raja raja Nusantara menjadi satu kesatuan yang utuh dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga lahirlah ethno – nasionalisme, yaitu lahirnya kesatuan etnis/budaya sebagai akar nasionalisme ke-indonesia-an kita yang dibingkai semangat Bhineka Tunggal Ika.
  2. Paku Alam VIII tidak diragukan lagi prestasi dan pengabdiannya kepada republik, sejak 1945 sampai dengan wafatnya pada tanggal 11 September 1998. Pada tanggal 20 Mei 1998 sebagai bentuk ketaatan kepada Sultan Hamengku Buwono X ikut mendampingi deklarasi bersama para mahasiswa dalam rangka mendukung gerakan reformasi sebagai tuntutan perubahan politik Indonesia. Oleh karena itu sudah seharusnya beliau mendapatkan anugerah GELAR PAHLAWAN NASIONAL.
  3. PAKU ALAM dan ADIKARTO adalah satu kesatuan identitas, sehingga  salah satu dari kedua term tersebut layak diabadikan sebagai nama bandara internasional di Yogyakarta, mengingat pengorbanan dan perjuangan Paku Alam dalam memajukan Adikarto, khususnya Paku Alam VIII  dalam mendampingi Hamengku Buwono IX mengharumkan nama Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Riwayat Perjuangan Paku Alam VIII, sama sama memiliki Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 bersamaan keempat kerajaan Jawa, menjadi Kolonel Tituler, diangkat menjadi Wakil Kepala Daerah DIY/Wakil Ketua Dewan Pemerintah DIY, menjadi Wakil Ketua Dewan Pertahanan Daerah DIY dan setelah Class kedua menjadi Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel pada tahun 1946, menjadi Wakil Kepala Daerah DIY dan Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah DIY sejak terbitnya UU No. 22/1948 jo UU No. 3/1950 sampai dengan UU no 5/1974 (sampai menjelang terbitnya UU N0. 22/1999), sebagai pendiri Perpani pada tanggal 12 Juli 1953.
  5. Riwayat jabatan : Menjabat wakil ketua Dewan Pemerintah Daerah DIY sejak Januari 1958; Wakil Kepala Daerah DIY berdasarkan UU Pokok Pemerintah Daerah No 1/1957, 18/1965 dan Penpres No 6/1959; Menjadi pelaksana tugas Kepala Daerah DIY sejak 1946; Sebagai ketua panitia pemilihan daerah menyelesaikan pemilihan DPRD DIY, Parlemen & Konstiutante; Sebagai anggota Konstiuante RI, pada tahun 1956; Sebagai anggota MPRS pada tahun 1960; Sebagai Anggota Bappenas pada tahun 1964; Menjadi Wakil Gubernur kepala daerah DIY sejak tahun 1950 sd tahun 1998; Sebagai Ketua Dewan Curator UGM; Sebagai Ketua Yayasan Universitas Proklamasi 1945; Sebagai Anggota Dewan Curator UPN Veteran; Menjadi Ketua PMI Pusat; Menjadi Ketua Yayasan Roro Jonggrang dibidang seni tari Ramayana; Menjadi Anggota Kehormatan Rumpun Diponegoro dengan pangkat Brigadir Jenderal tituler pada tahun 1968; Diangkat menjadi Mayor Jenderal tituler pada tahun 1969; Menjadi wasit panahan internasional panahan oleh FITA pada tahun 1990; Menjadi anggota MPR RI Fraksi utusan daerah DIY, tahun 1993 – 1998; Menjadi Ketua Umum PERPANI selama 25 tahun; Menjadi Penjabat Gubernur DIY selama 9 tahun.
  6. Penghargaan yang diberikan kepada Paku Alam VIII adalah : Bintang Mahaputra Klas III & IV (RI), Bintang Gerilya; Bintang Bhayangkara klas III Nararaya; Grosses Verdienst Krouz mit Stern; Bintang  Groot Ere Kruis met Plaque in de Kroonorde; Bintang  Groot Officier in de Oerde Van Leopold II; Penghargaan Presiden, 29 Juni 1995; Penghargaan Pejuang 45, 31 Oktober 1995; Penghargaan dibidang Transmigrasi, Satya Lencana Pembangunan dan Makarti Muktitama Nugraha, 12 desember 1990; Penghargaan dibidang penerangan pembangunan Dharma Karya Huninga, 3 Januari 1997; Penyelenggara Upacara Ritual “Wilujengan Raja Wedha”  yang terjadi hanya setiap 700 tahun sekali yang jatuh pada tanggal 26 April 1994.
  7. Sosok Ketauladanan yang dimiliki Paku Alam VIII : Sosok pribadi yang teliti dan disiplin; Pembina olahraga yang mumpuni dan penuh perhatian; Teliti, rapi, berdisiplin tinggi serta penuh perhatian; Memiliki kelebihan stamina atau kekuatan jasmani melebihi rata rata orang biasa; Salah satu Pendiri Daerah Istimewa Yogyakarta; Hormat kepada siapa saja; Merakyat dan penuh wibawa; Sosok Priyayi anggun tapi sederhana; Mengutamakan Kesederhanaan sebagai Tauladan; Menyadari pentingnya menunaikan rukun islam sehingga merasa belum sempurna jika belum menunaikan ibadah Haji; Sosok yang merakyat, demokratis dan terbuka; Menegakkan disiplin dengan memberi contoh ketauladanan kepada para aparatur masa masa pemerintahannya. (Suyamto, dkk, 1998)
  8. Paku Alam VIII adalah sosok yang sangat loyal terhadap Hamengku Buwono IX, taat amanat yang diwariskan para leluhurnya, taat amanat konstitusi negara, taat amanat sejarah, serta sangat mencintai rakyat DIY, bangsa dan negara melebihi cintanya kepada keluarganya sendiri hingga akhir hayat menjemputnya.

Daftar Pustaka :

  1. Abdurrachman Surjomihardjo. (2008). Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880 – 1930, Komunitas Bambu, Jakarta

 

  1. Djatmikanto D. (1987). Peringatan Sepuluh Windu Tumbuk Ageng Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII, Booklet Panitia Peringatan Tumbuk Ageng, Yogyakarta.

 

  1. Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo. (2011). Wasiat HB IX, Yogyakarta Kota Republik, Galang Press, Yogyakarta.

 

  1. Heru Wahyukismoyo. (2008). Merajut Kembali Pemikiran Hamengku Buwono IX, Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta.

 

  1. Yudhastawa, dkk. (2000). KGPAA Paku Alam VIII Kehidupan, Perjuangan & Pemikirannya, Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

  1. Moedjanto, G. (1994). Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman, Kanisius, Yogyakarta.

 

  1. Murwengdyah, S. Anglingkusumo K.R.Ay (….), Kenangan Bersama Sang Demokrat, Kenangan Pribadi, Yogyakarta.
  2. Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

 

  1. Soedarisman Poerwokoesoemo. (1985). Kadipaten Pakualaman, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

 

  1. Suprastowo, dkk. (1992). Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

  1. Suyamto, dkk. (1999). Siaran Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Biro Humas, Setwilda, Yogyakarta.

 

  1. Soejito Harjosoediro (1987), Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta.

 

  1. Wijoyokusumo, KPH (1999), Dalam Diskusi Forum Peduli Daerah Istimewa Yogyakarta, dirumah H. Salim Purnomo, Jl. Lowanu Yogyakarta.

[1] Mengampu bidang studi Filsafat Budaya Mataram, Universitas Widya Mataram Yogyakarta dan sedang meneliti Pemikiran Simbolik Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988), pada Program Studi Ilmu Pendidikan, Pasca Sarjana, UNY.

[2] Conditio sine qua non dalam bahasa Latin menurut kamus hukum edisi lengkap adalah syarat mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut “Absolutely condition” yang menyatakan bahwa suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan sesuatu karena adanya suatu sebab yang berhubungan satu sama lain yang menyebabkan timbulnya suatu akibat. Dengan penerapan ini apa yang menjadi sebab dari suatu kejadian itu mempunyai hubungan satu sama lain. (Teori Hukum Von Burie)

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s