HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Kamis, 2023/04/05 12:28 WIB
Ngeriii.... Ada Penampakan Pocong dan Bola Api di Rumah Jessica Iskandar
-
Senin, 2023/04/08 14:19 WIB
Nikita Willy Rayakan Ultah Issa di RS Bareng Pasien
-
Kamis, 2023/04/05 19:10 WIB
Ciee... Sahrul Gunawan Go Public dengan Pacar Baru
-
Senin, 2023/04/03 16:17 WIB
Ngaku Anak Mamah Dedeh yang Diusir, Ini Klarifikasi Keluarga
-
Senin, 2023/04/08 14:14 WIB
Ini Pengakuan Soimah Dicurigai Petugas Pajak dan Diperlakukan Bak Koruptor
-
Rabu, 2023/04/04 15:14 WIB
Nindy Ayunda Cari Kontak Seseorang di Medsos, Eh Nikita Mirzani Mencak-mencak
|
Thread Tools |
27th May 2016, 22:16 |
#4051
|
Mania Member
|
MENIKMATI TELEVISI ASING TANPA PARABOLA
TV kabel (waktu itu) bakal segera beroperasi di Indonesia. Siaran televisi asing dapat dinikmati tanpa parabola. Tapi, baru perumahan mewah yang bisa menikmati. Anda ingin menyaksikan siaran TV asing, tapi tidak punya parabola? (Waktu itu) tidak usah khawatir. (Saat itu) sebentar lagi, Anda bisa menikmati berita-berita dari CNN (Cable News Network), film-film dari HBO (Home Box Office), atau mendengarkan program musik tanpa harus membeli kaset, plus siaran dari 25 lebih saluran TV lokal dan asing lainnya. Semua itu bisa Anda nikmati tanpa harus membeli antena parabola ataupun menyewa dekoder.
Begitulah kemudahan yang ditawarkan Multivision Theater, sebuah sistem jaringan televisi kabel yang (waktu itu) akan segera dipasarkan di Indonesia. Jaringan televisi kabel yang (kala itu) akan segera dipasarkan di Indonesia. Jaringan TV kabel pertama di Indonesia, yang dikelola PT Anditirta Indonusa itu, (kala itu) akan memudahkan penonton untuk menerima siaran televisi asing. Berbeda dengan pemasaran siaran TV asing sebelumnya yang dilakukan Indovision, jaringan ini memberi banyak kemudahan kepada calon pelanggan. Selama itu misalnya, Indovision mengharuskan calon pelanggan memiliki parabola minimal berukuran 9 'feet' dan membayar sewa dekoder. Saluran yang bisa dinikmati pun hanya lima stasiun televisi (Discovery, TNT Network, CNN, HBO, dan ESPN). Di tangan PT Anditirta, calon pelanggan hanya cukup dengan satu saluran kabel. Sedangkan saluran ('channel') yang ditawarkan pun lebih banyak: 25 saluran televisi (termasuk semua TV lokal dan lima TV yang ditawarkan Indovision), tiga saluran khusus musik cakram padat ('compact disc'), dan satu saluran radio. Pelanggan pun tidak diberikan dengan biaya yang mahal. Pelanggan cuma perlu merogoh kantong sebnayak Rp 320.000. Itu pun ditagih tiga bulan sekali, bandingkan dengan langganan Indovision untuk pembelian dekoder dan iuran pertama saja sudah mencapai Rp 660.000. "Pelanggan cukup membayar saja, selebihnya kami yang akan memasang instalasi di rumahnya," kata Teresia Wibowo, manajer pemasaran PT Anditirta. Hanya, jaringan kabel itu sulit menjangkau semua wilayah. Sebab, kabel-kabel itu harus dibangun tersendiri seperti halnya instalasi kabel telepon. Menurut Teresia, pembangunan jaringan kabel itu menelan biaya banyak dan tidak mudah. Karena itu, jaringan ini mengincar perumahan-perumahan mewah yang (waktu itu) baru dibangun, seperti perumahan mewah Lippo Karawaci di Tangerang dan Lippo Cikarang di Bekasi. "Karena baru di perumahan itu yang jaringan kabel listrik dan teleponnya ditanam di tanah, dan punya jalur tersendiri. Maka kami pun mudah memasang jaringan kabel itu," katanya (kala itu). Untuk wilayah-wilayah lain, PT Anditirta (saat itu) belum akan memulai memasarkannya. Pertimbangannya adalah biaya pembangunan jaringan kabel tadi. "Untuk wilayah Jabotabek saja, melihat kondisi yang ada, kami baru bisa memasarkan pada perumahan-perumahan baru. Itu pun satu lokasi tidak boleh kurang dari 25 calon pelanggan. Biayanya operasinya masih terlalu mahal," kata Teresia kepada Fahmi Imanullah dari FORUM. Khusus untuk Jakarta, TV kabel Multivision (waktu itu) direncanakan mulai dijajakan pertengahan tahun 1996 ini. Tentu saja, terlebih dahulu (saat itu) akan membangun jaringan kabel tersendiri seperti halnya PT Telkom dan PT PLN. Bila PT Anditirta mulai memasarkannya ke masyarakat di luar dua perumahan itu, tampaknya persaingan televisi asing di Indonesia (kala itu) akan makin seru. Tapi Teresia menolak anggapan bahwa pihaknya akan menghantam Indovision milik PT Matahari Lintas Cakrawala, yang saham mayoritasnya dikuasai Peter F Gontha dan Bimantara Citra. Pihaknya justru (waktu itu) akan mengisi kekurangan Indovision. "Sebab tidak semua rumah memiliki parabola. Apalagi sewa dekoder itu sangat mahal," katanya. Selama itu, Indovision memasarkan lima TV asing itu ke hotel-hotel dan konsumen yang memiliki parabola. Dengan cara itu, Indovision memperoleh keuntungan dari iuran anggota, tanpa mengeluarkan biaya operasi yang besar. Keberhasilan itu didukung oleh penyelenggara televisi asing yang mengacak program siarannya bagi mereka yang tidak memiliki dekoder yang ditawarkan Indovision. Seorang direktur Indovision, Hans Nugroho merasa tidak gentar menghadapi Multivision. Alasannya, jangkauan TV yang menggunakan jasa satelit itu lebih jauh dibandingkan TV kabel. "Pemasangan dekoder saja tidak perlu harus memenuhi batas minimal pelanggan. Walau hanya satu rumah dalam satu kompleks, tetap akan kami pasang," katanya. Pernyataan itu masuk akal, ya harap maklum. Sebab PT Anditirta merupakan anak perusahaan Indovision. 50% sahamnya adalah milik PT Matahari Lintas juga. Soal izin, menurut Dirjen RTF Dewabarata, pihaknya (saat itu) belum pernah memberikan rekomendasi kepada perusahaan selain Indovision. "Sampai sekarang (Maret 1996), kami belum memberi izin yang baru," katanya (kala itu). Tapi menurut Teresia, perizinan tidak ada masalah. "Segala perizinan telah kami pegang," katanya. Dok. FORUM Keadilan - No. 25 Tahun IV, 25 Maret 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 22:56 |
#4052
|
Mania Member
|
KIAT: TELEVISI BERITA
BELAKANGAN itu, CNN (Cable News Network) tidak lagi sendirian. 'Niche market' yang dulu ditemukan CNN ternyata dalam waktu singkat telah mengubah ceruk itu menjadi danau yang luas. CNN telah menjadi kekuatan bisnis yang diperhitungkan, dan Ted Turner pun semakin berkibar.
Kebesaran CNN memang untuk beberapa waktu menjadi 'barrier to entry' bagi pemain lain yang ingin memasuki "danau" yang sama. Kalau cuma kecil-kecilan, pasti akan kena imbas dengan mudah. Karena itu, 'entrant' baru di bidang televisi berita harus merupakan kekuatan besar agar bisa menahan imbasan angin kebesaran CNN, yang tentu tak akan tinggal diam bila ada pesaing baru yang masuk. Pesaing baru itu (waktu itu) telah datang. Akhir Juni 1996 lalu, Microsoft Corp. (perusahaan perangkat lunak komputer milik Bill Gates) bergandeng tangan dengan NBC News (satu di antara tiga jaringan televisi nasional di Amerika Serikat) meluncurkan sebuah jaringan televisi baru: MSNBC. Sebuah nama yang sulit diucapkan, sulit diingat, dan tak enak didengar. Mereka agaknya mengharapkan supaya singkatan Microsoft yang sudah sangat dikenal itu, bila digabungkan dengan NBC yang juga sudah dikenal, akan menjadi kekuatan baru yang mudah diperkenalkan juga. Bergabungnya dua 'powerhouse' itu, Microsoft dan NBC, setidaknya membenarkan dua teori. Pertama, untuk memasuki sebuah bisnis yang sudah dikuasai oleh suatu kekuatan besar, diperlukan kekuatan yang lebih besar. Kedua, konvergensi antara tiga teknologi (media televisi-komputer-telekomunikasi) semakin banyak memunculkan fenomena bisnis baru. Aspek kedua inilah yang (waktu itu) akan kita diskusikan sekarang. MSNBC adalah satu contoh bagaimana teknologi komputer "kawin" dengan teknologi televisi. Setiap pemain baru harus pula menjanjikan bahwa ada sesuatu yang lain yang bisa diberikannya. MSNBC tak bisa menjanjikan bahwa kualitas dan aktualitas berita yang disiarkannya akan lebih baik dari CNN, karena toh pemirsa tak akan mempercayainya. CNN sudah mengudara dan mempunyai pengalaman 16 tahun (sampai detik itu) untuk menjaring 65 juta pelanggan di seluruh dunia, yang kala itu menjadi pemirsa setia siaran CNN. MSNBC, yang mengudara selama 24 jam sehari - juga disalurkan melalui TV kabel dan satelit - (waktu itu) baru menjangkau 22,5 juta rumah. Apa yang bisa dijanjikan MSNBC untuk menarik pemirsa? Inilah untungnya punya kekuatan seperti Microsoft. Maka, MSNBC pun tampil dengan janji berikut: 'the first news service designed to integrate the television and the personal computer'. Bagi kebanyakan orang Amerika, itu berarti integrasi yang lebih nyata dari internet dan televisi. CNN pun sebenarnya mempunyai 'website' di internet. Tetapi, antara 'website' CNN dan siaran CNN (waktu itu) belum diintegrasikan menjadi satu keterpaduan. yang dimaksudkan keterpaduan antara internet dan televisi oleh MSNBC itu pun sebenarnya belum merupakan TV interaktif sepenuhnya. Apa yang ditawarkan MSNBC adalah partisipasi pemirsa melalui jalur internet. Contoh konkretnya adalah ketika pada hari pertama pemancaran siaran MSNBC, dilakukan wawancara dengan Presiden Bill Clinton oleh pemandu Tom Brokaw. Pemirsa bisa ikut mengajukan pertanyaan melalui jalur internet (www.msnbc.com), yang kemudian oleh Brokaw (waktu itu) akan diajukan ke Presiden Clinton. Hanya selangkah di depan sistem 'call in interview' yang memakai jalur telepon. Teknologi seperti di atas sebenarnya bukanlah suatu kecanggihan yang sulit ditiru oleh CNN. Kalau mau, CNN bisa merespons tantangan itu dengan melakukna hal yang sama dalam waktu yang singkat. MSNBC hanya "beruntung" bahwa CNN selama itu belum memberikan kesempatan kepada pemirsa untuk "urun rembug" langsung dalam topik berita melalui jalur internet. Sayangnya MSNBC pun, mengalami kesulitan yang sama dengan IBM ketika tampil di Olimpiade Atlanta. Pada hari pertama penyiaran MSNBC terjadi gangguan teknis sehingga pemirsa tak dapat mengakses 'website' MSNBC untuk bisa ikut berpartisipasi. 'Initial hiccups' yang dialami MSNBC pada hari pertama itu juga termasuk gagalnya 'breaking news' tentang status kesehatan Presiden Boris Yeltsin, serta pemutakhiran berita Olimpiade Atlanta. Kenyataan bahwa hingga sebulan setelah diudarakannya MSNBC tetap merupakan nama yang asing di Indonesia, juga merupakan salah satu bukti bahwa tak mudah mematahkan dominasi CNN di bidang yang sudah diunggulinya. Di Amerika Serikat pun, sebelum semua perusahaan TV kabel menawarkan MSNBC kepada para pelanggannya. Barangkali, Bill Gates (waktu itu) harus segera mengeluarkan kelinci dari lengan bajunya? Dok. FORUM Keadilan - No. 10 Tahun V, 26 Agustus 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 22:57 |
#4053
|
Mania Member
|
BISNIS DUA BANGSA DI SINETRON MALINDO
PRODUKSI sinetron gabungan Indonesia-Malaysia mempunyai rating yang baik. tapi memang kualitasnya (waktu itu) masih pas-pasan. Jarak antara Malaysia dan Indonesia (saat itu) dekat saja, terutama di layar televisi.
Sementara di dunia angkatan bersenjata sering digelar latihan perang Malindo (Malaysia-Indonesia), saat itu "Malindo" serupa juga menjadi trend di layar kaca. Setelah sebelumnya TVRI berjaya dengan tayangan Titian Muhibah, belakangan giliran televisi swasta menjalin kerjasama dengan negeri Jiran itu. Sinetron Kolej tayangan RTM yang saat itu digemari di Malaysia, misalnya diputar pula di Indonesia. Ceritanya seputar suka-duka mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Universitas Malaysian. Sebuah tema yang biasa, memang. Tapi menariknya, berbagai bahasa menyatu dalam sientron ini, bahasa Indonesia berbaur dengan bahasa Melayu dengan celetukan bahasa Inggris. Kolej, yang di Indonesia ditayangkan di layar SCTV (Surya Citra Televisi) dengan judul Kampus, adalah produksi gabungan antara SCTV dan Film Karya Nusa, griya produksi dari Malaysia. Dua bintang remaja Indonesia (kala itu) - Anjasmara dan Dina Lorenza - ikut meramaikan sinetron ini. Tim produksi juga berasal dari dua negara. SCTV mengirimkan juru kameranya serta produser eksekutif, sedangkan pihak Malaysia menyumbangkan sutradara (Rogayah, salah seorang sutradara wanita Malaysia). Permodalan dibagi rata. "Kendala teknis hampir tidak ada. Karena kemampuan kita masih setingkat di atas mereka," ujar staf humas SCTV, Haryanto. Latar belakang pembuatan sinetron Malindo, kata Haryanto, karena SCTV memang sudah lama ingin merambah wilayah ASEAN. Sebagai langkah awal, SCTV menayangkan sinetron dari Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Sebelum Kampus, sinetron Malindo, Agensi pernah ditayangkan di layar Indosiar. Agensi yang dibintangi Dian Nitami, Ully Artha, dan Ami Priyono, adalah hasil kerjasama Indosiar dengan Double Vision dari Malaysia. Sinetron 13 episode ini bercerita tentang dunia periklanan yang memang sedang marak, tidak hanya di Indonesia, juga di Malaysia. "Ratingnya cukup bagus," kata Andreas Ambesa dari bagian humas Indosiar. Bagi Dian Nitami, tidak ada masalah penting dalam menggarap sinetron Malindo ini. Malah dia merasa kerjasama ini justru membawa dampak yang positif. "Mereka sangat disiplin, terutama soal waktu. Jarang sekali terjadi 'retake' karena sebelum syuting dilakukan latihan yang sering," ujar artis yang juga model ini. Soal bahasa? Memang, antara pemain Indonesia dan Malaysia semula sering terjadi salah paham karena adanya perbedaan dialek dan istilah. "Tapi lama-kelamaan nyambung juga, kok," kata Dian. Itulah sebabnya, menurut Haryanto, rencana SCTV semula ingin mengalihsuarakan Kampus tak jadi dilaksanakan. "Risikonya, kekhasan sinetron ini akan hilang," katanya. Shariff Ahmad, direktur General Film Development Malaysia (Finas), memiliki perbedaan bahasa ini bukan hal yang penting. Penonton Malaysia tidak merasa terhambat oleh adanya istilah bahasa Indonesia yang asing di telinga mereka. "Malah di kalangan penonton muda, bahasa Indonesia itu sekarang (1996) menjadi bahasa prokem mereka," katanya. Di luar bahasa, yang justru menjadi masalah adalah perbedaan budaya. Di mata mereka, orang Indonesia termasuk bebas. Berbusana mini atau adegan pelukan, yang selama itu dianggap biasa oleh pihak Indonesia, adalah "barang haram" bagi masyarakat Malaysia. Hal semacam inilah yang biasanya menjadi pembicaraan awal sebelum produksi dimulai. Bila kemudian cerita yang dipilih berputar soal cinta, drama, dengan bumbu laga, kata Syariff itu, karena tema ini yang digemari di kedua negara. Artinya, tema itu yang menguntungkan secara ekonomi. "Tapi, kami juga menjunjung misi lainnya untuk memperkuat tali persatuan budaya melalui film," katanya. Syariff mengakui, karena produksi ini masih bertumpu pada aspek komersial, kualitasnya masih belum menggembirakan. Namun ia yakin, di masa depan kualitasnya akan terus meningkat, terutama bila bentuk kerjasama makin berkembang. Sebagai upaya permulaan, langkah ini di mata pengamat televisi Arswendo Atmowiloto, cukup bagus. "Tapi sebagai sebuah karya, hasilnya belum bagus," katanya. Arswendo antara lain melihat bahwa kultur dan budaya Malaysia-Indonesia belum pada betul. Meski hasilnya belum sempurna betul, Arswendo melihat trend produksi gabungan ini akan bisa bertahan. Situasi di kedua negara ini mendukung tumbuh suburnya sinetron lokal. Paling tidak, telinga pemirsa Indonesia lebih terbuka mendengar celotehan Melayu, ketimbang bahasa Mandarin-nya Andy Lau. Kerjasama Malaysia-Indonesia dalam dunia perfilman sebetulnya bukanlah hal baru. Sejak 1950-an, ketika sedang kuat-kuatnya pengaruh P Ramlee, insan film Indonesia dan Malaysia sudah sering menjalin kerjasama. Jadi, sinetron Malindo ini kerjasama serupa yang berganti baju. Dok. FORUM Keadilan - No. 12 Tahun V, 23 September 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 22:58 |
#4054
|
Mania Member
|
TELEVISI: SINETRON ALTERNATIF MENCARI TEMPAT
SALAH satu episode serial Oh Mama Oh Papa, "dicekal" ANteve (Andalas Televisi). Alasannya, dinilai tidak komunikatif. Sutradaranya menolak keras kesimpulan itu. Sebuah sepatu berwarna merah yang tergeletak di tepi pantai itu mulai dimakan api. Pelan tapi pasti, api merah itu memuarkan warnanya, bahkan memorakporandakan bentuknya. Seperti itulah kegalauan hati Side, pemeran utama sinetron Aku, Perempuan, dan Lelaki itu, yang berada di persimpangan jalan. Sinetron ini memang bicara proses persahabatan khusus dua wanita ke arah lesbianisme.
Adegan penuh simbol dalam salah satu episode serial Oh Mama Oh Papa itu, bukan satu-satunya dalam tayangan berdurasi satu jam ini. Sang sutradara, Aria Kusumadewa, menampilkan banyak sekali hal itu. Tayangan ini hanya diisi tiga pemeran - Nurul Arifin sebagai Side, Unique Pricilla Mauretha sebagai Leb, dan Ella Gayo sebagai Med. Belum lagi percakapan yang penuh untaian kata puitis. "Sinetron ini memang dibuat sebagai alternatif tayangan sinetron yang ada sekarang (1996) ini," kata Aria (waktu itu). Semestinya, pada 12 September 1996 lalu, sinetron ini (kala itu) akan ditayangkan ANteve. Tapi, ANteve menolak memutarnya karena dianggap tidak layak siar. "Kami minta tayangan itu direvisi. Alur cerita harus bisa diterima oleh masyarakat dari segala lapisan," kata Zoraya Perucha, 'corporate communication manager' ANteve. Tentu saja, di tengah pengumuman sinetron pilihan Festival Sinetron Indonesia (FSI), peristiwa ini mengagetkan dan membetot perhatian. Sebab, salah satu tujuan FSI tak lain mencari karya-karya berbobot. Dan ketika muncul karya alternatif, pihak stasiun televisi justru menolaknya. Dalam pembuatan serial ini, dipakai sistem, produser menyerahkan secara penuh segala sesuatunya kepada sutradara. Artinya, semuanya pakai uang sutradara dulu. Produser baru wajib membayar biaya setelah sinetron lolos sensor dan layak siar. Lantaran ingin berkarya maksimal, tapi dengan biaya murah, Nurul dan Pricilla sampai bersedia tak dibayar. Aria sendiri harus merangkap sebagai juru kamera. Itulah sebabnya biaya produksinya bisa ditekan "hanya" Rp 30 juta. Langkah pertama, karya ini sudah lolos lembaga sensor film. Tapi kemudian, ANteve menilai episode ini tidak bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Bila ditayangkan, pihak ANteve khawatir bakal tak ada iklan karena serial ini, kabarnya memiliki rating lumayan. Dengan begitu, produser (waktu itu) juga belum mau membayar biaya produksi sebesar Rp 30 juta itu. Namun, Ucha menekankan, bukan berarti ANteve anti tayangan alternatif karya sutradara muda. Selama itu, katanya dalam acara Telesinema, ANteve sudah menayangkan karya-karya sutradara muda. Hasilnya, delapan episode dari acara itu masuk sebagai sinetron unggulan FSI tahun 1996 ini. Produser Oh Mama Oh Papa, Dewi Yull, sejak awal sudah memberi saran kepada Aria untuk membuat sinetron sesuai dengan format yang sudah disepakati. "Format Oh Mama Oh Papa, adalah tayangan yang sederhana dan komunikatif karena temanya sendiri sudah kuat," kata Dewi. Dia juga mengingatkan, kalau mau bereksperimen, ada sarana lain di luar Oh Mama Oh Papa. Kata Dewi, "Saya sudah bilang. Tolong bikin yang linier dengan episode lainnya, karena sinetron ini untuk industri televisi yang harus melihat kepentingan pemirsa." Tapi benarkah karya ini tidak komunikatif? Untuk itulah, PWI Jaya Seksi Film medio bulan September 1996 ini, sampai mengadakan diskusi soal ini. Aria sendiri sangat menentang kesimpulan itu. Bagi dia, dari sudut filmis, sinetron ini juga amat komunikatif. Selain itu, sebagai sutradara, dia menolak keras jika diminta untuk meniru gaya sutradara lain. Begitu juga di mata Nurul, karya ini cukup komunikatif. "Malah salah satu karya belakangan ini yang paling komunikatif," katanya. Itulah sebabnya, dia yang dinilai para kritisi bermain amat baik dalam sinetron ini mengaku kecewa berat. Sutradara Garin Nugroho melihat, adanya kasus ini lantaran pihak televisi terlalu mengikuti keinginan pasar tanpa mencoba membentuk pasar. Padahal idealnya, kata Garin, stasiun televisi haru smemadukan kedua prinsip itu. Selain mengikuti keinginan dan selera pemirsa, dia juga menyajikan tayangan-tayangan baru yang akhirnya akan membentuk pasar. Beberapa televisi di Eropa dan Amerika sudah memulainya. Misalnya, Channel IV di Inggris yang menyediakan waktu khusus untuk tayangan alternatif. Menurut dia, kreator karya-karya alternatif memang harus siap dengan rasa sepi, siap dengan penolakan. "Tapi, jangan lantas berhenti berkarya," katanya. Komunikasi yang interaktif mesti terus digalakkan, dengan pihak terkait, misalnya dengan stasiun televisi. Garin pernah punya pengalaman membuat tayangan alternatif, Anak Seribu Pulau (RCTI-SCTV-TPI-ANteve-Indosiar), yang dinilai berhasil. "Saya dan Mira perlu waktu empat tahun (1992-1996) untuk mengegolkan proyek ini," kata sutradara (waktu itu) 37 tahun ini. Dok. FORUM Keadilan - No. 13 Tahun V, 7 Oktober 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:00 |
#4055
|
Mania Member
|
MEDIA: BELUM LANCAR BUNG, ANDA LAYAK DIKRITIK
KODE Etik Periklanan diperbarui. YLKI menuding masih banyak iklan melanggar etika periklanan, Komisi Periklanan Indonesia membantahnya. Musik disko berhentak. Beberapa wanita tampak asyik meliuk-liukkan tubuhnya. Rekan prianya pun tak mau kalah, ikut bergoyang. Semua tertawa ceria seakan tidak ada kemelut di dunia ini. "Selamat Bung, anda layak dapat Bintang," seorang penyanyi melantunkan sebait lagu. Itulah salah satu iklan minuman "keras" (Bir Bintang) yang kerap ditayangkan di televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANteve, dan Indosiar). Nah, iklan ini, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menjadi iklan terburuk di layar kaca.
Medio Agustus 1996 lalu, lembaga swadaya masyarakat yang terkenal "galak" dalam memperjuangkan hak konsumen ini merilis hasil penelitian teranyar mereka dalam acara seminar sehari "Sikap Kritis Konsumen dan Iklan Kontroversial" di Jakarta. Hasil penelitian itu berupa deretan iklan terburuk - baik di televisi, media cetak, radio, maupun di papan iklan - berdasarkan hasil survei terhadap 200 responden. Sebagian besar iklan dinilai buruk karena dinaggap porno atau terlalu memperlihatkan aurat (33,4%). Selebihnya dinilai buruk karena berkesan menghina, tidak mendidik, dibuat-buat, dan menipu. Hasil penelitian YLKI sebenanrya tidak terlalu mengerikan. Soalnya, sudah banyak protes dari masyarakat terhadap sejumlah iklan. Beberapa waktu sebelumnya, misalnya. Nia Zulkarnaen kena getahnya, iklan Lux Beauty Shower ditarik dari RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) karena gaya Nia mandi di bawah 'shower' dianggap terlalu sensual dan terkesan porno. Padahal, kata Nia saat itu, adegan mandi dengan bahu terbuka adalah wajar. "Masa mandi pakai sarung?", katanya. Lantas, tak berapa lama, Ade Ayu, bintang iklan Bir Bintang versi dangdut, juga mengalami hal serupa. Gayanya bergoyang dangdut dengan busana supermini dianggap terlalu seronok. Sebelumnya, iklan di media cetak produk serupa juga mengundang protes. Musababnya, si wanita yang menjadi pendamping Broery Pesolima hanya ditonjolkan bagian dadanya, sedangkan wajahnya tidak tampak. Seolah-olah wanita hanyalah subyek iklan semata, yang perlu ditonjolkan hanya bagian tertentunya saja, bukan pribadi dia secara keseluruhan. Adanya sejumlah protes ini, bagi Zumrotin, anggota pengurus harian YLKI, karena iklan - terutama yang ada di layar kaca - belum sepenuhnya bisa dipertanggungjawabkan. "Karena itu, untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, sudah waktunya ada peraturan perundangan yang khusus menyoroti masalah iklan," kata Zumrotin. Menurut ketua panitia khusus RUU Penyiaran di DPR RI, Abu Hasan, memang sudah waktunya ada penertiban terhadap iklan, terutama di televisi. Semestinya iklan ini sesuai dengan Kode Etik Periklanan yang berlaku saat itu. Sayangnya, kata Abu Hasan, aturan tentang itu tidak tegas dilaksanakan. Komisi Periklanan Indonesia tidak begitu terlihat kiprahnya. Koes Pudjianto, ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) yang juga ketua Presidium Komisi Periklanan Indonesia - organisasi yang paling berkepentingan dengan tudingan itu - menilai protes-protes tersebut tidak bisa sepenuhnya diterima. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh YLKI. Sebab, ujar Koes, persepsi seseorang tentang porno atau sopan, baik atau buruk, antara satu orang dan orang lain bisa berlainan. Kata Koes, "Sebuah iklan dinilai porno oleh satu orang belum tentu porno bagi orang lain." Apalagi, menurut Koes, masyarakat Indonesia yang sangat plural tentunya memiliki standar yang beragam. Namun, bukan berarti hal yang dipermasalahkan itu tidak pernah diurusi oleh Komisi Periklanan Indonesia. Malah, pertengahan Agustus 1996 lalu, komisi yang terdiri dari tujuh lembaga ini mengikrarkan Kode Etik Periklanan yang Diperbarui. Adanya ikrar ini, tambahnya menunjukkan bahwa masyarakat periklanan sebenarnya peduli terhadap kepentingan masyarakat. Dengan adanya Kode Etik Periklanan yang Diperbarui ini, peran Komisi Periklanan Indonesia juga (waktu itu) akan semakin diaktifkan, termasuk mengawasi pelanggaran terhadap kode etik ini. Dalam kode etik ini juga dicantumkan dengan tegas bahwa iklan yang ada di Indonesia tidak boleh melanggar norma sosial, adat istiadat, dan norma yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, iklan yang berkonotasi porno semestinya tidak akan muncul. Juga soal eksploitasi wanita dan anak-anak. Hanya, Koes mengingatkan, masyarakat periklanan sendiri belum banyak yang memahami kode etik ini secara mendalam. Untuk itu, langkah selanjutnya yang (waktu itu) akan diambil adalah memasyarakatkan kode etik ini kepada pekerja periklanan, juga kepada masyarakat umum. "Agar persepsi tentang iklan yang baik dan buruk itu akan sama dan sesuai dengan kode etik yang berlaku," kata Koes lagi. Dok. FORUM Keadilan - No. 12 Tahun V, 23 September 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:01 |
#4056
|
Mania Member
|
VICKY BURKY, INGIN AKTING
KALAU suatu hari Anda melihat Vicky Burky (waktu itu 30 tahun) sedang berdiri di depan cermin sambil bicara dan tertawa sendiri, jangan heran, itu bukan karena ada yang tak beres dalam diri Vicky. Tapi karena belakangan itu ia sedang belajar akting kilat, untuk perannya dalam sinetron Bundaku Terpidana (RCTI). "Soalnya setiap hari skenarionya saya lihat, saya baca dan coba-coba berakting di depan kaca," tutur wanita bekas juara Fit Aerobik Asia Tenggara itu.
Maklum, baru kali ini Vicky berani mencoba bermain sinetron, meski sebelumnya sudah banyak yang menawari. "Deg-degan juga. Minimal saya harus bisa berakting lah," kata wanita sehat pemakan pizza itu. Dan yang menambah rajin Vicky berlatih karena lawan mainnya antara lain Cut Keke serta Meriam Bellina. "Jadi, saya harus banyak belajar supaya bisa mengimbangi permainan mereka," tambah putri pebalet Tanneke Burky itu kepada Irawati dari FORUM. Di sinetron yang (waktu itu) akan ditayangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) itu, Vicky kebagian peran antagonis sebagai Tanya Ryudansha, tokoh sindikat pemeras yang menggunakan wanita muda dan cantik untuk menjerat korbannya. Untungnya, untuk menjiwai karakter Tanya itu, Vicky tidak terlalu repot. "Soalnya karakternya tidak jauh berbeda dengan saya sendiri, berangasan, tomboi, dan seenaknya," kata Vicky terus terang. Jadi, berakting itu khan gampang, toh? Dok. FORUM Keadilan - No. 13 Tahun V, 7 Oktober 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:03 |
#4057
|
Mania Member
|
RANO KARNO: %u0025u201CSAYA TIDAK MAU JADI VOTEGETTER%u201D
NAMA Rano Karno tidak bisa dilepaskan dari sosok Si Doel. Si Doel adalah Rano, dan Rano tak lain dari Si Doel. Itu lantaran keberhasilan serial Si Doel Anak Sekolahan (RCTI) membuat nama lelaki (waktu itu) 36 tahun ini kian mengkilat. Anak kelahiran Kemayoran yang bangga jadi orang Betawi ini, juga menjadi maskot PIN bersama si "bibir dower" Mandra.
Maka, ketika namanya muncul menjadi salah seorang calon legislatif (caleg) untuk MPR dari Golongan Karya (Golkar), banyak orang yang maklum. Paling tidak, Rano tentunya (waktu itu) akan menjadi aset bagi Golkar, termasuk dalam menarik massa. Apa motivasi Rano terjun aktif di politik? Kenapa dia memilih Golkar? Apa yang dia cita-citakan? Apa pula buah pikirannya tentang budaya Betawi? Lokasi syuting Si Doel di suatu sore, pertengahan Oktober 1996. Rano Karno, sutradara Si Doel Anak Sekolahan, terlihat serius memperhatikan monitor. Sementara itu, tak jauh dari situ, Pak Tile yang berperan sebagai Engkong, siap beraksi di depan kamera, "Action," perintah Rano. Dengan gaya Betawi yang kental, Pak Tile nyerocos, nyaris tanpa koma dan titik, menceramahi Mandra soal tidak perlunya pacaran sebelum menikah. Adegan pertama belum membuat sang sutradara puas. Ia pun ikut mengatur bloking. Ketika matahari mulai menyurut ke barat, syuting diberhentikan. Semburat kelelahan tampak di wajah Rano Karno, matanya memerah. "Saya masih harus ngetik lagi untuk naskah selanjutnya," katanya pelan. Waktu 24 jam sehari bagi Rano Karno memang tidak cukup untuk mengakomodasi semua kesibukannya. Syuting Si Doel saja sudah menyita seluruh waktunya. Apalagi belakangan itu, ia juga sibuk mengurusi persiapan ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1996. "Manajemen waktu itu, penting bagi saya," katanya. Waktunya di masa depan pun (waktu itu) akan semakin mahal harganya. Maklumlah, di usia 36 tahun (1996) ini, Rano memulai lembaran baru hidupnya menjadi calon legislatif di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namanya, mulai dilemparkan beberapa bulan sebelumnya, berbarengan dengan munculnya nama Rhoma Irama sebagai calon anggota legislatif dari Golkar. Toh, namanya tak sempat seberkibar si Satria Bergitar. Mungkin karena dia "hanya" menjadi caleg MPR, mungkin juga lantaran Rano bukanlah tokoh sekontroversial Rhoma. Namun yang jelas, banyak juga kalangan yang menaruh harapan kepada Rano. Harian Kompas bahkan sengaja menuliskan Tajuk Rencana khusus tentang Rano. Tajuk Rencana itu berkaitan dengan pernyataan Rano di Pos Kota. "Saya akan mengutamakan kepentingan rakyat banyak," itu salah satu ucapan yang dilontarkan Rano. Pernyataan ini, demikian Tajuk Rencana Kompas, menunjukkan pemahaman dan sikapnya menjadi seorang wakil rakyat, apalagi dengan sikap Rano yang siap meninggalkan pekerjaannya sebagai eksekutif dalam usaha sinetron. "Menjadi wakil rakyat bukan sekadar pekerjaan atau profesi, tapi panggilan," ujarnya. Di kantornya yang tak seberapa luas dan terbilang sederhana di bilangan Karangtengah - tak jauh dari lokasi syuting Si Doel - Rano menerima FORUM. FORUM (F): "Apakah sebelumnya anda memang aktif di Golkar?" Rano Karno (RK): "Terjun langsung dalam pengertian diminta dan memang berminat, baru dua tahun belakangan ini (1994-1996), sewaktu saya masuk Tim Asistensi Seni dan Budaya Golkar bersama Ais Ananta Said dan Bobby Suhardiman. Ais itu sudah lama saya kenal. Kami sama-sama alumni SMA 6." F: "Bagi Anda sendiri, apa sih maknanya terpilih menjadi salah seorang calon legislatif ini?" RK: "Jelas ini adalah anugerah, saya enggak pernah bercita-cita menjadi anggota legislatif. Membayangkannya saja tidak pernah. Jangankan jadi anggota legislatif, menjadi sukses seperti ini saja saya enggak pernah memimpikannya. Cita-cita saya sederhana saja, ingin hidup layak. Saya tahu soal pencalonan ini dari telepon Bobby Suhardiman. Kenapa mereka mengajak saya, mungkin karena kami sama-sama merasakan sebuah kegelisahan yang sama. Kita sekarang (Oktober 1996) sedang mengalami 'culture shock' yang sangat besar. Di pertelevisian, misalnya masukan kultur baru ini lebih luar biasa. Kalau kita tidak segera mengantisipasi, pupuslah budaya Indonesia. Dari sudut ini, saya ingin membantu, karena cuma itu yang saya bidangi. Barangkali, dengan aktif di Tim Asistensi itu, dan juga jika kelak jadi anggota MPR, saya bisa memberikan kontribusi, sekecil apapun kontribusi itu. Globalisasi itu tidak bisa dibendung. tapi, kita harus bisa mengantisipasinya. Salah satu jalan adalah dengan membuat produk yang bermuatan lokal, cerita-cerita lokal. Itu salah satu antisipasi yang saya kuasai karena saya memang tidak menguasai hal yang lain. Si Doel adalah salah satu kontribusi yang saya buat untuk mengantisipasi melubernya budaya luar." F: "Tapi apa tidak mungkin, nama anda dimasukkan sebagai calon legislatif justru untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Jadi, ada unsur pemanfaatan?" RK: "Selama ini, kalau dibilang ada unsur pemanfaatan, jelas memang ada. Tapi, saya sendiri tidak ingin dimanfaatkan. Dalam pengertian begini, saya bersedia dijadikan calon legislatif dari MPR, tapi saya tidak mau jadi 'votegetter'. Memang, kawan-kawan dari media massa sering salah menyebut. Saya itu disebut calon legislatif DPR, padahal saya khan caleg MPR. Banyak teman saya bilang, "Wah nanti kamu sibuk." Ya memang. Tapi saya khan di MPR. Bukan berarti saya uncang-uncang (goyang-goyang) kaki saja di MPR. Tapi khan frekuensinya tidak sesibuk bila jadi anggota PR. Jadi, anggota MPR tugasnya lebih ringan, mengesahkan GBHN dan memilih presiden. Maka, orang bilang anggota MPR ini kerjanya cuma lima tahun sekali." F: "Bagaimanapun, nama Rano Karno dimaksudkan untuk menarik massa?" RK: "Jangan lupa, itu khan baru pencalonan. Bisa jadi, bisa tidak. Tapi bagi saya sendiri, yang penting adalah apa yang ada di benak saya sudah saya sampaikan, bahwa saya tidak mau kalau jadi 'votegetter' saja. Dari awal pun mereka tidak pernah meminta saya untuk jadi 'votegetter'." F: "Apakah ada motivasi khusus mengapa Anda bergabung dengan Golkar, tidak dengan organisasi politik lain?" RK: "Soalnya, saya tidak pernah diminta sama organisasi lain. Saya tidak pernah dihubungi. Padhaal, kalau saya diminta bergabung dengan dua organisasi lain, mungkin saya ikut. Tapi memang saya melihat Golkar konsisten memperjuangkan masalah budaya ini. Setahu saya, yang lain tidak punya tim asistensi seni dan budaya. Bagi saya, saya bergabung dengan Golkar ini bukan semata-mata untuk kepentingan organisasi. Tidak. Ini untuk kepentingan bersama. Kalau kita ingin melihat sesuatu yang besar, kita khan harus punya wadah. Tim Asistensi ini khan bisa dijadikan wadah untuk membicarakan problem-problem kebudayaan." F: "Apakah benar tidak punya motivasi bisa mendekati pusat kekuasaan?" RK: "Saya enggak mencari sebuah keuntungan. Saya berangkat keil sampai sekarang (1996) besar tidak dengan motivasi mencari keuntungan. Kalaupun saya ada, ya karena saya ada saja. Tanpa ambisi pribadi, saya hanya ingin berbuat sesuatu. Bagaimana kita bisa menyelamatkan budaya bangsa ini? Barangkali impian saya ini terlalu tinggi, tapi itu memang realitasnya. Salah satu contoh kecil, dengan adanya Si Doel, maka Power Ranger, Ksatria Baja Hitam (keduanya RCTI), sudah tidak terdengar lagi. Itu khan sebuah keberhasilan. Bukan keberhasilan saya. Hadirnya tokoh Si Doel di tengah anak-anak itu sebuah keberhasilan. Mungkin bukan kebudayaan dalam akti makro. Tapi paling tidak, pola pikir anak-anak sudah mulai berpihak ke Si Doel - produk budaya Indonesia - daripada produk budaya film. Kalau kita tidak melanjutkan ini, akan sulit menyelamatkan budaya bangsa. Budaya ini bukan sebatas budaya tari dan lainnya, tapi yang penting adalah pola pikir. Itu sangat hakiki, kalau dari masa kanak-kanak kita dijejali dengan budaya asing, akan melunturlah kebudayaan nasional. Apalagi sebentar lagi ada delapan saluran televisi masuk Indonesia: CNN, HBO, masuk tanpa dekoder. Kalau kita tidak siap-siap membendung arus budaya asing ini, hancur kita." F: "Tapi sejauh mana misi itu bisa dilaksanakan. Sebagai anggota MPR, anda cuma bekerja lima tahun sekali?" RK: "Bukan berarti misi itu hanya saya salurkan saat saya jadi anggota MPR. Toh saya juga aktif di Golkar di Tim Asistensi Seni dan Budaya. Program yang dibawa Golkar khan berangkat dari sana. Anggota DPR juga khan ada yang berasal dari tim ini. Saya khan tidak kerja sendiri. Kebetulan sekarang (1996) ini saya diberi kepercayaan untuk menjadi calon anggota MPR. Bagi saya, ini sebuah pelajaran. Bagaimana kita berembuk bersama-sama dengan dua organisasi politik lainnya, bagaimana mengambil suatu keputusan. Semua itu pelajaran. Rano dilahirkan sebagai anak ketiga dari enam bersaudar adari pasangan Sukarno M Noor yang asli Padang dan Istiarti Rawinali dari Madiun, Jawa Timur. Ketika itu Sukarno masih tinggal di daerah kumuh Kemayoran, Jakarta Pusat. Masa kecilnya diakui sangat sulit. Sang ayah yang cuma seniman Senen, tak mampu menyediakan fasilitas berlebihan bagi keluarganya. Rano pun akrab dengan segala kesusahan, bahkan semasa kecil ia pernah jadi pengasong di Planet Senen. Namun, bakat sang ayah mengalir deras di tubuh Rano. Tahun 1971, Rano terlibat dalam film Tengah Malam, yang disutradarai Syumanjaya. Memang baru jadi figuran. Tahun berikutnya (1972), Rano beroleh penghargaan aktor pendukung terbaik. Tapi suksesnya baru diperolehnya setelah ia bermain dalam Si Doel Anak Betawi, lagi-lagi dengan Syumanjaya (1972). Rano pun sukses dengan film anak-anak Rio Anakku dan Dimanakah Ibu. Pada saat itu pula bakat menyanyi Rano muncul. Kaset lagu-lagu yang ada di film itu pun beredar di pasar, dan laris. |
27th May 2016, 23:06 |
#4058
|
Mania Member
|
RANO KARNO: %u201CSAYA TIDAK MAU JADI VOTEGETTER%u201D (Bag. 2)
Banyak bintang anak-anak yang namanya tenggelam setelah beranjak remaja, tapi tidak demikian dengan Rano. Justru ia menjadi idola pada tahun 1970an. Tak jarang, film bertema cinta remaja yang dibintanginya meledak. Misalnya Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, juga sederetan film remaja lainnya. Ketika Rano semakin dewasa, kemampuan aktingnya pun kian terpoles. Hasilnya adalah sebuah Piala Citra tahun 1990 lewat film Taksi.
Dunia perfilman melesu, toh Rano tidak patah arang. Ia menekuni bakat menyanyinya, lahirlah 14 album yang kebanyakan laku terjual. Pertunjukan digelar di berbagai kota. Televisi mulai diliriknya. Menjadi MC, pemandu acara kuis, bahkan menjadi bintang sinetron. Ia pun menjadi importir acara-acara yang ditawarkan ke televisi. "Salah satunya adalah serial Mahabharata di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia)," kata Rano. Tapi ada satu ambisi yang selalu berpendar di benaknya. "Aku ingin membuat kelanjutan Si Doel," katanya. Setelah 17 tahun ide itu mengendap di benaknya, Rano pun mencoba mewujudkannya dalam bentuk skenario. Toh tak ada tanggapan. Tapi Rano tidak putus asa. Skenario itu dirombaknya untuk format televisi. Setelah berjuang pantang menyerah, gayung pun bersambut, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) memberikan kesempatan bagi Rano untuk mewujudkan ambisinya. Untuk modal syuting, Rano terpaksa menjual rumah dan mobilnya. "Bahkan gelang dan kalung istri saya ikut dilego," katanya. Salah satu kelebihan Rano adalah keandalannya melihat potensi pemain. Untuk proyek impiannya ini, ia tidak menggunakan aktor atau aktris yang sudah ternama, Rano justru memakai nama anyar (waktu itu): mulai dari Basuki, Pak Tile, Mandra, Cornelia Agatha, sampai Maudy Koesnaedy. "Saya melihat bahwa mereka punya potensi besar yang bisa digali," kata Rano. Dan ia buktikan bahwa pilihannya itu benar adanya. Boleh dibilang, para pemain dalam Si Doel melejit namanya. Siapa pemirsa Indonesia yang tidak kenal Pak Tile, Mandra, Cornelia "Sarah" Agatha, atau Maudy "Zaenab" Koesnaedy, dan belakangan muncul nama baru: Pak Bendot. Toh, Rano mengakui ia bekerja superkeras. Soalnya, Rano tidak hanya mengurus pembuatan sinetron Si Doel, tapi juga "mendidik" pemainnya. Dari sekadar memberikan pengarahan di lokasi syuting, sampai mengajari Mandra menabung di bank. "Peran saya macam-macam dah. Jadi bos, kakak, guru, tempat konsultasi," katanya sambil tertawa. Toh, ia menikmati semua perannya ini. Karena ia sadar, keberhasilannya sendiri, tapi keberhasilan Pak Tile, keberhasilan Mandra, keberhasilan juru kamera, juga keberhasilan pencatat naskah." F: "Mengapa anda begitu antusias mengangkat budaya Betawi?" RK: "Saya mengangkat Si Doel bukan berarti saya hanya menyukai budaya Betawi. Tidak, saya juga tertarik materi lain dari daerah lain. Cuma kesempatan saya sekarang (1996) ini memang baru mengangkat Si Doel. Apalagi misalnya, dengan adanya rencana UU penyiaran, tentunya ada proteksi terhadap unsur-unsur yang akan merusak atau menipiskan budaya dan ideologi negara. Televisi ini khan sangat efektif, untuk mengangkat atau menghancurkan budaya bangsa." F: "Tapi menurut anda, siapa sebenarnya yang berhak dijuluki orang Betawi itu?" RK: "Suku Betawi itu enggak ada. Masyarakat Betawi yang ada, asimilasi dari Arab, Jawa, Eropa, Padang. Dulunya bandar kok, sejak masa VOC, Sunda Kelapa, Jayakarta, sampai Jakarta. Engga ada yang asli Betawi. Mandra juga bukan. Saya mencoba menuangkan ini dalam Si Doel. Selama ini khan cerita tentang Betawi selalu seputar Si Jampang, Nyai Dasimah, itu saja. Saya pengen bikin yang lain. Di tengah maraknya tontonan saat itu, dengan gaya westernisasi, saya mencoba menyuguhkan yang lain, dengan benang merah metropolitan. Betawi ini sangat unik dan kaya kalau kita mau menggalinya. Enggak akan habis itu. Tokoh si Doel anak Betawi ini yang menciptakan bukan orang Betawi, tapi orang Padang. Saya punya hubungan baik dengan beliau. Saya bayar royalti. Meski mungkin nilainya tidak banyak. Padahal, saya tidak menulis tentang Si Doel anak Betawi, tapi Si Doel Anak ekolahan. Tapi roh Si Doel itu memang ada di kepala saya ketika saya mulai memikirkan Si Doel Anak Sekolahan ini. Sekolahan di sini maksudnya bukan pendidikan secara formal, sekolahan yang saya maksud itu masyarakat. Di sanalah kita belajar segala macam." F: "Tapi Si Doel ini tidak pernah lepas dari kritik. Misalnya, bahwa Si Doel justru melecehkan budaya Betawi, atau tokoh Basuki yang dinilai menjelekkan orang Jawa." RK: "Kritik bagi saya adalah sebuah tolok ukur kesuksesan. Tokoh Basuki misalnya, yang ada di otak kita - juga pemirsa - adalah priyayi. Padahal, Basuki juga bukan dari kalangan itu. Coba kalau kita lihat Srimulat, betapa kasarnya. Kenapa enggak dikritik? Memang, saya pernah khawatir soal ini. Tapi saya ambil hikmahnya, bahwa kritik itu tolok ukur sebuah kesuksesan. Lalu soal sikap Mandra yang sangat kasar kepada ayahnya sendiri, Engkong, yang saya potret itu bukan masyarakat Betawi kelas atas. Di masyarakat kelas bawah, yang bergerak di bidang kesenian di lenong dan tanjidor, hal yang begini ini sudah biasa. Ini yang saya ambil, bukan gambaran masyarakat Betawi yang berpendidikan. Kalau saya munculkan kegemaran Engkong kawin cerai, itu dalam konteks mendidik. Kita bikin yang jelek juga bisa dengan tujuan mendidik. Kalau kemudian ditanggapi lain, nah ini, karena daya nalar kita masih belum dewasa." F: "Jika nanti Gokar minta agar program mereka dimasukkan dalam cerita Si Doel?" RK: "Jelas, akan saya tolak. Kalau masalah minta, enggak pernah mau kasih. Selama ini juga banyak yang minta, tapi bukan dari Golkar. Soal GDN misalnya, Si Doel ini sangat efektif untuk apa saja. Tapi saya tidak mau mengubah konsep cerita Si Doel demi memenuhi permintaan-permintaan itu. Saya bilang, saya minta maaf. Dan sampai sekarang (1996) tidak ada risiko dari penolakan ini." F: "Tapi apa sih resep kesukseasn Si Doel, kok tidak diikuti produk lain karya anda seperti SAR (Sarana Angkutan Rakyat/RCTI)?" RK: "Saya sendiri tidak tahu, sungguh. Saya pikir ini memang sebuah anugerah dan mukjizat yang diberikan Allah. Itu keyakinan saya. Saya amati semua acara yang menggantikan slot Si Doel, habislah. Banyak yang curiga sama rating Si Doel ini, mereka menduga ada rekayasa. Sekarang (1996) ini, ratingnya di Jakarta 68, tertinggi di dunia. Lalu untuk nasional ratingnya 48. Saya juga enggak ngerti apa sebabnya. Saya tahu format TV itu apa. Tapi untuk Si Doel, memang tidak bisa dianalisa dari sudut 'marketing'. Ketika Benyamin meninggal, sempat ada keraguan, apakah mungkin Si Doel berjalan lancar. Kenyataannya, tetap bisa sukses, benar-benar saya enggak ngerti formulanya apa." Bila Rano memandang keberhasilan Si Doel ini sebagai sebuah mukjizat, sah-sah saja. Karena lewat Si Doel, ia tidak saja memperoleh keuntungan materi, tapi juga keuntungan non-materi: Sebuah surat dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Lewat tokoh Si Doel, ia dan Mandra menjadi maskot Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Bahkan keberhasilan PIN ini tidak lepas dari keberhasilan Si Doel dan Mandra. Alhasil, Si Doel dan Mandra pun diundang ke kediaman Presiden Suharto di Jalan Cendana pada pencanangan PIN polio, September tahun 1995 lalu. Hari itu bagi Rano adalah hari yang sangat berkesan. Waktu itu, ia sempat berbincang-bincang dengan Pak Harto dan Ibu Tien - yang ternyata juga menggemari Si Doel. "Saya disapa dengan sebutan Si Doel oleh Pak Harto, itu sebuah penghargaan yang luar biasa bagi saya," katanya. Ada kilat bangga di matanya. Ia juga diundang ke Departemen Kesehatan untuk menerima penghargaan langsung dari Menteri Suyudi. "Ini sebuah pengakuan yang tidak bisa dinilai dengan materi," katanya lagi. Boleh jadi, lantaran itu pula, Rano ditawari menjadi Dubes UNICEF ('United Nations Children's Fund') untuk Indonesia. Tingkat kematian bayi - juga ibu melahirkan - di Indonesia yang masih terbilang tinggi (waktu itu), menggerakkan hati Rano untuk menerima tawaran itu. "Saya lalu berpikir, saya harus 'do something'. Kalau kita bisa melakukan sesuatu, kenapa tidak? Apa salah kalau saya melakukan sesuatu?" Toh di tengah kesuksesan ini, Rano tetap bersahaja. Ia tidak segan menggunakan baju yang harganya cuma berapa ribu rupiah, kesan glamor tidak tampak. Kalau sebuah ikat pinggang bisa kita beli seharga Rp 120 ribu dan bagus, kenapa kita harus beli ikat pinggang Versace Rp 1,2 juta, begitu pernah ia berujar. "Saya ditempa hidup susah dulu. Boleh jadi itu yang membuat saya tidak kebelinger," kata ayah dua anak ini. F: "Kabarnya bila anda jadi anggota legislatif, akan mundur dari dunia akting?" RK: "Umur 40 tahun (2002), saya akan mundur. Tekad ini muncul sebelum nama saya disebut-sebut menjadi caleg Golkar. Saya ingin menjadi diri saya sendiri. Sekarang (1996) ini, saya sudah bekerja 26 tahun (1970-1996). Kalau nanti sampai usia 30 tahun, itu berarti 31 tahun saya bekerja. Pegawai negeri saja jarang yang masa kerjanya selama itu. Bukan berarti saya akan benar-benar berhenti. Saya mungkin jadi pemain saja, jadi sutradara saja atau di belakang layar. Sekarang (1996) ini saya khan mengerjakan semua. Jadi pemain, jadi sutradara, jadi produser, jadi 'marketing' juga. Capek saya, sekarang (1996) Karno's Film khan sudah lebih teratur. Saya sudah bilang sama saudara-saudara saya, sama karyawan-karywaan saya, nanti kalian saja yang pegang perusahaan ini. Saya mau istirahat. Saya juga ingin mencurahkan wkatu untuk keluarga. Saya sudah janji sama istri saya: Dewi, nanti kalau umur saya sudah 40 tahun, waktu saya akan lebih banyak dengan keluarga. Saya juga ingin memperdalam ilmu agama." F: "Lalu apalagi yang akan anda lakukan dalam waktu dekat, bila Si Doel sudah selesai syuting?" |
27th May 2016, 23:08 |
#4059
|
Mania Member
|
RANO KARNO: “SAYA TIDAK MAU JADI VOTEGETTER” (Bag. 3)
RK: "Yang pertama ingin saya lakukan adalah naik haji. Insya Allah, tahun depan (1997) saya dan istri saya akan pergi ke sana. Semestinya tahun lalu (1995) saya naik haji. Sudah lengkap semuanya, paspor, dan lainnya. Tapi tiga hari sebelum pergi saya seperti mendapat bisikan agar saya jangan pergi. Istri saya saja bingung kenapa enggak jadi pergi padahal dia sudah selesai mengepak kopor."
F: "Memangnya ada apa?" RK: "Ternyata saya memang dapat musibah ketika itu. Tiba-tiba ada wanita yang mengaku telah dilecehkan oleh saya. Coba kalau saya berangkat, apa jadinya? Habis saya. Jangan-jangan saya dituduh melarikan diri ke Mekkah." Dok. FORUM Keadilan - No. 15 Tahun V, 4 November 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:18 |
#4060
|
Mania Member
|
MOUDY WILHELMINA: %u201CKHAN LEBIH GAMPANG CARI MUSUH...%u201D
BERPERAN sebagai ibu rumah tangga berusia 30 tahun ternyata bukan soal gampang bagi Moudy Wilhelmina (waktu itu 23 tahun). Padahal, gadis (waktu itu) Gemini itu, sudah main di empat sinetron lebih (saat itu). "Soalnya saya lebih suka memerankan tokoh yang umurnya tak jauh berbeda dengan saya," kata pemeran Nia dalam sinetron Buku Harian 3 (SCTV) itu.
Maka, ketika jebolan STIE Perbanas itu mendapat peran sebagai Rita - seorang ibu rumah tangga dalam sinetron Janjiku (RCTI) - ia harus sering konsultasi dengan "mama"-nya, Ully Artha, yang berperan sebagai ibu Moudy. Hal itu dilakukan terutama kalau Moudy sulit melakukan dialog. "Lidah saya sering keslipet. Maklum deh, dari lahir memang sudah cadel," kata pemeran Nyai Dasima (RCTI) itu kepada Ronald Raditya dari FORUM. Masalah lain yang sering dihadapi penggemar rujak ulek itu adalah dalam penghayatan peran. "Tergantung suasana hati, kalau lagi bagus satu hari bisa selesai. Kalau nggak yah, bisa berhari-hari," tutur gadis (waktu itu) berdarah Cirebon yang suka warna ungu dan kuning itu. Toh yang paling gampang dihayati oleh gadis favorit Gadis Sampul 1989 itu justru menjadi pemeran antagonis. "Pokoknya yang bikin orang sebal melihatnya," kata bintang iklan Hot Candy yang menyukai perannya sebagai Rita di Janjiku itu. Sebab di situ, ia bukan hanya tampil materialistsi, tapi juga manja. Caranya? "Mudah saja, cari musuh khan lebih gampang daripada cari teman," kata Moudy, yang ingin menjadi teman setia dan pacar yang setia itu. Dok. FORUM Keadilan - No. 15 Tahun V, 4 November 1996, dengan sedikit perubahan |
Last edited by MrRyanbandung; 27th May 2016 at 23:20.. |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer