English Version | Bahasa Indonesia

Seni Musik Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Gending dan Gamelan Kodhok Ngorek

Gending Kodhok Ngorek adalah salah satu kekayaan budaya dan seni tradisi yang dimiliki oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat, khususnya dalam hal seni musik istana. Gamelan dan gending Kodhok Ngorek berupa seperangkat gamelan Jawa serta nama lagu yang dibunyikan pada waktu dan kesempatan tertentu. Gending Kodhok Ngorek sebenarnya sudah dikenal sejak zaman raja-raja Jawa terdahulu, termasuk pada masa Kesultanan Mataram Islam, Kerajaan Jenggala, dan seterusnya. Dalam kitab “Wedhapradangga” yang ditulis R. Ng.  Pradjapangrawit disebutkan bahwa gending dan gamelan Kodhok Ngorek merupakan hasil karya dari Prabu Suryawasesa, penguasa Kerajaan Jenggala, pada tahun 1145. Pada awalnya, gending Kodhok Ngorek dibuat dengan nada dasar (laras) pelog, namun bisa juga slendro. Adapun lagu-lagu dalam gending Kodhok Ngorek diberi nama Kalapanganjur.

Oleh karena merupakan warisan dari Kesultanan Mataram Islam, gending Kodhok Ngorek hingga kini masih dilestarikan oleh empat kerajaan pewaris tahta wangsa Mataram. Selain Kasunanan Surakarta Hadiningrat, ada 3 kerajaan lainnya yakni Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Seperti halnya karya-karya seni Jawa lainnya yang bernilai tinggi, gamelan dan gending Kodhok Ngorek bisa disebut sebagai hasil seni yang adiluhung. Disebut adiluhung karena hasil garapan seni yang dihasilkannya tidak hanya berupa karya fisik yang rumit dalam teknisnya, akan tetapi di balik itu terkandung maksud serta makna yang dalam. Bahkan, seperti yang disebutkan dalam naskah “Wedhapradangga”, gending Kodhok Ngorek konon tercipta berkat ilham dari suara kodrat alam.

Gending Kodhok Ngorek dimainkan dengan seperangkat gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Keboganggang. Untuk perawatan perangkat gamelan Kodhok Ngorek, setiap satu minggu sekali, perangkat gamelan tersebut harus dibersihkan. Selain  itu, setiap setahun sekali, gamelan Kodhok Ngorek dicuci (dijamas, disucikan), yakni pada bulan Ramadhan karena pada bulan itu gamelan tidak boleh dibunyikan untuk menghormati bulan puasa. Awalnya, gamelan untuk membunyikan gending Kodhok Ngorek hanya terdapat di kerajaan-kerajaaan keturunan dari dinasti Mataram Islam, namun demi kepentingan pendidikan dan pelestarian budaya, maka kemudian dibuatlah replika gamelan tersebut sebagai alat proses belajar mengajar di beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia.

Kodhok Ngorek terdiri dari ricikan yang tertentu jumlahnya. Selain itu, gending dan teknik garap masing-masing ricikan juga bersifat khusus. Gending Kodhok Ngorek hanya dibunyikan pada waktu-waktu tertentu, dan oleh karena itu, gamelan yang membunyikan gending Kodhok Ngorek dikategorikan sebagai gamelan Pakurmatan (gamelan yang dihormati). Selain gamelan yang membunyikan gending Kodhok Ngorek, ada beberapa gamelan lain yang termasuk gamelan Pakurmatan, yakni gamelan Monggang, gamelan Carabalen, dan gamelan Sekaten. Di antara kesemua gamelan itu, Kodhok Ngorek adalah gamelan Pakurmatan yang pertama kali diciptakan.

Waktu Tabuh Gending Kodhok Ngorek

Pada zaman dahulu, gamelan dan gending Kodhok Ngorek dibunyikan untuk mengiringi permainan rampogan yang dilakukan oleh para prajurit kerajaan melawan harimau dengan menggunakan senjata tombak. Bahkan, konon gending Kodhok Ngorek juga dibunyikan sebagai penanda dalam perang. Dalam perkembangannya hingga sekarang, gamelan dan gending Kodhok Ngorek hanya dibunyikan pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari raya yang disucikan yaitu pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, pada saat upacara perkawinan yang diselenggarakan oleh kerajaan, pada saat acara khitanan anak raja, pada saat peringatan hari kelahiran raja, pada saat upacara Gunungan, atau pada hari-hari yang diistimewakan lainnya. Pada saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, misalnya, gamelan Kodhok Ngorek ditata di suatu bangsal khusus, yakni Bangsal Hangun-Hangun, pada waktu sore hari, dan mulai ditabuh pada saat dini hari. Terdapat suatu kaitan khusus antara gending dan gamelan Kodhok Ngorek dengan dua hari raya umat Islam tersebut, yakni mengandung nilai historis dan nilai spiritual.

Sebelum hari raya Idul Fitri tiba, umat Islam terlebih dulu diwajibkan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan pada pagi hari hingga sore hari. Pada malam harinya dilaksanakan shalat Isya’ yang diteruskan dengan sembahyang tarawih, kemudian dilanjutkan dengan tadarus Alquran yang biasanya dilakukan hingga tengah malam. Di bulan suci ini juga diyakini sebagai bulan turunnya wahyu Lailatul Qadhar yang menurut keyakinan umat Islam akan turun pada waktu larut malam, dan oleh karena itu maka dikenal istilah Malam Lailatul Qadhar atau Malam Seribu Bulan. Apabila orang melaksanakan tahajud dengan khusyuk pada waktu malam itu, maka akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman dalam hatinya. Mengacu pada hal tersebut, maka gamelan Kodhok Ngorek pun akan dibunyikan ketika malam mencapai puncaknya. Dengan demikian, gending dan gamelan Kodhok Ngorek dapat dimaknai sebagai perlambangan dari suasana malam yang hening, malam yang suci, malam yang bahagia, atau malam yang penuh cinta dan kasih.

Selain itu, gending dan gamelan Kodhok Ngorek terkait erat juga dengan upacara penobatan dan upacara perkawinan yang mengandung makna kelangsungan kehidupan manusia di dunia. Dalam upacara perkawinan, misalnya, gamelan yang memainkan gending Kodhok Ngorek dibunyikan ketika dilaksanakannya upacara panggih pengantin putra dengan pengantin putri. Ritual panggih adalah prosesi di mana pengantin pria dan pengantin perempuan dipertemukan. Selain diiringi gamelan Kodhok Ngorek, ritual panggih dalam pernikahan adat Jawa ini biasanya dibarengi dengan prosesi lempar-lemparan daun sirih.

Kandungan Makna Gending Kodhok Ngorek

Kodhok Ngorek adalah kata majemuk yang terdiri dari kata kodhok dan ngorek. Kata kodhok dalam bahasa Jawa berarti katak yang merujuk pada suatu jenis binatang amphibi (bisa hidup di dua alam, di air dan di darat). Makna yang terkandung dalam kata kodhok ini adalah bahwa air, sebagai salah satu alam tempat hidup kodhok atau katak, dapat diartikan sebagai ilmu. Dalam konteks ini, air yang dimaksud adalah air hujan. Maka, kata kodhok dalam konteks air  dapat dimaknai bahwa Sang Hyang Indra menurunkan hujan ilmu. Salah satu wujud nyata dari hujan ilmu adalah diselenggarakannya pendidikan, atau dalam konteks yang lebih luas berarti mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk pemaknaan darat (bumi), yang juga menjadi alam hidup binatang kodhok, yang dipercaya dijaga oleh Hyang Kuwera (dewa kekayaan dan kesejahteraan), menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia yang tidak kunjung habis. Bumi menyediakan kenikmatan, kemewahan, dan berbagai kemegahan untuk manusia yang hidup di dalamnya.

Sedangkan kata ngorek berasal dari kata korek, atau kata kerja dalam bahasa Jawa yakni mengkorek. Ngorek berarti membersihkan dengan cara melakukan korek atau mengkorek. Korek dapat ditafsirkan misalnya dengan “membuka rahasia”, bisa juga dengan “menyapu”. Secara harfiah, konotasi kata “menyapu” adalah membersihkan sampah atau kotoran di lantai atau di halaman. Namun, secara tersirat, pekerjaan “menyapu” mengandung arti kiasan yaitu “membersihkan semua yang merugikan kehidupan dan penghidupan”.

Misalnya, menyapu kejahatan, menyapu kebodohan, menyapu kemiskinan, dan lain sebagainya. Menyapu kejahatan dapat berarti menegakkan keadilan, menyapu kebodohan berarti menyediakan sistem pendidikan yang baik, dan menyapu kemiskinan berarti meningkatkan kesejahteraan. Ketiga hal itulah yang sejatinya menjadi tugas seorang pemimpin atau raja yang bertahta di sebuah kerajaan. Secara lebih sederhana, ngorek dapat dipahami sebagai bunyi suara katak di genangan air pada musim hujan. Katak-katak itu berbunyi saling bersahutan, bunyi yang kemudian diidentikkan dengan suara gamelan pada perangkat gamelan Kodhok Ngorek yang juga ditabuh secara bersahut-sahutan.

Perangkat Gamelan dalam Gending Kodhok Ngorek

Perangkat gamelan Kodhok Ngorek terdiri dari sejumlah jenis alat musik tradisional Jawa yang terdiri dari bonang rijal, kenong, gender barung, gambang gangsa, penonthong, rojeh, kecer, gentha, klinthing, kendang, dan gong ageng. Struktur gamelan Kodhok Ngorek tersebut masing memiliki makna simbolis. Kendang, disebut juga mridamga atau merdangga, secara simbolis dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat maskulin (laki-laki). Kendang diwujudkan pada diri seorang suami dalam upacara panggih pengantin. Artinya, suami adalah seorang pemimpin dalam kehidupan berumah tangga, sama seperti peran kendang dalam seperangkat gamelan. Secara simbolis, kendang menurut tradisi perkawinan Jawa dapat dimaknai sebagai seorang suami yang menjadi pemimpin sekaligus panutan.

Dalam beberapa ritual agama, gong dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, menjadi rambu-rambu, dan mampu mengusir roh-roh jahat sekaligus bisa menarik perhatian para dewa. Klinthing dan gentha yang memiliki bunyi dan bentuk serupa dengan lonceng di gereja atau wajra di kuil sebagai alat yang digunakan untuk memanggil para jemaat untuk beribadah, juga mengandung makna tersirat, yakni sebagai pengingat manusia untuk selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Selain itu, klinthing dan gentha juga mengandung simbol peringatan akan lonceng kematian di hari kiamat bagi semua orang untuk menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Bedhug juga diartikan dengan pemaknaan yang hampir sama, yakni sebagai tanda pelaksanaan shalat 5 waktu: Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’.

Musikalitas dalam Gending Kodhok Ngorek

Gending Kodhok Ngorek hanya menggunakan dua nada, yaitu nada yang disebut nem dan nada lima sebagai nada utama. Untuk ricikan lainnya, rijal memiliki nada penunggul, nada pelog dan gulu untuk ricikan penonthong, sepasang gong menggunakan nada yang relatif luwes (seperti dhada, lima, dan nem), begitu pula dengan setelam nada kendang dan kecer. Sedangkan klinthing dan gentha memakai satu nada oktaf yang lebih tinggi dari nada bonang sehingga suaranya terdengar lebih menonjol ketimbang nada-nada yang lain.

Dua nada utama atau nada pokok yang dominan inilah yang konon diperoleh dari ilham sesuai kodrat alam, yakni suara yang keluar dari bunyi rijal. Secara harfiah, makna rijal adalah “suara katak-katak yang jumlahnya ribuan di hamparan persawahan pada waktu malam”. Akan tetapi, rijal di sini dimaknai sebagai telaah astronomi melalui zodiak, yakni ilmu untuk mengetahui jiwa, waktak, serta nasib dan keberuntungan seseorang berdasarkan pengaruh daya elektromaknitis yang ditimbulkan oleh gravitasi bumi maupun planet-planet yang lain di tata surya, yang dikenal juga dengan sebutan ilmu astronomi atau ilmu perbintangan. Dengan demikian, gending Kodhok Ngorek yang termasuk dalam Gamelan Pakurmatan itu bukanlah semata-mata ditinjau dari suara katak-katak yang bersahut-sahutn, akan tetapi lebih dimaknai sebagai suara gaib dalam keheningan malam yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk karya musikal.

Apabila ditinjau dari bunyi suaranya, gamelan Kodhok Ngorek memang mengadopsi dari suara katak-katak yang bersahut-sahutan. Suara katak sendiri sangat beragam dan terdiri dari beberapa jenis. Misalnya, katak hijau betina bersuara tokotokotok, teketeke teketeketek; katak hijau jantan berbunyi kruwek-kruwek-kruwek-kruwek; katak jenis lecek berbunyi leceklecek-lecek-lecek; katak jenis bangkong betina mengeluarkan suara kong-kong-kong; katak jenis bangkong jantan mempunyai bunyi kek-kek-kek; dan katak berjenis kenthus mengeluarkan bunyi kok-kok-kok. Tinggi atau rendahnya suatu nada tergantung pada besar dan kecilnya tubuh katak. Semakin besar badan katak, justru semakin rendah suaranya. Katak-katak akan berbunyi setelah hujan reda, atau ketika masih turun hujan gerimis. Paduan suara katak-katak ini akan menghasilkan rangkuman irama musik yang cukup menakjubkan.

Selain itu, warna musikal dari bunyi masing-masing jenis katak tersebut juga berbeda-beda, demikian pula dengan waktu berbunyinya. Rombongan katak jenis bangkong biasanya akan mulai bernyanyi pada waktu sore hingga menjelang malam. Sedangkan katak-katak berjenis katak hijau (kodhok ijo) akan mulai bersuara pada waktu tengah malam hingga menjelang pagi. Suara dari dua jenis katak itulah yang menjadi ilham penyusunan gending Kodhok Ngorek. Bunyi katak jenis bangkong menjadi inspirasi dasar dari irama bonang. Sedangkan laras nada lima dan nem disesuaikan dengan rentetan suara katak hijau.

Nilai-nilai dalam Gending Kodhok Ngorek

Keberadaan gending dan gamelan Kodhok Ngorek dalam kehidupan nyata maupun kehidupan spiritual di lingkungan Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki beberapa nilai-nilai luhur yang berdampak positif bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah sebagai bentuk ungkapan dan wujud korelasi antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta, sebagai simbolisasi “menyapu kejahatan”, yakni terbebasnya masyarakat dari hal-hal yang bersifat tidak adil, dengan kata lain, sebagai lambang penegakan keadilan dan kebenaran, bahwa seorang pemimpin harus bisa membuat rakyatnya selalu merasa aman dan tenteram.

Gending dan gamelan Kodhok Ngorek juga menjadi perlambang terbebasnya masyarakat dari kebodohan, yaitu bahwa seorang pemimpin berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bermutu bagi segenap rakyatnya. Selain itu, Kodhok Ngorek menjadi simbol terbebasnya masyarakat dari kemiskinan, yaitu bahwa seorang pemimpin atau raja harus mampu membuat segenap rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera. Nilai yang selanjutnya adalah bahwa gending dan gamelan Kodhok Ngorek dapat dimaknai sebagai bentuk perwujudan tali silaturahmi dan hubungan sosial antar manusia sebagai dorongan untuk saling menghargai dan menghormati.

Makna kosmologi dalam siklus hidup manusia juga tersirat dalam gending dan gamelan Kodhok Ngorek. Dimulai dari kelahiran, bahwa gending dan gamelan Kodhok Ngorek bisa dijadikan sebagai lambang dimulainya kehidupan seorang manusia dan refleksi bertambahnya usia seperti yang diwujudkan dalam upacara peringatan hari kelahiran raja. Saat seseorang sedang menuju usia dewasa, gending Kodhok Ngorek diejawantahkan melalui iringan gamelan dalam upacara khitanan anak raja. Selanjutnya, Kodhok Ngorek juga menjadi simbolisasi dari hubungan dua manusia, yakni antara laki-laki dan perempuan yang terpadu dalam bentuk perkawinan untuk membentuk suatu keluarga dan meneruskan kehidupan bergenerasi. Gending dan gamelan Kodhok Ngorek juga merupakan wujud syukur atas semua berkah dan limpahan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada manusia, yang diwujudkan misalnya dalam upacara Gunungan.

Masih ada beberapa nilai-nilai luhur lainnya yang tersirat dalam gending dan gamelan Kodhok Ngorek, yakni sebagai simbol keheningan malam yang diidentikkan sebagai malam yang penuh kebahagiaan, malam yang penuh kasih sayang. Dari sisi religius, gending dan gamelan Kodhok Ngorek dijadikan sebagai perlambang turunnya wahyu dari Tuhan Yang Maha Kuasa di malam bulan Ramadhan, atau Lailatul Qadhar yang dimaknai sebagai Malam Seribu Bulan, malam yang penuh anugerah dan pahala dari Tuhan. Terakhir, gending dan gamelan Kodhok Ngorek juga menjadi simbol kesuburan, kelestarian, dan keseimbangan alam yang bersifat kodrati.

Sumber Foto: http://vna-collections.blogspot.com

Dibaca : 11045 kali
« Kembali ke Seni dan Budaya Istana

Share

Form Komentar